Selasa, 23 Agustus 2011

KIPRAH PLS DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAWASAN DESA TERTINGGAL (Antara Harapan dan Kenyataan)


0leh:
Norsanie Darlan


Pendahuluan
Materi kuliah umum ini, merupakan sejarah hidup bagi penulis dalam memberikan memaparkan tentang kiprah Pendidikan Luar Dalam Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Desa Tertinggal (antara harpan dan kenyataan) suatu permintaan pihak Program Studi  ini, sebuah materi yang kurang begitu siap dalam menghadi mahasiswa sekolah pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Sebab perguruan tinggi Pembina ini, tidaklah gampang untuk dijadikan objek kuliah umum ini, namun ketua Program Studi  S-2 dan S-3 PLS sekolah Pascasarjana meminta saya, yang kebetulan ada waktu untuk menyiapkan materi yang sangat sederhana ini.
Untuk menyingkat waktu dalam pemberian materi ini, maka dalam penyampaiannya terdapat beberapa sub bangian yaitu: berbagai pendapat ahli, Melirik Undang-Undang, Pemberdayaan Masyarakat, Masyarakat Kawasan Tertinggal, Program Mehaga lewu, Masyarakat Kawasan Tertinggal, Kiprah PLS, Kiprah Mahasiswa PLS Dalam Pemberdayaan, Peran Pendidikan Tenaga Kepdidikan, kualifikasi pendidik, Perubahan Sosial Alamiah, Harapan dan Kenyataan. Untuk lebih jelasnya hal-hal di atas, akan diurakan secara deserhana berikut ini:

Berbagai  Pendapat Ahli
Mengenali kiprah PLS  sebenarnya “kiprah” adalah: suatu perbuatan baik secara perseorangan ataukah berkelompok dalam melakukan sebuah gerakan khususnya berupa pendidikan luar sekolah, baik dalam cara spontan dengan proses yang cepat  maupun secara perlahan. Namun kiprah dalam proses pendidikan luar sekolah ini, suatu kegiatan yang secara sadar berencana baik akan, sedang maupun telah dilakukan dalam proses pendidikan luar sekolah.
 Bagaimana sebenarnya desa tertinggal, bila kita mengkaji apa itu desa tertinggal, tidak terlepas pada istilah desa: menurut: Tim Akar Media (2003; 105) menyebutkan:”…desa adalah sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan kampung di luar kota, dusun…”.  Sedangkan tertinggal tidak lain adalah kawasan itu, masih banyak ketertinggalan dari berbagai program pembangunan sejak masa lalu, hingga sekarang. Dengan demikian desa tertinggal adalah merupakah suatu desa yang berada di kawasan pedesaan ada kalanya berlokasi nan jauh di sana dan ada pula yang lokasinya masih dekat dengan perkotaan. Namun desa tertinggal tinggal ini selalu ketinggalan dari berbagai program pembangunan, termasuk dalam upaya pemberdayaannya.
 
Melirik Undang-Undang
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) nomor 20 tahun 2003 secara jelas memandu kita, pada pekerjaan sehari-hari di bidang pendidikan. Untuk itu, penulis dalam kesempatan ini, memberikan sedikit apa yang diketahui tentang peran pendidik dan tenaga kependidikan dalam masyarakat di tanah air kita tercinta ini.
Kalau kita memperhatikan dan mengenali pasal 39 dari Undang-undang di atas, (1) tentang tenaga kependidikan adalah bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang berhasilnya proses pendidikan pada satuan pendidikan. Berbicara tentang tenaga kependidikan ia bertugas menjalankan administrasi pendidikan baik dalam pengelolaan, pengawasan dengan cara dalam hal-hal menjalankan pengawasan dan pelayanan teknis di institusi atau lembaga pendidikan. Tentu saja jalur pendidikan dimaksud baik formal maupun non formal.
Di pihak lain, apa itu tugas tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan, baik ia dalam tugas di pendidikan non formal (pendidikan luar sekolah) seperti: penilik dan pamong belajar. Demikian juga dalam tugas pendidikan formal seperti: pengawas, peneliti dan pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar. Namun demikian untuk diketahui bersama bahwa pada jalur pendidikan luar sekolahpun juga, ada tenaga seperti peneliti, pengembang media belajar dan teknisi sumber belajar masyarakat.
Dipihak lain bila kita mencermati apa sebenarnya pendidik itu berdasar pasal 39 ayat (2) maka hal ini ia merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik dan perguruan tinggi.

Pemberdayaan Masyarakat
Sungguh menggembirakan, jika digulirkannya konsep dari program pemberdayaan masyarakat untuk kalangan masyarakat pedesaan. Terlebih bagi mereka yang secara sengaja ataukah kebetulan terlahir  hingga dewasa di kawasan desa tertinggal. 
Pemberdayaan tentu kalau kita memperhatikan asal katanya “daya” yang ditambah awalan pember dan akhiran an. Jika diperhatikan istilah daya Tim  Akar Media (2003; 100) bahwa:”…suatu kekuatan, tenaga pengaruh akal dengan cara ihktiar…” Sementara Djudju Sudjana (2000) bahwa:”…menyejelaskan daya adalah banyak macamnya. Ada dari alam, tenaga air, angin, listrik, mata hari dsb…”.  Sehingga hal itu, akan memimbulkan sebuah daya. Namun dalam upaya pemberdayaan masyarakat ini, tentu saja sasarannya warga masyarakat. Untuk tujuan memberikan motivasi dalam proses belajar memberlajarkan mereka  dengan tujuan pendidikan non formal ataukah in formal.  
Jika kita mengkaji konsep lama tentang pemberdayaan masyarakat di  pedesaan, tidaklah salah penulis mengambil pendapat salah seorang tokoh senior PLS kita: Sanapiah Faisal (1981) bahwa: “…yang disebut masyarakat pedesaan mereka itu, tinggal kebanyakan tidak terjangkau aliran listrik…”. Konsep di atas walau disadari dewasa ini, sudah tidak lagi seluruhnya benar (terwujud), namun tempat tinggal masyarakat kita sungguh  ciri itu, mulai dirambah oleh teknologi. Karena sekarang di berbagai pedesaan di tanah air ini, sudah sulit membedakan kalau hanya dengan alasan aliran listrik. Karena masyarakat telah banyak yang memiliki kemampuan membeli mesin listrik. Apakah mereka di pinggiran kota ataukan di pedesaan sekalipun.
Dalam sudut pandang lain, Sanapiah Faisal (1981) bahwa:”...masyarakat membagi dalam 3 kelompok besar, masing-masing; Pertama: masyarakat perkotaan; Kedua: masyarakat pinggiran kota; dan Ketiga: masyarakat desa pedesaan...”.   Dari 3 kelompok di atas, penulis dalam kesemptan ini mencoba mengurai terhadap keadaan masyarakat sekarang sebgai berikut:
Menilik masyarakat perkotaan sungguh luar biasa. Karena mereka  berada dalam wilayah perkotaan yang berhadapan dengan segala lapisan masyarakat selalu ada konpleks. Apakah mereka golongan kaya, menengah hingga miskin, selalu ada di perkotaan. Bahkan tidak menutup kemungkinan perkotaan menjadi objek masyarakat untuk mengadu nasib sehingga mereka berhadapan dengan 2 pilihan untuk datang ke kota. Masing-masing tidak lain kecuali jadi miskin atau kaya. Dan di perkotaan tidak dapat berhasil baik kecuali harus memiliki skills dan pendidikan. Kalau hanya dengan kekuatan otot lebih banyak gagal dari keberhasilannya. Mareka yang sudah menghadapi berbagai kegagalan, akhirnya memilih menempati kawasan yang agak kosong untuk  mencari kawasan yang lebih keluar kota untuk membuka usaha lain.
Dalam kawasan perkotaan, lapangan kerja sangat ditentukan dengan pendidikan. Di perkotaan juga fasilitas belajar lebih banyak dan selalu kualitasnya lebih baik. Diperkotaan memberikan harapan besar kepada mereka yang memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, di perkotaan sangat memperhatikan bedang kesehatan. Dan berbagai fasilitas lainnya selalu tersedia di kota. 
Masyarakat pinggiran kota, yang serba tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan, namun untuk menyesuaikan dengan tuntutan kehidupan, mereka ini dalam posisi yang serba tanggung. Kenapa demikian? Karena untuk ikut bertahan sebagai masyarakat pedesaan, sementara kehidupan masyarakat kota tidak bisa mereka biarkan begitu saja. Merekapun perlu untuk menyesuaikan dengan perkembangan kehidupan masyarakat kota. Namun terkendala dengan segala biaya yang serba mahal. Termasuk juga pola kehidupan perkotaan yang menuntut serba modern. Dari hal-hal di atas, tidak menutup kemungkinan mereka terbawa arus. Sehingga membuat mereka jadi serba susah dalam menghadapi segala tuntutan kehidupan. Sementara kalau mreka bertahan sebagai masyarakat pinggiran kota, membuat kehidupannya tambah melarat karena lapangan pekerjaan, persaingan berbagai macam dalam kehidupan masyarakat pinggiran kota ini sungguh menyedihkan.
Dalam sudut pandang lain, desa mereka menjadi tempat di bangunnya berbagai perusahaan, namun tuntutan keterampilan kerja membuat mereka gigit jari karena untuk bekerja dituntut persyaratan tertentu yang tidak dapat mereka penuhi. Akibatnya pekerja perusahaanpun harus didatangkan tenaga kerja dari luar. Sehingga masyarakat pinggiran kota ini hanya sekedar jadi penonton belaka. Mereka dihadapkan dalam posisi sulit untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Sekarang bagaimana mereka yang tinggal di desa pedesaan. Penulis melirik dengan berbagai hasil penelitian yang cukup panjang. Mereka yang bermukim di kawasan desa pedesaan sungguh menyedihkan, karena  tidak semua program yang dilancarkan pemerintah bertujuan memberdayakan mereka sesuai dengan kebutuhan. Kemudian program pemberdayaan itu hanya sebagian kecil yang menikmatinya. Karena area lokasi mereka yang tersebar tidak merata. Ditambah  jumlahnya tidak banyak dan tidak merata, ditambah lagi sebaran yang tidak merata, membuat program-program yang dilancarkan pemerintah kurang bisa menyentuh pada semua masyarakat desa pedesaan. Karena dana yang tersedia tidak memadai disertai perencanaan yang kurang akurat dan kurang matang.   
Selain itu, untuk mensejahterakan masyarakat kawasan ini sudah lama oleh pemerintah, diantaranya sarana pendidikan, kesehatan. Namun tenaga guru yang ditugaskan kurang memberikan curahan hati dan tenaganya untuk menjalankan tugasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Demikian juga program-program pemerintah lainnya.       
Kehidupan masyarakat yang bermukim di kawasan desa tertinggal masih belum mengetahui secara jelas apa sumber daya alam yang ada di kawasan  mereka. Mereka hanya tahu apa yang pernah mereka lakukan. Menurut Darlan (2002) bahwa:”...Akibat ketidak tahuan mereka itulah yang muncul sebagai penomena penulis juga meneliti kawasan desa tertinggal kawasan pantai yang sejak nenek moyang merekamenanam dan memelihara perkebunan kelapa. Nanum yang mereka ketahui kelapa hanya buah kelapa di kupas, dijual atau dijadikan minyak goreng dan kopra. Sementara yang lainnya belum diolah karena ketidak tahuan mereka. Padahal kalau kita mengkaji secara teliti sebatang pohon kelapa punya 48 manfaat untuk kehidupan masyarakat manusia...”.

Masyarakat Kawasan Tertinggal
Berbicara tentang Percepatan Pembangunan Desa Tertinggal, Albertus, (2010) menyebutkan bahwa:”…Kegiatan ini diawali dengan pembentukan Desa Mandiri berjumlah 288 desa. Setiap desa mendapat dana pembangunan sebesar Rp 250 juta yang akan dimanfaatkan untuk usaha-usaha produktif seperti pembangunan peternakan sapi dan budi daya jagung. Dua jenis usaha itu merupakan bagian dari empat tekad pembangunan NTT. Dua lainnya ialah pembangunan koperasi dan penanaman pohon cendana...”. Fokus tulisan dari hasil penelitian diarahkan ke ternak dan jagung, tetapi bisa berkembang ke usaha lain sesuai karakteristik di desa tertinggal. Program ini untuk mendukung ketahanan pangan.
Menurut arti kriteria desa penerima program ditentukan sesuai jumlah penduduk miskin di daerah itu. Penduduk miskin terbanyak mendapat prioritas utama, dan masih akan bertambah untuk tahun anggaran berikutnya. Kriteria lainnya desa tersebut harus terpencil, tidak sedang menerima program pengentasan penduduk miskin dari data pemerintah, dan infrastruktur pelayanan sosial seperti air bersih, sanitasi, dan ruang layak huni masih rendah dan kurang layak.
Langkah membangun kawasan desa tertinggal ini adalah upaya strategis pemerintah mendorong percepatan pembangunan di Indonesia, khususnya yang berbasis pada desa. Menurut  H.M. Lukman Edy (2008) bahwa:”…hal ini juga didasari nilai dan komitmen pemerintah untuk membangun desa, yang tentunya bukan hanya milik pemerintah semata, tetapi juga menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa, warga masyarakat, pemerintah dan siapa saja yang mau berkiprah membangun desa. Masa lalu sentralisasi pembangunan di era Orde Baru harus mampu dijadikan motivasi untuk melakukan pembangunan secara menyeluruh, baik lintas sektoral, lintas wilayah, maupun lintas bidang...”.
Salah satu komitmen yang dilakukan pemerintah sekarang adalah mendorong percepatan pembangunan khususnya di dasa-dasa tertinggal, termasuk juga kawasan desa tertinggal. Data resmi (2008) Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal menyebutkan, terdapat 38.232 (54,14%) kategori desa maju, yang terdiri atas 36.793 (52,03) kategori maju dan 1.493 (2,11%) kategori sangat maju.
Adapun desa tertinggal berjumlah 32.379 (45,86%), terdiri atas 29.634 (41,97) kategori tertinggal dan 2.745 (3,89%) kategori sangat tertinggal. Ketimpangan inilah yang menjadi komitmen pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan desa tertinggal. Sementara itu, fakta tentang desa tertinggal menyebutkan bahwa desa yang belum dapat dilalui mobil sebanyak 9.425,desa yang belum ada sarana kesehatan sejumlah 20.435 desa, desa yang belum ada pasar permamen sebanyak 29.421, desa tertinggal yang belum dialiri listrik sebanyak 6.240 desa. Jumlah ini, cukup besar. Dan rata-rata keluarga miskin di desar tertinggal adalah 46,44% dan IPN desa tertinggal sebesar 66,46. 
Data di atas, walau antara teori yang digulirkan oleh: Sanapiah Faisal (1981) lalu masih dirasakan, seperti ciri desa di pedesaan masa lalu yaitu: desa-desa yang belum dialiri listrik. Desa miskin dan belum terjangkau listrik, menurut hasil penelitian Dr. Colly, MD (1986) bahwa: ”...di jawa tengah ia menyebutkan  daerah itu, pertumbuhan kelahiran relatif masih tinggi...” Hal ini beralasan bahwa: masyarakat desa tertinggal bila malam tiba, mereka tidak banyak pirikan seperti halnya orang kota. Mereka karena tidak memiliki kesibukan dan penerangan lampupun kecuari lampu tembok, cuma seadanya. Maka bila anak pada masuk ke tempat tidur, orang tuanya pun juga menyelesaikan hajadnya sebagai suami istri sebelum tidur. Sehingga angka kelahiranpun tidak dapat ditekan secara besar-besaran.
Peran PLS dalam upaya ini juga sangat terkendala. Karena fasiltas lampu yang tidak mendungkung dalam proses belajar membelajarkan di malam hari. Mereka hanya bertemu di kelompok belajar (kejar) di sore hari, sementara saat yang sama mereka juga terikat untuk bekerja ke sawah/ladangnya. Sehingga hingga masyarakat kawasan tertinggal ini, dalam hal ini, terkendala dalam hal proses membelajarkan masyarakat.
Masyarakat kawasan desa tertinggal, mereka ini sejak lahir hingga meninggalkan dunia fana ini, tinggal di lereng bukit, tepi danau, pesisir laut, tepi sungai. Masih banyak yang belum mengenyam dunia pendidikan formal. Seperti SDN, MI, SMP dan SMA, dan sejenisnya. Salah satunya adalah melalui pendidikan non formal. Namun bagaimana kita ketahui bersama, keterjangkawan tenaga kita masih sangat terbatas. Sementara tenaga yang pepatah menyebutkan adalah bagaikan: ”tidak ada rotan akarpun berguna”. Itulah sebabnya pekerjaan PLS berwarna warni di tanah air kita. Jika sekiranya tenaga pendidik kependidikan pendidikan non formal dan informal (TPK-PNFI) betul-betul dari mereka yang betul-betul terdidik ke arah PLS, dan mau berkiprah kepada PNFI, tentu saja hasilnya beda dengan sekarang. Kendala juga dihadapi, adalah tidak meratanya jurusan/studi PLS di provinsi di Indonesia.

Kiprah PLS
Dalam masa reformasi dewasa ini, PLS belum dapat berkiprah secara maksimal  termasuk di kawasan desa tertinggal. Hal ini disebabkan dengan beberapa alasan berikut:
1.       Kehadiran PLS masih dilihat sebelah mata;
2.       Kehadiran TLD yang menutup peluang PLS;
3.       Formasi lapangan kerja masih tertutup.
Untuk lebih jelasnya hal-hal di atas, penulis uraikan sebagai berikut:
Pertama: Tidak semua orang mengerti dan tahu tentang PLS kita ini. Misal di kalangan pejabat sturuktural yang tahu bahwa ia ikut diklat di berbagai penjenjangan, bahwa pendidikan yang ia ikuti itu adalah bagian dari pendidikan luar sekolah. Demikian juga dikalangan masyarakat luas bahwa PLS hanya sekedar untuk pemberantasan buta huruf. Padahal mereka, pernah ikut berbagai kursus. Misalnya kursus komputer, kursus bahasa, mengemudi, pertukangan, perbengkelan. Dan kursus-kursus tersebut adalah bagian pendidikan luar sekolah atau sekarang disebut dengan pendidikan non formal.
Kedua: Pemerintah ingin segera menuntaskan segala program pendidikan non formal dan informal dengan menempatkan TLD sebagai tujuan program mereka ini, dapat mempercepat lajunya pertumbuhan pembangunan. Namun dari hasil penelitian secara cermat dan hati-hati, hasilnya tidak demikian. Karena sarjana yang diangkat bukan tenaga yang terdidik ke arah itu, hasilnyapun diragukan. Mereka setelah mendapat NIP dari Kementrian Diknas, karena tidak sanggup bergulat dengan berbagai program PLS di lapangan, ternyata sudah banyak mereka yang pindah dari Subdin atau bidang  PLS (pendidikan non formal dan informal) ke instansi yang sesuai dengan bidang keilmuannya. Berarti lapangan kerja untuk TLD ini, adalah merugikan bagi sarjana PLS dan Subdin/Bidang PLS membukakan pintu PNS bagi non PLS.
Ketiga: Bila melihat lapangan kerja sepertinya tertutup. Kalau kita cermati masih ada hal-hal diperhatikan sebagai berikut: tawaran formasi kerja terhadap sarjana PLS sepertinya tidak ada, padahal kekurangan. karena masa era reformasi ini, ternyata kebebasan untuk mengusul calon tenaga kerja melalui BKD atau apa istilah lain, cukup memprihatinkan. Mereka para berokrasi mengusul ke perencanaan kepegawaian berdasar daftar keluarganya yang belum mendapatkan lapangan kerja. Tapi tidak melihat sarjana mana yang tepat dan akurat untuk menggulir pekerjaan yang sangat teknis di Subdin/Bdang PNFI dan BP2NFI atau SKB. Belum lagi instansi terkait lain seperti: Depsos unuk pekerja sosial, BKKBN untuk PLKB dll. Hasilnya dapat kita lihat sendiri sarjana yang non PLS tidak betah bekerja di tempat itu, karena bukan bidang kesarjanaannya. Akhirnya setelah diangkat beberapa waktu kemudian pikir pindah ke bidang /instasi dinas keilmuannya. Maka tenaga kita hilang, akhirnya menjadi cemoohan masyarakat bahwa ”...PLS/PNFI menerima PNS dari bidang lain, setelah mereka dapat NIP sudah memikir pindah. Sementara sarjana pada bidangnya tidak tertampung...”  karena berbagai alasan.     
Kiptah PLS di pedesaan melalui pendirian PKBM menurut: Rina (20007) adalah:”... bisa lebih total dalam mengabdikan diri untuk memberdayakan masyarakat melalui pendidikan non formal. Ada yang menjadikan rumahnya sebagai kantor sekaligus tempat pembelajaran bagi kelombok belajar PAUD. Keberadaan Kejar ini, sangat diminati oleh masyarakat di desa, karena  mereka mulai tumbuh kesadaran membelajarkan anak, terlebih kalau ada yang gratis. Ini bisa dimaklumi, mengingat kehidupan masyarakat disini masih kurang menaruh perhatian pada biaya pendidikan anak-anaknya. Mereka berpikir anak adalah aset keluarga yang harus dilibatkan membantu ekonomi orang tua, sehingga kebanyakan dari mereka setelah lulus SD, anak-anak langsung dipekerjakan orang tuanya bekerja di sektor pertanian, tambak dan bekerja sebagai buruh pabrik yang banyak berdiri di sekitar desa. Selain kejar paket yang ada di desa dan berkiprah mendirikan PKBM juga yang mempunyai binaan kejar. Program PNFI yang ditangani selain pendidikan kesetaraan adalah menyelenggarakan program Keaksaraan Fungsional dan penyelenggaraan PAUD yang diberi nama Kelompok Bermain: “CAHAYA BUNDA” serta kursus bahasa inggris untuk instruktur anak usia dini.
Kiprah untuk program keaksaraan fungsional, PKBM  membina beberapa kelompok, dimana sampai saat ini keberadaan kelompok tetap berjalan dengan kegiatan ekonomi produktif yang dapat diakses ke perkotaan berupa usaha pembuatan banding presto dan rempeyek. “Lumayan hasil penjualannya bisa untuk memperbesar kas kelompok setelah dipotong biaya operasional. Harus disadari bahwa upaya memberdayakan dan membelajarkan masyarakat melalui program pendidikan luar sekolah, harus sabar dan telaten, mengingat masyarakat yang menjadi sasaran didik kebanyakan terdiri dari golongan kurang mampu secara ekonomi, sehingga mereka masih disibukkan oleh upaya mencari nafkah ketimbang mikir peningkatan mutu hidup melalui pendidikan.”
Kiprah para pejuang pendidikan luar sekolah dan kesehatan seperti: Dian Sofianty  dan Mehdinsareza W. (2007) mereka melihat:“...Jika dibandingkan dengan awal mula ketika berdiri kelompok belajarnya, untuk sekarang respon para pedagang sudah mulai bagus dan positif...”. Sosialisasi mereka pun tidak terbatas hanya  para pedagang saja, tetapi terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar Desa Tertinggal. Kiprah mereka yang tidak mengenal waktu   berjalan itu, dari kampung ke kampung untuk sosialisasi program. Diawal awalnya hanya  memiliki satu orang murid (warga belajar) ini, kemudian berkembang terus hingga memiliki puluhan murid...”. 
Dari sudut lain bagaimanapun juga kepentingan untuk mengenyam pendidikan dan kesehatan merupakan kepentingan dasar bagi setiap orang tak terkecuali mereka yang tinggal di kawasan desa tertinggal. Biaya pendidikan terkadang menjadi momok bagi para orang tua yang akhirnya memutuskan hal tersebut. Namun kesadaran para orang tua menganggap hal tersebut sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak didik menjadi salah satu faktor yang tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan kembali. 
Melihat aktivitas berbagai instansi terkait untuk kawasan perkotaan Jawa Timur yang postif ditiru. Mereka ini tentu bukan tanpa tujuan tempat kelompok belajar tersebut dibuat di pasar. Kepala Puskesmas Jagir, sebagai Tim eHealth di kantornya, ia seorang dokter:  Sri Peni Tjahyati (2008) menjelaskan bahwa:”...awalnya tempat tersebut bukanlah semata-mata sebagai tempat Posyandu. Tempat tersebut, awalnya merupakan Tempat Penitipan Anak (TPA) bagi anak-anak pedagang, namun tercetus ide dari beberapa instansi, bahwa daripada hanya penitipkan, bagaimana kalau diadakan PAUD juga dan sekaligus Posyandu jelasnya. Maka tahun 2005, Pos tersebut di bangun berdasarkan kerjasama dari beberapa instansi yakni dari: Dinas Pendidikan, PD Pasar, PKK Kota Surabaya dan juga Dinas Kesehatan Kota yang diwakili oleh Puskesmas Jagir...”.  Dengan demikian kemajuan, kemudahan disertai fasilitas pendidikan dan kesehatan serba tersedia dalam upaya kiprah pihaknya sebagai pelaksanan di lini lapangan sangatlah mudah dalam turut serta membina kelompok belajar untuk memajukan bidang pendidikan dan kesehatan. Sebaliknya di kawasan desa tertinggal tentulah tidak semudah yang diuraikan di atas. Karena di kawasan itu, pengambil kebijakan di tingkat lini selalu ada di tempat.  Sementara di kawasan pedesaan sering terkendala karena mereka itu, sering tidak bersamaan berada di tempat tugasnya. Dan mereka petugas lini lapangan ini kurang mau berkoordinasi seperti contoh di perkotaan  Surabaya karena punya kesibukan yang berbeda.

Kiprah Mahasiswa PLS Dalam Pemberdayaan
Kiprah mahasiswa PLS dalam upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan belum nampak di tanah air. Hal ini karena perguruan tinggi yang memproduk PLS tidak di semua perguruan tinggi negeri. Kecuali di Jawa Timur seperti: Malang, Surabaya dan Jember. Sementara yang swasta banyak di Jawa Barat, 1 di DIY dan 1 Univesitas Muhammadiyah di Sulawesi Tengah.
Dengan memperhatikan sebaran yang tidak merata, juga turut mempengaruhi kiprah mahasiswa PLS dalam upaya pemberdayaan kita kemasyarakat. Sebab Universitas Negeri saja tidak di semua provinsi ada. Sementara perguruan tinggi swasta terbesar di Jawa Barat, Jakarta, DIY dan Sulawesi Tengah.
Pemberdayaan mahasiswa melalui KKN dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat terasa mengecewakan. Karena ada perguruan tinggi yang tidak memiliki jurusan/prodi PLS tentunya diberikan oleh mereka yang bukan sarjana PLS dalam pembekalan KKNnya. Akibatnya kiprah PLS sungguh belum waktunya memberikan warna di tanah air.
Lab PLS tentu dalam mengerahkan mahasiswa untuk praktek Ke-PLS-an masih juga belum dapat mewarna kiprahnya. Karena ada dugaan di masing-masing Lab PLS di perguruan tinggi belum banyak mengadakan pertemuan sesama pengelolanya. Untuk sementara ini, menurut dugaan penulis masih sepertinya jalan di tempat masing-masing. Sehingga kiprah mahasiswa belum banyak dikenal masyarakat. Dan masyarakat  sepertinya aneh melihat kalau ada kegiatan mahasiswa PLS di lapangan. Hal ini juga membuat kiprah kita jadi tidak banyak dikenal masyarakat.
Penulis menyadari kiprah mahasiswa PLS bukan berarti tidak ada sama sekali. Sebenarnya sudah banyak, namun diiringi luarnya wilayah tanah air kita, disertai jumlah penduduk yang tidak merata, membuat kiprah kita belum dirasakan oleh semua orang itulah, dalam Sub topik terdahulu tentang kehadiran PLS di masyarakat, dilihat dengan sebelah mata.
Peran Pendidikan Tenaga Kepdidikan
Bila memperhatikan tentang pendidik tenaga kependidikan (PTK) bersama Warga Belajarnya Dalam Pemberian Keterampilan
Kewajiban Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kalau kita mengkaji terhadap PTK-PNF minimal ada 3 kewajiban mereka tenaga kependidikan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Adapun ke 3 hal tersebut menurut Darlan, (2010) sebagai berikut:
1.Berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, punya keratif, dinamis dan dialogis;
2.Berkewajiban mempunyai kometmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan luar sekolah; dan
3.Berkewajiban memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Dari ke 3 hal di atas, suatu kewajiban yang harus diciptakan oleh masing-masing pendidik dan tenaga kependidikan - pendidikan non formal dan infomal (TPK-PNFI) dalam menjalankan tugasnya. Agar dalam menjalankan profesinya dapat menjadi contoh bagi orang lain, baik di perkotanaan maupun pedesaan.
Kualifikasi Pendidik
Bila kita perhatikan dalam hal kualifikasi dan jenjang pendidikan, maka perlu diperhatikan pada hal-hal sebagai berikut:
 1. Pendidik harus memiliki kualitas minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional;
  2.Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
Kualialifikasi pendidik tentu saja tidak bisa bagaikan semudah membalik telapak tangan. Karena tugas mereka yang sangat mulia ini, tidaklah mudah dengan hanya diberikan satu atau dua hari atau satu dua bulan. Tapi pendidikan luar sekolah tentu memperoleh tenaga yang berkualitas menggunakan waktu 4 – 5 tahun. Jadi atas ketidak pahaman masyarakat selama ini, tentang pekerjaan PLS hanya sebatas ”pembarantasan buta huruf”, tidaklah seluruhnya demikian. Pekerjaan PLS sungguh luas dan memerlukan keahlian tersendiri. 
Perubahan Sosial Alamiah
Belajar dari pengalaman memang sebuah peristiwa penelitian yang berbeda-beda, ternyata ada perubahan diantaranya yang jatuh pada masa sekarang dengan masa sepuluh sampai lima belas tahun silam. Ada beberapa hal yang dilihat secara alamiah desa-desa tertinggal ini, pasti ada terjadi perubahan sosial secara alamiah. Hal ini seperti:
1.Masyarakat yang angka tuna aksara semakin berkurang;
2.Walau mereka tidak banyak berkomunikasi ke luar desa, tapi mereka tahu perkembangan desa, kota lain;
3.Modernisasi desa pasti terjadi walau secara lamban.
Dari konsep kemajuan perubahan pembangunan masyarakat desa menurut Piott Sztompka (2004; 23) bahwa:”... terlihat ciri-ciri fundamental kondisi kehidupan manusia; adanya jurang abadi antara kenyataan dan harapan...”.
Dalam perubahan sosial, secara alamiah terjadi sebagai akibat mereka: melihat, mendengar,  memperhatian, terhadap desa lain. Selain itu,  pemikiran masyarakat lambat laun termotivasi baik dari dalam dirinya maupun dari luar. Ingin menjadikan desa yang lebih maju dari masa sebelumnya. Sehingga perubahan sosial secara alamiah ini tidaklah atas datagnya bantuan pembangunan dari pemerintah, tapi secara alamiah tersebut muncul dari berkembang desa itu sendiri. Sebenarnya bantuan pembangunan dari pemerintah kalau sangat tanggung/tidak memadai, justru memanjakan masyarakat. Sehingga jiwa gotong royongnya mereka jadi hilang.

Perubahan Sosial Alamiah
Belajar dari pengalaman memang sebuah peristiwa penelitian yang berbeda-beda, ternyata ada perubahan diantaranya yang jatuh pada masa sekarang dengan masa sepuluh sampai lima belas tahun silam. Ada beberapa hal yang dilihat secara alamiah desa-desa tertinggal ini, pasti ada terjadi perubahan sosial secara alamiah. Hal ini seperti:
1.Masyarakat yang angka tuna aksara semakin berkurang;
2.Walau mereka tidak banyak berkomunikasi ke luar desa, tapi mereka tahu perkembangan desa, kota lain;
3.Modernisasi desa pasti terjadi walau secara lamban.
Dari konsep kemajuan perubahan pembangunan masyarakat desa menurut Piott Sztompka (2004; 23) bahwa:”... terlihat ciri-ciri fundamental kondisi kehidupan manusia; adanya jurang abadi antara kenyataan dan harapan...”.
Dalam perubahan sosial, secara alamiah terjadi sebagai akibat mereka: melihat, mendengar,  memperhatian, terhadap desa lain. Selain itu,  pemikiran masyarakat lambat laun termotivasi baik dari dalam dirinya maupun dari luar. Ingin menjadikan desa yang lebih maju dari masa sebelumnya. Sehingga perubahan sosial secara alamiah ini tidaklah atas datagnya bantuan pembangunan dari pemerintah, tapi secara alamiah tersebut muncul dari berkembang desa itu sendiri. Sebenarnya bantuan pembangunan dari pemerintah kalau sangat tanggung/tidak memadai, justru memanjakan masyarakat. Sehingga jiwa gotong royongnya mereka jadi hilang.

Harapan dan Kenyataan
Sungguh banyak kalangan yang memusatkan pikirannya terhadap masyarakat kawasan tertinggal. Karena objeknya sungguh luas,   dengan sebaran yang tidak merata, dan anggaran yang masih terbatas, mengakibatkan program-program yang dilancarkan tidak banyak menyentuh pada masyarakat kawasan desa tertinggal.
Sejujurnya bahwa tidak ada masyarakat kawasan desa tertinggal yang ingin selalu miskin. Apakah miskin pencaharian, miskin pendidikan dsb. Namun mereka selalu berharap kapan desa mereka mendapat kecuran pemberdayaan. sehingga ada kalanya program-program yang diluncurkan tersebut ternyata tidak banyak menyentuh pada mereka dengan berbagai alasan mereka berkilah.
Dari hasil penelitian di berbagai provinsi di Indonesia, kenyataannya bahwa pemberdayaan yang sudah dan sedang bergulir memerlukan pengkajian lebih mendalam lagi. Karena dalam pemberdayaan yang digulirkan dari pihak penyedia dana kepada masyarakat, belum banyak menunjukkan hasil yang memadai. Walau hal itu, penulis maklumi dengan segala keterbatasan yang ada. Harapan masyarakat untuk pemerataan pembangunan lewat pemberdayaan ini yang betul-betul sesuai dengan kebutuhannya. Andaikata ada program inovatif, sebaiknya bermanfaat untuk semua.
Kenyataan yang ada dalam pemberdayaan yang digulirkan tidak semuanya diketahui oleh masyarakat. Harusnya mereka tahu terhadap apa saja bentuk pemberdayaan kita. Sehingga harapan masyarakat ini, betul-betul dirasakan mereka.
Proses kemajuan desa tertinggal memang sangat langka kalau terjadi semakin hari, bulan, tahun akan menurun. Menurut Christopher Dawson (dalam Lasch 1991; 43) Berdasar konsep peradaban umat manusia dalam peradaban barat selama hampir 3.000 tahun belum pernah ada pemikiran demikian...”. Sehingga setiap warga masyarakat berharap pasti di desanya  mengharap terjadi kemajuan. Walau secara lambat.

Daftar Pustaka
Albertus, 2010. Percepat Pembangunan Desa Tertinggal di NTT,  Kupang.
Colly, 1986. Angka Kelahiran Masyarakat pedesaan, dosen Fakultas Kedokteran Komunitas (FKK) UGM, Yogyakarta.  
Darlan, H.M. Norsanie, 2002. Penelitian Masyarakat Desa tertinggal Kawasan Pantai, UPI, Bandung.
------------, 2010. Peran Pendidik dan Tenaga Kependidikan, berita, Lembaga Kantor Beita Antara, Jakarta.
Edi Basuki dan Zainal 2007. Kiprah Tenaga Lapangan Dikmas melalui PKBM dalam upaya memberdayakan masyarakat, Sidoarjo.
Edy, H.M. Lukman, 2008. Membangun Bangsa, Membangun Desa, Pada  Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal meluncurkan desa model yang dicanangkan langsung oleh Presiden RI, Jakarta.
Faisal, Sanapiah, 1981. Sosiologi Masyarakat Kota Dan Desa, Usaha Nasional Surabaya.
Media, Tim Akar, 2003. Kamus Lengkap Praktis Bahasa Indonesia, Akar media, Surabaya. 
Rina, 2007. Kiprah Tenaga Lapangan Dikmas melalui PKBM dalam upaya memberdayakan masyarakat dengan ketelatenan, Sidoarjo.
Sofianty, Dian  dan W. Mehdinsareza, 2007. Pos Multifungsi di Dalam Pasar Wonokromo, Surabaya.
Sudjana, Djudju, 2000. Pendidikan Luar Sekolah, PT. Al-falah, Bandung.
Tjahyati, Sri Peni, 2008. Membangun kerjasama dari beberapa instansi yakni dari Dinas Pendidikan, PD Pasar, PKK Kota dan Dinas Kesehatan Puskesmas, Surabaya.


H.M. Norsanie Dalan,  Guru Besar PLS, dosen S-1 & S-2
Universitas Palangka Raya



Minggu, 21 Agustus 2011

PENDIDIKAN NONFORMAL (PLS) DAN PENTINGNYA PENDIDIKAN SEJAK USIA DINI


Oleh:
H. M. Norsanie Darlan
Pendahuluan
Wikipedia bahasa Indonesia, dalam ensiklopedia bebas, menuliskan bahwa pendidikan anak usia dini  disingkat dengan PAUD (2011) adalah:”…jenjang pendidikan sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal…”.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar   ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Konsep lama mengakatan, makin maju suatu Negara makin terpelihara anak usia dini. Demikian ungkapan Prof. Djudju Sudjana (1997) dan Prof. Endang Sumantri (2000) menyebutkan bahwa:”...negara maju, memperhatikan balita, demikian orang dewasa dan Lansia. Sudah menjadi perhatian pemerintah....pendidikan luar sekolah merupakan bagian yang tak terpisahkan...”. dan jika kita hubungkan dengan  3 jalur pendidikan nasional. Maka di tanah air kita, masih belum seluruhnya dapat dilaksanakan sebagai negara-negara yang telah maju di dunia. Di Indonesia perhatian banyak orang masih pada jalur pendidikan formal.
Para ahli, dari anak usia dini meyakini bahwa anak terlahir dengan membawa segudang potensi yang diturunkan dari gen kedua orang tuanya. Potensi tersebut terdiri dari berbagai kecerdasan atau disebut dengan kecerdasan jamak. Potensi yang dimiliki anak dapat berubah menjadi kompetensi yang baik, apabila dirangsang dan dikembangkan selama kehidupannya. Keluarga merupakan lingkungan utama  dan  pertama yang turut mempengaruhi bagi tumbuhnya perkembangan  anak. Akan tetapi sejalan dengan pertambahan usia anak dan perkembangan sosial anak, lingkungan masyarakat memberi pengaruh besar pula pada perkembangan anak itu sendiri. Karena itu rangsangan psikososial yang diberikan di lembaga pendidikan luar sekolah atau lembaga yang ada di lingkungan sekitar anak, menjadi sangat penting bagi tumbuh kembang anak khususnya dalam bidang pendidikan informal.
Mengingat masih terbatasnya layanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang ada di masyarakat dibandingkan dengan jumlah anak usia dini (0-6 tahun) yang membutuhkannya, maka perlu perkembangan program yang mampu diakses oleh semua sasaran di seluruh wilayah Indonesia. Termasuk dalam kawasan Kalimantan Tengah. Untuk itulah Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini mengembangkan program PAUD terintegrasi Posyandu dan BKB, yang dikenal dengan nama Pos PAUD.  
Program Pos PAUD terlaksana apabila didukung oleh tenaga kader yang memahami program. Oleh karena itu pembekalan kader merupakan hal yang mutlak untuk dilaksanakan, mengingat tidak semua kader memiliki latar belakang pendidikan terkait dengan anak usia dini. Pembekalan kader yang dilaksanakan pada program Pos PAUD dilakukan melalui kegiatan pelatihan.
Pelatihan merupakan prasyarat bagi kader Posyandu yang akan mengembangkan program Pos PAUD di lembaganya.

PLS dan Mitra kerjanya
Banyak mitra kerja pendidikan luar sekolah. Namun tidak banyak orang yang tahu persis bahwa kerjanya sama dengan pendidikan luar sekolah. Selama periode orde baru, para lulusan atau dengan istilah lain sarjana pendidikan luar sekolah di diterima dan diangkat sebagai pekerja pada berbagai Kantor Dinas/Badan seperti: Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian, Badan Keluarga Berencana dan Kependudukan, Badan Diklat dan berbagai instansi pemerintah lainnya. Mereka tersebut  tidak pernah mengeluh dan ditolak kepegawaiannya. Sejak awal bekerja hingga memasuki usia pensiun.
Dengan demikian PLS punya mitra kerja yang sejak lama. Tidak sebatas itu saja, lulusan PLS FKIP juga di Departemen Agama, Departemen Kehakiman. Dan berbagai instansi lain selama mereka tidak tidak membatasi secara sepersifik. Biasanya pada saat usulan promasi kerja satu atau dua tahun kedepan sangat tergantung dengan permintaan kepegawaian. Atau kepala kantornya. Apa lagi dalam bakal penerimaan calon ini ada KKNnya. Sehingga sangat menyulitkan calon pekerja pada bidangnya.


Strategi PAUD
Pendidikan Anak Usia Dini, menurut: Kristanto (2008) adalah:’...menempati yang amat strategis, dalam penyiapan Sumber Daya Manusia masa depan. Karena Pos PAUD selain perkembangan intelektual terjadi yang amat pesat pada tahun-tahun awal kehidupan setiap anak...”. Berbagai kajian juga menyimpulkan bahwa pembentukan karakter manusia juga pada fase usia dini.
PAUD Membangunan Karakter Bangsa
Berbicara tentang PAUD ke masa depan menurut Edi Waluyo (2010) adalah:”...untuk membangun karakter anak sejak dini, sangat penting bagi orang tua dan guru/tutor, harapannya agar anak sejak dini memiliki karakter yang baik. Membangun karekter anak dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal, non formal maupun informal...”.  pendapat di atas, secara jelas PAUD sudah membangun karakter generasi penerus bangsa.
Dengan demakin meningkatnya perhatian orang tua dan pemerintah terhadap pendidikan anak usia dini, disatu sisi merupakan hal yang sangat menggembirakan. Akan tetapi, disisi lain, seringkali orangtua dan pendidik juga masih memiliki pandangan yang kurang tepat dan sempit tentang proses pelaksanaan pembentukan pribadi pada anak usia dini, yakni terbatas pada kegiatan akademik saja seperti membaca, menulis, menghitung, dan mengasah kreativitas.
Dasar Hukum
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
3. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta dicanangkannya Gerakan Nasional Pendidikan Anak Usia Dini oleh Presiden RI pada tanggal 23 Juli 2003. 
4. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2004-2025.
5. Permendiknas No.31 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tatakerja Dirjend Pendidikan Nonformal dan Informal atau sebelumnya disebut PLS.
6. Strategi Nasional Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif.
Pengertian
Ada beberapa yang perlu dicermati dalam penulisan ini, dari sejumlah pengertian berikut:
1.Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menurut UU No 20/2003 tentang sikdiknas adalah:”...suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejenis sejak lahir, sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut...”.
2.Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menurut Hamid Muhammad (2008) yaitu:”...satuan PAUD  sejenis adalah bentuk-bentuk jalur non formal selain kelompok Bermain dan Taman Penitipan Anak yang penyelenggaraannnya dapat diintegrasikan dengan berbagai program layanan Anak Usia Dini yang telah ada di masyarakat seperti: POSYANDU, Bina Keluarga Balita (BKB), Taman Pendidikan Al-Qur’an, Sekolah Minggi, Bina Iman Anak, atau layanan terkait lainnya...”.
3.Pos PAUD menurut: Sudjarwo (2008) adalah:”...bentuk layanan PAUD yang penyelenggaraannya diintegrasikan dengan layanan Bina Keluarga Balita (BKB) dan Posyandu...”. 
4.Pedoman penyelenggaraan Pos PAUD adalah acuan minimal dalam penyelenggaraan PAUD yang diselenggarakan dalam bentuk Pos PAUD.
5.Pendidikan Informal adalah pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri UU Sisdiknas tahun 2003 Pasal 27 ayat (1) bahwa pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Tujuan Program
1.Sebagai pemberian model layanan PAUD yang dapat menjangkau masyarakat luas hingga ke pelosok pedesaan;
2.Memberikan wahana bermain yang mendidik bagi anak-anak usia dini yang tidak terlayani PAUD lainnya;
3.Memberikan contoh kepada orang tua keluarga tentang cara-cara pemberian rangsangan pendidikan kepada anak untuk dilanjutkan di rumah.
4.Sebagai acuan bagi petugas terkait dalam membina pelaksanaan program pendidikan orangtua (parenting) di lembaga PAUD Nonformal.
5.Sebagai pedoman bagi lembaga PAUD Nonformal dalam menye-lenggarakan program pendidikan orangtua (parenting).

Melirik Sejarah PAUD
Sungguh konsep pendirian nama PAUD ini tidak saja bergulir dengan mudah. Sebab sejak tahun 1999 penulis sudah pernah dipanggil oleh salah satu direktorat pada Dirjen PLS Kementrian Pendidikan Nasional Jakarta. Tahun itu, ada proyek anggaran penyusunan buku sadah pada titik berakhir. Sementara buku yang mereka tulis belum mencukupi harapan yang diinginkan.
Penulis diminta oleh beberapa tenaga di Diknas, kebetulan karena beban kuliah mengambil program Doktor begitu berat. Sehingga keinginan mereka dari Kementrian Pendidikan Nasional tidak akan mempercepat penyelesaian studi. Namun terus terang nama PAUD masa itu judul bukunya, adalah masih disebut dengan PADU dengan kepanjangan: Pendidikan Anak Dini Usia. Penulis sempat berkalakar kalau PADU sih bahasa di desa kelahiran saya adalah bagian belakang dari rumah yang disana ada: dapur, ruang makan, ruang cuci piring dll.
Setahun kemudian berubah nama dengan: PAUD yang kepanjang-annya adalah: Pendidikan Anak Usia Dini, istilah ini berkembang hingga sekarang.
Saat itu juga masih dipertanyakan apakah buku yang mereka tulis itu, ada hubunganya dengan taman kanak-kanak, mereka menjawab, TK pada saatnya proyeknya dihentikan. Maka pada waktunya PAUD yang akan menggantikannya.
Memperhatikan munculnya PAUD di  tanah air, tidak bisa dilepaskan dari kreativitas para tenaga profesional PLS. Khususnya di Dirjen PLS masa itu yang sekarang dalam ”nomenklator” yang baru adalah: Dirjen PAUDNI dengan kepanjangan Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal. Namun secara realita pendirian Jurusan atau Prodi PAUD, sering mengabaikan terhadap institusi pendahulunya yaitu: Jurusan/Program studi PLS. Terkadang tidak seorangpun dosen PLS terlibat dalam membina PAUD.
Sejumlah pejabat di Dirjen PAUDNI Kementrian pendidikan Nasional RI, mereka sulit menempatkan posisi Direktorat PAUD harus di ditempatkan di mana. Setelah mempelajari terhadap pendidikan informal yang termasuk pada PAUD ini, maka disebut Dirjen ini, ditempatkan PAUD lebih dahulu dibanding dengan Dirjen yang lain. Karena sejak pendidikan masyarakat tempoe doeloe dengan sangat menyesal harus mendahulukan nama yang paling lebih muda menjadi: Dirjen PAUDNI. Tapi yang jelas PAUD adalah Direktorat yang paling muda pada Dierjen PLS. Sehingga cemooh para dosen PLS Jurusan/Prodi PAUD adalah adik termuda, dan harus mendapatkan pembinaan dari Jurusan/Prodi PLS. Karena PLS adalah kakak tuanya. Dan bahkan kehadiran PAUD ada kalanya tidak tahu menahu dengan PLS. Padahal PLS adalah kakak tuanya.

Pendirian Institusi PAUD
Dalam mendirikan institusi PG-PAUD tentu harus di daduhului dengan adanya tenaga pengajar (dosen) pada bidangnya, fasilitas belajar, dan yang paling utama adalah mahasiswa.
Di berbagai daerah keterlibatan tenaga dosen PLS sangat besar. Disamping tenaga yang berlatar belakang psikologi pendidikan. di kalangan dosen PLS banyak mata kuliah yang terkait dengan pendidikan anak usia dini. Sejak lama sudah sebagai hasil pertemuan guru besar PLS se Indonesia, bahwa setiap Jurusan/Prodi PLS harus menampilkan mata kuliah PAUD. Bahkan mahasiswa PLS pada tingkat akhir harus ada mata kuliah minor tentang PAUD. Tujuannya untuk memenuhi kesenjangan tenaga PAUD di berbagai daerah di tanah air.
Dengan berdirinya Prodi PAUD di Universitas Palangka Raya, kami semua dosen PLS menyambut gembira dengan kehadiran Adik kandung dari Prodi PLS ini. Hanya saja, setelah berdirinya Prodi PAUD di Unpar ini, terjadi kesimpang siuran pada dosen PLS kenapa dan siapa dosen PLS yang terlibat dalam PAUD ini. Ada kalanya dari Kemendikmas menelpon untuk hadir dalam acara-acara tertentu tentang PAUD kepada dosen PLS. Tapi sayangnya yang ditelpon tidak ada sama sekali turut mengajar di PAUD sehingga mengurungkan hadir karena merasa tidak ada keguna-annya jika hadir dalam pertemuan itu.     

Lahan PLS
Kami sesama dosen di lingkungn PLS sering terperanjat dan ada kalanya berterima kasih lahan PLS sering dikerjakan oleh orang yang kesarjanaannya bukan sama sekali ada keterkaitan dengan ilmu PLS. Namun untuk membahagiakan hati atas kekecewaan itu, saya sebagai penulis yang selaku guru besar bidang PLS berterima kasih. Atas orang lain yang mau mengerjakan pekerjaan PLS.
Dosen PLS yang lain, secara sadar ataupun tidak. Ia mengatakan bahwa:”... kalau berbau duit, rebutan orang non PLS mengambil. Tapi kalau tidak jadi duit pekerjaannya diserahkan kepada kami dosen-dosen PLS...” hal ini mungkin tumbahan kekecewaan sejawat saya. Memang secara realita hal itu ada beberapa bukti kuat. Terkadang mereka yang bekerja demi PLS bertemu kami malu sendiri.

Prospektif Studi PAUD dan Harapan
Dengan memperhatikan masa depan Program Studi PAUD, untuk 10 tahun ke depan, pendidikan PAUD masih mendapatkan tempat dalam lapangan kerja mereka. Walau disadari atau tidak, bahwa selamanya tenaga pengajar PAUD bekerja pada kawasan perkotaan. Sebab pada waktunya di kawasan perkotaan, tenaga kerja ini jenuh. Dan di pedesaan sudah mulai memerlukan tenaga kerja mereka.
Dengan memperhatikan tenaga kerja yang profesional, alangkah indahnya tenaga pengajar mereka juga harus ditingkatkan. Dewasa ini, pendidikan anak usia dini, masih dididik oleh tenaga dosen yang masih belum banyak berpendidikan S2 dan Doktor. Karena selama pengajarnya yang masih tingkat pedidikannya kurang standar, maka kualitas lulusanpun dipertanyakan oleh masyarakat.
Selain hal-hal di atas, alumnus yang dikeluarkan agar tidak canggung terhadap media bermain peserta didiknya. Karena saat mereka di bangku kuliah calon guru PAUD ini tidak banyak mempraktekan alat-alat bermain. Penulis merasa kecewa seorang mahasiswa saat maju dalam seminar proposal tesis, seminar hasil penelitian tesis. Ternyata gaptek terhadap media pendidikan yang sudah ia ikuti saat kuliah di program Magister PLS. Penulis mencoba melakukan interviu sederhana kepada yang bersang-kutan. Ternyata ia selama kuliah di S1 tidak pernah dosennya meman-faatkan peralatan dimaksud. Sehingga dengan disediakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pembelajaran mahasiswa yang sudah bergelar sarjana iru gegap terhadap teknologi (gaptek).
Harapan penulis berdirinya Program Studi PAUD, bukan hanya laku untuk pasar kerja. Tapi setelah ia bekerja dalam dunianya, maka sarjana PAUD tidak gaptek lagi terhadap berbagai media belajar anak didiknya.
 
Keterlibatan Masyarakat dan Pemerintah
Bila kita memperhatikan terhadap Pos PAUD, tentu muncul pertanyaan yang ada di benak kita bersama. Siapa yang terlibat dalam hal ini. Tentu ada beberapa unsur, masing-masing adalah:
1.Orang tua warga belajar;
2.Tokoh masyarakat;
3.Dinas Kesehatan/Puskesmas;
4.BKKBN/PLKB;
5.Dinas Pendidikan;
6.Prodi /PLS di perguruan tinggi.
Kehadiran minimal 5 unsur yang disebutkan di atas, akan dapat menambah perkembangan dunia pendidikan anak pada usia dini. Dan kita sama maklumi sudah puluhan tahun sebelumnya, sudah berdiri Pos Pelayan Terpadu (POSYANDU) yang dibina oleh pemerintah dan masyarakat. Walau kegiatannya sekali dalam sebulan. Namun dengan kehadiran Pos PAUD, maka anak akan lebih maju lagi, karena konsepnya hampir sama bermasis masyarakat. Dan Pos PAUD kegiatannya sekali dalam seminggu.

Pos PAUD Berbasis Masyarakat
Pos PAUD dikelola dengan prinsip ”dari, oleh, dan untuk masyarakat”. Pos PAUD dibentuk atas kesepakatan masyarakat dan dikelola berdasarkan azas gotong royong, kesukarelaan, dan kebersamaan.

Prinsip Pertama Pos PAUD
       Setiap mahasiswa PAUD harus bisa merancang bangun dan rekayasa pendirian PAUD. Untuk itu, ada 3 prinsip Pos PAUD yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1.Mudah adalah dengan prinsip kesederhanaan penjadikan Pos PAUD mudah dilaksanakan ”dari, oleh, dan untuk masyarakat”.
2.Murah adalah dengan prinsip pengelolaan: dari, oleh, dan untuk masyarakat membuat Pos PAUD terjangkau biayanya. Hendaknya semua Biaya dibahas bersama sesuai dengan keperluaannya yang selanjutkan sumber dayanya atau dibebankan  kepada orang tua, baik secara merata maupun sistem subsidi silang.
3.Bermutu yaitu mutu Pos PAUD dicapai melalui: (1) keterpaduan dalam layanan pembinaan orangnya melalui bina keluarga balia (BKB) dan layanan kesehatan dan gizi melalui Posyandu serta (2) kerterpaduan pemberian rangsangan pendidikan antara yang dilakukan di Pos PAUD (center Base) dan yang dilakukan di rumah masing-masing (home base). Dengan demikian anak menerima layanan secara utuh dan terpadu yang mencakup aspek kesehatan, gizi, pengasuhan dan pendidikan.
Selain lima prinsip utama di atas, dari sudut pandang lain yang juga tidak kalah pentingnya harus mendapatkan perhatian sebagai berkut:

Prinsip Kedua Pos PAUD
Jika kita memperhatikan prinsip Pos PAUD, maka minimal ada 5 hal yang harus ada sebagai berikut:

1.Kesederhanaan Program
         Program pembelajaraan pos PAUD dilakukan secara sederhana dalam bentuk pengasuhan bersama untuk kelompok anak usian 0-2 tahun dan bermain bersama untuk kelompok anak usia 2-6 tahun serta hanya dilakukan seminggu sekali untuk dilanjutkan di rumah masing-masing.

2.Kesederhanaan Mainan
        Kesederhanaan mainan adalah Alat Permainan Edukatif (APE) Pos PAUD dikemas secara sederhana dalam bentuk paket APE yang dinamakan keranjang PAUD. Setiap kelompok dilengkapi keranjang PAUD. APE tersebut, sebagian dibeli dan sebagian lain dikembangkan sendiri oleh kader. Jika diperlukan APE luar, agar diusahakan dibuat sendiri dari bahan yang ada di lingkungan (tidak perlu dibeli).

3.Kesederhanaan Pengelolaan
         Kesederhanaan pengelolaan adalah Pos PAUD dikelola oleh masyarakat,  lingkungan dengan dukungan dari tokoh masyarakat, tokoh agama, dan aparat desa/kelurahan sebagai pembina.

4.Kesederhanaan Tempat
          Kesederhanaan tentang tempat Pos PAUD tidak mensyaratkan adanya bangunan khsus sebagai tempat kegiatan. Kegiatan Pos PAUD dalam dilakukan di serambi rumah, Balai desa, sekolah, dan sarana ibadah, atau tempat lain yang tersedia dan tejangkau.

5.Kesederhanaan Pakaian    
Kesederhanaan pakaian adalah setiap peserta didik Pos PAUD tidak diwajibkan berseragam, tetapi harus bersih sopan dan layak pakai.

Peserta Didik
Peserta didik di Pos PAUD adalah anak usia 0-6 tahun yang tidak terlayani Paud lainnya. Orang tua wajib memperhatikan kegiatan anak selama di Pos PAUD agar dapat melanjutkan di rumah.

Pendidikan
1.   Pendidikan Pos PAUD dapat disebut Kader atau sebutan lain yang sesuai dengan kebiasaan setempat.
2.   Jumlah kader PAUD disesuaikan dengan jumlah dan usia anak yang dilayani.
3.   Persyaratan Kader Pos PAUD:
a. Latar belakang pendidikan SLTA atau sederajat.
b. Menyayangi anak kecil.
c. Bersedia bekerja secara sukarela.
d. Memiliki waktu untuk melaksanakaan tugasnya.
e. Dapat bekerja sama dengan sesama kader.
  4.Tugas Kader Kelompok anak usia 0-2 tahun:
a.       menyiapkan administrasi kelompok:
1)      Daftar hadir
2)      Buku Rencana Kegiatan Anak.
3)      Buku Catatan Perkembangan Anak.
4)      Kartu Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak (DDTK).
a.Menyiapkan kegiatan anak sesuai rencana hari itu.
b.Menyiapkan tempat dan APE untuk pengasuhan bersama.
c.Menyambut kedatangan anak dan orang tua.
d.Mengisi daftar hadir.
e.Mendampingi orang tua dalam pengasuhan bersama.
f.Mencatat perkembangan anak yang terjadi hari itu (bila ada).
g.Melakukan deteksi dini dengan mengunakan kartu DDTK kepada anak yang saatnya dideteksi.

5.Tugas Kader Kelompok anak usia 2-6 tahun:
a.                   Menyiapkan administrasi kelompok:
1)      Daftar Hadir Anak.
2)      Rencana Kegiatan Anak.
3)      Buku Catatan Perrkembangan Anak.
4)      Buku-buku panduan Pos PAUD.
5)      Kartu Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak (DDTK).
b.       Menyiapkan kegiatan anak sesuai rencana hari itu.
c.       Menata kegiatan untuk main bebas sebelum kegiatan dimulai.
d.       Menyambut kedatangan anak.
e.       Bersama kader lain memandu anak anak dalam kegiatan pembukaan (main gerakan kasar) dihalaman.
f.        Mengisi Daftar Hadir anak.
g.       Memandu kegiatan anak dikelompok yang dibinanya.
h.       Mencatat perkembangan anak.
i.         Melakukan deteksi dini dengan mengunakan kartu DDTK kepada anak yang saatnya dideteksi.

Sasaran Belajar  Pos PAUD
      Jika kita memperhatikan sasaran belajar di Pos PAUD, menurut : Petro Alexy (2010) adalah:
1.Tumbuh Mandiri
   Berfikir mandiri-kepercayaan diri-bertanggung jawab
2.Belajar Memberi
   Kasih sayang-berbagi dan menerima-sebaya-orang dewasa di luar keluarga
3.Mampu bergaul dengan orang lain
   Teknik-teknik berinteraksi-tanggapan positif
4.Belajar mengontrol diri
   Disiplin diri-mengarahkan diri mengatur diri sendiri suka dan tidak suka
   Melindungi diri kesejahteraan dan keamanan orang lain.
5.Belajar peran non seksi
   Hindari kata-kata bernada negatif tentang laki-laki dan perempuan
   Membangun kepribadian dan bakat kenyataan masa depan