Selasa, 27 November 2012

Prof. Norsanie Darlan, Hari Guru, Perlu Kesejahteran Yang Layak




Dalam rangka hari guru nasional 2012 merupakan babak baru yang harus diperbaharui dengan mempertimbangkan permukiman guru. Sejak tahun tujuh puluhan: kaum guru mendapatkan rumah layak huni di hampir semua sekolah dasar di berbagai daerah di tanah air. Namun hingga saat ini, perumahan guru belum nampak mendapatkan perbaikan. Dengan berbagai alasan.
Sebenarnya tingkat kesejahteraan guru di pedesaan, jauh lebih baik dari kebanyakan penduduk. Hanya saja karena menempati rumah guru yang dibawah sangat sederhana ini, membuat kaum guru dianggap rendah oleh masyarakat termasuk muridnya. Karena guru mau menempati rumah-guru yang dibawah sangat sederhana itu, membuat murid yang taat dengan guru hanya di ruang belajar. Karena mereka melihat rumah tinggal guru yang lebih baik rumah tinggal orang tua murid, membuat mereka melihat guru tidak punya kekayaan seperti orang tuanya. Walau jika kita pelajari penghasil guru lebih dari cukup, jika dibanding keadaan penduduk.
Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan sebenarnya guru yang masa kerjanya di atas 10 tahun, sebenarnya tingkat kesejahteraan guru, jauh lebih tinggi dibanding rata-rata tingkat penghasilan penduduk se tempat. Apa lagi dewasa ini dengan sertifikasi dan tunjangan daerah. Membuat kaum guru punya penghasilan yang lebih.
Masa lampau, guru adalah orang yang terhormat, guru juga orang yang terpelajar dan guru adalah orang yang serba tahu serta berepengetahuan luas. Oleh sebab itu, masa lalu rumah guru disediakan oleh penduduk, agar  dengan fasilitas yang lebih dari kebanyakan penduduk. Masa lampau, guru di mata orang tua dan murid harus dihormati. Sehingga wibawa guru sangat tinggi dan dihormati bahkan tempoe doeloe gajinya saja dibayar masyarakat. Namun dewasa ini, guru sudah digaji pemerintah, perumahan di siapkan. Karena perumahan yang dibangun tidak banyak mendapat perbaikan. Maka wibawa guru Jadi menurun. Disamping karena banyaknya guru, tingkat kualitas adakalanya kurang diperhatikan, atau ada perbuatan yang kurang disenangi masyarakat. Membuat  wibawa guru yang perlu dicari jalan untuk dipertahankan-nya.
Pada tahun 1998 saat penelitian mengenai krisis moneter negeri kita, saya turun ke pesisir melihat apakah ada hubungan kerisis moneter berpengaruh terhadap kelangsungan pendidikan anak nelayan. Ternyata dengan harga ikan naik, anak mereka dapat terus belajar. Sementara ditemukan seorang guru sudah 17 tahun bekerja di kawasan desa pantai. Tidak pernah sebatang pohon kelapapun ia tanam. Kenapa demikian, karena guru itu berpikiran mungkin bulan depan pindah atau tahun depan pindah. Sehingga tinggal di rumah guru, sudah 17 tahun, atap rumah yang bocor saja tidak diperbaiki.
Seharusnya guru di mana ia bertugas, segera berbenah mencari lokasi perumahan yang bakal miliknya sendiri. Sehingga dengan memiliki rumah sendiri yang juga sama dengan kebanyakan penduduk, maka wibawa guru akan kembali menjadi guru yang punya rumah lebih baik dari  kebanyak penduduk. Dan guru karena berpenghasilan yang sudah membaik, tentu lebih layak tinggal dengan rumahnya sendiri, walau dengan cara kredit Bank.

Jumat, 23 November 2012

Mahsiswa PLS Silahkan Ambil berdasarkan Mata Kuliah yang diprogramkan


Pekerjaan Rumah
Tugas Rumah Mk Problematika Bidang PLS
Untuk mahasiswa S-2
Soal:
1.Kita sama maklumi bahwa jumlah sarjana dewasa ini sangat besar. Di tanah air setiap tahun lulusan tercatat puluhan ribu sarjana baru yang diluluskan. Apa sebenarnya menurut sdr mengatasi lapangan kerja mereka? Jelaskan
2.Bagaimana cara sdr untuk mengatasi kekurangan lapangan kerja para sarjana ini, selain dari PNS ? jelaskan menurut pendapat sdr.
3.Siapa yang harus bertanggung jawab bila jika semua orang mengharpkan anaknya kuliah. Apa jalan keluarnya.
4.Apa jalan keluar yang kita ketahui pada tahun 2008 bahwa: Berdasarkan data sekitar 4,3 juta mhs Indo. Kesulitan mencari lapangan kerja. 1 juta lulusan PT statistik negeri, ternyata 2,3 juta dari swasta dan 4,30 ribu dari Universitas Terbuka. Coba sdr jelaskan cara apa mengatasi hal ini.
5.Apa yang sdr lakukan untuk di kalimantan Tengah. Yang juga diketahui bahwa lulusan sarjana dengan lapangan kerja yang tidak seimbang?. Jelaskan.



Tugas Rumah Mk Konsep Dasar PLS
Untuk mahasiswa S-1
Soal:
1.            Kenapa mereka yang menjadi sasaran PLS pada kelompok usia 14 – 40 tahun. Coba sdr jelaskan apa alasannya ?
2.            Adakah prnyuluhan yang erat kaitannya dengan PLS? Uraikan beserta penjelasannya.
3.            Bagaimana Sdr mengetahui taraf perkembangan sosio-budaya masyarakat? jelaskan
4.            Dimana perbedaan masing-masing konsep pendidikan berikut :
a. Pendidikan umum
b.                        Pendidikan Kemasyarakatan dan
c.                        Pendidikan Khusus.
5.            Bila suatu kerangka kerja dan dasar-dasar pemikiran digunakannya cara-cara yang khusus. Bagimana cara sdr untuk menerapkan hal itu ?


Soal:
Tugas Rumah Mk Antropologi PLS
Untuk mahasiswa S-1

1.Sebelum benua Amerika dikuasai oleh Erofa, suku apa yang ada di sana. Dengan warna dan perawakan khususnya. Coba sdr cetirakan apa yang sdr ketahui?
2.Suku apa saja di Indonesia yang dijadikan objek penelitian di Asia Tenggara. Kenapa mereka ini tertarik untuk menelitinya ?
3.Bagaimana asal usul dari teori Gravitasi dan siapa tokohnnya ? jelaskan.
4.Sarjana Antropologi di Australia, mengkaji suku-suku apa yang ada di benua Australia. Jelaskan.
5.coba jelaskan apa sebenarnya Etnigrafy, etnology, kultur kunde itu. Buat sebuah uraian yang menarik.

Prof Norsanie: hargai mobil listrik karya anak bangsa


Selasa, 17 Nopember  2012 08:39 WIB | Dilihat 6894 Kali
Palangka Raya (ANTARA News) - Mobil listrik dan sejumlah hasil karya sejenis ciptaan putra-putri Indonesia merupakan produk dalam negeri yang perlu dihargai masyarakat negeri ini, kata Prof Norsanie Darlan di Palangka Raya, Selasa.

Guru besar Universitas Palangka Raya (Unpar) itu mengatakan, banyak karya anak bangsa yang patut dihargai seperti mobil listrik "Lets Green & Go Electric" yang diujicoba Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan Senin (16/7) kemarin.

"Sebagai bangsa besar, kita harus berani mengubah persepsi, yang semula menjadi konsumen produk luar negeri menjadi konsumen produk dalam negeri," kata dosen program pascasarjana S-2 Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Unpar tersebut.

Ini merupakan sejarah baru di bidang otomotif hasil karya putri-putri Indonesia. Mobil listrik berlebel "Lets Green & Go Electric" ini dinilai dapat membantu mengurangi potensi yang bisa merusak lingkungan dan kesehatan.

Sebelumnya, sudah ada sejumlah SKM yang memproduk kendaraan serupa, namun bukan mobil listrik seperti SMK Magelang, EMK Taruna di Jawa Barat (Jabar) dan mobil Esemka Solo yang menjadi isu nasional beberapa bulan lalu.

"Kita berharap semua hasil karya anak bangsa dihargai tanpa cela. Jangan dinilai negatif seperti yang terjadi selama ini. Kalau penilaian negatif dikedepankan terhadap produk anak bangsa seperti dulu, kita khawatir pasarnya terus dikuasai produk luar negeri," katanya.

Pengalaman masa lalu sudah menjadi kenyataan. Semua anak bangsa masih ingat soal pesawat karya cipta anak bangsa yang tergabung dalam IPTN, yang akhirnya tidak berjalan maksimal akibat "ketidakpercayaan" pada bangsa sendiri.

"Sebenarnya, sekecil apapun hasil karya anak bangsa harus kita hargai. Siapa lagi yang menghargai hasil karya anak bangsa kalau bukan kita sendiri, termasuk produk mobil nasional seperti mobil listrik dan Esemka itu," katanya.

Norsanie mengatakan, sebenarnya berdirinya industri pesawat terbang Nortanio (IPTN) ikut mengangkat harkat dan martabat bangsa, tapi karena ada yang dengan nada tertentu meremehkan karya cipta dirgantara anak bangsa akhirnya tinggal "kenangan".

"Bila kita menelaah sejarah anak bangsa, Nurtanio adalah putra kelahiran Kalimantan Selatan. Tapi kenapa nama perusahaan yang menabalkan nama putra bangsa kelahiran Kalimantan Selatan itu diubah menjadi nama lain," kata Norsanie dengan nada tanya. (S019)
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © 2012

Jumat, 16 November 2012

Prof. Norsanie, "Huma Betang" Simbol Kerukunan Warga Dayak


Kompas 
Sabtu, 4 Agustus 2012 | 22:29 WIB
Dibaca: 1276
Dibaca: 1277
|
Share:

KOMPAS/A HANDOKO
Ilustrasi: Rumah Betang Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat pada awal September lalu. Masyarakat Iban seperti halnya sub suku Dayak lainnya di Kalimantan Barat, memiliki tradisi hidup komunal di rumah betang atau rumah panjang.
Oleh Hasan Zainuddin
"Huma Betang" adalah dalam istilah sehari-hari "rumah besar" yang dihuni banyak orang dengan beragam agama dan kepercayaan tetapi tetap rukun nan damai.
Sehingga Huma Betang adalah sebuah simbol dan filosofis kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah (Kalteng) seperti yang terlihat di Kota Palangka Raya,  Ibukota Provinsi Kalteng, kata Wali Kota Palangka Raya, Riban Satia.
Ketika menerima kunjungan Dirut LKBN Antara, Ahmad Mukhlis Yusuf beserta rombongan di rumah jabatannya (Kamis 2/8), Riban Satia bercerita banyak mengenai konsep kerukunan Huma Betang dalam adat masyarakat Dayak Kalteng.
Adapun rumah besar dimaksud bila diartikan secara luas sekarang ini, tentu tidak sebatas sebuah rumah, tetapi sudah sebuah wilayah, atau kawasan yakni se-Kalimantan Tengah.
"Kami sudah terbiasa hidup rukun dan damai dalam sebuah rumah besar, di saat ada perayaan agama Islam seperti Idul Fitri, warga agama lain di rumah itu ikut pula merayakannya, begitu juga saat Natal atau perayaan agama Kaharingan, warga muslim juga ikut merayakannya," kata Riban Satia.
Susana seperti itu sudah terlihat sejak lama sejak adanya rumah betang yang merupakan rumah adat dan khas Suku Dayak di Kalimantan Tengah.
Mereka  yang hidup di "rumah betang" ini terdapat berbagai ragam kepercayaan apakah ia masih menganut kepercayaan lama yang di di Kalimantan Tengah "Kaharingan" atau ada pula yang sudah berpindah pada kepercayaan lain seperti Islam maupun kristen.
Melalui konsep huma betang itu pula berbagai program pembangunan di wilayah ini diterapkan, artinya masyarakat diajak secara toleran dan bahu membahu membangun wilayah.
"Berkat konsep itu pula, Palangka Raya dan wilayah Kalteng lainnya kini terus bisa berkembang," tuturnya lagi.
Dalam "huma betang" tidak pernah terjadi perselisihan yang berarti kerena tingkat kekeluargaan atau kekerabatan  yang sangat tinggi.
Hal senada juga diutarakan budayawan sekaligus Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Norsanie Darlan dalam sebuah seminar.
Menurut guru besar pendidikan luar sekolah tersebut, bila suatu saat mereka di rumah betang mengadakan upacara "Tiwah" suatu acara yang sangat sakral suatu penghormatan terhadap leluruh, semua yang ada di rumah betang mendukung kegiatan tersebut.
Walau anak cucu mereka sudah berubah kepercayaan, namun rasa saling menghormati sangat tinggi, sehingga mereka rela untuk mengorbankan harta untuk mengadakan upacara pembongkaran makam leluhur, kemudian tulang belulangnya dibersihkan dan di simpan pada sebuah sandung yang mereka buat secara bergotong royong.
Dengan filosofi "Huma Betang" ini maka mereka tidak pernah menolak kehadiran tamu dari mana saja untuk tinggal di rumah betang, sejauh tamu tersebut mengikuti filosofi "di mana langit di junjung di situ bumi di injak".
Penuh Toleran
Toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di huma Betang ini, seperti perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik, atau terhadap mereka yang ada di sekitarnya.
Budaya yang sudah turun temurun, yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan, maka bagi penganut agama atau kepercayaan lain, ikut bersiapkan berbagai bahan,  berupa beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain.
Agar para penganut kepercayaan beda turut merasakan segala suka cita mereka dalam kebersamaan.
Namun cara memasak dipersilakan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka, katanya.
Umumnya masyarakat Dayak penuh toleransi ini, terjadi pergeseran hanyalah terjadi belakangan ini saja atau antara 10-15 tahun terakhir.
Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi saja, katanya dalam sebuah seminar diselenggarakan MPR-RI bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMP).
Sebagai contoh bila seorang anak di pedalaman yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya lantaran dulu sulit mencari rumah kost, maka anak tersebut dititipkan kepada keluarga yang tinggal di Palangka Raya.
Keluarga yang dititipi anak tersebut bisa memang keluarga sedarah atau keturunan, atau bisa juga hanya sebatas keluarga sekampung, tetangga, atau hanya satu wilayah bahkan hanya kenalan saja.
Dengan toleransi yang sangat tinggi, maka  anak yang ikut tinggal, di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa, kata Norsanie Darlan.
Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. "Di sinilah salah satu toleransi filosafi Huma Betang  kita," kata Norsanie Darlan dosen kelahiran Anjir tersebut.
Rumah kost belakangan memang mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain di luar provinsi Kalimantan Tengah, untuk melanjutkan pendidikan terutama kuliah.
Sehingga mereka pendatang usia muda dari luar ini, mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4 - 5 tahun ke depan, akibat kebutuhan tersebut maka berdirilah rumah-rumah kost untuk kaum pendatang tersebut.
Sementara itu berdasarkan sebuah tulisan, filosofi Rumah Betang berkaitan erat dengan azas kekeluargaan yang diciptakan oleh leluhur suku Dayak.
Menurut sebuah cerita dahulu semua orang Dayak tinggal secara terpisah satu sama lainnya, sangat sulit berhubungan dan memantau keadaan masing-masing.
Oleh karena itu tetuha masyarakat Dayak merasa perlu memperhatikan sanak saudara-saudaranya. Untuk mempertemukan semua anggota keluarga yang terpisah-pisah, terbit sebuah ide. Yakni membangun rumah agar mempermudah hubungan antar sesama anggota yang sebelumnya berjauh-jauhan.
Rumah itu dibuat memanjang untuk menampung jumlah keluarga yang seiring waktu semakin bertambah, saat itulah penamaan Rumah Panjang atau Rumah Betang tercipta.
Seiring berjalannya waktu, mereka menyadari pentingnya membangun sebuah hubungan antar sesama manusia, sesuai dengan prinsip hidup leluhur mereka yaitu saling membantu sesama manusia menjadi sebuah nilai kemanusiaan yang bersahaja.
Mereka mulai menciptakan aturan-aturan tentang tata krama kehidupan bermasyarakat yang baik, itulah awal mula terciptanya hukum adat.
Hingga saat ini, azas kekeluargaan itu masih melekat dalam kehidupan keluarga yang sekarang menghuni ruah betang.
Secara garis besar, semua penghuni rumah betang merupakan sebuah keluarga besar yang  berasal dari satu pertalian keturunan darah yang sama.
Keluarga yang besar ini memiliki hirarki adat yang tersusun ke dalam struktur lembaga adat Dayak, ada tetua adat yang mengetahui semua hal yang berkaitan dengan budaya rumah betang, ada juga penanggung jawab rumah betang, kepala desa, sekretaris desa semuanya juga berkumpul menjadi satu di dalam Rumah Betang.
 
Sumber :
ANT
Editor :
Jodhi Yudono

Rabu, 14 November 2012

BANDAR NARKOBA SEBAIKNYA DIHUKUM MATI


                                                                        Oleh:
                                                      Prof. H.M.Norsanie Darlan 

Pembebasan Hukuman (Grasi) yang diberikan Presiden RI, kepada Bandar Narkoba sebaiknya ditinjau kembali. Karena perbuatan bandar Narkoba ini akan merusak tatanan generasi bangsa.
Seharusnya hukuman terhadap pelaku Bandar Narkoba (cokong atau yang sejenisnya) dihukum mati adalah sebuah hadiah yang sangat tepat diberikan. Karena selama ini, berbagai hukuman telah diberikan sepertinya tidak pernah ada jeranya. Bahkan setelah dikeluarkan mereka berbuat perilaku yang sama dan tertangkap lagi. Hal ini telah meraja lela. Sehingga bandar narkoba semakin hari semakin bertambah di tanah air. Walau kita maklumi bahwa pekerjaan seperti ini, menghasilkan keuntungan berlipat ganda. Tapi bagi konsumennya jadi rusak dan tidak layak lagi dijadikan generasi harapan bangsa.
Pengedar narkoba yang ternyata merusak generasi penerus kita ini. Sepertinya hukuman mati yang harus dihadiahkan. Dan hati-hati pula pemberian hukuman mati tidak perlu dikenakan kepada mereka yang hanya sebagai “kurir”, yang diharuskan dengan hukuman mati, adalah orang yang sebagai bandar/cokong narkoba saja dulu. Apapun jenis barang haram itu, yang mereka bawa dan terbukti secara syah dan meyakinkan dalam persidangan.
Selama ini dengan hukuman bagi cokong narkoba, tidak jera dengan dijatuhkan hukuman, 5, 10 dan 15 tahun itu, sepertinya tidak memberikan efek jera terhadap mereka yang menjadi pelakunya. Oleh sebab itu, hukuman mati adalah yang paling mendidik supaya para: bandar/cokong narkoba berpikir berkali-kali untuk bertindak dalam perbuatan yang merusak nama baik dirinya dan keluarganya itu. Kalau hanya sekedar hukuman biasa, dan mendapatkan grasi pada hari-hari besar sebaiknya penerima hukuman kasus narkoba tidak dikenakan keringanan. Karena pemberian keringanan itu, membuat pelaku tidak takut hukuman. Sehingga ia tetap melanjutkan berdagang barang haram ke mana-mana.
Saya menyadari bahwa sampai saat ini, Undang-Undang di negeri kita belum jelas menemukan hukuman yang efektif terhadap perbuatan haram itu. Apa lagi pemerintah kita dalam hari-hari besar kenegaraan memberikan remesi kepada mereka yang belum beberapa lama tinggal di lembaga pemasyarakat sudah mendapatkan “remesi”. Seharusnya para koruptor dan pngedar narkoba ini, jangan sekali-kali mendapatkan remesi. Kalau diberikan remesi, calon-calon koruptor dan cokong narkoba makin tambah mereja lela dinegeri kita ini. 

Minggu, 11 November 2012

Seminar Nasional MPR-RI dan UMP di Palangka Raya



Pengamat: kurang bagus guru SD dipaksa disarjanakan

2012-01-21, by SiteAdmin

Banjarmasin (ANTARA News) - Seorang pengamat pendidikan, Prof Norsanie Darlan menilai kurang bagus hasilnya apabila guru sekolah dasar dipaksa agar memiliki gelar sarjana atau disarjanakan.

"Sebab, para guru SD yang biasanya lulusan Pendidikan Guru Agama (PGA), Sekolah Pendidikan Guru (SPG), dan Sekolah Guru Olahraga (SGO) itu, kebanyakan sudah berumur tua," kata Norsanie, guru besar Universitas Palangkaraya (Unpar) itu, Sabtu.

Dalam pandangan guru besar Pendidikan Luar Sekolah Unpar tersebut, memaksa guru SD agar bergelar sarjana terkesan lucu.

Ia menilai para guru itu sepertinya dipaksa untuk bergelar sarjana, meski berbagai keringanan diberikan pemerintah, yang tujuannya tidak lain karena melihat negeri orang, dimana para guru semuanya sudah sarjana.

"Kalau menurut saya, para guru SD lulusan PGA, SPG, dan SGO tidak perlu harus sarjana, karena mereka sudah berpengalaman mengajar, dan tempat tinggal mereka jauh dari kota, sehingga mungkin setahun sekali baru ke kota," kata Norsanie.

Bagaimana tidak menyedihkan, kata dia, para guru SD yang berada di lereng bukit, gunung, lembah, pantai, bahkan di pedalaman, dan kepulauan, harus kuliah ke kota.

"Mereka mungkin bersedia kuliah ke kota untuk mengejar sarjana, tetapi dengan perasaan berat, karena `gertakan atau ancaman` jika seorang guru tidak sarjana, akan sulit memperoleh sertifikasi atau naik pangkat, dan sebagainya," katanya.

Mendengar ancaman seperti itu, menurut dia, para guru SD dengan perasaan berat terpaksa berangkat ke kota untuk memperoleh gelar sarjana di sebuah perguruan tinggi yang hanya ada di kota. "Meskipun, harus menjual kebun, sawah, bahkan ada yang menggadaikan gajinya," katanya.

Kalau melihat sistem seperti itu, kata dia, apakah kualitas guru SD yang dipaksa menjadi sarjana sudah sesuai dengan harapan.

"Mungkin para guru SD itu berkualitas bukan karena bergelar sarjana, tetapi lebih pada pengalaman mengajar yang sudah puluhan tahun," katanya.

Padahal, menurut dia, selain berbagai dampak tersebut, hal itu juga efeknya kurang baik bagi perguruan tinggi yang mendidik para guru tersebut menjadi sarjana, namun ternyata kualitasnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Oleh karena itu, Norsanie Darlan menyarankan ke depan sebaiknya desain sistem pendidikan guru perlu dibetulkan. "Alangkah indahnya untuk meredesain pendidikan guru dengan menerima tenaga guru baru harus sarjana pendidikan. Bukan menerima guru berijazah bukan sarjana pendidikan guru, tetapi punya akta 4 (empat)," katanya. (H005/M008) Editor: B Kunto Wibisono

Selasa, 06 November 2012

Komentar Prof. Norsanie Falsafah "Huma Betang" Perlu Dilestarikan

Komas, Selasa, 6 November 2012 | 17:04 WIB
Dibaca: 4221

Dibaca: 4221

|
Share:

SEVERIANUS ENDI
Di rumah Betang, berbagai jenis budaya biasa ditampilkan.
Oleh Saidulkarnain Ishak
Budaya kehidupan suatu masyarakat berbeda-beda dan masing-masing memiliki nilai tambah, seperti falsafah "huma betang" (rumah besar) dalam kehidupan masyarakat suku Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah, perlu dilestarikan.
"Huma betang" merupakan salah satu falsafah yang dimiliki masyarakat Dayak Kalteng dengan konsep bebas terpimpin. Budaya huma betang diimplementasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk keluarga dekatnya.
Falsafah ini lahir untuk menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernilai kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang¿, kata Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Dr H Norsanie Darlan.
Masyarakat suku Dayak yang memiliki budaya menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat juga punya kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang (rumah besar)¿, katanya.
"Dari keturunan leluhur kita, masyarakat Dayak yang punya konsep bebas terpimpin ini, menyatukan konsep di rumah betang untuk tidak ada terjadi perselisihan yang berarti," guru besar pendidikan luar sekolah (PLS) Unpar tersebut.
Norsanie Darlan mengatakan, ada ruang bebas yang merupakan sarana dalam mewujudkan pembangunan masyarakat merujuk pada budaya suku Dayak. Kearifan lokal seperti ini perlu mendapat perhatian bagi kelestariannya di masa mendatang.
"Dalam ruang publik yang bebas dan panjang itulah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi, wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran," ujarnya.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, justru ruang publik yang bebas tersebut diharapkan menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan.
Norsanie mengatakan, dengan menafsirkan ruang publik yang bebas dalam tatanan pembangunan masyarakat tersebut akan terjadi kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum.
Kebebasan yang kompak
"Bahkan, tingginya kekerabatan karena adanya rasa persaudaraan yang tinggi, tidak saling menyalahkan satu sama yang lain. Namun adanya kekompakan yang sulit diikuti oleh masyarakat lain terhadap budaya huma betang ini," tambahnya.
Masyarakat madani menurut Norsanie Darlan ditandai dengan berkembangnya suasana demokrasi yang bebas berpendapat dan bertindak, baik secara individual maupun kolektif diringi tanggung jawab.
Tanggung jawab dalam bertindak itu diperlukan, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial serta penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis, katanya.
"Masyarakat yang demokratis inilah yang harus ditiru oleh generasi penerus kita. Apakah dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi  saling tumpang tindih. Muncul pula budaya mereka yang saling menghormati sesama," katanya.
Dia menyatakan tidak pernah ada larangan untuk datang pada komunitas Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal sebelumnya. Jika komunitas luar yang ikut serta dalam upaya bercocok tanam, berladang, berkebun selalu dipersilakan selama tidak menyalahi tata aturan, tatanan budaya masyarakat setempat.
Guru besar yang sering tampil di seminar regional dan nasional itu mengatakan, toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di ¿huma Betang¿ ini, seperti perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik atau terhadap mereka yang ada di sekitar.
"Budaya yang sudah turun temurun yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan lain, dipersiapkan bahan berupa beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain," katanya.
Para penganut kepercayaan yang berbeda ini turut merasakan pula segala suka cita mereka dalam kebersamaan. Namun cara memasak dipersilakan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka.
Falsafah "huma betang"
Norsanie mengatakan, umumnya masyarakat Dayak yang penuh toleransi ini terjadi pergeseran dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir. Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi.
Sebagai contoh 20 tahun lalu, anak yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya sulit mencari rumah kost, yang banyak adalah anak dititip pada keluarga yang tinggal di Palangka Raya.
Apakah ia keluarga satu keturunan darah, ataukah hanya kenalan tetangga desa. Di sini toleransi yang sangat tinggi. Karena anak yang ikut tinggal di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa. Karena saling toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.
"Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. Di sinilah salah satu toleransi filosafi Huma Betang  kita," ujarnya.
Rumah kost mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain ke luar provinsi Kalteng, saat mereka melanjutkan pendidikan terutama kuliah. Mereka mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4-5 tahun ke depan.
Pada saat itulah masyarakat Kota Palangka Raya mulai mendirikan rumah kost untuk kaum pendatang sebagai salah satu wujud dari falsafah huma betang yang diimplementasikan dalam budaya masyarakat daerah tersebut.
Masyarakat Dayak sungguh memberikan kearifan yang sangat tinggi harganya. Tidak pernah ada perselisihan, yang berarti dalam kehidupan Huma Betang. Saling menghargai, menghormati dan saling tolong menolong tercipta sejak beberapa abad silam dan masih bisa dilihat hingga sekarang.
Falsafah huma betang dalam kehidupan masyarakat Kalteng betul-betul hidup bersama dalam suatu suasana harmonis manakala pendatang berpegang menganut budaya "di mana bumi di injak, di situ langit dijunjung".
Mencermati kehidupan yang konsisten pada kearifan lokal huma betang itu, agaknya tidak keliru manakala budaya yang berkembang dalam masyarakat di seluruh Provinsi di Indonesia, termasuk di Kalteng dipertahankan bagi kelanjutan pembangunan di masa mendatang.
 
Sumber :
ANT
Editor :
Jodhi Yudono

Komentar Prof. Norsanie Falsafah "Huma Betang" Perlu Dilestarikan

Kompas, Selasa, 6 November 2012 | 17:04 WIB
Dibaca: 4221
Dibaca: 4221


SEVERIANUS ENDI
Di rumah Betang, berbagai jenis budaya biasa ditampilkan.
Oleh Saidulkarnain Ishak
Budaya kehidupan suatu masyarakat berbeda-beda dan masing-masing memiliki nilai tambah, seperti falsafah "huma betang" (rumah besar) dalam kehidupan masyarakat suku Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah, perlu dilestarikan.
"Huma betang" merupakan salah satu falsafah yang dimiliki masyarakat Dayak Kalteng dengan konsep bebas terpimpin. Budaya huma betang diimplementasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk keluarga dekatnya.
Falsafah ini lahir untuk menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernilai kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang¿, kata Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Dr H Norsanie Darlan.
Masyarakat suku Dayak yang memiliki budaya menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat juga punya kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang (rumah besar)¿, katanya.
"Dari keturunan leluhur kita, masyarakat Dayak yang punya konsep bebas terpimpin ini, menyatukan konsep di rumah betang untuk tidak ada terjadi perselisihan yang berarti," guru besar pendidikan luar sekolah (PLS) Unpar tersebut.
Norsanie Darlan mengatakan, ada ruang bebas yang merupakan sarana dalam mewujudkan pembangunan masyarakat merujuk pada budaya suku Dayak. Kearifan lokal seperti ini perlu mendapat perhatian bagi kelestariannya di masa mendatang.
"Dalam ruang publik yang bebas dan panjang itulah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi, wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran," ujarnya.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, justru ruang publik yang bebas tersebut diharapkan menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan.
Norsanie mengatakan, dengan menafsirkan ruang publik yang bebas dalam tatanan pembangunan masyarakat tersebut akan terjadi kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum.
Kebebasan yang kompak
"Bahkan, tingginya kekerabatan karena adanya rasa persaudaraan yang tinggi, tidak saling menyalahkan satu sama yang lain. Namun adanya kekompakan yang sulit diikuti oleh masyarakat lain terhadap budaya huma betang ini," tambahnya.
Masyarakat madani menurut Norsanie Darlan ditandai dengan berkembangnya suasana demokrasi yang bebas berpendapat dan bertindak, baik secara individual maupun kolektif diringi tanggung jawab.
Tanggung jawab dalam bertindak itu diperlukan, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial serta penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis, katanya.
"Masyarakat yang demokratis inilah yang harus ditiru oleh generasi penerus kita. Apakah dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi  saling tumpang tindih. Muncul pula budaya mereka yang saling menghormati sesama," katanya.
Dia menyatakan tidak pernah ada larangan untuk datang pada komunitas Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal sebelumnya. Jika komunitas luar yang ikut serta dalam upaya bercocok tanam, berladang, berkebun selalu dipersilakan selama tidak menyalahi tata aturan, tatanan budaya masyarakat setempat.
Guru besar yang sering tampil di seminar regional dan nasional itu mengatakan, toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di ¿huma Betang¿ ini, seperti perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik atau terhadap mereka yang ada di sekitar.
"Budaya yang sudah turun temurun yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan lain, dipersiapkan bahan berupa beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain," katanya.
Para penganut kepercayaan yang berbeda ini turut merasakan pula segala suka cita mereka dalam kebersamaan. Namun cara memasak dipersilakan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka.
Falsafah "huma betang"
Norsanie mengatakan, umumnya masyarakat Dayak yang penuh toleransi ini terjadi pergeseran dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir. Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi.
Sebagai contoh 20 tahun lalu, anak yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya sulit mencari rumah kost, yang banyak adalah anak dititip pada keluarga yang tinggal di Palangka Raya.
Apakah ia keluarga satu keturunan darah, ataukah hanya kenalan tetangga desa. Di sini toleransi yang sangat tinggi. Karena anak yang ikut tinggal di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa. Karena saling toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.
"Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. Di sinilah salah satu toleransi filosafi Huma Betang  kita," ujarnya.
Rumah kost mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain ke luar provinsi Kalteng, saat mereka melanjutkan pendidikan terutama kuliah. Mereka mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4-5 tahun ke depan.
Pada saat itulah masyarakat Kota Palangka Raya mulai mendirikan rumah kost untuk kaum pendatang sebagai salah satu wujud dari falsafah huma betang yang diimplementasikan dalam budaya masyarakat daerah tersebut.
Masyarakat Dayak sungguh memberikan kearifan yang sangat tinggi harganya. Tidak pernah ada perselisihan, yang berarti dalam kehidupan Huma Betang. Saling menghargai, menghormati dan saling tolong menolong tercipta sejak beberapa abad silam dan masih bisa dilihat hingga sekarang.
Falsafah huma betang dalam kehidupan masyarakat Kalteng betul-betul hidup bersama dalam suatu suasana harmonis manakala pendatang berpegang menganut budaya "di mana bumi di injak, di situ langit dijunjung".
Mencermati kehidupan yang konsisten pada kearifan lokal huma betang itu, agaknya tidak keliru manakala budaya yang berkembang dalam masyarakat di seluruh Provinsi di Indonesia, termasuk di Kalteng dipertahankan bagi kelanjutan pembangunan di masa mendatang.
 
Sumber :
ANT
Editor :
Jodhi Yudono

Komentar Prof. Norsanie Falsafah "Huma Betang" Perlu Dilestarikan

Komas, Selasa, 6 November 2012 | 17:04 WIB
Dibaca: 4221
Dibaca: 4221
|
Share:

SEVERIANUS ENDI
Di rumah Betang, berbagai jenis budaya biasa ditampilkan.
Oleh Saidulkarnain Ishak
Budaya kehidupan suatu masyarakat berbeda-beda dan masing-masing memiliki nilai tambah, seperti falsafah "huma betang" (rumah besar) dalam kehidupan masyarakat suku Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah, perlu dilestarikan.
"Huma betang" merupakan salah satu falsafah yang dimiliki masyarakat Dayak Kalteng dengan konsep bebas terpimpin. Budaya huma betang diimplementasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk keluarga dekatnya.
Falsafah ini lahir untuk menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernilai kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang¿, kata Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Dr H Norsanie Darlan.
Masyarakat suku Dayak yang memiliki budaya menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat juga punya kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang (rumah besar)¿, katanya.
"Dari keturunan leluhur kita, masyarakat Dayak yang punya konsep bebas terpimpin ini, menyatukan konsep di rumah betang untuk tidak ada terjadi perselisihan yang berarti," guru besar pendidikan luar sekolah (PLS) Unpar tersebut.
Norsanie Darlan mengatakan, ada ruang bebas yang merupakan sarana dalam mewujudkan pembangunan masyarakat merujuk pada budaya suku Dayak. Kearifan lokal seperti ini perlu mendapat perhatian bagi kelestariannya di masa mendatang.
"Dalam ruang publik yang bebas dan panjang itulah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi, wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran," ujarnya.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, justru ruang publik yang bebas tersebut diharapkan menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan.
Norsanie mengatakan, dengan menafsirkan ruang publik yang bebas dalam tatanan pembangunan masyarakat tersebut akan terjadi kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum.
Kebebasan yang kompak
"Bahkan, tingginya kekerabatan karena adanya rasa persaudaraan yang tinggi, tidak saling menyalahkan satu sama yang lain. Namun adanya kekompakan yang sulit diikuti oleh masyarakat lain terhadap budaya huma betang ini," tambahnya.
Masyarakat madani menurut Norsanie Darlan ditandai dengan berkembangnya suasana demokrasi yang bebas berpendapat dan bertindak, baik secara individual maupun kolektif diringi tanggung jawab.
Tanggung jawab dalam bertindak itu diperlukan, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial serta penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis, katanya.
"Masyarakat yang demokratis inilah yang harus ditiru oleh generasi penerus kita. Apakah dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi  saling tumpang tindih. Muncul pula budaya mereka yang saling menghormati sesama," katanya.
Dia menyatakan tidak pernah ada larangan untuk datang pada komunitas Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal sebelumnya. Jika komunitas luar yang ikut serta dalam upaya bercocok tanam, berladang, berkebun selalu dipersilakan selama tidak menyalahi tata aturan, tatanan budaya masyarakat setempat.
Guru besar yang sering tampil di seminar regional dan nasional itu mengatakan, toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di ¿huma Betang¿ ini, seperti perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik atau terhadap mereka yang ada di sekitar.
"Budaya yang sudah turun temurun yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan lain, dipersiapkan bahan berupa beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain," katanya.
Para penganut kepercayaan yang berbeda ini turut merasakan pula segala suka cita mereka dalam kebersamaan. Namun cara memasak dipersilakan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka.
Falsafah "huma betang"
Norsanie mengatakan, umumnya masyarakat Dayak yang penuh toleransi ini terjadi pergeseran dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir. Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi.
Sebagai contoh 20 tahun lalu, anak yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya sulit mencari rumah kost, yang banyak adalah anak dititip pada keluarga yang tinggal di Palangka Raya.
Apakah ia keluarga satu keturunan darah, ataukah hanya kenalan tetangga desa. Di sini toleransi yang sangat tinggi. Karena anak yang ikut tinggal di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa. Karena saling toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.
"Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. Di sinilah salah satu toleransi filosafi Huma Betang  kita," ujarnya.
Rumah kost mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain ke luar provinsi Kalteng, saat mereka melanjutkan pendidikan terutama kuliah. Mereka mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4-5 tahun ke depan.
Pada saat itulah masyarakat Kota Palangka Raya mulai mendirikan rumah kost untuk kaum pendatang sebagai salah satu wujud dari falsafah huma betang yang diimplementasikan dalam budaya masyarakat daerah tersebut.
Masyarakat Dayak sungguh memberikan kearifan yang sangat tinggi harganya. Tidak pernah ada perselisihan, yang berarti dalam kehidupan Huma Betang. Saling menghargai, menghormati dan saling tolong menolong tercipta sejak beberapa abad silam dan masih bisa dilihat hingga sekarang.
Falsafah huma betang dalam kehidupan masyarakat Kalteng betul-betul hidup bersama dalam suatu suasana harmonis manakala pendatang berpegang menganut budaya "di mana bumi di injak, di situ langit dijunjung".
Mencermati kehidupan yang konsisten pada kearifan lokal huma betang itu, agaknya tidak keliru manakala budaya yang berkembang dalam masyarakat di seluruh Provinsi di Indonesia, termasuk di Kalteng dipertahankan bagi kelanjutan pembangunan di masa mendatang.
 
Sumber :
ANT
Editor :
Jodhi Yudono

Komentar Prof. Norsanie Falsafah "Huma Betang" Perlu Dilestarikan

Komas, Selasa, 6 November 2012 | 17:04 WIB
Dibaca: 4221
Dibaca: 4221
|
Share:

SEVERIANUS ENDI
Di rumah Betang, berbagai jenis budaya biasa ditampilkan.
Oleh Saidulkarnain Ishak
Budaya kehidupan suatu masyarakat berbeda-beda dan masing-masing memiliki nilai tambah, seperti falsafah "huma betang" (rumah besar) dalam kehidupan masyarakat suku Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah, perlu dilestarikan.
"Huma betang" merupakan salah satu falsafah yang dimiliki masyarakat Dayak Kalteng dengan konsep bebas terpimpin. Budaya huma betang diimplementasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk keluarga dekatnya.
Falsafah ini lahir untuk menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernilai kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang¿, kata Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Dr H Norsanie Darlan.
Masyarakat suku Dayak yang memiliki budaya menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat juga punya kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang (rumah besar)¿, katanya.
"Dari keturunan leluhur kita, masyarakat Dayak yang punya konsep bebas terpimpin ini, menyatukan konsep di rumah betang untuk tidak ada terjadi perselisihan yang berarti," guru besar pendidikan luar sekolah (PLS) Unpar tersebut.
Norsanie Darlan mengatakan, ada ruang bebas yang merupakan sarana dalam mewujudkan pembangunan masyarakat merujuk pada budaya suku Dayak. Kearifan lokal seperti ini perlu mendapat perhatian bagi kelestariannya di masa mendatang.
"Dalam ruang publik yang bebas dan panjang itulah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi, wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran," ujarnya.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, justru ruang publik yang bebas tersebut diharapkan menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan.
Norsanie mengatakan, dengan menafsirkan ruang publik yang bebas dalam tatanan pembangunan masyarakat tersebut akan terjadi kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum.
Kebebasan yang kompak
"Bahkan, tingginya kekerabatan karena adanya rasa persaudaraan yang tinggi, tidak saling menyalahkan satu sama yang lain. Namun adanya kekompakan yang sulit diikuti oleh masyarakat lain terhadap budaya huma betang ini," tambahnya.
Masyarakat madani menurut Norsanie Darlan ditandai dengan berkembangnya suasana demokrasi yang bebas berpendapat dan bertindak, baik secara individual maupun kolektif diringi tanggung jawab.
Tanggung jawab dalam bertindak itu diperlukan, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial serta penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis, katanya.
"Masyarakat yang demokratis inilah yang harus ditiru oleh generasi penerus kita. Apakah dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi  saling tumpang tindih. Muncul pula budaya mereka yang saling menghormati sesama," katanya.
Dia menyatakan tidak pernah ada larangan untuk datang pada komunitas Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal sebelumnya. Jika komunitas luar yang ikut serta dalam upaya bercocok tanam, berladang, berkebun selalu dipersilakan selama tidak menyalahi tata aturan, tatanan budaya masyarakat setempat.
Guru besar yang sering tampil di seminar regional dan nasional itu mengatakan, toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di ¿huma Betang¿ ini, seperti perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik atau terhadap mereka yang ada di sekitar.
"Budaya yang sudah turun temurun yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan lain, dipersiapkan bahan berupa beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain," katanya.
Para penganut kepercayaan yang berbeda ini turut merasakan pula segala suka cita mereka dalam kebersamaan. Namun cara memasak dipersilakan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka.
Falsafah "huma betang"
Norsanie mengatakan, umumnya masyarakat Dayak yang penuh toleransi ini terjadi pergeseran dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir. Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi.
Sebagai contoh 20 tahun lalu, anak yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya sulit mencari rumah kost, yang banyak adalah anak dititip pada keluarga yang tinggal di Palangka Raya.
Apakah ia keluarga satu keturunan darah, ataukah hanya kenalan tetangga desa. Di sini toleransi yang sangat tinggi. Karena anak yang ikut tinggal di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa. Karena saling toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.
"Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. Di sinilah salah satu toleransi filosafi Huma Betang  kita," ujarnya.
Rumah kost mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain ke luar provinsi Kalteng, saat mereka melanjutkan pendidikan terutama kuliah. Mereka mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4-5 tahun ke depan.
Pada saat itulah masyarakat Kota Palangka Raya mulai mendirikan rumah kost untuk kaum pendatang sebagai salah satu wujud dari falsafah huma betang yang diimplementasikan dalam budaya masyarakat daerah tersebut.
Masyarakat Dayak sungguh memberikan kearifan yang sangat tinggi harganya. Tidak pernah ada perselisihan, yang berarti dalam kehidupan Huma Betang. Saling menghargai, menghormati dan saling tolong menolong tercipta sejak beberapa abad silam dan masih bisa dilihat hingga sekarang.
Falsafah huma betang dalam kehidupan masyarakat Kalteng betul-betul hidup bersama dalam suatu suasana harmonis manakala pendatang berpegang menganut budaya "di mana bumi di injak, di situ langit dijunjung".
Mencermati kehidupan yang konsisten pada kearifan lokal huma betang itu, agaknya tidak keliru manakala budaya yang berkembang dalam masyarakat di seluruh Provinsi di Indonesia, termasuk di Kalteng dipertahankan bagi kelanjutan pembangunan di masa mendatang.
 
Sumber :
ANT
Editor :
Jodhi Yudono

Komentar Prof. Norsanie

 

Komentar Prof. Norsanie

 
Komas, Selasa, 6 November 2012 | 17:04 WIB
Dibaca: 4221
Dibaca: 4221
|
Share:

SEVERIANUS ENDI
Di rumah Betang, berbagai jenis budaya biasa ditampilkan.
Oleh Saidulkarnain Ishak
Budaya kehidupan suatu masyarakat berbeda-beda dan masing-masing memiliki nilai tambah, seperti falsafah "huma betang" (rumah besar) dalam kehidupan masyarakat suku Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah, perlu dilestarikan.
"Huma betang" merupakan salah satu falsafah yang dimiliki masyarakat Dayak Kalteng dengan konsep bebas terpimpin. Budaya huma betang diimplementasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk keluarga dekatnya.
Falsafah ini lahir untuk menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernilai kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang¿, kata Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Dr H Norsanie Darlan.
Masyarakat suku Dayak yang memiliki budaya menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat juga punya kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang (rumah besar)¿, katanya.
"Dari keturunan leluhur kita, masyarakat Dayak yang punya konsep bebas terpimpin ini, menyatukan konsep di rumah betang untuk tidak ada terjadi perselisihan yang berarti," guru besar pendidikan luar sekolah (PLS) Unpar tersebut.
Norsanie Darlan mengatakan, ada ruang bebas yang merupakan sarana dalam mewujudkan pembangunan masyarakat merujuk pada budaya suku Dayak. Kearifan lokal seperti ini perlu mendapat perhatian bagi kelestariannya di masa mendatang.
"Dalam ruang publik yang bebas dan panjang itulah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi, wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran," ujarnya.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, justru ruang publik yang bebas tersebut diharapkan menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan.
Norsanie mengatakan, dengan menafsirkan ruang publik yang bebas dalam tatanan pembangunan masyarakat tersebut akan terjadi kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum.
Kebebasan yang kompak
"Bahkan, tingginya kekerabatan karena adanya rasa persaudaraan yang tinggi, tidak saling menyalahkan satu sama yang lain. Namun adanya kekompakan yang sulit diikuti oleh masyarakat lain terhadap budaya huma betang ini," tambahnya.
Masyarakat madani menurut Norsanie Darlan ditandai dengan berkembangnya suasana demokrasi yang bebas berpendapat dan bertindak, baik secara individual maupun kolektif diringi tanggung jawab.
Tanggung jawab dalam bertindak itu diperlukan, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial serta penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis, katanya.
"Masyarakat yang demokratis inilah yang harus ditiru oleh generasi penerus kita. Apakah dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi  saling tumpang tindih. Muncul pula budaya mereka yang saling menghormati sesama," katanya.
Dia menyatakan tidak pernah ada larangan untuk datang pada komunitas Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal sebelumnya. Jika komunitas luar yang ikut serta dalam upaya bercocok tanam, berladang, berkebun selalu dipersilakan selama tidak menyalahi tata aturan, tatanan budaya masyarakat setempat.
Guru besar yang sering tampil di seminar regional dan nasional itu mengatakan, toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di ¿huma Betang¿ ini, seperti perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik atau terhadap mereka yang ada di sekitar.
"Budaya yang sudah turun temurun yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan lain, dipersiapkan bahan berupa beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain," katanya.
Para penganut kepercayaan yang berbeda ini turut merasakan pula segala suka cita mereka dalam kebersamaan. Namun cara memasak dipersilakan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka.
Falsafah "huma betang"
Norsanie mengatakan, umumnya masyarakat Dayak yang penuh toleransi ini terjadi pergeseran dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir. Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi.
Sebagai contoh 20 tahun lalu, anak yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya sulit mencari rumah kost, yang banyak adalah anak dititip pada keluarga yang tinggal di Palangka Raya.
Apakah ia keluarga satu keturunan darah, ataukah hanya kenalan tetangga desa. Di sini toleransi yang sangat tinggi. Karena anak yang ikut tinggal di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa. Karena saling toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.
"Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. Di sinilah salah satu toleransi filosafi Huma Betang  kita," ujarnya.
Rumah kost mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain ke luar provinsi Kalteng, saat mereka melanjutkan pendidikan terutama kuliah. Mereka mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4-5 tahun ke depan.
Pada saat itulah masyarakat Kota Palangka Raya mulai mendirikan rumah kost untuk kaum pendatang sebagai salah satu wujud dari falsafah huma betang yang diimplementasikan dalam budaya masyarakat daerah tersebut.
Masyarakat Dayak sungguh memberikan kearifan yang sangat tinggi harganya. Tidak pernah ada perselisihan, yang berarti dalam kehidupan Huma Betang. Saling menghargai, menghormati dan saling tolong menolong tercipta sejak beberapa abad silam dan masih bisa dilihat hingga sekarang.
Falsafah huma betang dalam kehidupan masyarakat Kalteng betul-betul hidup bersama dalam suatu suasana harmonis manakala pendatang berpegang menganut budaya "di mana bumi di injak, di situ langit dijunjung".
Mencermati kehidupan yang konsisten pada kearifan lokal huma betang itu, agaknya tidak keliru manakala budaya yang berkembang dalam masyarakat di seluruh Provinsi di Indonesia, termasuk di Kalteng dipertahankan bagi kelanjutan pembangunan di masa mendatang.
 
Sumber :
ANT
Editor :
Jodhi Yudono

 
Komas, Selasa, 6 November 2012 | 17:04 WIB
Dibaca: 4221
Dibaca: 4221
|
Share:

SEVERIANUS ENDI
Di rumah Betang, berbagai jenis budaya biasa ditampilkan.
Oleh Saidulkarnain Ishak
Budaya kehidupan suatu masyarakat berbeda-beda dan masing-masing memiliki nilai tambah, seperti falsafah "huma betang" (rumah besar) dalam kehidupan masyarakat suku Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah, perlu dilestarikan.
"Huma betang" merupakan salah satu falsafah yang dimiliki masyarakat Dayak Kalteng dengan konsep bebas terpimpin. Budaya huma betang diimplementasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk keluarga dekatnya.
Falsafah ini lahir untuk menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernilai kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang¿, kata Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Dr H Norsanie Darlan.
Masyarakat suku Dayak yang memiliki budaya menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat juga punya kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang (rumah besar)¿, katanya.
"Dari keturunan leluhur kita, masyarakat Dayak yang punya konsep bebas terpimpin ini, menyatukan konsep di rumah betang untuk tidak ada terjadi perselisihan yang berarti," guru besar pendidikan luar sekolah (PLS) Unpar tersebut.
Norsanie Darlan mengatakan, ada ruang bebas yang merupakan sarana dalam mewujudkan pembangunan masyarakat merujuk pada budaya suku Dayak. Kearifan lokal seperti ini perlu mendapat perhatian bagi kelestariannya di masa mendatang.
"Dalam ruang publik yang bebas dan panjang itulah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi, wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran," ujarnya.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, justru ruang publik yang bebas tersebut diharapkan menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan.
Norsanie mengatakan, dengan menafsirkan ruang publik yang bebas dalam tatanan pembangunan masyarakat tersebut akan terjadi kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum.
Kebebasan yang kompak
"Bahkan, tingginya kekerabatan karena adanya rasa persaudaraan yang tinggi, tidak saling menyalahkan satu sama yang lain. Namun adanya kekompakan yang sulit diikuti oleh masyarakat lain terhadap budaya huma betang ini," tambahnya.
Masyarakat madani menurut Norsanie Darlan ditandai dengan berkembangnya suasana demokrasi yang bebas berpendapat dan bertindak, baik secara individual maupun kolektif diringi tanggung jawab.
Tanggung jawab dalam bertindak itu diperlukan, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial serta penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis, katanya.
"Masyarakat yang demokratis inilah yang harus ditiru oleh generasi penerus kita. Apakah dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi  saling tumpang tindih. Muncul pula budaya mereka yang saling menghormati sesama," katanya.
Dia menyatakan tidak pernah ada larangan untuk datang pada komunitas Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal sebelumnya. Jika komunitas luar yang ikut serta dalam upaya bercocok tanam, berladang, berkebun selalu dipersilakan selama tidak menyalahi tata aturan, tatanan budaya masyarakat setempat.
Guru besar yang sering tampil di seminar regional dan nasional itu mengatakan, toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di ¿huma Betang¿ ini, seperti perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik atau terhadap mereka yang ada di sekitar.
"Budaya yang sudah turun temurun yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan lain, dipersiapkan bahan berupa beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain," katanya.
Para penganut kepercayaan yang berbeda ini turut merasakan pula segala suka cita mereka dalam kebersamaan. Namun cara memasak dipersilakan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka.
Falsafah "huma betang"
Norsanie mengatakan, umumnya masyarakat Dayak yang penuh toleransi ini terjadi pergeseran dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir. Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi.
Sebagai contoh 20 tahun lalu, anak yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya sulit mencari rumah kost, yang banyak adalah anak dititip pada keluarga yang tinggal di Palangka Raya.
Apakah ia keluarga satu keturunan darah, ataukah hanya kenalan tetangga desa. Di sini toleransi yang sangat tinggi. Karena anak yang ikut tinggal di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa. Karena saling toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.
"Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. Di sinilah salah satu toleransi filosafi Huma Betang  kita," ujarnya.
Rumah kost mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain ke luar provinsi Kalteng, saat mereka melanjutkan pendidikan terutama kuliah. Mereka mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4-5 tahun ke depan.
Pada saat itulah masyarakat Kota Palangka Raya mulai mendirikan rumah kost untuk kaum pendatang sebagai salah satu wujud dari falsafah huma betang yang diimplementasikan dalam budaya masyarakat daerah tersebut.
Masyarakat Dayak sungguh memberikan kearifan yang sangat tinggi harganya. Tidak pernah ada perselisihan, yang berarti dalam kehidupan Huma Betang. Saling menghargai, menghormati dan saling tolong menolong tercipta sejak beberapa abad silam dan masih bisa dilihat hingga sekarang.
Falsafah huma betang dalam kehidupan masyarakat Kalteng betul-betul hidup bersama dalam suatu suasana harmonis manakala pendatang berpegang menganut budaya "di mana bumi di injak, di situ langit dijunjung".
Mencermati kehidupan yang konsisten pada kearifan lokal huma betang itu, agaknya tidak keliru manakala budaya yang berkembang dalam masyarakat di seluruh Provinsi di Indonesia, termasuk di Kalteng dipertahankan bagi kelanjutan pembangunan di masa mendatang.
 
Sumber :
ANT
Editor :
Jodhi Yudono