Sabtu, 27 Oktober 2012

MPR-RI adakan: Seminar Nasional Menyusun Konsep GBHN Masa Depan

Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UM Palangkaraya) mendapat kepercayaan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) menyelenggarakan Seminar Nasional Empat Pilar Kehidupan Bernegara yang di berlangsung di Hotel Aquarius, Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kalteng), Kamis (2/8).
Seminar yang mengangkat tema:    'Reformasi Model GBHN: Mewujudkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah Yang Berorientasi Pada Kesejahteraan Rakyat' ini diikuti oleh lebih dari 200 peserta dari berbagai elemen masyarakat, yaitu:  para dosen, mahasiswa, pimpinan ormas, perwakilan partai politik, tokoh adat, dan elemen masyakat lainnya.
Rektor Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Drs.H. Bulkani, M.Pd., menyatakan, seminar 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara ini menjadi penting dalam rangka mewujudkan sistem perencanaan pembangunan yang lebih pro rakyat, yang lebih berorientasi pada kesejahteraan rakyat, khususnya di Kalteng. Hal ini juga merupakan salah satu antisipasi keberagaman di masyarakat dan terjadinya perkembangan yang pesat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tampil sebagai pemateri utama dalam seminar ini adalah dua politisi nasional Ganjar Pranowo, anggota MPR RI dari Fraksi PDI-P, dan Hj. Hetifah Sjaifudian, anggota MPR RI Fraksi Partai Golkar. Pemateri lain adalah tokoh-tokoh Kalteng, yaitu: Ir. H. Syahrin Daulay, M.Eng (Ketua Bappeda Provinsi Kalteng), Prof. Dr. H. M. Norsanie Darlan, MSPH. (Guru Besar Pendidikan Luar Sekolah Universitas Palangka Raya), Prof. Dr. Danes Jayanegara, SE,MSi (Guru Besar Ekonomi Universitas Palangkaraya), dan HM. Wahyudi F. Dirun, S.P. (pimpinan Ormas di Kalteng). Gubernur Kalteng yang direncanakan menjadi Keynote Speaker, karena ada acara lain yang tidak dapat diwakilkan, sambutannya dibacakan oleh Sekda Provinsi Kalteng, Dr. Siun Jarias.
Seminar nasional ini mencoba mendapatkan masukan suatu model perbaikan yang menyerupai GBHN pada masa lalu (orde baru) yang saat ini digantikan oleh Rencana Pembangunan Nasional dan Daerah. Model yang merupakan grand design pembangunan nasional Indonesia ini diharapkan dapat diperoleh melalui telaah dan kajian komprehensif, terutama oleh kalangan akademik. Model ini juga harus dapat memastikan terlibatnya masyarakat secara luas dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Grand design yang saat ini diturunkan dari visi dan misi Presiden terpilih di tingkat nasional serta Gubernur/Bupati/Walikota di tingkat daerah harus terintegrasi dan selaras untuk menjamin tercapainya cita-cita bersama untuk kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Ganjar Pranowo dalam uraiannya memberikan gambaran besar perubahan sosial politik dan ekonomi Indonesia yang berpengaruh pada sistem perencanaan pembangunan. Model tersentralisasi yang digunakan pada waktu lalu, termasuk dengan dibuatnya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang memodelkan masyarakat Indonesia yang homogen menyebabkan banyak proses pembangunan yang tidak berjalan sesuai dengan harapan. Hal ini karena penerapan model yang sama untuk karakter daerah yang berbeda dan merupakan fungsi yang sifatnya berasal dari pusat ke daerah menyebabkan tidak terakomodasinya keinginan daerah.
Sayangnya, model yang kemudian diubah dalam bentuk rencana pembangunan nasional yang saat ini diturunkan dari visi misi Presiden terpilih ternyata dalam implementasinya memiliki arah kebijakan perencanan pembangunan yang berbeda-beda yang lebih banyak bersifat politis sesuai keinginan kepala daerah masing-masing.
Oleh karena itu, menurut Ganjar, dalam tataran ideal arah kebijakan perencanaan pembangunan nasional semestinya ditetapkan oleh wakil rakyat dan daerah yang duduk di lembaga perwakilan. Proses penyusunannya harus melibatkan seluruh komponen dan kekuatan bangsa. Dengan demikian adalah tidak tepat  apabila visi dan misi calon Presiden dan Wakil Presiden menjadi satu-satunya dasar untuk menetapkan arah kebijakan perencanaan pembangunan nasional. Karena, visi dan misi pembangunan nasional adalah visi dan misi bersama sebagai manifestasi dari seluruh potensi dan kekuatan bangsa, yang meniscayakan terwujudnya perencanaan pembangunan yang adil dan demokratis merangkum seluruh kebutuhan bangsa, bukan kepentingan politik.
Karena itu, kata Ginanjar, apabila ada gagasan untuk merumuskan kembali arah kebijakan perencanaan pembangunan nasional model GBHN adalah sejalan dengan esensi dari UUD NRI Tahun 1945 yang demokratis dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Prof. Norsanie Darlan, Akademisi: Remisi Bagi Koruptor Tak Mendidik


Minggu , 19 Agustus 2012 20:53:17

Oleh : Waddi Armi

 KBRN, Palangka Raya : Sebaiknya remisi bagi pelaku korupsi di Indonesia tidak diberikan karena dinilai tidak mendidik dan kurang efek jera bagi nara pidana di Tanah Air, kata Prof Dr HM Norsanie Darlan di Palangka Raya, Minggu (19/9).
  
Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) itu mengatakan, instansi terkait yang memberi remisi hingga bebas bersyarat terkesan "mengkhianati" rasa keadialan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di negeri ini.
  
"Remisi yang diberikan setiap hari-hari besar kenegaraan seperti 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan. Pemerintah memberikan remisi kepada Napi, tapi alangkah indahnya diberikan remisi mereka yang bukan kasus korupsi. Kalau remisi diberikan kepada mereka karena kasus korupsi, tidak mendidik," katanya.
  
Dia mengatakan, jika remisi diberikan kepada pelaku koruptor diprediksi akan semakin berani dilakukan oleh calon-calon koruptor lainnya. Karena mereka tidak akan mendapat efek jera. Justru mereka bertambah berani dengan perhitungan akan ada remisi jika terbukti bersalah dan divonis hakim pengadilan.
  
"Walau ketangkap, dan divonis, hukuman tidak selama masa putusan mengadilan karena adanya remesi. Remisi sebaiknya diberikan kepada mereka yang dipidana kasus lain, selain korupsi," katanya.
  
Boleh-boleh saja remisi diberikan kepada napi dalam kasus apapun karena sudah diatur dalam tata arutan dan perundang-undangan yang berlaku. Namun agaknya perlu ditinjau dan dikaji kembali PP Nomor 28 Tahun 2006 terkait remisi tersebut.
  
"Kita sama mengetahui bahwa selain Gayus Tambunan (koruptor perpajakan), beberapa terpidana korupsi yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin juga mendapat remisi," katanya.
  
Pelaku korupsi lainnya yang mendapat remisi 17 Agustus dan remisi khusus Idul Fitri, di antaranya terpidana kasus penyuapan terhadap hakim S., P.W. yang divonis 3,5 tahun penjara pada 2011 itu mendapatkan remisi tiga bulan serta remisi khusus Idul Fitri tiga bulan, tambah Norsanie.
  
Guru Besar bidang studi pendidikan luar sekolah (PLS) tersebut mengatakan, ini memberikan para pemakai duit rakyat. Jadi mereka akan bertambah berani dan tidak mendidik, baik bagi koruptor yang dipidana maupun yang belum tercium atau tersentuh hukum.
  
Norsanie mengatakan, mantan Wakil Bupati Subang MY mendapat remisi umum tiga bulan dan remisi khusus Idul Fitri 1 bulan, serta mantan Bupati Garut AS mendapat remisi umum tiga bulan dan remisi khusus Idul Fitri 1 bulan. Ini suatu kebijakan yang dinilai tidak mendidik masyarakat. (WDA/ant)
(Editor : Waddi Armi)

Prof. Norsanie Darlan, "Huma Betang", Simbol Kerukunan Warga


Kompas, 04-Agustus 2012


Oleh Hasan Zainuddin
"Huma Betang" adalah dalam istilah sehari-hari "rumah besar" yang dihuni banyak orang dengan beragam agama dan kepercayaan tetapi tetap rukun nan damai.
Sehingga Huma Betang adalah sebuah simbol dan filosofis kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah (Kalteng) seperti yang terlihat di Kota Palangka Raya,  Ibukota Provinsi Kalteng, kata Wali Kota Palangka Raya, Riban Satia.
Ketika menerima kunjungan Dirut LKBN Antara, Ahmad Mukhlis Yusuf beserta rombongan di rumah jabatannya (Kamis 2/8), Riban Satia bercerita banyak mengenai konsep kerukunan Huma Betang dalam adat masyarakat Dayak Kalteng.
Adapun rumah besar dimaksud bila diartikan secara luas sekarang ini, tentu tidak sebatas sebuah rumah, tetapi sudah sebuah wilayah, atau kawasan yakni se-Kalimantan Tengah.
"Kami sudah terbiasa hidup rukun dan damai dalam sebuah rumah besar, di saat ada perayaan agama Islam seperti Idul Fitri, warga agama lain di rumah itu ikut pula merayakannya, begitu juga saat Natal atau perayaan agama Kaharingan, warga muslim juga ikut merayakannya," kata Riban Satia.
Susana seperti itu sudah terlihat sejak lama sejak adanya rumah betang yang merupakan rumah adat dan khas Suku Dayak di Kalimantan Tengah.
Mereka  yang hidup di "rumah betang" ini terdapat berbagai ragam kepercayaan apakah ia masih menganut kepercayaan lama yang di di Kalimantan Tengah "Kaharingan" atau ada pula yang sudah berpindah pada kepercayaan lain seperti Islam maupun kristen.
Melalui konsep huma betang itu pula berbagai program pembangunan di wilayah ini diterapkan, artinya masyarakat diajak secara toleran dan bahu membahu membangun wilayah.
"Berkat konsep itu pula, Palangka Raya dan wilayah Kalteng lainnya kini terus bisa berkembang," tuturnya lagi.
Dalam "huma betang" tidak pernah terjadi perselisihan yang berarti kerena tingkat kekeluargaan atau kekerabatan  yang sangat tinggi.
Hal senada juga diutarakan budayawan sekaligus Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Norsanie Darlan dalam sebuah seminar.
Menurut guru besar pendidikan luar sekolah tersebut, bila suatu saat mereka di rumah betang mengadakan upacara "Tiwah" suatu acara yang sangat sakral suatu penghormatan terhadap leluruh, semua yang ada di rumah betang mendukung kegiatan tersebut.
Walau anak cucu mereka sudah berubah kepercayaan, namun rasa saling menghormati sangat tinggi, sehingga mereka rela untuk mengorbankan harta untuk mengadakan upacara pembongkaran makam leluhur, kemudian tulang belulangnya dibersihkan dan di simpan pada sebuah sandung yang mereka buat secara bergotong royong.
Dengan filosofi "Huma Betang" ini maka mereka tidak pernah menolak kehadiran tamu dari mana saja untuk tinggal di rumah betang, sejauh tamu tersebut mengikuti filosofi "di mana langit di junjung di situ bumi di injak".
Penuh Toleran
Toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di huma Betang ini, seperti perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik, atau terhadap mereka yang ada di sekitarnya.
Budaya yang sudah turun temurun, yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan, maka bagi penganut agama atau kepercayaan lain, ikut bersiapkan berbagai bahan,  berupa beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain.
Agar para penganut kepercayaan beda turut merasakan segala suka cita mereka dalam kebersamaan.
Namun cara memasak dipersilakan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka, katanya.
Umumnya masyarakat Dayak penuh toleransi ini, terjadi pergeseran hanyalah terjadi belakangan ini saja atau antara 10-15 tahun terakhir.
Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi saja, katanya dalam sebuah seminar diselenggarakan MPR-RI bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMP).
Sebagai contoh bila seorang anak di pedalaman yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya lantaran dulu sulit mencari rumah kost, maka anak tersebut dititipkan kepada keluarga yang tinggal di Palangka Raya.
Keluarga yang dititipi anak tersebut bisa memang keluarga sedarah atau keturunan, atau bisa juga hanya sebatas keluarga sekampung, tetangga, atau hanya satu wilayah bahkan hanya kenalan saja.
Dengan toleransi yang sangat tinggi, maka  anak yang ikut tinggal, di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa, kata Norsanie Darlan.
Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. "Di sinilah salah satu toleransi filosafi Huma Betang  kita," kata Norsanie Darlan dosen kelahiran Anjir tersebut.
Rumah kost belakangan memang mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain di luar provinsi Kalimantan Tengah, untuk melanjutkan pendidikan terutama kuliah.
Sehingga mereka pendatang usia muda dari luar ini, mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4 - 5 tahun ke depan, akibat kebutuhan tersebut maka berdirilah rumah-rumah kost untuk kaum pendatang tersebut.
Sementara itu berdasarkan sebuah tulisan, filosofi Rumah Betang berkaitan erat dengan azas kekeluargaan yang diciptakan oleh leluhur suku Dayak.
Menurut sebuah cerita dahulu semua orang Dayak tinggal secara terpisah satu sama lainnya, sangat sulit berhubungan dan memantau keadaan masing-masing.
Oleh karena itu tetuha masyarakat Dayak merasa perlu memperhatikan sanak saudara-saudaranya. Untuk mempertemukan semua anggota keluarga yang terpisah-pisah, terbit sebuah ide. Yakni membangun rumah agar mempermudah hubungan antar sesama anggota yang sebelumnya berjauh-jauhan.
Rumah itu dibuat memanjang untuk menampung jumlah keluarga yang seiring waktu semakin bertambah, saat itulah penamaan Rumah Panjang atau Rumah Betang tercipta.
Seiring berjalannya waktu, mereka menyadari pentingnya membangun sebuah hubungan antar sesama manusia, sesuai dengan prinsip hidup leluhur mereka yaitu saling membantu sesama manusia menjadi sebuah nilai kemanusiaan yang bersahaja.
Mereka mulai menciptakan aturan-aturan tentang tata krama kehidupan bermasyarakat yang baik, itulah awal mula terciptanya hukum adat.
Hingga saat ini, azas kekeluargaan itu masih melekat dalam kehidupan keluarga yang sekarang menghuni rumah betang.
Secara garis besar, semua penghuni rumah betang merupakan sebuah keluarga besar yang  berasal dari satu pertalian keturunan darah yang sama.
Keluarga yang besar ini memiliki hirarki adat yang tersusun ke dalam struktur lembaga adat Dayak, ada tetua adat yang mengetahui semua hal yang berkaitan dengan budaya rumah betang, ada juga penanggung jawab rumah betang, kepala desa, sekretaris desa semuanya juga berkumpul menjadi satu di dalam Rumah Betang.
 
Sumber :
ANT
Editor :
Jodhi Yudono

PERAN TENAGA PLS MERUPAKAN SALAH SATU UPAYA MENUNTASKAN WAJIB BELAJAR 9 TAHUN BAGI MASYARAKAT DESA TERTINGGAL


                                                                                Oleh :
                                                                  H. M. Norsanie Darlan


                                                                             Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan Pendidikan Masyarakat (Dikmas) Depdiknas dan mencari strategi upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak usia sekolah yang rumahnya jauh dari SLTP pada kawasan desa tertinggal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan naturalisme kualitatif bagi masyarakat desa tertinggal di desa Tambaba, Kecamatan Gunung Purai, Kabupaten Barito Utama, Kalimantan Tengah. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Dikmas Depdiknas baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten dan propinsi harus menyediakan lebih banyak tenaga-tenaga profesional di bidangnya seperti sarjana PLS dan Diploma; (2) dalam mendirikan SLTP-Terbuka, sebaiknya tidak satu lokasi dengan paket B karena programnya menjadi tumpang tindih; (3) Dikmas Depdiknas selaku ujung tombak selama ini tak mampu berperan banyak bagi masyarakat; dan (4) Salah satu upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak usia sekolah yang rumahnya jauh dari SLTP adalah penyediaan asrama siswa di setiap kecamatan yang memiliki desa tertingal.
Kata kunci : wajar dikdas, SMP-Terbuka, Paket B, Tenaga PLS, masyarakat tertinggal.

*) H.M. Norsanie Darlan, Guru Besar Madya pada PLS FKIP Universitas Palangka Raya

1. Pendahuluan
Dalam pembangunan sekarang, masih ditemukan berbagai kesenjangan di masyarakat. Yang antara lain disebabkan oleh faktor kondisi geografis ataupun sosial budaya, sehingga dapat menyebabkan ketertinggalan dalam berbagai hal. Salah satu di antaranya yang kita bahas sekarang ialah ketertinggalan masalah pendidikan jalur luar sekolah yang bila tidak segera diatasi, ketertinggalan di bidang pendidikan tetap selalu muncul. Namun, dalam postulat yang ada bagi masyarakat desa tertinggal selama ini, belum dirasakan rendahnya pendidikan dapat berakibat suramnya masa depan mereka. Dengan demikian, tanpa peningkatan pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah maka kualitas SDM kita tidak akan meningkat.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (1) dan (2) serta Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, secara tegas telah diatur oleh pemerintah tentang jenis dan jalur pendidikan. Lebih lanjut dalam pasal 10 ayat (3) Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah, melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. Dengan demikian, kita semua perlu dan terpanggil untuk turut melaksanakan amanat tersebut. Strategi menuntaskan wajib belajar 9 tahun bagi masyarakat desa tertinggal, perlu kita kaji permasalahannya dan dicari berbagai jalan penuntasannya.
Konsep pembangunan lima tahun kita sekarang di bidang pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan bangsa dan kualitas sumber daya manusia (SDM), mengembangkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, budi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keahlian dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, serta kepribadian yang mantap dan mandiri. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan, wawasan keunggulan, kesetiakawanan sosial, dan kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berorientasi masa depan. Pendidikan nasional perlu ditata, dikembangkan, dan dimantapkan secara terpadu dan serasi, baik antarjalur, jenis, dan jenjang pendidikan maupun antarsektor pendidikan yang makin berkembang, efektif dan efisien, serta meningkatkan, mengutamakan pemerataan, dan peningkatan kualitas pendidikan dasar, perluasan dan peningkatan kualitas pendidikan kejuruan, pendidikan profesional serta pendidikan keterampilan, dan meningkatkan pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun. Masyarakat sebagai mitra pemerintah harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan kebutuhan, serta perkembangan pembangunan bangsa sekarang dan masa datang. Namun bila kesadaran mereka belum tumbuh, maka pemerintah harus berperan aktif dalam menuntaskannya.
2. Kajian Teori
Untuk menghindari kesalahpahaman pengertian di atas, maka akan diuraikan beberapa pengertian atau peristilahan, sebagai berikut.
  1. Strategi pembangunan menurut Hasan Shadily (1984) bahwa tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh penduduk dalam kurun waktu satu generasi, yaitu menjelang tahun 2000. Untuk mencapai tujuan ini, rangkaian sasaran menyangkut jasa-jasa umum, termasuk penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Strategi pembangunan yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh penduduk yang memerlukan perubahan sosial dan struktur yang mendalam untuk mencapat sasaran yang diinginkan.
Apa sebenarnya pengertian strategi pendidikan luar sekolah. Menurut Prof. Harsono (1997) dalam makalahnya di seminar nasional PLS dan Konferensi ISPPSI di Surabaya, bahwa ada hubungan erat antara peningkatan mutu sumber daya manusia dengan pembangunan telah dimengerti, dipahami, dan diterima oleh banyak pihak. Namun, dalam menentukan prioritas pelaksanaannya, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, salah satunya ialah faktor lingkungan strategis termasuk potensi tantangan dan peluang yang ada di dalamnya. Memasuki abad XXI bangsa Indonesia dihadapkan pada fenomena lingkungan internasional, regional, dan nasional.
Sedangkan menurut Prof. Djudju Sudjana (1997) dalam seminar nasional PLS di Surabaya menguraikan agar dalam strategi meningkatkan peran PLS, SDM Indonesia siap menjadi pelaku yang memiliki daya saing komparatif, perlu memiliki sasaran yang jitu bagi para perencana pendidikan.
Adapun pengertian strategi PLS menurut H.M.Norsanie Darlan (1996) suatu rencana yang cermat mengenai kegiatan pendidikan untuk mencapai sasaran. Sedangkan menurut Prof. Santoso S. Hamodjojo (1998) strategi PLS adalah untuk meletakkan sistem yang tangguh untuk menangani pendidikan sepanjang hidup, dengan jalur insidental, informal, nonformal dan formal bagi semua warga negara untuk menggalang masyarakat gemar belajar yang beradab dan demokratis (madani).
  1. Menuntaskan, diambil dari istilah bahasa dengan asal kata tuntas (Moeliono, 1989). Yakni suatu kegiatan pendidikan bagi seseorang untuk menuntaskan atau menghabiskan (mencurahkan semua) masa pendidikan di sekolah atau pun di luar sekolah sehingga kualitas SDM semakin tahun semakin meningkat.
Kendala dalam penuntasan wajib belajar 9 tahun erat hubungannya dengan faktor sosial ekonomi dan budaya. Sebagian besar orang tidak mampu menyekolahkan anaknya karena ekonominya lemah (miskin). Apalagi sejak terjadinya krisis moneter dan krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Hal ini menyebabkan semakin banyak penduduk menjadi miskin, jumlah orang miskin bertambah dari 20 juta sebelum krisis dan sekarang mencapai hampir 80 juta orang. Menurut Sanapiah Faisal (1998) hal tersebut berakibat banyak tenaga kerja yang di PHK, sehingga berdampak negatif pula terhadap penuntasan wajib belajar 9 tahun khususnya anak usia pendidikan dasar.
  1. Wajib Belajar adalah suatu tuntutan zaman yang harus dilaksanakan kepada seluruh bangsa Indonesia baik laki-laki maupun perempuan; usia sekolah 7 - 15 tahun mapun bagi mereka yang karena sesuatu hal sehingga tidak ada kesempatan mengikuti pendidikan formal. Oleh karena itu, mereka harus di tolong dengan pendidikan luar sekolah.
  1. Harsono (1997) mengartikan masyarakat dari 2 bahasa asing yakni (1) Dalam bahasa Arab yaitu Syrk yang artinya sekelompok manusia saling bergaul di suatu tempat dengan berbagai kesamaan. Kedua, bahasa Inggris Society yang artinya sekumpulan manusia saling berinteraksi dalam suatu wilayah tertentu dengan berbagai kesamaan satu sama lainnya.
Pendapat tokoh lain seperti Poerwadarminto (1986) dan Moeliono (1989) mengartikan masyarakat adalah sekumpulan orang dalam arti seluas-luasnya terikat dalam kebudayaan yang dianggap sama. Misalnya terpelajar, cendekiawan, pedagang, pegawai, pengusaha, petani, nelayan dll. Dalam penjelasan lain masyarakat ada yang tinggal di kota dan di desa. Masing-masing istilah ini memiliki kekhassan tersendiri satu sama lainnya.
3. Masyarakat Desa Tertinggal
  1. Arti masyarakat desa adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Sedangkan arti tertinggal/terpencil adalah terpisah dengan yang lain (Poerwadarminta, 1986 dan Anton M. Moeliono, dkk, 1989). Dengan demikian yang dimaksud masyarakat desa tertinggal adalah mereka berada jauh dari pembangunan kota, karena ketertinggalan tersebut sehingga sulit mengikuti perkembangan pembangunan, termasuk ketertinggalan dalam dunia pendidikan.
  2. (2) Pada dasarnya rata-rata pendidikan dan pengetahuan masyarakat desa tertinggal relatif rendah. Demikian juga jiwa/semangat kewiraswastaan ini sudah jarang dijumpai (A.J. Nihin, 1990). Karena itu, kepada mereka perlu diperkenalkan pertimbangan-pertimbangan antara faktor out-put dan input dalam setiap usaha produksi, namun dalam bentuk yang sederhana dan terjangkau oleh pikiran masyarakat. Hal ini perlu dengan contoh, bukti, atau semacamnya.
Untuk lebih mendalami arti pendidikan luar sekolah (Non Formal Education) menurut Prof. H.M. Sudomo (1974) adalah setiap kegiatan pendidikan yang diorganisir di luar sistem pendidikan formal, baik dilakukan sebagai kegiatan yang lebih luas untuk memenuhi kebutuhan pelajar (Clientele) dalam mencapai tujuan belajar.
Pengertian pendidikan nonformal menurut Depdiknas adalah usaha sadar yang dilakukan untuk membentuk perkembangan kepribadian serta kemampuan anak luar sekolah atau tepatnya di luar sistem persekolahan sebagaimana yang kita kenal sekarang.
PLS menurut Prof. Dr.H. Sutaryat Trisnamansyah (1997) adalah konsep pendidikan sepanjang hayat yang mengandung karakteristik, bahwa pendidikan tidak berakhir pada saat pendidikan sekolah selesai ditempuh oleh seorang individu, melainkan suatu proses sepanjang hayat, mencakup keseluruhan kurun waktu hidup seorang individu sejak lahir sampai mati. Pendidikan sepanjang hayat bukan hanya pendidikan orang dewasa, yang dimulai manakala seorang individu telah menyelesaikan pendidikan sekolah hingga berusia dewasa.
Pengertian pendidikan secara umum menurut Prof. H. Fuad Ihsan (1996) bahwa pedagogy atau ilmu pendidikan ialah penyelidikan, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik.
Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan mustahil suatu kelompok manusia dapat maju berkembang sejalan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso (1981) menguraikan PLS sebagai upaya menolong masyarakat untuk mencapai kemajuan sosial ekonomi, agar mereka dapat menduduki tempat yang layak dalam dunia modern. Pendidikan ini jelas ditujukan kepada masyarakat dan daerah yang terbelakang agar masyarakat dan daerah ini dapat menyamai daerah lain yang tidak terbelakang.
4. Keadaan di Lapangan
Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan peran serta masyarakat, termasuk pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat terus dikembangkan secara merata di seluruh tanah air dengan memberikan perhatian khusus kepada keluarga yang kurang mampu, penyandang cacat, dan yang bertempat tinggal di daerah terpencil/tertinggal di Kalimantan Tengah, sehingga makin meningkatkan kualitas serta jangkauannya. Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa mendapat perhatian dan pelayanan lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya tanpa mengabaikan potensi peserta didik lainnya.
Pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, PLS, dan pendidikan kejuruan harus terus ditingkatkan pemerataan, kualitas, dan pengembangannya untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional serta kemampuan kepemimpinan yang tanggap terhadap kebutuhan pembangunan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), berjiwa penuh pengabdian dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan bangsa dan negara. Kehidupan kampus dikembangkan sebagai lingkungan ilmiah yang dinamis sesuai dengan disiplin ilmu dan profesional, yang berwawasan budaya bangsa, bermoral Pancasila, dan berkepribadian Indonesia. Perguruan tinggi terus diusahakan untuk lebih mampu menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengkajian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memberikan pengabdian kepada masyarakat yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan sejalan dengan iklim yang makin demokratis yang mendukung kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi perguruan tinggi (GBHN' 1999).
Pidato tertulis Mendikbud RI dalam rangka hari pendidikan nasional (Hardiknas, 2 Mei 1997) patut pula kita mengungkapkan rasa syukur yang mendalam bahwa ternyata hasil-hasil pembangunan yang telah kita capai selama ini, sangat menggembirakan. Kemajuan pendidikan di tanah air kita, menunjukkan peningkatan yang sangat pesat. Terutama dilihat dari kesempatan pendidikan yang semakin meluas pada semua jenis dan jenjang serta jalur pendidikan. Lebih-lebih kita telah berhasil meningkatkan program nasional wajib belajar pendidikan dasar dari 6 tahun menjadi 9 tahun sejak tahun 1994. Dengan tantangan globalisasi, kita harus menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Pada akhir Pelita VII diharapkan anak usia 15 tahun telah bersekolah pada jenjang SLTP (Wardiman, 1997). Pembangunan di negeri kita dirasakan sangat banyak kendala dalam beberapa tahun terakhir.
Sebagai bahan pemikiran kita bersama, berikut ini data dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Nasional Kalimantan Tengah (Bidang Dikmas) tahun 1997/1998 tentang lulusan sekolah dasar dan yang tertampung di SLTP
Menilik ke belakang, salah satu contoh dari data retrospektif dalam tabel di atas, anak lulusan SD dari Kabupaten/Kota Palangka Raya (Kalteng) tahun 1997/1998 sebanyak 30.700 siswa, dan yang tertampung di SLTP 19.879 siswa (64,7 persen). Dengan demikian, murid SD yang putus sekolah di Kalimantan Tengah sebesar 10.821 (5,2 persen). Mereka tersebar di wilayah kabupaten/kota Kalimantan Tengah yaitu: 1.081 siswa (9,9 persen) di Batara; 952 siswa (8,7 persen) di Barito Selatan; 3.071 siswa (28,3 persen) di Kabupaten Kapuas; 3.124 siswa (28,8 persen) di Kotawaringin Timur; 1.938 siswa (17,9 persen) di Kotawaringin Barat; serta 655 siswa (6,0 persen) di kota Palangka Raya. Angka-angka tersebut akan menurun kalau ada strategi, metoda, dan teknik penempatan tenaga yang sesuai dengan bidangnya. Baik dari tingkat kecamatan, kabupaten sampai di tingkat propinsi.
Dalam kaitan ini, kita hendaknya terus berusaha untuk melakukan upaya-upaya terobosan guna meningkatkan jumlah tempat-tempat belajar baru, agar seluruh kelompok umur 7-15 tahun dapat tertampung. Di antara terobosan yang telah dikembangkan selama ini untuk menuntaskan program wajib belajar adalah (a) belajar melalui SLTP terbuka, (b) penyelenggaraan pendidikan luar sekolah melalui kejar paket A setara sekolah dasar (SD) dan kejar paket B setara SLTP, serta (c) upaya memanfaatkan teknik-teknik pendidikan jarak jauh, melalui media cetak maupun elektronik. Bahkan sudah ada juga paket C untuk setara SMU, namun kebutuhan itu harus mampu merealisasi pada lapisan yang lebih bawah.
Perencanaan pengadaan alat fasilitas/sarana penunjang berupa tenaga, sarana dan prasarana. Perencanaan sarana penunjang baru dapat dilakukan setelah pola perintisan dengan menggunakan perangkat lunak seperti kurikulum, buku paket, modul, kaset, video, radio dll (Winarno Hani Seno 1990).
Guna mendukung keberhasilan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan, jalinan kerjasama antara tokoh-tokoh masyarakat (toma) tokoh-tokoh agama (toga) dan orang tua dengan pemerintah, hendaknya juga terus ditingkatkan. Hal ini penting karena tugas pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang tua siswa. Tanpa keterlibatan semua pihak, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa niscaya tidak akan berhasil dengan baik. Hal ini menurut Wardiman (1997) sangat pentingnya peran pemerintah daerah untuk menyukseskan program pendidikan nasional. Menurut Prof. Dr. H. Abdul Azis Wahab, MA (2000) ada kekeliruan strategi pembangunan dewasa ini. Strategi yang dijalankan pada pelita-pelita lalu lebih mengutamakan sektor ekonomi di garis depan. Sementara menurut ahli perbandingan pendidikan pemerintah Malaysia dan Jepang mengutamakan sektor pendidikan di garis depan. Sebagai bukti dapat kita lihat bahwa 2 atau 3 pelita silam warga Malaysia belajar di Indonesia dalam ilmu pendidikan, kedokteran, dan bahkan mereka berani mendatangkan tenaga-tenaga dosen bidang MIPA. Dalam tahun-tahun belakangan ini, ternyata negeri mereka jauh lebih maju dibanding pembangunan kita. Tidak sedikit pemuda kita yang belajar ke Malaysia di berbagai Universitas dan akademi. Termasuk tahun akademi 1997/98 penulis sendiri mengikuti seleksi di Malaya University dalam tawaran masuk ke rancangan ijazah tinggi. Dan di panggil sebagai mahasiswa di negeri jiran untuk memperoleh ijazah Doktor Falsafah (Ph.D). Namun karena negeri kita khususnya Kalimantan Tengah, kota Palangka Raya diselimuti asap tebal, penerbangan terhenti dalam beberapa minggu, sehingga surat panggilan terlambat 54 hari dari batas terakhir pendaftaran.
Di pihak lain sambutan Mendikbud RI, mengetuk hati kita bersama yang sekarang sedang membangun dengan melaksanakan program-program perluasan pendidikan. Menurut Wiranto Arismunandar (1998) bahwa jumlah murid sekolah dasar dan Madrasah Ibtidaiyah baru mencapai sekitar 7,5 juta anak atau 41 persen dari jumlah anak usia sekolah sekolah dasar 1998. Pada tahun 1984 jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 23 juta anak, atau 97 persen. Keberhasilan ini serta laju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang cenderung makin cepat mendorong kita untuk mencanangkan Gerakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 tahun pada tahun 1984. Selanjutnya, kita melangkah lebih maju lagi dengan melaksanakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, yang dicanangkan tanggal 2 Mei 1994. Sesuai dengan Instruksi Presiden RI pada pembukaan rapat kerja nasional Departemen Pendidikan Nasional di Istana Negara pada tanggal 22 Mei 1996, program tersebut harus dapat diselesaikan pada akhir Pelita VII. Mudah-mudahan krisis moneter yang melanda negeri kita tercinta, tidak berpengaruh besar dalam pembangunan bidang pendidikan.
Di Indonesia pendidikan nonformal/pendidikan luar sekolah dikonsepkan bahwa setiap kesempatan di mana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah, di mana seseorang memperoleh informasi pengetahuan, latihan ataupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta aktif yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaanya bahkan lingkungan masyarakat negaranya (Sudomo, 1974, Sanapiah Faisal 1981). Sedangkan penulis mengambil pengertian tentang pendidikan luar sekolah yaitu suatu pendidikan tak terpisahkan dengan pendidikan formal, namun pelaksanaannya dilakukan di luar sistem persekolahan di antaranya berbagai kegiatan penyuluhan guna menunjang di berbagai bidang pembangunan bangsa (M.Norsanie Darlan, 1983).
Dengan demikian PLS mempunyai tugas berat dalam memberdayakan masyarakat mulai usia 14 - 45 tahun di luar sekolah yang menjadi sasaran didiknya. Sehingga pendidikan harus memberikan berbagai kebutuhan masyarakat setempat. Menurut: H. Djudju Sudjana (2000) bahwa PLS sangat berkembang bagi masyarakat industri. Bila kita berpikir secara prospektif, maka dari sekarang kita mulai bergerak agar tidak tertinggal dari negara lain.
Dalam kesempatan ini, kita menilik terhadap kehidupan masyarakat dengan pola perladangan/pertanian yang dilakukan masyarakat desa tertinggal. Kegiatan yang mereka lakukan dalam berladang dimulai dari menebas, menebang hutan, dan kemudian membakar. Namun, perlu digarisbawahi bahwa membakar hutan (hasil penelitian tahun 1997 sampai awal 1998), ternyata di musim kemarau panjang, belum ditemukan petani membakar hutan untuk perladangan mereka. Pembakaran terjadi oleh mereka, setelah hujan turun beberapa kali, mereka sudah menguasai ilmu falak, dengan melihat posisi bintang. Oleh para tokoh masyarakat (toma) setempat dengan melihat keadaan bintanglah baru menentukan pembakaran ladang yang akan digarap. Dan cara membakar lokasi sudah mereka persiapan dengan membersihkan di sekelilingnya. Sehingga pembakaran hutan dan asap tebal di musim kemarau dari hasil penelitian penulis tidak seluruhnya benar oleh masyarakat peladang berpindah. Mereka sudah mengerti dampak/akibat dari pembakaran tersebut bagi habitat lingkungan di sekeliling mereka (H.M.Norsanie Darlan, 2000).
Mereka yang dimaksud masyarakat desa tertinggal adalah bermukim di bukit-bukit, tepian sungai, di lembah, danau, kawasan pantai, dan sebagainya. Semuanya mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan. Dalam strategi PLS untuk menuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun, Dikmas tingkat kecamatan sebagai ujung tombak. Bila penempatan tenaga PLS tidak pada bidangnya, maka upaya pemerintah tidak akan segera terwujud.
Sedangkan ciri PLS secara spesifik menurut Saleh Marzuki (1981) adalah (1) progam jangka pendek; (2) tidak dibatasi oleh jenjang-jenjang; (3) Usia didiknya tidak perlu sama/homogen; (4) sasaran didiknya beriorientasi jangka pendek dan praktis; (5) Diadakan sebagai respon kebutuhan yang mendesak; (6) Ijazah biasanya kurang memegang peran penting; (7) dapat diselenggarakan pemerintah dan swasta; (8) dapat diselenggarakan di dalam dan di luar kelas.
Dalam hal ini, mungkin timbul bertanyaan mengapa di perguruan tinggi ada jurusan atau program studi PLS? Padahal di lain pihak pendidikan tersebut diselenggarakan di luar sistem persekolahan. Sebagian perguruan tinggi sejak lama telah menyelenggarakan PLS. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli pembangunan bidang PLS. Mahasiswa yang dididik pada jurusan atau program studi PLS adalah dididik dalam jalur pendidikan formal. Namun, sistem berfikir mahasiswa di luar sistem persekolahan. Seperti mengenal tuna aksara latin dan angka, ini konsep "tempoe doeloe". Sekarang mahasiswa lebih dititikberatkan pada masalah yang lain yaitu bagaimana agar warga masyarakat mampu menghadapi tantangan lebih jauh ke depan pada era globalisasi untuk berwiraswasta, mengenal berbagai kursus keterampilan, dan berbagai bentuk pendidikan di luar sistem persekolahan. Misalnya Bordir, Mejahit, Tata Rias, Pertanian, Elektronika, Jurnalistik, Komputer, pendidikan dan latihan berbagai cabang olahraga, penyuluhan kesehatan, KB, pertanian, sampai kursus berbagai bahasa dll (Oong Komar, 2000). Harapan masyarakat menurut Yus Darusman (2000) adalah aktivitas PLS melalui peran kelompok belajar masyarakat sebagai kelompok pengubah dan kelompok penyebar. Dampak perilaku moral ekonomi masyarakat tampil sebagai masyarakat yang maju, padat keterampilan, padat karya, padat usaha, padat kesejahteraan. Hal ini di selenggarakan oleh masyarakat, LSM, Dinas, dan instansi pemerintah. Karena tidak tuntas akibat dari ledakan penduduk berdampak menimbulkan kemiskinan dalam dunia pendidikan. Salah satu diantaranya ditutupnya kran-kran PLS di berbagai tempat dengan alasan yang tidak jelas di zaman orde baru. Sehingga di sana-sini munculnya anak jalanan, para galandangan, dan berbagai masalah sosial yang membuat pusing bagi pihak si penutup kran itu sendiri, dan siapa pembinannya? Penulis berasumsi bahwa sebagai dampak ditutupnya kran PLS sejak tahun akademi 1987/88, terjadinya kendala dalam penuntasan wajib belajar yang cukup berarti. Yang paling menyedihkan bagi lembaga yang ditugasi menuntaskan wajib belajar itu adalah menerima tenaga-tenaga di luar profesinya. Sehingga bukan teori andragogy yang diterapkan pada warga masyarakat, melainkan sebaliknya. Jadi keterampilan dalam berkomunikasi sebagai ahli PLS kepada warga masyarakat tidak bisa hanya belajar dalam 2, 3 bulan. Melainkan memerlukan cukup waktu, cukup SKS dan cukup praktik lapangannya. Sebab di masyarakat mereka tidak perlu banyak komentar, melainkan melihat bukti dan kenyataan.
Sekarang sarjana PLS sebelum diyudisium harus memiliki keterampilan (Skill) tertentu yang diharapkan bisa menciptakan lapangan kerja sendiri di masyarakat. PLS adalah satu dari dua jalur pendidikan di Indonesia yang memiliki peran besar di masa depan. Sehingga sangat aneh, bila melihat calon mahasiswa S-2 dan S-3 PLS berdatangan dari bidang-bidang ilmu lain tidak terbatas dalam jurusan pendidikan semata, melainkan ilmu-ilmu nonkependidikan karena mereka tahu cerahnya masa depan PLS. Diharapkan pada penerimaan mahasiswa baru, Universitas Palangka Raya tidak menerima lewat undangan saja, namun harus juga lewat UMPTN. Kepada para rekan sejawat (dosen-dosen PLS) harus mampu mengubah sistem perkuliahan dengan mengutamakan teori-teori andragogy. Karena pasar kerja kita sudah jauh berbeda dari masa pendidikan masa 15 - 20 tahun silam. Pada waktunya nanti PLS sudah turut memikirkan pula terhadap mereka yang menghadapi pasca kerja di hari pensiun. Sebab Post Power Sindrom menunjukkan tanda-tanda kenaikan yang sangat bermakna dalam masa belakangan ini.
Dalam hal PLS guna mewujudkan manusia Indonesia memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa agar memiliki kemampuan baca tulis. Direktorat Pendidikan Masyarakat (Dikmas), Depdiknas perlu mengadakan pembenahan-pembenahan, sebab kalau masih berjalan seperti selama ini, maka PLS yang dititipkan oleh pemerintah tak akan mampu diwujudkan.
  1. Gerakan Nasional Orang Tua Asuh agar diusahakan dapat sampai ke wilayah pedesaan, sehingga upaya menolong kaum lemah segera terwujud.
  2. Memperbaiki kelemahan yang selama ini dirasakan misalnya penempatan tenaga, cenderung merekrut para guru atau tenaga yang telah bertugas bertahun-tahun. Mereka di tempatkan untuk mendidik masyarakat pada bidang PLS. Padahal ia telah terbiasa (berpengalaman) melakukan pengajaran pada pendidikan formal. Terhadap tugas yang berhubungan dengan masyarakat, bukan teori andragogy yang ia berikan, melainkan cenderung paedagogy. Sehingga berapapun anggaran yang disediakan secara objektif cenderung kurang memberi manfaat. Mahasiswa PLS telah dipersiapkan, namun tenaga mereka juga diserap oleh Dinas Instansi lain, terutama bagi yang memiliki Diklat Balai Latihan dan penyuluhan.
  3. Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) perlu pembenahan, sebab kalau hanya sebagai tempat penampungan cenderung akan timbul keterlambatan untuk berpacu dan upayanya dalam pengentasan kemiskinan. Menurut U. Sihombing (2000) SKB hanya memiliki sejumlah papan nama kelompok belajar. Sehingga bila dicek di lapangan, ternyata kelompok belajar tersebut cenderung sudah bubar. Di sini ada dugaan ketidakmampuan para tenaga kita dalam menerapkan teori andragogy yang berbasis pada pendidikan orang dewasa, yang tidak dimiliki jurusan-jurusan lain.
Mengupas manajemen dan kebijakan dalam otonomi pendidikan untuk pemberdayaan masyarakat menurut Saiful Sagala (2000) ada dua saingan utama profesi kependidikan. Salah satu diantaranya orang luar (external) pendidikan yang menyatakan bahwa semua orang bisa mengajar (guru/pendidik) dan menduduki jabatan pendidikan, tetapi bagaimana menjadi guru yang baik dan memahami aspirasi pendidikan dalam jabatan, maka sampai saat ini belum ada yang menyatakan pendidikan berkualitas di Indonesia. Hal ini disebabkan latahnya dalam penempatan tenaga kerja kita, termasuk dalam menangani PLS yang belum efektif.
Bila kita menilik terhadap keterlibatan PLS dalam berbagai dinas/instansi di tanah air, maka hampir di seluruh instansi pemerintah maupun swasta pasti merasa memiliki ilmu ke-PLS-an ini. Sebab kalau kita mengkaji secara mendalam menurut Sarjan Kadir (1982) bahwa ada di beberapa negara termasuk Philipina menerapkan 4 jalur pendidikan, yakni Nonformal Education, Formal Education, Family Education dan Basic Education. Di Indonesia, dengan berlakunya Undang-Undang Pendidikan Nasional dewasa ini, menurut H. M. Norsanie Darlan (1998) bahwa pendidikan menerapkan 2 jalur saja, yakni pendidikan formal dan pendidikan luar sekolah.
Dari uraian di atas, kalau pendidikan formal berada di bangku sekolah sejak dari sekolah dasar sampai pendidikan tertinggi, maka hampir semua orang mencari kerja sudah menggunakan hal itu. Namun bila setiap instansi pemerintah maupun swasta yang ingin meningkatkan kualitas tenaga kerjanya dalam waktu relatif singkat, maka pendidikan luar sekolahlah jalur yang tepat. Dengan berpatokan undang-undang yang ada dan ingin meningkatkan keprofesionalan, maka tenaga kependidikan luar sekolah harus diberikan tempat untuk turut membenahi kelemahan kita bersama.
Salah satu contoh bila di dinas dan jawatan terdapat Diklat atau Balai Latihan Kerja, maka menilik UUPN no 2 tahun 1989 sebaiknya harus ada tenaga PLS yang turut menanganinya. Demikian juga pada penyuluhan, karena sedikit banyak telah ditanamkan dari berbagai teori andragogy selama di bangku kuliah. Di lembaga swasta sangat banyak corak dan ragamnya seperti kursus komputer, merias, menjahit dan bordir, berbagai keterampilan, serta kursus-kursus lainnya.
Dalam aspek sosial budaya masyarakat desa tertinggal masyarakat memiliki konsep budaya yang masih tinggi dan sebetulnya hanya sebagian kecil yang memiliki budaya tertutup. Konsep pembangunan yang ditawarkan termasuk pendidikan sudah mereka sadari dewasa ini. Pendidikan punya andil besar terhadap masa depan. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan, yakni faktor kesulitan biaya, jauhnya lokasi rumah, dan terbatasnya fasilitas belajar, serta belum banyak pendidikan yang ditawarkan memberikan motivasi mereka belajar. Salah satu strategi dan upaya penuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak usia sekolah, yang lokasi rumahnya jauh dari SLTP disediakan asrama siswa. Dalam penanganan pendidikan di Indonesia menurut Satrio Sumantri (2000) adalah sangat diperlukan adanya keterlibatan masyarakat dalam masalah pendidikan. Hal ini sesuai pula dengan GBHN di negeri kita tercinta ini.
Walau di berbagai daerah kondisi alam sangat menjanjikan terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat sekitarnya, namun mereka belum dapat menyelesaikan pendidikan formal sementara usia kerja sudah sampai. Untuk mengantisipasi itu, PLS Universitas Palangka Raya juga harus tanggap terhadap tantangan ini, agar warga masyarakat dapat diberikan bekal dalam menghadapi pasar kerja.
4. Simpulan
  1. Dikmas Depdiknas baik di tingkat kecamatan, kabupaten maupun propinsi harus menyediakan lebih banyak tenaga-tenaga profesional dibidangnya seperti sarjana PLS dan Diploma. Sehingga salah satu upaya menuntaskan wajar Dikdas 9 tahun segera terwujud.
  2. Dalam mendirikan SLTP-Terbuka, sebaiknya tidak satu tempat dengan lokasi paket B, karena programnya menjadi tumpang tindih. Kalaupun harus satu lokasi, perlu pemisahan yang jelas untuk SLTP-Terbuka bagi anak usia sekolah, dan bagi peserta paket B yang berusia 14 - 45 tahun. Dan bagi mereka yang belum tamat SD sebaiknya mengikuti program paket A fungsional. Atau pendidikan yang mampu mengantarkan kesejahteraan dia dan keluarganya.
  3. Kelemahan kita selama ini yang sangat dirasakan pada ujung tombak Dikmas adalah tak mampu berperan banyak. Sebab dalam penempatan tenaga, cenderung merekrut para guru atau tenaga lain yang telah bertugas bertahan-tahun. Mereka di tempatkan untuk mendidik masyarakat pada bidang PLS. Padahal ia telah terbiasa (berpengalaman) melakukan pendidikan formal. Sehingga berhadapan dengan masyarakat, bukanlah teori andragogy yang ia berikan, melainkan cenderung paedagogy.
  4. Salah satu strategi dan upaya penuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak usia sekolah, yang lokasi rumahnya jauh dari SLTP di sediakan Asrama Siswa.
4.2. Saran-saran
Indonesia sudah 2 angkatan S-2 PLS Kepelatihan, mereka dibiayai oleh Proyek Dikmas. Dididik di Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Sayangnya dalam pertemuan para kandidat doktor dengan mahasiswa-mahasiswa S-2 PLS ini tak seorangpun ada utusan dari Kalimantan Tengah. Padahal mereka ini dipersiapkan untuk memimpin Balai Pelatihan Kegiatan Belajar (BPKB) yang akan didirikan di Kalimantan Tengah. Ketertinggalan kita hanya 2 kemungkinan, apakah kalah bersaing dalam seleksi masuk calon S-2 yang lemah, ataukah memang kesempatan bagi kita tidak dimanfaatkan.

DAFTAR PUSTAKA
Arismunandar, Wiranto, 1998. Pidato Mendikbud RI 2 Mei, Hardiknas, Jakarta.
Darusman, Yus, 2000. Model Transformasi Moral Ekonomi Pengrajin Melalui Pendidikan Luar Sekolah, PPS UPI, Disertasi, Bandung.
Darlan, M. Norsanie, 1983. Dasar-dasar Pendidikan Luar Sekolah di Berbagai Negara, Unpar, Palangka Raya.
------------, 1996. Strategi Pendidikan Luar Sekolah, FKIP Universitas Palangka Raya.
------------, 1998. Strategi Menuntaskan Wajar 9 Tahun Bagi Masyarakat Desa Tertinggal di Kal-Teng, PLS FKIP Unpar, Palangka Raya.
------------, 1998. Kehidupan Masyarakat Nelayan Akibat Pengaruh Kenaikan Harga Sembako di Kabupaten Kapuas Kal-Teng, Unpar, Palangka Raya.
------------, 2000. Strategi Menuntaskan Wajib Belajar Dikdas 9 tahun bagi masyarakat Desa Tertinggal Suku Lawangan di Kal-Teng, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, BALITBANG Dipdiknas RI, Jakarta.
------------, 2000. Strategi Menuntaskan Wajib Belajar Dikdas 9 tahun bagi masyarakat Desa Tertinggal, Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar, Universitas Palangka Raya.
Djojonegoro, Wardiman, 1997. Pidato Mendikbud RI 2 Mei, Hardiknas, Jkt.
Faisal, Sanapiah, 1981. Pendidikan Luar Sekolah, Dalam Sistem Pendidikan Nasional, Usaha Nasional, Surabaya.
------------, 1998. Tantangan Pembinaan Ketenaga Kerjaan Dalam Menghadapi Era, globalisasi, Seminar Nas. dan Temu PLS IKIP Malang.
GBHN, 1999. Garis-Garis Besar Haluan Negara, TAP MPR No IV/MPR/1999, Sinar Grafika, Jakarta.
Hamidjojo, Santoso, S. , 1998. Tantangan PLS dalam Era Reformasi dan Globalisasi, Seminar Nasional dan Temu Alumnus, IKIP Malang.
Hassan, Shadily, 1998. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta.
Harsono, 1997. PLS dan Perkembangan Lingkungan Strategi, Makalah Seminar Nasional PSL dan Konperensi ISPPSI, Surabaya.
Ihsan, H. Fuad, 1996. Dasar-dasar Kependidikan, Renika Cipta, Jakarta.
Kadir, Sarjan, 1982. Perbandingan Pendidikan Philipina Indonesia, PLS FIP IKIP Malang.
Koentjaraningrat, 1981. Pengantar Antropologi, UI Press, Jakarta.
Komar, H. Oong, 2000. Spektrum Tenaga Kependidikan Pada Satuan Pendidikan Luar Sekolah Kursus, PPS UPI, Disertasi, Bandung.
Manan, 1997. Keadaan Penduduk Buta Huruf dan Putus Sekolah, Kandep Kecamatan Kapuas Barat, Mandomai.
Marzuki, Saleh, 1981. Pendidikan Luar Sekolah, FIP IKIP Malang.
Moeliono, Anton M., 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Jakarta.
Nihin, A.Dj. 1990. Pokok-pokok Pikiran Stategi Pembangunan Pedesaan, Muara Teweh.
Robbin, Herbert, J. dan Irene S. 1992. Community Organization and Development, New York. Mac Millon Publishing Company.
Sagala, Saiful, 2000. Manajemen dan Kebijakan Otonomi Pendidikan Untuk Pemberdayaan Masyarakat, Makalah, PPS, UPI, Bandung.
Seno, Winarno Hami, 1990. Program Perintitas Wajar selama pelita V di Indonesia, Jakarta.
Sihombing, U. 2000. Kuliah Umum Perkembangan Dikmas Di Indonesia, UPI, Bandung.
Sudjana, H.Djudju, 1997. Peranan PLS Dlm Pengembangan SDM Berkualitas, Makalah Seminar Nasional PSL dan Konperensi ISPPSI, Surabaya.
------------, 2000. Seminar Teori Belajar dan Pembelajaran Dalam PLS, PPS, UPI, Bandung.
Sudomo, H.M. 1974. Pendidikan Non Formal di Indonesia, FIP IKIP Malang.
Sumantri, Satrio, 2000. Rembuk Pendidikan Nasional, Temu Pemikiran Untuk Menyelamatkan Masa Depan Pendidikan Nasional, Makalah, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Tim Wajar, 1991. Keputusan Menko Kesra tentang Wajar Pendidikan Dasar, Kantor Menko Kesra RI, Jakarta.
Trisnamawansyah, H. Sutaryat, 1997. Peran PLS Dalam Pembangunan Masyarakat Gemar Belajar, Makalah Seminar Nasional PSL dan Konperensi ISPPSI, Surabaya.
Tony, 1998. Program Kerja Dikmas Dalam Upaya Menuntaskan Wajar 9 Tahun di Kal-Teng, Kanwil Depdikbud KalimantanTengah, Palangka Raya.
Poerwadarminto, WJS., 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Wahab, H. Abdul Azis, 2000. Perbandingan Pendidikan di Berbagai Negara, Pps Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Yusuf, Sulaiman, 1981. Pendidikan Sosial, Usaha Nasional, Surabaya
Next: POLA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Norsanie: Konsep Budaya “Huma Betang” Bebas Terpimpin


KALIMANTAN-NEWS.COM UP DATE NEWS, SABTU (27/10/2012) : (-SINTANG-) : Peringati SP, Bupati Lepas Touring King Rattle Club *** (-KAPUAS HULU-) : Fasilitas Pendukung Border Nanga Badau Masih Perlu Dibenahi *** (-KALIMANTAN BARAT-) : Mobil Boks Berisi Sosis Selundupan Hilang Di Karantina Entikong *** Kubu Raya Peroleh Kucuran Dak Rp44 Miliar *** (-NASIONAL-) : Indonesia Upayakan Ketahanan Pangan Berbasis Lokal *** 16 Damkar Dikerahkan Atasi Kebakaran Di Tanjung Priok
Banner
Banner
Kalimantan Tengah-PALANGKARAYA, (kalimantan-news) - Masyarakat suku Dayak yang memiliki budaya menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat juga punya kearifan lokal yang dikenal dengan sebutan "huma betang (rumah besar)", kata Prof H Norsanie Darlan.
"Dari keturunan leluhur kita, masyarakat Dayak yang punya konsep bebas terpimpin ini, menyatukan konsep di rumah betang untuk tidak ada terjadi perselisihan yang berarti," katanya pada seminar nasional di Palangka Raya, Kamis.

Seminar nasional bertema "Reformulasi Model GBHN: Mewujudkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah yang Berorientasi Pada Kesejahteraan Rakyat" dilaksanakan atas kerja sama MPR-RI dan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya.

Selain Prof Dr H Norsanie Darlan, seminar nasional "Empat Pilar Kehidupan Berbangsa" itu juga menghadirkan pemateri Ir H Syahrin Daulay, M. Eng, Prof Dr Danes Jayanegara SE, M. Si dan HM Wahyudi F Dirun, S.P.

Norsanie Darlan yang juga guru besar Universitas Palangka Raya (Unpar) itu mengatakan, ada ruang bebas yang merupakan sarana dalam mewujudkan pembangunan masyarakat merujuk pada budaya suku Dayak.

"Dalam ruang publik yang bebas itulah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi, wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran," ujarnya.

Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka ruang publik yang bebas menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan.

Norsanie mengatakan, dengan menafsirkan ruang publik yang bebas dalam tatanan pembangunan masyarakat, maka akan terjadi kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum.

"Bahkan, tingginya kekerabatan karena adanya rasa persaudaraan yang tinggi, tidak saling menyalahkan satu sama yang lain. Namun adanya kekompakan yang sulit diikuti oleh masyarakat lain terhadap budaya “huma betang” ini," tambahnya.

Masyarakat madani menurut Norsanie Darlan ditandai berkembangnya iklim demokrasi yang bebas berpendapat dan bertindak, baik secara individual maupun kolektif dengan penuh tanggung jawab.

"Tanggung jawab dalam bertindak itu diperlukan, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial serta penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis," demikian Norsanie Darlan. (phs/Ant)

Prof. Norsanie Darlan; Hargai Mobil Listrik Karya Anak Bangsa


Palangka Raya (ANTARA News) - Mobil listrik dan sejumlah hasil karya sejenis ciptaan putra-putri Indonesia merupakan produk dalam negeri yang perlu dihargai masyarakat negeri ini, kata Prof Norsanie Darlan di Palangka Raya, Selasa.

Guru besar Universitas Palangka Raya (Unpar) itu mengatakan, banyak karya anak bangsa yang patut dihargai seperti mobil listrik "Lets Green & Go Electric" yang diujicoba Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan Senin (16/7) kemarin.

"Sebagai bangsa besar, kita harus berani mengubah persepsi, yang semula menjadi konsumen produk luar negeri menjadi konsumen produk dalam negeri," kata dosen program pascasarjana S-2 Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Unpar tersebut.

Ini merupakan sejarah baru di bidang otomotif hasil karya putri-putri Indonesia. Mobil listrik berlebel "Lets Green & Go Electric" ini dinilai dapat membantu mengurangi potensi yang bisa merusak lingkungan dan kesehatan.

Sebelumnya, sudah ada sejumlah SKM yang memproduk kendaraan serupa, namun bukan mobil listrik seperti SMK Magelang, EMK Taruna di Jawa Barat (Jabar) dan mobil Esemka Solo yang menjadi isu nasional beberapa bulan lalu.

"Kita berharap semua hasil karya anak bangsa dihargai tanpa cela. Jangan dinilai negatif seperti yang terjadi selama ini. Kalau penilaian negatif dikedepankan terhadap produk anak bangsa seperti dulu, kita khawatir pasarnya terus dikuasai produk luar negeri," katanya.

Pengalaman masa lalu sudah menjadi kenyataan. Semua anak bangsa masih ingat soal pesawat karya cipta anak bangsa yang tergabung dalam IPTN, yang akhirnya tidak berjalan maksimal akibat "ketidakpercayaan" pada bangsa sendiri.

"Sebenarnya, sekecil apapun hasil karya anak bangsa harus kita hargai. Siapa lagi yang menghargai hasil karya anak bangsa kalau bukan kita sendiri, termasuk produk mobil nasional seperti mobil listrik dan Esemka itu," katanya.

Norsanie mengatakan, sebenarnya berdirinya industri pesawat terbang Nortanio (IPTN) ikut mengangkat harkat dan martabat bangsa, tapi karena ada yang dengan nada tertentu meremehkan karya cipta dirgantara anak bangsa akhirnya tinggal "kenangan".

"Bila kita menelaah sejarah anak bangsa, Nurtanio adalah putra kelahiran Kalimantan Selatan. Tapi kenapa nama perusahaan yang menabalkan nama putra bangsa kelahiran Kalimantan Selatan itu diubah menjadi nama lain," kata Norsanie dengan nada tanya. (S019)

Editor: B Kunto Wibisono

Prof. Norsanie Darlan; Hargai Mobil Listrik Karya Anak Bangsa


Palangka Raya (ANTARA News) - Mobil listrik dan sejumlah hasil karya sejenis ciptaan putra-putri Indonesia merupakan produk dalam negeri yang perlu dihargai masyarakat negeri ini, kata Prof Norsanie Darlan di Palangka Raya, Selasa.

Guru besar Universitas Palangka Raya (Unpar) itu mengatakan, banyak karya anak bangsa yang patut dihargai seperti mobil listrik "Lets Green & Go Electric" yang diujicoba Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan Senin (16/7) kemarin.

"Sebagai bangsa besar, kita harus berani mengubah persepsi, yang semula menjadi konsumen produk luar negeri menjadi konsumen produk dalam negeri," kata dosen program pascasarjana S-2 Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Unpar tersebut.

Ini merupakan sejarah baru di bidang otomotif hasil karya putri-putri Indonesia. Mobil listrik berlebel "Lets Green & Go Electric" ini dinilai dapat membantu mengurangi potensi yang bisa merusak lingkungan dan kesehatan.

Sebelumnya, sudah ada sejumlah SKM yang memproduk kendaraan serupa, namun bukan mobil listrik seperti SMK Magelang, EMK Taruna di Jawa Barat (Jabar) dan mobil Esemka Solo yang menjadi isu nasional beberapa bulan lalu.

"Kita berharap semua hasil karya anak bangsa dihargai tanpa cela. Jangan dinilai negatif seperti yang terjadi selama ini. Kalau penilaian negatif dikedepankan terhadap produk anak bangsa seperti dulu, kita khawatir pasarnya terus dikuasai produk luar negeri," katanya.

Pengalaman masa lalu sudah menjadi kenyataan. Semua anak bangsa masih ingat soal pesawat karya cipta anak bangsa yang tergabung dalam IPTN, yang akhirnya tidak berjalan maksimal akibat "ketidakpercayaan" pada bangsa sendiri.

"Sebenarnya, sekecil apapun hasil karya anak bangsa harus kita hargai. Siapa lagi yang menghargai hasil karya anak bangsa kalau bukan kita sendiri, termasuk produk mobil nasional seperti mobil listrik dan Esemka itu," katanya.

Norsanie mengatakan, sebenarnya berdirinya industri pesawat terbang Nortanio (IPTN) ikut mengangkat harkat dan martabat bangsa, tapi karena ada yang dengan nada tertentu meremehkan karya cipta dirgantara anak bangsa akhirnya tinggal "kenangan".

"Bila kita menelaah sejarah anak bangsa, Nurtanio adalah putra kelahiran Kalimantan Selatan. Tapi kenapa nama perusahaan yang menabalkan nama putra bangsa kelahiran Kalimantan Selatan itu diubah menjadi nama lain," kata Norsanie dengan nada tanya. (S019)

Editor: B Kunto Wibisono

TUNA AKSARA ADA DI KANTONG KEMISKINAN


Oleh:
H.M.Norsanie Darlan


Abstrak

Penelitian ini bertujuan: (1) Ingin mengetahui tentang kantong kemiskinan warga tuna aksara di kawasan marjinal dalam proses pembelajarannya; (2) Ingin mengetahui apa penyebab kemiskinan itu sampai terjadi; dan (3) Ingin mengetahui kegagalan pendidikan formal sehingga angka Tuna Aksara tak kunjung habis.
Penelitian ini, menetapkan sebuah pendekatan penelitian kualitatif, kualitatif teradap sejumlah kawasan marjinal di Kalimantan Tengah dengan alasan pemilihan pendekatan kualitatif adalah: penelitian ini dilakukan pada kondisi  yang alamiah dengan langsung ke sumber data peneliti, dimana peneliti instrument kunci. Subjek dalam penelitian ini adalah: warga masyarakat marjinal yang ada di dalam beberapa wilayah penelitian. Alat penelitian dalam pengumpulan data berupa: pedoman wawancara dan observasi serta dokumentasi.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah: (1) kantong kemiskinan warga tuna aksara di kawasan marjinal ini, diperlukan proses pembelajarannya bagi mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak tuntas belajarnya sehingga perlu diberikan pertolongan; (2) penyebab kemiskinan itu sampai terjadi, karena nasib yang membelenggu dalam kehidupan mereka; dan (3) kegagalan pendidikan formal dalam merangkul mereka untuk proses belajar selama usia sekolah,  sehingga angka Tuna Aksara tak kunjung habis.
Kata Kunci: Tuna Aksara, Kantong Kemiskinan.

Pendahuluan
Sungguh banyak yang mempertanyakan bahwa kenapai kantong kemiskinan selalu ada di kalangan masyarakat miskin. Hal ini tidak selamanya hanya di tanah air kita, melainkan di negara-negara tertentupun menemukan kasus yang sama.  Namun terdapat beda dalam penanganan mereka lebih cepat dibanding negeri kita tercinta ini.
Tuna aksara sebenarnya tidak terjadi di kalangan miskin, dan kenapa hal itu harus terjadi. Bila kita mengkaji dalam Surah pertama yang diterima Nabi Besar Muhammad SAW tentang: ”Al-Iqra”, yang secara jelas menyebutkan agar umat-Nya dapat membaca. Walau kita ketahui bersama bahwa: Rasul Terakhir itu, betul-betul juga seorang tuna aksara.
Kenapa hal itu bisa terjadi?, karena kalau beliau sebagai seorang cerdik pandai atau orang yang dapat membaca dan menulis dengan istilah sekarang dapat membaca, menulis dan berhitung (calistung), maka dugaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an itu, dibuat oleh manusia. Tapi karena si penerima wahyu tersebut seorang yang betul-betul tuna aksara. Maka dugaan bahwa Al-Qur’an buatan manusia oleh mereka yang belum percaya itu, dapat dipatahkan. Dan Al-Qur’an tentu saja ”...murni wahyu Allah...”. Karena banyak bukti yang setelah dipelajari secara ilmiah terbukti betul-betul berasal dari Yang Maha Besar Allah SWT.
Apakah hal  itu benar? Kita pelajari saja, salah satu dari surah pertama Al-Alaq yang diturunkan dari ayat 1. Sudah memerintahkan kepada umatnya untuk membaca dengan menyebut nama Tuhan-mu yang menciptakan. Kemudian dalam ayat 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; 3. Bacalah, dan Tuhan-mulah Yang Maha pemurah; Ayat 4 Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam dan ayat 5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Ayat pertama sangat memerintahkan kepada Nabi Muhammad disini, tidak sebatas hanya sekedar agar membaca menulis dan berhitung (Calistung), tapi juga kalau kita membaca suasana apa yang telah, sedang dan akan terjadi. Baik kondisi alam maupun hal-hal lainnya. Tapi mari kita bersama mengajak agar semua warga negara Indonesia tuntas dalam calistung. Tentu saja sulit. Kenapa? Mungkin kesadaran untuk belajar masih belum dijadikan prioritas utama dalam hidupnya.
Dalam ayat Kedua bahwa manusia dijadikan dari segumpal darah.  Kalimat tersebut di atas, membuat manusia khususnya mereka kalangan kedokteran yang berpikir memperdalam berbagai cabang ilmu itu. Ternyata dari surah di atas, setelah dipelajari secara ilmiah oleh kalangan ahlinya maka ayat di atas, telah terbukti kebenarannya.
Dalam akhir tahun 2006 tepatnya bulan Nopember - Desember, penulis berkunjung ke desa-desa pesisir selatan di pedelaman Kalimantan Tengah, ternyata Instruksi  Presiden  Republik  Indonesia Nomor:  5  Tahun 2006 tentang Gerakan Nasonal Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun memang dirasakan warga walau masih sebatas persiapan. Kenapa hal itu terjadi, dalam mewujudkan pendidikan dasar sembilan tahun ini, tidak semudah membalik telapak tangan. Demikian juga tidak semua Bupati mengerti, apa sebenarnya wajar sembilan  tahun tersebut. Padahal Insrtuksi sudah sampai kepada mereka. Ditambah dengan kewenangan otonomi daerah, ”...Kepala Dinas Pendidikan ada kalanya di tempatkan tenaga yang bukan sarjana pendidikan...”, atau ka-Subdin PLS    bukan sarjan PLS, melainkan kealiannya sangat berbeda. Dan Dikmas di Kecamatan yang di tempatkan ada kalanya mantan guru yang sudah 15 – 20 tahun bergulat dalam pendidikan formal.
Dengan demikian ala berpikirnyapun sudah keformal-formalan. Namun karena ingin bekerja di sturuktural apakah alasan ingin merubah nasib ataukah ada faktor KKN-nya, maka duduklah  mantan guru tersebut. Sehingga secara realita Diknas kecamatan tersebut akan berwarna formal. Karena ia tidak tahu sama sekali terhadap, teori dan pendekatan di jalur nonformal. Sementara dipihak lain para sarjana PLS tertutup krannya untuk bekerja di Diknas karena kran yang tersedia hanya disalurkan pada pendidikan formal alias jadi guru. Seperti diangkat jadi guru SLA/SLP. Memang sarjana PLS di Indonesia dipersiapkan untuk 2 pekerjaan Kalau Kran PLS dibuka, ia siap menempati Dikmas subdin PLS dan berbagai instansi terkait. Tapi kalau tertutup kran PLS, maka ia dipersilahkan melamar guru, karena punya akta mengajar IV. Karena ia dididik dalam keguruan dan ilmu pendidikan.
Adapun yang jadi masalah kenapa ditahun 80-an kran PLS digembar-gemburkan ditutup. Hal itu, berdampak negatif hingga masa sekarang. Angka tuna aksara semakin tahun semakin membengkak. Siapa yang berdosa terhadap negeri tercinta ini?. Sementara para sarjana PLS yang masuk di kran guru, ia tidak masalah di jalur formal. Namun ia enggan untuk turun pada jalur PLS, karena sudah terlena dengan pekerjaannya di jalur formal. Tempat kerjanya sudah serba ada. Seperti dalam hal: ruang belajar,  muridnya sudah ada, bahan belajarnya tersedia. Sangat beda dengan di kelompok belajar atau PKBM.
 Salah satu contoh dan berkesan bagi penulis warga masyarakat yang didukung oleh kepada desa Satiruk Kecamatan Pulau Hanaut Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah membuat kelompok belajar Paket B di desanya, bagi anak usia sekolah. Karena dari 3 buah sekolah dasar yang berdekatan setiap tahun meluluskan murid antara 15 -18 orang dari setiap sekolah Dasar. Namun karena belum mendapat jatah gedung/guru SMP maka anak usia 12-15 tahun diikut sertakan dalam kelompok Belajar paket B. Sementara pemuda dan orang dewasa karena belum ada tenaga berpendidikan PLS maka itulah yang dapat mereka perbuat. Namun karena atas inisiatif kepala desa dan dibantu para guru yang peduli terhadap nasib bangsa hal itu mereka lakukan.
Sebaiknya mereka ini, dimasukkan pada sekolah formal seperti SMP/MTs. Karena Faktor usia yang masih muda belia. Dan sebaiknya bagi mereka yang di atas 18 tahun, baru diikutsertakan dalam kelompok belajar paket B tersebut. Dan mereka ini, dimasukkan pada SD/SMP satu atap (terpadu/atau apalah istilahnya). Dan sementara gedung sekolah dasar yang ada dapat untuk dijadikan ruang/kelas SLP di desa itu.
Dipihak lain, orang tua masih enggan memberangkatkan anaknya yang berusia 12 tahun ini urbanisasi ke kota atau ke desa lain, untuk melanjutkan pendidikan seperti: SMP/MTS ke kota kecamatan/Kabupaten karena jarak desa dengan kota kecamatan sangat jauh, transportasi yang dapat menjangkau ke lokasi itu, hanya dengan klotok (perahu bermesin di Kalimantan Tengah). Itupun tidak ada angkutan tetap setiap hari. Sehingga menjadi kendala besar dalam penuntasan Wajar sembilan tahun ini.

Tujuan
Dalam tulisan ini, tujuan yang akan diuraikan bergai hal sebagai berikut:
1.     Ingin mengetahui tentang kantong kemiskinan warga tuna aksara di kawasan marjinal dalam proses pembelajarannya;
2.     Ingin mengetahui apa penyebab kemiskinan itu sampai terjadi;
3.     Ingin mengetahui kegagalan pendidikan formal sehingga angka Tuna Aksara tak kunjung habis.

Metoda Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menetapkan sebuah pendekatan penelitian kualitatif, kualitatif teradap sejumlah kawasan marjinal di Kalimantan Tengah dengan alasan pemilihan pendekatan kualitatif adalah: (1) penelitian ini dilakukan pada kondisi  yang alamiah dengan langsung ke sumber data peneliti, dimana peneliti instrument kunci; (2) lebih bersipat deskriptif data yang terkumpul  berbentuk kata-kata, gambar atau tulisan tidak menekankan pada angka; (3) menekankan pada proses dari pada produk; (4) analisis data secara induktif;  dan (5) lebih menekankan makna dibalik data yang tampak tentang permasalahan yang telah dirumuskan yang telah dirumuskan dalam penelitian  ini.
Subjek Penelitian
Adapun subjek dalam penelitian ini adalah: warga masyarakat marjinal yang ada di dalam beberapa wilayah penelitian. Dan yang dijadikan subjek dalam penelitian ini, adalah mereka yang hidup dalam segala kekurangan.

Alat Penelitian
Dalam pengumpulan data tentu menyesuaikan terhadap obyek yang dijadikan sasaran penelitian. Dalam penelitian ini digunakan alat penelitian berupa: pedoman wawancara dan observasi.
Untuk pedoman wawancara  digunakan untuk menggali data sedalam mungkin dalam wawancara terhadap subyek penelitian seperti telah diuraikan di atas. Pedoman wawancara berfungsi ganda yaitu dapat juga sebagai angket. Hanya saja dalam penelitian ini, tidak menjadikan pedoman wawancara sebagai angket. Karena pedoman wawancara ini, menyesuaikan terhadap jenis penelitian yang digunakan.
Pedoman observasi digunakan terhadap obyek yang bersifat diam menbisu seribu bahasa. Artinya pada obyek fisik PKBM yang memang betul-betul tidak dapat diwawancarai, maka pedoman wawancara digunakan sebagai alat untuk menggali data hal itu.

Waktu penelitian
Sedangkan waktu penelitian menggunakan waktu 3 bulan dengan pembagian waktu penyusunan proposal 3  minggu, penelitian lapangan 7 minggu dan analisis 2 minggu dan seminar hasil dan perbaikan laporan 1 minggu.

Hasil Penelitian
Adapun hasil dari penelitian tuna aksarana dan kantong kemiskinan adalah sebagai berikut:

Kantong kemiskinan
Bicara tentang: apa istilah kantong kemiskinan ini,  ”tidak lain adalah tempat-tempat tinggal, mereka bermukim dengan segala kekurangan. Mereka ini miskin ilmu dan miskin harta”, lokasinya begitu jauh dengan kawasan marjinal di mana saja hal ini selalu ada. Baik dipedesaan ataupun perkotaan. Namun yang paling menyolok adalah di perkotaan. Sebab mereka ini memilih tempat area itu, tidak lain karena tidak punya tempat lain lagi untuk apaberteduh. Sementara mereka yang terkumpul di lokasi itu, cenderung pada mereka yang berpenghasilan tidak tetap dan sangat rendah.
Kehidupan merekapun juga tidak dapat dikatakan baik. Karena mereka ini umumnya belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Sementara tuntutan hidup dengan jumlah keluarga biasanya lebih dari kebanyakan orang. Karena bagai mana untuk mengendalikan hal itu, sementara mencari sesuap nasipun terkadang tidak terjadwal seperti kebanyak orang. Minta pelayanan kesehatan dan KB tidak tersedia waktu dan biaya. Apalagi pendidikan yang memakan waktu lama. Namun dalam aspek pendidikan dan kesehatan yang selama ini mendapat perhatian pemerintah, dalam kurun waktu mendatang, makin lama makin membaik. Tinggal kesadaran mereka untuk belajar dan mendapatkan pelayanan kesehatan/KB itu menuntut kesadaran yang tinggi.
Kantong kemiskinan sangat terlihat dari jarak dekat pada tempat-tempat kumuh di perkotaan. Sementara dari kejauhan bisa kita lihat di mana-mana. Makin banyak kalangan miskin, makin besar juga jumlahnya peminta-minta di jalanan. Tujuan mereka meminta itu, tidak lain adalah  mencari rejeki untuk makan dirinya dan keluarganya. Sehingga belajar membaca  dan menulispun sungguh sulit diberikan. Karena mereka ini, belum ada tersedia waktu untuk belajar karena yang utama tidak lain mencari sesuap nasi.

Menilik Penyebab Tuna Aksara
Meneliti Tuna Aksara adalah: ”mereka yang belum tuntas membaca, menulis dan berhitung dalam hidupnya” yang ada di pedesaan salah satu contoh di Kalimantan Tengah ada 2 kelompok berbeda masing-masing masyarakat pesisir dan pedalaman. Masyarakat pesisir berada di kawasan selatan Kalimantan Tengah. Karena Kalimantan Tengah pesisir selatannya berada di Laut Jawa sepanjang +  800 Km yang memanjang dari perbatasan dari arah timur adalah wilayah di perbatasan dengan Kalimantan Selatan dan ke arah barat yang berbatasan dengan Kalimantan Barat. Sedangkan kawasan pedalaman yakni kawasan utara Kalimantan Tengah sebelah timur berbatas dengan Kalimantan Timur dan Barat serta Utara dengan Kalimntan Barat.
Bicara tentang tuna aksara di kawasan pesisir tahun 1991, memang tidak seluruhnya buta huruf. Hal ini, dalam penelitian yang pernah dilakukan pada anak usia sekolah dan orang dewasa. Ternyata yang buta huruf di sana adalah sudah dapat membaca dan tulisan Arab. Karena mereka juga dapat membaca Al-Qur’an. Sedangkan kawasan pedalaman 1999,  ada warga masyarakat yang belum dapat membaca tulis baik latin maupun Arab.

Pelaksanaan
 Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya buta aksara di Indonesia, diantaranya  yaitu:  putus sekolah dasar. Sebab dengan masih banyak anak Indonesia, yang belum medapat kesempatan untuk masuk sekolah dasar menurut Ace Suryadi (2005) adalah dikarenakan faktor:
Pertama: karena orang tua atau keluarganya tidak mampu. Kondisi ini memaksa orang tua untuk mempekerjakan anak-anak mereka, terutama dimusim pertanian yaitu waktu mengolah sawah, menanam, mengetam dan lain lain.
Kedua: kondisi daerah yang terisolasi atau daerah transmigrasi yang jauh dari sekolah, daerah yang terkena bencana alam atau konflik, seperti Aceh, Nabire, Poso, Atambua, dan sebagainya.
Kedua faktor penyebab ini,  tidak menutup kemungkinan akan menambah  buta aksara jumlah buta aksara di Indonesia.

Penuntasan Wajar
Dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan Wajr sembilan tahun, sebuah pertemuan di kota Kabupaten Kotawaringin Timur (Sampit) Kalimantan Tengah terungkap dalam salah satu saran untuk penuntasan di masyarakat, agar wajar sembilan tahun dapat dituntaskan adalah:”...Departemen Tenaga Kerja untuk membuat peraturan baru, yakni setiap calon tenaga kerja baik sektor formal maupun informal adalah harus memiliki ijazah minimal SLP...”. Seperti mereka mau mencari kerja sebagai buruh pekerja perkebunan, pertokoan dan sebagainya. Selama ini, mereka bekerja tanpa melihat latar belakang pendidikan. Pihak pengusaha semata-mata ingin mencari tenaga kerja sebanyak mungkin. Sementara pendidikan formal ataupun pendidikan nonformal seperti paket A atau B tidaklah diperhatikan. Yang penting bagaimana usahanya  maju dan keuntungan dapat segera diwujudkan.
Anak usia sekolah antara 12 – 15 tahun di kawasan itu, muncul pikiran baru. Selama sekolah tidak mendapatkan uang. Bahkan selalu meminta pada orang tua. Tidak sekolah hanya dengan membersihkan rotan yang diambil dari kebun bekerjan 4 – 5 jam sehari, sudah dapat mengantungi uang untuk makan dan jajan untuk 1 – 2 hari. Akhirnya sekolah ditinggalkan begitu saja. Oleh sebab itu, perlu ada kerjasama dengan pihak Depnaker dalam menetapkan calon pekerja, dengan memperhatikan latar belakang pendidikan mereka sebagai persyaratan berpendidikan SLP atau paket B. Sehingga wajar sembilan tahun dapat segera  dituntaskan.

Penyaradaran Hidup
Dalam rangka penyadaran bahwa masalah tuna aksaran ini, belum menjadikan tuluk ukur warga masyarakan dalam suatu kebutuhan hidupnya. Sementara pihak pemerintah, perlu mencari jalan agar warga masyarakat yang masih tuna aksara agar kurang mendapat kesempatan dalam hal-hal tertentu. Sehingga bila suatu saat mereka yang karena sesuatu dan lain hal, dalam hidupnya. Tidak dapat berbuat banyak dalam mencari pekerjaan, kalau ia masih tuna aksara. Misal saja warga tuna aksara karena kesulitan membaca setingga membuat KTP tak mudah diterbitkan. Karena sebagai prasyarat mutlat misalnya. Isi sebuah konsep penyadaran hidup mereka yang tuna aksara.
Jika sebagai salah satu contoh di atas diterapkan. Maka warga masyarakat yang tuna aksara akan berusaha belajar ikut paket A dan B. Seperti saran masyarakat di atas,  dalam lapangan pekerjaan, jika mereka tidak memiliki Ijazah SLTP ia tidak akan dapat bekerja di perusahaan perkebunan dsb. Sehingga pada saatnya itu mereka akan sadar dalam hidupnya suatu kebutuhan dalam pendidikan dasar 9 tahun ini. Apakah dengan mengikuti jalur pendidikan formal ataukah luar sekolah seperti paket A dan B.
Tapi pemerintah perlu bertindak tegas, misalnya agar PKBM diantara sekian dari penyelenggara paket A dan B untuk wajar 9 tahun tidak terlalu mudah mengikut sertakan mereka dalam ujian negara. Kalau mereka tidak mengikuti pelajaran secara rutin selama beberapa semester. Agar mereka yang sering menuding pendidikan nonformal (PLS) kualitasnya belum seperti mereka harapkan. Bagaimana para penuding ini, jadi terperanjat bahwa pendidikan nonformal juga punya aturan yang jelas.
Terdapat keluhan tokoh formal Ichwanuddin (2006) bahwa:”... pernah menyulitkan pihak Diknas (Dikjar) bila bakal terjadi Pemilu dan Pilkada, ada orang-orang tertentu, yang mendesak agar ikut serta dalam program paket C. Tidak itu saja, kepala Dikjar (Dinas pendidikan dan pengajaran) Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah ini,  agar diikutsertakan ujian paket C.  Hal tersebuat ia pernah juga diperiksa oleh pihak kejaksaan, karena ada indikasi bahwa lulusan paket C diperoleh tanpa melalui kegiatan pendidikan luar sekolah yang wajar...”. Hal seperti ini, fungsi PKBM perlu dijaga, bukan hanya sekedar kasihan. Tapi dengan terbitnya Undang-Undang nomor: 20/2003 dalam Bab XX ada pula sanksi yang berat.
Kebanggaan kita semua memang lulusan paket C sudah ada yang berhasil menjadi Bupati. Tidak terhitung yang menjadi anggota DPR. Dalam kegagalan pendidikan formal tahun 2006 lalu, bisa kita ingat 15-20 tahun mendatang, lulusan paket C akan bermunculan menjadi pejabat di negeri ini. Dengan demikian fungsi PKBM setara juga dengan pendidikan formal. Hanya yang kita jaga kualitasnya.

Mutu dan Relevansi
         Untuk melihat bagaimana mutu dan relevansi menurut Ace Suryadi (2005) adalah:
a. Melakukan hasil pengujian terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan standar yang telah dibakukan sehingga program pembelajaran yang telah dilaksanakan selama ini dapat diketahui sejauh mana tingkat penguasaan peserta didik.
b. Berusaha melakukan peningkatan pelayanan pendidikan keaksaraan melalui kegiatan pembelajaran yang berkelanjutan dan relevan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya melalui program life skills.

Kegagalan Sekolah Formal

Berbicara tentang kegagalan sekolah formal selama ini, menurut Kepala Sub Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional RI,  Ella Yulaelawati (2006) bahwa :“…perlu dilakukan pengkajian yang sangat mendasar tentang kegagalan sekolah formal yang selama ini…”. Karena sekolah formal sebagai jalur pertama ternyata tidak seluruhnya menemukan cara efektif dalam penyelenggaraan pendidikan formalnya. Padahal pendidikan formal ini telah disiapkan  dengan segala fasiltas, guru dan materi belajar yang cukup. Tapi kenapa setelah diserahkan tugas lewat pendidikan formal selalu kandas dalam penuntasan pendidikan dasar 9 tahun.
Sementara kegagalan dalam menekan angka tuna aksara ini menurut: Singarasa (2006) adalah: ”…masa lalu, pihak pemerintah betul-betul membina masyarakat yang diikuti dengan kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap program yang dilancarkan pemerintah. Dan turut mendukung upaya menurunkan angka tuna aksara. Namun sekarang kita sadari bersama dengan kurangnya partisipasi masyarakat akan turut meninggikan angka buta huruf….”. Dengan demikian, berarti perlu penyadaran dan ketaatan warga untuk belajar.
Menurut Darlan (2006) Bahwa:”... dalam wajar 9 tahun, bangsa kita di era pembangunan sekarang terjadi peningkatan angka tuna aksara selalu tinggi. Walau pemerintah sudah secara gencar melakukannya. Namun angka tuna aksara makin tahun masih bertambah. Hal ini perlu kita cari sebab akibatnya...”.
Seorang dosen pendidikan luar sekolah (PLS) Universitas Palangka Raya:  Ringkin (2006) bahwa ia: “…mengkritisi rumusan hasil pertemuan sarjana di Palangka Raya beberapa waktu lalu bahwa kalangan pendidikan sendiri yang duduk dalam komisinya masih terlupakan tentang pendidikan luar sekolah. Padahal jika menguasai terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor: 20/2003 secara jelas ada 3 jalur pendidikan yakni: (a) Pendidikan Formal, (b) Pendidikan non formal dan (c) Pendidikan informal…”. PLS berada pada pendidikan non formal. Sementara dalam butir  2 Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesataraan, serta pendidikan lain yang ditunjuk untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Ini juga memasuki pada jalur pendidikan informal kita.
Kegagalan yang dikritik dosen senior PLS FKIP Unpar itu, tidak lain karena ketidak mengertian banyak orang tentang jalur pendidikan kita, baik dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 maupun Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku dan ada di negeri kita cintai ini.
 
Belajar Dari Sebuah Pengalaman
Dalam mengakhiri tahun 2006, ada sebuah pekerjaan yang ditugasi oleh LPPM Universitas Palangka Raya untuk asistensi Wajib bejalar 9 tahun di Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, mendampingi para Camat, Diknas Kecamatan, Depag Kecamatan dan Kepala Desa serta tokoh masyarakat dalam membicarakan  SD/SMP satu atap.
Sebuah desa di tepi Laut Jawa tepatnya Desa Satiruk, kecamatan Pulau Hanaut ada 3 gedung sekolah dasar yang berdekatan setiap tahun meluluskan antara 18-20 orang/sekolah. Namun tidak ada SMP/MTs baik negeri maupun swasta di sekitar itu. sehingga kepala desanya berinisiatif membentuk kelompok belajar paket B. Namun dalam segi usia 12-14 tahun. Sementara yang berusia 18 – 40 tahun tak pernah dapat sentuhan pendidikan baik formal SMP/MTs maupun nonformal paket B. Padahal negara kita sedang gigihnya menuntaskan wajar 9 tahun. Termasuk merealisasikan Instruksi Presiden nomor: 5 tahun 2006 tertenggal 9 Juni 2006. Tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajar pendidikan dasar 9 tahun  dan pemberantasan buta aksara.
Pengalaman lain tahun 1992 penulis penelitian di kawasan pantai, menemukan sebuah bangunan beratapkan daun nipah, dinding daun nipah dan berlantaikan tanah, ukuran 6 x 4 m dengan 10 orang murid 4 diantaranya duduk di kelas 2.
Saat bertemu dengan penulis penduduk di kecamatan Kumai Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah ini, diajak membaca huruf latin dan angka belum sempurna. Tapi dituliskan huruf Arab mereka lancar membaca. Berarti penduduk pesisir tidak seluruhnya buta aksara, kecuali latin. Sedangkan huruf Arab mereka sudah bisa, karena setiap orang tua melatih anaknya untuk membaca Al-Qur’an. Kasus ini berada di kawasan selatan Kalimantan Tengah. Tepatnya di utara Laut Jawa.

Perlu Perubahan
Dalam bagian akhir tulisan ini perlu suatu upaya merubah konsep yang selama ini, ternyata terjadi kesalahan dalam dunia pendidikan luar sekolah. Memang selama ini, pendidikan luar sekolah terlupakan. Bahkan jika pendidikan luar sekolah bagi pekerjanya seperti tutor misalnya mendapat imbalan lebih banyak dengan ucapan terima kasih. Sementara jika tersedia dana, untuk tenaga tutor hanya dengan imbalan yang jauh dari cukup. Padahal, petugas PLS jauh lebih sulit dibanding mereka yang bekerja di jalur pendidikan formal. Misal dalam pendidikan formal gedung sekolah, guru dan murid serta buku bacaan tersedia, semuanya serba ada. Sementara dalam jalur pendidikan luar sekolah terjadi sebaliknya. Ruang belajar terkadang di rumah penduduk, di balai desa dll. Murid dirayu agar mau belajar. Karena mereka dalam kondisi belajar tidak penting baginya. Hal itu perlu diberikan penyadaran diri individu yang masih belum tuntas wajar 9 tahun. Materinya elastisitas yang diberikan berdasarkan kesepakatan bersama.
Dengan melihat hal di atas, saran dari penulis agar mulai sekarang kita adakan perubahan. Artinya dalam hal pendanaan, tidak selalu pada pendidikan formal yang besar. Tapi bagaimana jika kalau PKBM, yang tak punya gedung yang memadai. Pihak Diknas turut membantu mereka yang mendirikan pusat kegiatan belajar masyarakat ini, pada gedung mereka, buku bacaan dan honor tutor yang cukup. Sebab kita sangat bersyukur kepada segelintir warga masyarakat yang peduli dunia pendidikan. Kenapa yang peduli pendidikan ini, tidak kita bantu dalam rehab atau perluasan tempat belajar mereka di PKBM itu. Sehingga motivasi mereka dalam membantu proses percepatan penuntasan pendidikan dasar 9 tahun segera terwujud.
Jika hal ini direalisasikan, Insyaa Allah kegairahan belajar mesyarakat akan meningkat. Dan angka tuna aksara akan dapat ditekan.

Dalam Proses Pendidikan Pendewasaan
Dari hasil penelitian di lapangan terjadi kegagalan pendidikan formal dalam merangkul mereka untuk proses belajar selama usia sekolah, ada kalanya mereka di saat ujian sekolah karena ketidak mampuan ekonomi orang tua, atau anak tersebut bermasalah di sekolah seperti jarang turun, sering bertindak yang aneh-aneh atau mengganggu temannya di sekolah. Sehingga yan bersangkutan tidak sempat tuntas dalam belajarnya. Atau karena faktor geografis antara tempat tinggal dengan sekolah. Sehingga anak tidak dapat bersekolah seperti kebanyakan orang.
  Jika hal di atas pada jalur pendidikan formal seperti guru, kepala sekolah tidak proaktif melacak murid-murid atau pemuda usia sekolah, yang tidak mau bersekolah supaya pendidikan warga betul-betul bisa dituntaskan. sehingga angka Tuna Aksara yang selama ini tak kunjung habis. Dapat diselesaikan. Kalau tidak tentu saja seperti masa-masa lalu dan sekarang ini.

Kesimpulan
1.Bahwa kantong kemiskinan warga tuna aksara di kawasan marjinal ini, diperlukan proses pembelajarannya bagi mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak tuntas belajarnya sehingga perlu diberikan pertolongan;
2.bahwa penyebab kemiskinan itu sampai terjadi, karena nasib yang membelenggu dalam kehidupan mereka;
3.Bahwa kegagalan pendidikan formal dalam merangkul mereka untuk proses belajar selama usia sekolah,  sehingga angka Tuna Aksara tak kunjung habis.

DAFTAR PUSTAKA

Darlan, H. M. Norsanie, 2006. Pendidikan Luar Sekolah di Kalimantan Tengah,  Makalah, Palangka Raya.
-----------, 2006. Sulitnya Pemerataan Wajar Sembilan Tahun di Kalimantan Tengah, Universitas Mulawarman, Samarinda.
------------, 2007. UPAYA MENGOPTIMALKAN FUNGSI DAN PERAN KBM SEBAGAI LEMBAGA PENGEMBANG SUMBERDAYA MASYARAKAT, PKBM Zamzam, Malang.
Hamid, H. Dedi, 2003. Uuno 20 Tahun  2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Asokadikta, Jakarta.
Ichwanuddin, 2006. Keberatan Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah, Pangkalan Bun.
Ringkin, Don F, 2005. Kritik Pendidikan Luar Sekolah hanya dipandang dengan sebelah mata oleh banyak kalangan, Kal-Teng Pos Opini, Palangka Raya. 
Singarasa, Henry 2006. Diskusi Pendidikan Keaksaraan dengan Berbagai Latar Belakang Bidang Keilmuan, Rektor Universitas Palangka Raya, Palangka Raya.
Suryadi, Ace, 2005. Kebijakan dan Strategi Gerakan Pemberantasan Buta Aksara Intensif, Hotel Sahid Raya Solo.
Yulaelawati, Ella, 2006. Kegagalan Sekolah Formal Dalam Melaksanakan Pendidikan, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas RI, RRI, Jayapura.