Kamis, 27 Maret 2014

HARIAN PELITA

Pemerintah Tingkat Perhatian Terhadap Pendidikan Non Formal

Minggu, 3 Februari 2013  
Banjarmasin, Pelita
Pengamat masalah sosial kemasyarakatan dari Universitas Palangka Raya (Unpar) Kalimantan Tengah Prof Dr HM Norsanie Darlan meminta, pemerintah agar meningkatkan perhatian terhadap pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah.
Prof Dr HM Norsanie Darlan mengungkapkan  berkaitan masih kurangnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan non formal selama ini. Padahal, menurut pengajar pascasarjana pendidikan luar sekolah (PLS) pada perguruan tinggi negeri tertua di "Bumi Isen Mulang" Kalteng itu, peran pendidikan non formal juga cukup besar terhadap upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebagai contoh dalam penuntasan penyandang buta aksara, serta berbagai kursus, pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan keahlian, keterampilan dan kecakapan seseorang. "Karenanya seiring perkembangan dan kemajuan zaman, keberadaan pendidikan non formal telah dikenal dalam peradaban manusia jauh sebelum adanya pendidikan formal dan sistem persekolahan," ujar Prof Dr HM Norsanie Darlan  seperti dikutip Antara, di Banjarmasi, Sabtu.
Namun pembinaan pendidikan nasional selama ini masih didominasi oleh pendidikan formal. Pembinaan pendidikan non formal dilakukan oleh pemerintah hanya melalui berbagai pendekatan proyek yang bersifat sementara dan kadangkala tidak berkelanjutan.
Begitu pula cakupan masih terbatas pada beberapa jenis kebutuhan pendidikan yang bersifat nasional, ujar Prof Dr HM Norsanie Darlan, pria kelahiran Anjir Kapuas Kalteng.
Sementara pendidikan non formal yang diselenggarakan masyarakat masih bertumpu pada jenis-jenis pendidikan yang memiliki nilai komersial sehingga dapat ditarik pembayaran dari masyarakat untuk membiayai kegiatan pendidikan tersebut. Untuk meningkatkan efektivitas keberhasilan pendidikan non formal telah dilakukan berbagai evaluasi terhadap kiprahnya selama ini. Negara-negara yang tergabung dalam UNESCO menyimpulkan, pembangunan pendidikan non formal/PLS haruslah semaksimal mungkin bersifat partisipatif.
Pembangunan pendidikan non formal tersebut dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri dan peran pemerintah sebaiknya diposisikan lebih sebagai fasilitator. Hal ini terlihat dari berbagai naskah deklarasi antara lain deklarasi Jomtien, Dakar, dan sebagainya. demikian Norsanie Darlan. IK Sutika rud
Dibaca 146 kali

MELIRIK TUNTUTAN PASAL 31 UUD'1945 BAGI MASYARAKAT MARGINAL

Anak Nelayan Memerlukan Fasilitas Khusus Pendidikan


Banjarmasin - Pemerintah perlu memberikan fasilitas pendidikan secara khusus bagi anak nelayan di bantaran sungai dan danau Sebangau, Kalimantan Tengah.

Seorang pemerhati pendidikan dan guru besar Pendidikan Luar Sekolah Universitas Palangka Raya (Unpar), Prof HM Norsanie, Rabu, mengatakan bahwa perlunya fasilitas bagi anak nelayan tersebut karena orang tua mereka tergolong kurang mampu.

Anak nelayan kawasan tersebut adalah penghuni pondok-pondok ukuran yang sangat sederhana dengan atap daun dan dinding seadanya,jauh dari kehidupan yang layak. "Kalau melihat kondisi anak nelayan di sana sulit bagi mereka bersekolah karena ketidak mampuan materi, kalau tidak diberikan fasilitas khusus, sulit mereka bisa bersekolah," kata Norsanie.

Pengalaman perjalanan dari kelurahan Kereng Bangkirai kecamatan Sebangau, Kota Palangka Raya, menuju kecamatan Sebangau Kuala memerlukan waktu tiga jam lebih itu memanfaatkan perahu bermesin, yang tentunya bagi masyarakat nelayan menggunakan perahu menelan waktu seharian untuk menjangkau kota.

Melihat kondisi demikian maka diperlukan perhatian khusus, agar anak nelayan bisa menikmati pendidikan dengan sebaya mereka di kota, agar nantinya mereka juga bisa berkembang menjadi anak yang cerdas sebagai penerus perjuangan bangsa ini, kata Norsanie.

Norsanie yang dikenal sebagai seorang dosen S-1 dan S-2 PLS Unpar ini sangat menyesalkan terhadap instansi terkait yang kurang memperhatikan pemerataan pendidikan di kawasan tersebut.

Alangkah janggalnya Kalimantan Tengah telah menerima anugerah dari Presiden RI karena dilaporkan tingkat pendidikan yang katanya sudah tuntas, ternyata masih terlihat anak yang tidak bersekolah seperti itu. "Apa betul sektor pendidikan di Kalteng ini sudah tuntas, kalau sebagian penduduk kita, yang di berbagai tempat belum terlayani bidang pendidikan, baik jalur formal maupun nonformal," tuturnya.

Memang kalau nelayan tersebut ditanya bagaimana anak-anaknya sekolah, jawabnya sangat sederhana. "Bagaimana anak-anak kami sekolah, kalau fasilitas sekolah sangat jauh dari tempat pemukimannya."
Read 915 times

Selasa, 25 Maret 2014

Peluang Baru Berbisnis 'BBM Eceran' untuk Pemilik Motor & Angkot


29 April 2013 | 10:09 WIB
 
 
REAKSI KENAIKAN BBM
Secara tiba-tiba muncul pesan berantai (broadcast BBM) ke telepon selular (ponsel). Isinya pemberitahuan peluang bisnis baru, yaitu menjual Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi bagi para pengguna kendaraan roda dua (motor) ataupun pemilik mobil penumpang umum (MPU).

Ini merupakan respon atas rencana pemberlakukan dua harga BBM dari pemerintah, dimana pemilik motor dan angkutan umum masih diperolehkan membeli dengan harga Rp 4.500 per liter. Sedangkan harga BBM untuk pemilik mobil pribadi akan terjadi kenaikan (kisaran harga menjadi Rp 6.500 per liter).

Demikian bunyi pesan berantai tersebut; "dari perbedaan harga premium bisa jadi penghasilan. Jadi pemilik motor dan MPU bisa beli di SPBU seharga Rp 4.500 lalu di jual ke pemilik mobil pribadi plat hitam seharga Rp 6.000, dengan keuntungan Rp 1.500 atau 33% dari modal."

Pesan ini juga memuat ilustrasi potensi keuntungan dari pemilik motor sekitar Rp 67.500 per hari atau Rp 2.025 juta per bulan. Potensi keuntungan yang lebih fantastis ini terjadi pada MPU, yaitu Rp 9 juta per bulan.

Kekhawatiran penyimpangan ini sejatinya sudah pernah diutarakan berbagai pihak. Tidak ada jaminan konsumen pemilik motor ataupun angkutan umum tidak melakukan bisnis 'BBM eceran' karena bentuk pengawasan yang sangat sulit. Hal ini kembali ditegaskan Pengamat sosial kemasyarakatan dari Universitas Palangka Raya (Unpar), Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH.

"Karena masyarakat pada umumnya tak mengetahui mana BBM bersubsidi dan non subsidi, sehingga berpotensi pula penyimpangan peruntukan. Penyimpangan peruntukan itu bisa terjadi di perkotaan, terlebih di daerah pedalaman," ucap Norsanie, Senin (29/4).

Di Kalimantan, khususnya pedalaman yang memakai jalur transportasi sungai, apakah pengawasan akan efektif? Belum lagi aparat keamanan juga tidak mungkin melakukan pengawasan 24 jam.

Hal ini sudah terlihat saat banyak angkutan yang mengantri untuk membeli BBM jenis solar. Setelah mendapatkan BBM subsidi, mereka menjualnya dengan harga lebih tinggi.

"Mungkinkah aparat kepolisian bisa mengawasi praktek seperti itu. Sementara personel kepolisian terbatas dan mereka yang berbuat penyimpangan itu biasanya sembunyi-sembunyi," paparnya.

Rabu, 19 Maret 2014

PEGAWAI PENCATAT NIKAH PERLU PENGETAHUAN KEPENDUDUKAN KB



Oleh: Saidulkarnain Ishak
Palangka Raya, 16/3 (Antara) - Pegawai pencatat nikah Kantor Urusan Agama dinilai perlu mendapat pengetahuan mengenai kependudukan dan keluarga berencana di provinsi Kalimantan Tengah, kata seorang pengamat sosial kemasyarakatan Prof Dr. HM Norsanie Darlan, MS PH
Melalui surat elektroniknya yang diterima Antara, Minggu guru besar Pendidikan Luar Sekolah di Universitas Palangka Raya itu mengatakan, pengetahuan kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) yang diberikan kepada pegawai pencatat nikah yang juga disebut Naib tersebut diharapkan dapat ditransfer kepada pasangan calon pengantin baru.
"Pemikiran ini juga saya sampaikan di depan peserta pendidikan dan pelatihan (DIKLAT) yang dihadiri penghulu, naib, juru nikah Kantor Urusan Agama (KUA) dari 14 kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah," kata Norsanie yang juga dosen pendidikan luar sekolah (PLS) Unpar.
 Kegiatan yang dibuka oleh: Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Kalimantan Tengah Kusnasi, SH dan Kakanwil Kementerain Agama Drs H Tantowi Djawahir, MM itu, dimaksudkan untuk menambah pengetahuan bagi calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan.
 Pendidikan dan pelatihan yang diikuti kepala KUA ini agar para naib, pengulu, dan juru nikah ini yang ketika menikahkan pasangan calon pengantin ini agar mereka dapat motivasi kepada setiap pasangan calon pengantin terkait pemahaman mengenai kependudukan dan KB. Termasuk juga semua mereka yang berhadir dalam acara sakral itu.
 Materi yang saya sampaikan pada pelatihan tersebut `Peran Naib dalam Memasyarakatkan program Kependudukan dan Keluarga Berencana. Saya berharap materi ini, bisa menambah pengetahuan naib, penghulu, dan juru nikah, ujarnya.
 Akad nikah merupakan acara sakral yang sejatinya dapat diimplementasikan berbagai pengetahuan untuk semua orang yang menghadiri momentum tersebut, terutama pasangan pengantin yang memasuki kehidupan baru dalam suatu rumah tangga, tambahnya.
 Kalau selama ini petugas pencatat nikah atau naib, pengulu, dan juru nikah memberi motivasi kepada calon pasangan pengantin terkait masalah imunisasi, dan penyuluhan tetanus toxid (TT), maka tidak keliru apabila pengetahuan kependudukan dan KB juga disampaikan pada acara sakral tersebut.
Saat dikonfermasi,Guru Besar S-1 dan S-2 PLS di Universitas Palangka Raya itu, menceritakan pengamalannya saat mahasiswa S-2 Kedokteran Universitas Gadjah Mada pada tahun 1987.  ia melakukan eksperimental kepada para calon pengantin Wanita di 4 KUA dalam wilayah kabupaten Bantul (sebagai wilayah pedesaan) dan 4 KUA di kotamadya Yogyakarta (sebagai wilayah perkotaan). Alhamdulillah dewasa ini, TT calon pengantin dapat berjalan dengan baik. Keberhasil tersebut tidak terlepas berkat bimbingan  Prof. dr. Parmono Achmad, M.PH, Prof. Dr. Watik Pratiknya dan dr. Doejahman, M.Si. dari Universitas Gadjah Mada.  
Tamu undangan yang hadir menyaksikan upacara pernikahan tersebut akan ikut mendapat pencerahan mengenai berbagai persoalan berumah tangga, termasuk masalah kependudukan dan KB sebagai salah satu upaya mengantur kelahiran di Indonesia, kata Norsanie. ***3***

(T.S019/B/M. Yusuf/M. Yusuf) 16-03-2014 20:55:01

Minggu, 16 Maret 2014

Kalimantan Siap Jadi Ibu Kota RI?

Kamis, 24 Januari 2013 00:16 WIB
Kalimantan Siap Jadi Ibu Kota RI?
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
Rumah adat khas Dayak atau betang Antang Kalang terlihat di Desa Tumbang Gagu, Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Senin (27/2/2012). Rumah adat di tepi Sungai Kalang tersebut dibangun Singa Jaya Antang bin Lambang Dadu pada tahun 1870 dan mulai dihuni tahun 1878. Betang Antang Kalang termasuk tujuan wisata andalan di Kotawaringin Timur.  
Banjarmasin, Wartakotalive.com

Wacana pemindahan ibu kota Republik Indonesia dari Daerah Khusus Istimewa (DKI) Jakarta mendapat perhatian dan tanggapan beragam dengan tinjauan dari berbagai aspek.
"Perhatian itu sebuah kewajaran. Karena wacana tersebut, bukan rahasia umum lagi," ujar Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) H Riswandi di Banjarmasin, sebagaimana dilansir Antara, Rabu.
"Apalagi `kota metropolitan` tersebut belakangan seakan sudah menjadi langganan banjir. Sementara pemerintah tampaknya masih kesulitan mencari solusi agar persoalan itu tidak lagi menghambat jalan roda pemerintahan," katanya.
Menurut anggota DPRD Kalsel dua periode dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, pemindahan ibu kota RI bukan semudah membalik telapak tangan, namun bisa terwujud asalkan ada kesepahaman dan kajian lebih mendalam lagi.
"Karena pemindahan ibu kota RI tidak hanya memerlukan pemikiran, melainkan dari segi biaya juga harus menunjang serta berbagai pertimbangan lain," kata mantan pegawai Departemen Keuangan itu.
Menurut dia, memang sudah selayaknya ibu kota negara dipindah dari DKI. Kalimantan sangat siap dan merupakan kawasan strategis untuk menjadi tempat ibu kota RI.
"Pulau Kalimantan yang dianggap strategis untuk pemindahan ibu kota RI tersebut. Karena Pulau Borneo bila dilihat dari sisi bencana sangat kecil, seperti gempa dan banjir," kata politisi PKS tersebut.
"Layak atau tidak layak, Kalimantan merupakan daerah yang sangat strategis. siap atau tidak siap, Kalimantan masih sangat luas untuk membangun pemerintahan RI," demikian Riswandi.
Sementara itu, guru besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Dr HM Norsanie Darlan mengungkit kembali keinginan Presiden RI Soekarno yang mau menjadikan ibu kota Kalimantan Tengah sebagai ibu kota negara.
Presiden RI pertama melontarkan keinginannya itu pada tahun 1950-an saat peresmian kota Pahandut sebagai ibu kota Kalteng, yang belakangan ibu kota provinsi tersebut bernama Palangka Raya.
"Saya kira pemikiran Bung Karno itu cukup beralasan dan visioner, bukan cuma untuk sesaat atau jangka pendek, tapi jauh ke depan," kata putra Indonesia kelahiran "Bumi Isen Mulang" Kalteng tersebut.
"Oleh karenanya pemikiran proklamator RI tersebut perlu menjadi perhatian bersama, guna masa depan bangsa dan negara yang sama-sama kita cintai," demikian Norsanie Darlan.

Unas Bikin Siswa Stres

Widodo | Kamis, 25 April 2013 - 16:09:36 WIB
Prof. Dr HM Norsanie Darlan, MS PH
UJIAN Nasional (Unas) merupakan hal yang menakutkan bagi murid dan orang tua sehingga perlu pemikiran untuk mencari jalan pemecahan yang dapat menguntungkan dan rasa toleransi terhadap anak didik. Jangan masalah ujian nasional dijadikan semakin tahun semakin diperberat.
Tahun 2013 sebuah peristiwa yang menggemparkan. Karena pasti tercatat dalam sejarah pendidikan di Indonesia bahwa 11 provinsi di Indonesia tidak dapat melaksanakan ujian nasional secara bersamaan. Apakah soal ujiannya tetap sama bagi provinsi yang terlambat. Kalau soalnya sama, tidak menutup kemungkinan terjadi jawaban soal akan dibantu oleh mereka yang rajin memberikan jawaban.
Seharusnya semakin tahun masalah ujian negara ini pasti semakin canggih. Tapi tahun ini terjadi tahun yang suram. Ini perlu pemikiran ulang apakah perhitungan yang telah ditetapkan BSNP sudah tepat? Tapi kalau memperhatikan 11 dari 32 provinsi di Indonesia terlambat. Berarti ada masalah besar. Sementara tahun-tahun sebelumnya tidak demikian. Kalau 1 atau 2 kabupaten yang terlambat bisa ditoleransi. Tapi kalau 11 provinsi terlambat ini masalah besar.
Perlu pemikiran untuk tahun-tahun mendatang, sebaiknya tidak perlu soal ujian disentralisir oleh pusat. Kenapa tidak diserahkan ke provinsi masing-masing dalam perbanyakan soal dan jawaban ujian negara. Bukankah sekarang orde reformasi. Dan kurang tepat kalau dananya terlambat. Karena hal ini masalah rutinitas dunia pendidikan.
Jika ujian seperti tahun ini diproduk secara nasional, tentu perlu memikiran terhadap beda satu daerah dengan yang lain. Misal antara kemajuan pendidikan di jawa dengan di luar saja sudah sangat perlu dipikirkan. Hal seperti ini, menimbulkan inisiatif orang-orang tertentu membuatkan jawaban kepada siswa, guna tujuan mencari kelulusan.  Memang standar perlu ada, tapi perlu pula diperhitungkan beda fasilitas, dan kemampuan siswa masing-masing daerah dalam menjawab soal-soal ujian. Apa lagi soal-soal yang dibuat berbeda-beda. Ini eksperimen apa.
Di salah satu tempat di tanah air ujian sampai di tunda sampai jam 14 pada hari yang sama. Bukankah hal ini tidak merugikan siswa. Kanepa? Karena anak/siswa dari rumah turun ujian direncanakan jam 08.00 pagi. Jika ditunda ke jam 14.00 bagai mana makan siangnya. Apakah semua anak membawa uang untuk makan siang. Apakah cafe di sekolah menyediakan makanan untuk sejumlah siswa mereka. (*Guru Besar PLS Unpar Palangka Raya)

Selasa, 30 April 2013

Naskah UN SD Diserahkan Provinsi

Muhamad Nuh mengungkapkan Naskah UN diserahkan ke masing-masing Provinsi. (Foto: Rozali) Muhamad Nuh mengungkapkan Naskah UN diserahkan ke masing-masing Provinsi. (Foto: Rozali)

JAKARTA,Lampung.Terkini.co.id-Setelah pelajar SMA dan SMP melaksanakan Ujian Nasional (UN), kini giliran siswa Sekolah Dasar (SD) yang akan melaksanakan UN yang digelar pada 6-8 Mei 2013. Untuk UN ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh menjamin bisa dilaksanakan dengan lancar karena pengadaan soal ujian diserahkan pada masing-masing provinsi.
“Cek terakhir, sekarang sudah mulai bergerak distribusi ke kabupaten/kota. Pengadaan ada di provinsi masing-masing. Setiap provinsi buat tender sendiri. Moga-moga lancar,” ujar Nuh, Senin (29/4). Nuh mengatakan, berbeda dengan soal UN untuk SMA dan SMP yang memiliki 20 jenis soal yang berbeda, untuk siswa SD akan diberikan soal yang serupa dan sejenis.

Menurut Nuh, pengerjaan percetakan soal UN SD di provinsi dilakukan bukan hanya pada 2013 ini saja. “Mengawasi 30-an provinsi itu sulit. Kita centralize. Bukan tahun ini saja, tapi tahun lalu juga. Hasilnya juga enggak apa-apa. Tahun lalu engak ada apa-apa,” terang Nuh. Untuk substansi soal UN SD dibuat oleh Pemerintah Pusat sebanyak 25 persen dan Pemerintah Daerah 75 persen.

Terpisah, Pengamat Sosial Kemasyarakatan dari Universitas Palangka Raya (Unpar), HM Norsanie Darlan berpendapat, Ujian Nasional (UN) tahun 2013 membuat siswa peserta UN stres. “Pasalnya UN terkesan menakutkan bagi siswa dan orang tuanya, sehingga perlu pemikiran mencari pemecahan yang dapat menguntungkan dan rasa toleransi terhadap anak didik tersebut,” kata Norsanie Darlan.

Selain itu, beberapa tempat di tanah air ujian tertunda sampai jam 14 pada hari yang sama. Bukankah hal ini tidak merugikan siswa, lanjut mantan aktivis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) tersebut. “Mengapa merugikan siswa, karena anak-anak dari rumah turun lebih awal, untuk mengikuti ujian yang direncanakan pukul 08-00 pagi. Jika ditunda hingga pukul 14.00, bagaimana makan siang mereka,” ujarnya.

Guru Besar pada perguruan tinggi negeri tertua dan terbesar di Kalteng itu meminta, jangan masalah ujian nasional dijadikan semakin tahun semakin diperberat, sehingga terkesan menakutkan, terlebih dengan pengawalan aparat kepolisian.

(Ant/Rozali)

Pengamat sosial kemasyarakat:



Masa Datang Pilkada Bupati/Wali Kota

Sebaiknya Ditiadakan

Antara – Sen, 16 Sep 2013
Banjarmasin (Antara) - Pengamat sosial politik dan kemasyarakatan dari Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Prof Dr HM Norsanie Darlan MS, PH mengusulkan pemilihan umum kepala daerah atau pilkada bupati/wali kota di Indonesia sebaiknya ditiadakan.
"Usul tersebut saya sampaikan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) se-Indonesia di Bogor, Jawa Barat," ujarnya kepada Antara Kalimantan Selatan, di Banjarmasin, Senin.
Pasalnya, lanjut utusan Dewan Pakar Orwil ICMI Kalteng itu, jika Pilkada bupati/wali kota berlanjut, dan ditinjau dari sudut untung ruginya, lebih banyak mudarat daripada manfaat.
"Karena, kalau pilkada bupati/wali kota tetap berlanjut, tidak menutup kemungkinan seringnya terjada rasa permusuhan," ujar Guru Besar pada satu-satunya perguruan tinggi negeri dan tertua di `Bumi Isen Mulang` Kalteng ini. Tidak itu saja, beliau hanya satu-satunya Guru Besar PLS di 5 Provinsi yang ada di Kalimantan.
Menurut dia, dengan pilkada sekarang yang hampir setiap minggu terjadi perselisihan, sebagaimana pemberitaan, baik melalui media elektronik berupa televisi maupun media cetak.
"Perselisihan tersebut, apakah saling menyampaikan pengaduan ataukah terjadi saling bentrok sesama, karena saling ingin memenangkan dukungannya," lanjut profesor yang berkarir mulai dari pegawai rendahan (pesuruh) itu.
"Tidak sampai disitu saja. Tapi juga membuat saling rasa permusuhan antar kelompok. Walau bupati/wali kota itu sudah dilantik. Bukankah hal tersebut, menimbulkan suasana yang tidak kondusif, dan kurang bermanfaat," tandasnya.
Selain itu, menurut dia, dari segi biaya, tentu sangat mahal. Karena masing-masing konsestan mengeluarkan biaya untuk tim suksesnya tidak sedikit.
"Kalau tidak berhasil, tentu siapa yang bakal membayar utang Pilkada itu. Sementara di pihak lain Mendagri mengomentari biaya Pilkada Jatim periode lalu mencapai triliunan rupiah," ujarnya.
"Biaya tersebut, tentu sangat mahal ini. Kenapa tidak dikembalikan seperti masa lalu," lanjut mantan aktivis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) itu.
Oleh sebab itu, pemilihan bupati/wali kota lewat DPRD mungkin bisa menjadi renungan dan pemikiran bersama, serta patut diatur kembali, demikian Norsanie Darlan.
Dalam Rapimnas yang berlangsung di "kota hujan" Bogor 15 - 16 September 2013 itu muncul berbagai usulan dari berbagai daerah, termasuk perutusan Orwil ICMI Kalteng, dan untuk menyongsong Silaturrahmi Nasional ICMI Desember mendatang.(rr)

Minggu, 09 Maret 2014


Prof. Norsanie: Kiprah PLS Belum Maksimal

01 Jan 2014. Hits : 439

 Guru Besar Universitas Palangkaraya (Unpar), Kalimantan Tengah Prof Dr HM Norsanie Darlan berpendapat, dalam era reformasi dewasa ini, pendidikan luar sekolah (PLS) belum dapat berkiprah maksimal, termasuk di kawasan desa tertinggal.

"Belum maksimalnya kiprah PLS terhadap kawasan desa tertinggal, karena ada beberapa sebab," ujar Ketua Program Magister PLS pada satu-satunya universitas negeri di "Bumi Isen Mulang" Kalimantan Tengah (Kalteng) itu, Selasa.

Menurut mantan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng itu, beberapa alasan atau penyebab belum maksimal kiprah PLS terhadap masyarakat kawasan desa tertinggal, antara lain kehadiran PLS masih dilihat sebelah mata.

Selain itu, kehadiran tenaga lapangan dikmas (TLD) yang menutup peluang PLS, serta formasi lapangan kerja masih tertutup, lanjutnya dalam percakapn dengan ANTARA Kalimantan Selatan, di Banjarmasin.

Ia menerangkan, tidak semua orang mengerti dan mengetahui PLS, sebagai misal di kalangan pejabar struktural yang tahu dia itu ikut Diklat di berbagai penjenjangan. Padahal Diklat yang dia ikuti itu, bagian dari PLS.

Begitu pula di kalangan masyarakat luas, PLS hanya sekedar untuk pemberantasan buta huruf. Padahal mereka, pernah ikut berbagai kursus, misalnya kursus komputer, bahasa, mengemudi, pertukangan, dan kursus perbengkelan.

"Kursus-kursus tersebut, bagian dari PLS atau sekarang disebut dengan pendidikan non formal (PNF)," tandas sang profesor yang meniti karir mulai pegawai rendahan (pesuruh) itu, yang terus belajar guna meningkatkan kualitas diri.

Persoalan lain, lanjut anak desa kelahiran Anjir Kapuas, Kalteng itu, pemerintah ingin segera menuntaskan segala program pendidikan non formal dan informal (PNFI) dengan menempatkan TLD sebagai tujuan program mereka, guna mempercepat lajunya pertumbuhan pembangunan.

"Namun dari hasil penelitian secara cermat dan hati-hati, hasilnya tidak demikian. Karena sarjana yang diangkat bukan tenaga yang terdidik ke arah itu, hasilnyapun diragukan," ungkap mantan aktivis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) itu.

"Mereka itu setelah mendapat NIP dari Kementrian Diknas, karena tidak sanggup bergulat dengan berbagai program PLS di lapangan, ternyata sudah banyak yang pindah dari Subdin atau bidang PLS (PNFI) ke instansi yang sesuai dengan bidang keilmuannya," lanjutnya.

Menurut dia, kiprah PLS dalam pemberdayaan masyarakat kawasan desa tertinggal, merupakan antara harapan dan kenyataan, dimana sesungguhnya banyak kalangan yang memusatkan pikiran terhadap masyarakat kawasan tertinggal.

"Karena objeknya sungguh luas, dengan sebaran yang tidak merata, dan anggaran yang masih terbatas, mengakibatkan program-program yang dilancarkan tidak banyak menyentuh pada masyarakat kawasan desa tertinggal," lanjutnya.

"Sejujurnya bahwa tidak ada masyarakat kawasan desa tertinggal yang ingin selalu miskin. Apakah miskin pencaharian, miskin pendidikan dan sebagainya. Namun mereka selalu berharap kapan desa mereka mendapat kecuran pemberdayaan," demikian Norsanie Darlan.(ant/ ap)