Jumat, 31 Mei 2013

Makalah Prof. Norsanie dalam Seminar yang diseleggarakan oleh DPR-RI

“HUMA BETANG” SIMBOL KERUKUNAN WARGA KALTENG




“Huma Betang” adalah dalam istilah sehari-hari “rumah besar” yang dihuni banyak orang dengan beragam agama dan kepercayaan tetapi tetap rukun nan damai.
Sehingga Huma Betang adalah sebuah simbol dan filosofis kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah (Kalteng) seperti yang terlihat di Kota Palangka Raya, Ibukota Provinsi Kalteng, kata Wali Kota Palangka Raya, Riban Satia.
Ketika menerima kunjungan Dirut LKBN Antara, Ahmad Mukhlis Yusuf beserta rombongan di rumah jabatannya (Kamis 2/8), Riban Satia bercerita banyak mengenai konsep kerukunan Huma Betang dalam adat masyarakat Dayak Kalteng.
Adapun rumah besar dimaksud bila diartikan secara luas sekarang ini, tentu tidak sebatas sebuah rumah, tetapi sudah sebuah wilayah, atau kawasan yakni se-Kalimantan Tengah.
“Kami sudah terbiasa hidup rukun dan damai dalam sebuah rumah besar, di saat ada perayaan agama Islam seperti Idul Fitri, warga agama lain di rumah itu ikut pula merayakannya, begitu juga saat Natal atau perayaan agama Kaharingan, warga muslim juga ikut merayakannya,” kata Riban Satia.
Susana seperti itu sudah terlihat sejak lama sejak adanya rumah betang yang merupakan rumah adat dan khas Suku Dayak di Kalimantan Tengah.
Mereka yang hidup di “rumah betang” ini terdapat berbagai ragam kepercayaan apakah ia masih menganut kepercayaan lama yang di di Kalimantan Tengah “Kaharingan” atau ada pula yang sudah berpindah pada kepercayaan lain seperti Islam maupun kristen.
Melalui konsep huma betang itu pula berbagai program pembangunan di wilayah ini diterapkan, artinya masyarakat diajak secara toleran dan bahu membahu membangun wilayah.
“Berkat konsep itu pula, Palangka Raya dan wilayah Kalteng lainnya kini terus bisa berkembang,” tuturnya lagi.
Dalam “huma betang” tidak pernah terjadi perselisihan yang berarti kerena tingkat kekeluargaan atau kekerabatan yang sangat tinggi.
Hal senada juga diutarakan budayawan sekaligus Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Norsanie Darlan dalam sebuah seminar.
Menurut guru besar pendidikan luar sekolah tersebut, bila suatu saat mereka di rumah betang mengadakan upacara “Tiwah” suatu acara yang sangat sakral suatu penghormatan terhadap leluruh, semua yang ada di rumah betang mendukung kegiatan tersebut.
Walau anak cucu mereka sudah berubah kepercayaan, namun rasa saling menghormati sangat tinggi, sehingga mereka rela untuk mengorbankan harta untuk mengadakan upacara pembongkaran makam leluhur, kemudian tulang belulangnya dibersihkan dan di simpan pada sebuah sandung yang mereka buat secara bergotong royong.
Dengan filosofi “Huma Betang” ini maka mereka tidak pernah menolak kehadiran tamu dari mana saja untuk tinggal di rumah betang, sejauh tamu tersebut mengikuti filosofi “di mana langit di junjung di situ bumi di injak”.
Penuh Toleran
Toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di huma Betang ini, seperti perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik, atau terhadap mereka yang ada di sekitarnya.
Budaya yang sudah turun temurun, yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan, maka bagi penganut agama atau kepercayaan lain, ikut bersiapkan berbagai bahan, berupa beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain.
Agar para penganut kepercayaan beda turut merasakan segala suka cita mereka dalam kebersamaan.
Namun cara memasak dipersilakan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka, katanya.
Umumnya masyarakat Dayak penuh toleransi ini, terjadi pergeseran hanyalah terjadi belakangan ini saja atau antara 10-15 tahun terakhir.
Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi saja, katanya dalam sebuah seminar diselenggarakan MPR-RI bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMP) .
Sebagai contoh bila seorang anak di pedalaman yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya lantaran dulu sulit mencari rumah kost, maka anak tersebut dititipkan kepada keluarga yang tinggal di Palangka Raya.
Keluarga yang dititipi anak tersebut bisa memang keluarga sedarah atau keturunan, atau bisa juga hanya sebatas keluarga sekampung, tetangga, atau hanya satu wilayah bahkan hanya kenalan saja.
Dengan toleransi yang sangat tinggi, maka anak yang ikut tinggal, di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa, kata Norsanie Darlan.
Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong.
“Di sinilah salah satu toleransi filosafi Huma Betang kita,” kata Norsanie Darlan dosen kelahiran Anjir tersebut.
Rumah kost belakangan memang mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain di luar provinsi Kalimantan Tengah, untuk melanjutkan pendidikan terutama kuliah.
Sehingga mereka pendatang usia muda dari luar ini, mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4 – 5 tahun ke depan, akibat kebutuhan tersebut maka berdirilah rumah-rumah kost untuk kaum pendatang tersebut.
Sementara itu berdasarkan sebuah tulisan, filosofi Rumah Betang berkaitan erat dengan azas kekeluargaan yang diciptakan oleh leluhur suku Dayak.
Menurut sebuah cerita dahulu semua orang Dayak tinggal secara terpisah satu sama lainnya, sangat sulit berhubungan dan memantau keadaan masing-masing.
Oleh karena itu tetuha masyarakat Dayak merasa perlu memperhatikan sanak saudara-saudaranya. Untuk mempertemukan semua anggota keluarga yang terpisah-pisah, terbit sebuah ide. Yakni membangun rumah agar mempermudah hubungan antar sesama anggota yang sebelumnya berjauh-jauhan.
Rumah itu dibuat memanjang untuk menampung jumlah keluarga yang seiring waktu semakin bertambah, saat itulah penamaan Rumah Panjang atau Rumah Betang tercipta.
Seiring berjalannya waktu, mereka menyadari pentingnya membangun sebuah hubungan antar sesama manusia, sesuai dengan prinsip hidup leluhur mereka yaitu saling membantu sesama manusia menjadi sebuah nilai kemanusiaan yang bersahaja.
Mereka mulai menciptakan aturan-aturan tentang tata krama kehidupan bermasyarakat yang baik, itulah awal mula terciptanya hukum adat.
Hingga saat ini, azas kekeluargaan itu masih melekat dalam kehidupan keluarga yang sekarang menghuni ruah betang.
Secara garis besar, semua penghuni rumah betang merupakan sebuah keluarga besar yang berasal dari satu pertalian keturunan darah yang sama.
Keluarga yang besar ini memiliki hirarki adat yang tersusun ke dalam struktur lembaga adat Dayak, ada tetua adat yang mengetahui semua hal yang berkaitan dengan budaya rumah betang, ada juga penanggung jawab rumah betang, kepala desa, sekretaris desa semuanya juga berkumpul menjadi satu di dalam Rumah Betang.

Sabtu, 25 Mei 2013

Laporan FokusJambi.com

Pengamat: Dua Harga BBM Berbeda Sulit Pengawasan


FOKUSJAMBI.COM, - BANJARMASIN,
Pengamat sosial kemasyarakatan dari Universitas Palangka Raya (Unpar), Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH berpendapat, bila pemerintah memberlakukan dua harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berbeda, maka akan menyulitkan dalam pengawasan.

Sebagai contoh pengangkutan BBM untuk daerah pedalaman, seperti di Kalimantan masih banyak menggunakan angkutan sungai, sehingga sulit melakukan pengawasan, lanjut dosen Unpar tersebut kepada Antara Kalimantan Selatan, di Banjarmasin, Senin.

"Karena masyarakat pada umumnya tak mengetahui mana BBM bersubsidi dan non subsidi, sehingga berpotensi pula penyimpangan peruntukan. Penyimpangan peruntukan itu bisa terjadi di perkotaan, terlebih di daerah pedalaman," ujarnya.

Sedangkan aparat keamanan tak mungkin melakukan pengawasan terus menerus atau dalam jangka panjang, karena banyak pula tugas lain yang menjadi tanggung jawab mereka, lanjutnya.

Ia mencontohkan bentuk penyimpangan peruntukan, yaitu sebuah angkutan umum yang tidak beraktivitas/tak mengangkut penumpang, mengatre di Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Namun BBM itu dia jual dengan harga non subsidi.

"Nah, mungkinkah aparat kepolisian bisa mengawasi praktek seperti itu. Sementara personel kepolisian terbatas dan mereka yang berbuat penyimpangan itu biasanya sembunyi-sembunyi," ujarnya.

Selain itu, dengan dua harga BBM yang berbeda, bisa menimbulkan kecemburuan sosial, baik di perkotaan maupun daerah pedalaman, tambah Guru Besar pada perguruan tinggi negeri tertua dan terbesar di "Bumi Isen Mulang" Kalimantan Tengah (Kalteng) tersebut.

Oleh karenanya, anak desa Anjir Kapuas, Kalteng yang meniti karir dari pegawai bawahan (pesuruh) hingga menjadi profesor itu, menyarankan, sebaiknya harga BBM disamakan saja atau ada perbedaan.

Sebagai contoh rencana penetapan harga BBM per liter untuk mobil pribadi Rp6.500 dan sepedamotor atau angkutan penumpang umum Rp4.500, lanjut mantan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Pemprov Kalteng itu.

Sebab itu pula, mantan aktivis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) dari "Bumi Isen Mulang" Kalteng tersebut sependapat atau setuju kalau pemerintah menaikan harga BBM dengan batas-batas kewajaran, sehingga cuma ada satu jenis harga.

"Penetapan satu harga BBM tersebut, guna memudahkan pengawasan serta menghindari kecemburuan sosial yang bisa berunjung pada hal-hal yang tak kita inginkan bersama,".(ant)

Senin, 20 Mei 2013

Komentas di Palangka Raya, terbit di Medan

Tribun Medan
Selasa, 21 Mei 2013
Dua Harga BBM Sulitkan Pengawasan
Tribun Medan - Senin, 29 April 2013 09:09 WIB
TRIBUN-MEDAN.com, BANJARMASIN - Pengamat sosial kemasyarakatan dari Universitas Palangka Raya (Unpar), Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH berpendapat, bila pemerintah memberlakukan dua harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berbeda, maka pengawasan akan  makin sulit.

Sebagai contoh pengangkutan BBM untuk daerah pedalaman, seperti di Kalimantan masih banyak menggunakan angkutan sungai, sehingga sulit melakukan pengawasan, lanjut dosen Unpar tersebut kepada Antara Kalimantan Selatan, di Banjarmasin, Senin.

"Karena masyarakat pada umumnya tak mengetahui mana BBM bersubsidi dan non subsidi, sehingga berpotensi pula penyimpangan peruntukan. Penyimpangan peruntukan itu bisa terjadi di perkotaan, terlebih di daerah pedalaman," ujarnya.

Sedangkan aparat keamanan tak mungkin melakukan pengawasan terus menerus atau dalam jangka panjang, karena banyak pula tugas lain yang menjadi tanggung jawab mereka, lanjutnya.

Ia mencontohkan bentuk penyimpangan peruntukan, yaitu sebuah angkutan umum yang tidak beraktivitas/tak mengangkut penumpang, mengatre di Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Namun BBM itu dia jual dengan harga non subsidi.

"Nah, mungkinkah aparat kepolisian bisa mengawasi praktek seperti itu. Sementara personel kepolisian terbatas dan mereka yang berbuat penyimpangan itu biasanya sembunyi-sembunyi," ujarnya.

Selain itu, dengan dua harga BBM yang berbeda, bisa menimbulkan kecemburuan sosial, baik di perkotaan maupun daerah pedalaman, tambah Guru Besar pada perguruan tinggi negeri tertua dan terbesar di "Bumi Isen Mulang" Kalimantan Tengah (Kalteng) tersebut.
Oleh karenanya, anak desa Anjir Kapuas, Kalteng yang meniti karir dari pegawai bawahan (pesuruh) hingga menjadi profesor itu, menyarankan, sebaiknya harga BBM disamakan saja atau ada perbedaan.

Sebagai contoh rencana penetapan harga BBM per liter untuk mobil pribadi Rp6.500 dan sepedamotor atau angkutan penumpang umum Rp4.500, lanjut mantan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Pemprov Kalteng itu.

Sebab itu pula, mantan aktivis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) dari "Bumi Isen Mulang" Kalteng tersebut sependapat atau setuju kalau pemerintah menaikan harga BBM dengan batas-batas kewajaran, sehingga cuma ada satu jenis harga.

"Penetapan satu harga BBM tersebut, guna memudahkan pengawasan serta menghindari kecemburua sosial yang bisa berunjung pada hal-hal yang tak kita inginkan bersama," demikian Norsanie Darlan.

Editor : Raden Armand Firdaus
Sumber : Kompas.com

Sabtu, 18 Mei 2013

KOMPASIANA

Banjir Memicu Hangatnya Kembali Wacana Pemindahan Ibu Kota

OPINI | 21 January 2013 | 15:01 Dibaca: 292   Komentar: 0   Nihil
Ibu kota pindah. Ide ini sudah lama dilontarkan oleh berbagai pihak. Tidak mudah memang. Banyak yang masih memandang sinis ide ini. Bagi mereka, opsi pindah ibu kota itu adalah opsi pesimis. Bagi yang mendukung, opsi memindahkan ibukota adalah ide yang matang dengan pertimbagan sempurna.
Saat ibukota disibukkan dengan banjir, ide ini dilontarkan kembali. Hari ini (Senin, 21 Januari 2013) Jokowi bertemu dengan pimpinan MPR di Gedung MPR RI. Dalam pertemuan itu Pak Jokowi berkata “Kalau memang sudah kita mentok dan kesulitan untuk mengatasi banjir Jakarta, tidak ada jalan lain. Ya, saya sangat setuju dengan Bapak Ketua MPR untuk dipindah,” (sumber : www.kompas.com). Jadi jelaslah sudah sang Gubernur Jakarta termasuk pihak yang setuju ibukota pindah, dengan catatan Kalau memang sudah kita mentok dan kesulitan untuk mengatasi banjir Jakarta, tidak ada jalan lain.
Sebenarnya masih sanggupkah Jakarta menyandang gelar ibukota? Mari kita coba cari jawabannya, berdasarkan data-data berikut :
1. Sejak Indonesia masih berpresidenkan Soekarno, ide pindah ibukota ke Palangkaraya sudah sering diajukan. Ide ini digagas oleh beliau sekitar tahun 1957. Saat ini, banyak ahli yang mendukung pendapat ini karena memiliki lahan luas serta dimungkinkan dibangun sejumlah perkantoran kementerian. Kota Palangkaraya juga berada di atas bukit sehingga tidak akan terjadi banjir. Pendapat ini kembali diamini oleh Prof HM Norsanie Darlan (Guru Besar Universitas Palangkaraya)
2. Pendapat para pakar mengenai pemindahan ibu kota :
Andrinof Chaniago (Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia) berpendapat daya dukung Pulau Jawa khususnya Jakarta dan sekitarnya tak memadai lagi untuk Ibukota. Satu bom sosial siap meledak di Jakarta 20 tahun lagi. Kesenjangan sosial kian tajam, kriminalitas tinggi, taraf kesehatan menurun. Gangguan jiwa meningkat
Yayat Supriyatna (Planolog dari Universitas Trisakti) berpendapat Jakarta tidak pernah disiapkan secara matang untuk menjadi Ibukota dengan skala sebesar sekarang, Dari sekadar kota perdagangan, kemudian harus menampung aktivitas pemerintahan dalam skala besar sehingga fungsi dan perannya tidak jelas.
Haryo Winarso (Haryo Winarso) berpendapat Ibukota tidak dapat pindah ke dalam lokasi berdekatan karena hal tersebut hanya akan memperpanjang kemacetan diakrenakan orang-orang yang terlibat pemerintahan tetap tinggal di Jakarta sehingga akan tetap macet
Sonny Harry B. Harmadi (Pakar demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) berpendapat pemindahan Ibukota ke luar Jakarta dan bahkan ke luar Jawa. kepadatan penduduk dan pemusatan aktivitas yang terus meningkat di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi menjadikan daerah ini tidak lagi ideal sebagai kandidat Ibukota baru Republik Indonesia
M Jehansyah Siregar (doktor di bidang perencanaan kota dari Universitas Tokyo) berpendapat Berdasarkan berbagai kajian yang telah ada, Kalimantan pulau yang telah siap secara infrastruktur dan secara geografis Kalimantan jauh dari pusat gempa dan gunung berapi.
Dari data-data diatas, dapat disimpulkan Jakarta berbeban terlalu berat, disamping sebagai pusat pemerintahan, ia juga mengemban tugas sebagai pusat ekonomi dan perdagangan. Maka dapat dilihat dari pendapat para ahli tersebut termasuk Pak Karno juga, untuk membantu Jakarta jadi “sehat” pindahkanlah satu tugas ke kota lain, dan yang paling mendukung dipindahkan adalah tugas sebagai pusat pemerintahan. Jadi, jika ibukota negara pindah, yang berpindah adalah pusat pemerintahannya.
Metode seperti ini bukanlah metode baru, sudah banyak negara yang mempraktekannya, lihat saja Amerika Serikat yang memusatkan pemerintahan di Washington sementara ekonomi tetap dipusatkan di New York. Demikian halnya dengan Australia, ibukota (pemerintahan) sudah dipindahkan ke Canberra. Bahkan saudara sebelah kita –Malaysia-, juga memindahkan pusat pemerintahannya ke Putrajaya.
Tampaknya, ide memindahkan pusat pemerintahan ini kita setujui saja ya.^_^
Salam,

Kamis, 16 Mei 2013

Norsanie fisiknya di Kalteng, Beritanya di Kalsel

Harga BBM Naik, Suplai Lancar
Selasa, 30 April 2013 | 00:41 Wita A- A A+ Dibaca: 113 kali

Dua Harga Sulit Pengawasan

 Oleh: HM Norsanie Darlan
  Palangka Raya

KITA Setuju jika harga BBM dinaikan. Ini kemauan pemerintah dengan berbagai pertimbangan yang kabarnya sudah dimatangkan. Namun permasalah bakal timbul setelah harga yang jauh berbeda, membuat kecemburuan sosial.

Bakal terjadi, terlebih di wilayah pedalaman.

Mungkin untuk waktu pendek baik di perkotaan ataupun pedesaan dapat diawasi dalam kurun waktu tertentu. Sementara untuk jangka panjang, apakah pihak keamanan mampu bertahan berlama-lama. Karena petugas keamanan tidak saja pekerjaannya untuk mengamankan pendistribusian BBM, karena mereka juga masih banyak tugas-tugas lainnya. Sehingga dua harga BBM itu memungkinkan terjadi kesulitan pengawasan secara berkepanjangan.

Sekarang bagaimana BBM yang ada di kawasan pedalaman. Karena di pedalam khususnya di Kalimantan pendistribusian  minyak masih sebagian besar melewati air. Artinya melalui sungai. Permasalahan yang bakal timbul, nantinya mana BBM bersubsidi dan mana pula yang nonsubsidi.

Masyarakat di pedalaman memang terbiasa membeli harga BBM lebih mahal dari perkotaan, ini mungkin karena transprotasinya jauh dan sulit. yang penting ada BBM-nya walau harga mahal. Dan bisakah mereka mengetahui, mana BBM bersubsidi untuk mereka atau yang non subsidi. (*)

Rabu, 15 Mei 2013

Unpar Teliti Pengaruh Keasaman Air Bagi Kesehatan

Sumber: kapanlagi.com
Selasa, 22 Desember 2009 08:13:00

Kapanlagi.com

1
 


Kapanlagi.com - Staf pengajar Universitas Palangkaraya (Unpar), Kalimantan Tengah (Kalteng) melakukan penelitian pengaruh tingkat keasaman air di kawasan Anjir Serapat, Kecamatan Kapuas Timur, Kabupaten Kapuas terhadap kesehatan warga setempat. "Akibat tingkat keasaman air tersebut ternyata penyakit yang banyak diderita masyarakat setempat adalah tukak lambung dan penyakit jaringan bawah kulit," demikian hasil penelitian yang diterbitkan guru besar Unpar, Prof HM Norsanie, edisi kesembilan yang diperoleh di Palangkaraya, Minggu.
Hasil penelitian diperoleh ternyata air di terusan Anjir serapat pH air sampai titik kulminasi terendah 3,88 dan tertinggi 5,5.
Dari data tersebut berarti air di Anjir Serapat tidak mencapai batas terendah pada nilai ambang batas (NBA) 5,6 dan dengan demikian kasus kesehatan masyarakat yang diperoleh dari data Puskesmas setempat adalah tukak lambung dan jaringan bawah kulit itu.
Oleh karena itu hasil penelitian merekomendasikan agar warga masyarakat setempat perlu diberikan skill untuk mengolah air minum yang memenuhi standard yang telah ditetapkan, agar warga setempat memperoleh hidup yang layak seperti warga masyarakat yang bertempat tinggal di daerah lain.
Disebutkan metode penelitian ini sifatnya kausal komparatif untuk menyelidiki kemungkinan hubungan sebab akibat dengan cara mengukur beberapa kali terhadap keasaman air di Anjir Serapat dalam interval waktu setiap tiga bulan sebanyak empat kali pengukuran dalam setahun.
Populasi penelitian seluruh air di sepanjang terusan Anjir Serapat dalam wilayah Kecamatan Kapuas Timur, Kabupaten Kapuas Kalteng, sedangkan pengambilan sampelnya diambil tujuh lokasi masing-masing lokasi diukur setiap dua kilometer.
Alat penelitian terdiri dari pH meter buatan Australia, pedoman observasi pH meter untuk mengetahui dan mengukur setiap sampel air di masing-masing lokasi, serta mencatat setiap perbedaan setiap waktu pengukuran.
Sedangkan pedoman observasi untuk melihat kasus yang terjadi pada Puskesmas atas keluhan masyarakat dan hasil pemeriksaan dokter terhadap keluhan yang terbanyak. Sedangkan analisis menggunakan uji statistik korelasional.
Perlu diketahui terusan Anjir Serapat merupakan kawasan bergambut di Kabupaten Kapuas dengan warna air agak kecoklatan, terusan ini merupakan jalur lalu-lintas angkutan air yang padat. (ant/roc)