Senin, 23 Februari 2015

AKADEMISI : PIDANA MATI BAGI COKONG NARKOBA MENDIDIK

D0230215000331 23-FEB-15 HKM BJM AKADEMISI : PIDANA MATI BAGI COKONG NARKOBA MENDIDIK Oleh Syamsuddin Hasan Banjarmasin, 23/2 (Antara) - Akademisi Universitas Pelangka Raya, Kalimantan Tengah, Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH berpendapat, sanksi pidana mati bagi cokong narkoba selain memberi efek jera, juga mendidik. "Oleh sebab itu, sebuah keputusan bangsa yang memberikan sanksi pidana mati terhadap narapidana (napi) yang terbukti bersalah dalam kasus narkoba, saya kira benar," ujarnya kepada Antara Kalimantan Selatan, Minggu malam. Kenapa? lanjut Guru Besar pada Universitas Palangka Raya (Unpar) tersebut, karena kasus Narkoba membahayakan rakyat Indonesia, yang pada akhirnya bangsa ini bisa sirna. "Sebab ada kala dengan tipu daya seorang cokong Narkoba terhadap individu rakyat Indonesia. Cokongnya bebas, warga negara kita bukan cuma tertangkap tangan kemudian dihukum, tapi jiwa dan raga menjadi rusak," tuturnya. Lebih tragis lagi, karena narkoba tersebut berujung pada kematian, ujar Koordinator Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) "Bumi Isen Mulang" (pantang mundur) Kalimantan Tengah (Kalteng) itu. Sementara cokongnya dicari entah kemana, melarikan diri atau bersembunyi di tempat perlindungan tertentu, tambah mantan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) pemerintah provinsi (Pemprov) Kalteng tersebut. Karena itu, menurut dia, wajar pemberian hukuman mati bagi pengedar atau penjual narkoba, sebab mereka yang merusak generasi sebagai penerus bangsa. Apakah pelaku itu orang asing atau warga negara Indonesia sendiri. "Dengan hukuman mati itu, kita berharap selain membuat jera, juga dapat mendidik agar bagi yang lain tidak lagi membawa barang terlarang dan haram tersebut ke negeri kita," katanya. Mengenai tantangan hukuman mati dari berbagai negara, seperti Australia, Brazilia, Prancis, dan bahkan Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dia berpendapat, hal itu tak perlu ditanggapi atau diambil hati. Karena, tegasnya, hukuman mati hak pemerintah Indonesia untuk memberikan efek jera kepada siapa saja yang bermain narkoba. "Jadi hukum mati tidak dapat dipengaruhi oleh campur tangan negara lain," katanya. Kalau Australia sampai perdana menterinya ngomong tentang sumbangan mereka terhadap bencana Tsunami Aceh, itu sebagai ucapan keputus asaannya terhadap rakyatnya yang dihukum mati. "Dia (perdana menteri Australia) tidak sadar, bahwa rakyatnya yang dihukum mati itu merusak putra-putri bangsa Indonesia dan mencidrai nama baik 'negara kangoro' itu sendiri," ujarnya. Oleh sebab itu pula, langkah para demonstran mengumpulkan dana untuk mengembalikan uang kepada Perdana Menteri Australia, adalah demi nama baik bangsa. "Hal itu perlu kita dukung bersama," ajaknya. "Hukuman mati bagi napi kasus narkoba akan memberikan pendidikan positif kepada siapa saja yang semula berhasrat membawa masuk narkoba ke negeri kita, akan terperanjat dan akan takut membawa barang haram itu," lanjutnya. Pernyataan berbagai negara atas terjadinya hukum mati di Indonesia bagi sejumlah negara, menurut profesor yang berkarir mulai dari pegawai rendahan (pesuruh) itu, hal tersebut wajar-wajar saja. "Sebab bangsa kita TKI/TKW yang bekerja di luar negeri mau dihukum pancung oleh pemerintah negara di mana bangsa kita bekerja, pasti ada rasa iba. Walau tahu bangsa bangsa kita itu bersalah. Bahkan ada yang ditebus agar tidak dihukum mati juga oleh bangsa kita pernah terjadi," demikian Norsanie. ***2*** (T.KR-SHN/B/H. Zainudin/H. Zainudin) 23-02-2015 08:10:25

DEATH FOR DRUG DEALERS A LESSON FOR OTHER PEOPLE : ACADEMICIAN

D0230215000332 23-FEB-15 NAT BJM Banjarmasin, S Kalimantan, Feb 23 (Antara) - An academician from the University of Pelangka Raya, Central Kalimantan, Prof. Dr H.M Norsanie Darlan, MS PH said in addition to serving as deterrent, death sentence gives a lesson to other people. Drug causes death , therefore, drug dealers deserve a death sentence," Prof. Darlan said here on Sunday night. "With the death sentence, we hope in addition to serving as a deterrent, would give a lesson for other people not to smuggle drugs into the country," he said. He said the country should not be bothered with protests from other countries such as Australia and Brazil even the United Nations secretary general. He said Australian Prime Minister Tony Abbott reminding Indonesia of its humanitarian aid to attempts to save two Australians from facing execution for drug reflected his frustration. "He (Abbott) was not aware that his two people are responsible for the damage they caused to the Indonesia people mainly young boys and girls," he said. The Indonesian government said drugs cause the death of 50 Indonesians everyday. President Joko Widodo (Jokowi) has said he would turn down all appeals for leniency from drug convicts . The government said the country is facing an emergency that it is the third most drug addicted country in the world and that the country has been made a major target by international drug syndicates. Supports have come for the government's decision to slap the heaviest punishment for drug dealers including from religious organizations and the parliament. General chairman of the country's largest non political Islamic organization Nahdatul Ulama Said Aqil Siradj said "we should not waste time listening to protests from other country." "We execute drug criminals to save our 240 million people," Aqil said. A lawmaker from the Commission III Asrukl Sani said Abbott is capitalizing on the death sentence issue in an attempt to prop up his declining popularity. The attorney general office is preparing the execution of 8 drug convicts and three premedidated murders whose appeal for leniency have been turned down by the president. Two of the drug convicts to face executions are Myuran Sukumaran and Andre Chan from Australia and the rests from the Philippines, France, Ghana , Spain, Brazil and Indonesia. The three facing death execution for premeditated murders are all Indonesians. Sukamaran and Andrew Chan were arrested in April 2006 for attempting to smuggle 8.3 kilograms of heroin to Bali. Meanwhile a group of people in Jakarta collected coins to raise fund to symbolically return Australian financial aid for the tsunami disaster in Aceh in 2004. The action was in protest of Abbott reminding Indonesia of his country's humanitarian aid in his attempt to save the lives of Andrew Chan and Sukamaran. A similar action was launched earlier in Aceh by Muslim students, saying they felt insulted by Abbott's statement. The Indonesian government has also reacted firmly to rejection by Brazilian president of credentials of Indonesian Ambassador Totoa Riyanto. President Joko Widodo ordered for immediate return of Toto Ryanto and the foreign ministry summoned the Brazilian ambassador in Jakarta to convey strong protest and displeasure for the rejection of credentials. ***2*** (AS/o001)

Minggu, 22 Februari 2015

AKADEMISI: PENGIRIMAN TKI HARUS LEBIH SELEKTIF

D0210215000531 21-FEB-15 KSR BJM Oleh Syamsuddin Hasan Banjarmasin, 21/2 (Antara) - Akademisi Pendidikan Luar Sekolah Universitas Palagka Raya, Kalimantan Tengah Prof Dr HM Norsanie Darlan, MS PH mengusulkan agar pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri harus lebih selektif, tidak asal kirim. "Karena tidakkah merasa terhina bila kita berkunjung ke luar negeri bertemu dengan sesama warga negara ternyata pekerjaannnya hanya sebagai pembantu rumah tangga. Kenapa harus cari kerja ke negeri orang?" ujarnya kepada Antara Kalimantan Selatan, Sabtu. "Namun melihat bangsa lain yang pernah bertemu, bangga rasanya mereka itu para manajer di berbagai tempat. Sehingga kita merasa betapa bagusnya bangsa-bangsa lain dalam perencanaan mereka untuk mengirim tenaga kerja ke luar negeri," ungkapnya. Sedangkan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dikirim, mereka yang tingkat pendidikan relatif rendah diikuti dengan minimnya keterampilan, lanjut mantan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) pemerintah provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah (Kalteng) itu. Kalau pemerintah mau meningkatkan harkat dan martabat bangsa, sarannya, tentu perencanaan harus berorientasi ke depan yang lebih baik. Misalnya bila mengirim tenaga kerja harus sarjana terampil, dan menguasai bahasa dan budaya di daerah yang menjadi tujuan. "Saya pernah di suatu negara mencari teman yang tersesat. Sesaat sebelumnya kondisi badannya kurang sehat. Maka pusat pencarian harus pada tempat pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit," mantan aktivis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) tersebut. "Dari sekian rumah sakit itu, seorang warga negara berkebangsaan Filipina menjelaskan ada warga negara Indonesia yang berobat kepadanya. Setelah ditelusuri apa yang ia jelasnya ternyata benar. Ternyata warga Filipina tersebut seorang dokter di rumah sakit itu," ungkapnya. Sementara putra-putri Indonesia yang bekerja di rumah sakit yang sama hanya sebatas tukang parkir, dan pertugas kebersihan. Tidak ada yang perawat/bidan, apalagi dokter. Betapa menyedihkan. Hal ini tentu merendahkan harkat dan martabat bangsa, ujarnya. Ia menyarankan, jika pengiriman tenaga kerja ke luar negeri harus betul-betul selektif. Baik tingkat pendidikan mereka maupun keterampilannya. Keterampilan ini jika ia sudah sarjana keterampilan apa yang ia miliki sebagai nilai plusnya. Keterampilan itu termasuk juga dalam berkomunikasi (bahasa), mengerti budaya se tempat (tempat bekerja). Jangan mengirim tenaga kerja yang berpendidikan rendahan. Ini bisa merendahkan martabat bangsa. "Kita sering mendengar, bahwa tenaga kerja yang bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga. Dengan pengetahuan bahasa yang kurang, serta tidak pernah mengenal budaya masyarakat di negeri tempat mereka bekerja," tambahnya. Hal tersebut, menurut dia, tentu menyulitkan tenaga kerja Indonesia sendiri dalam menjalankan tugas sebagai pekerja di rumah tangga. Ada kalanya, karena tidak mengerti bahasa setempat, ketika mereka disuruh majikannya mencuci piring, yang dikerjakan menyapu rumah, katanya. "Kejadian itu kalau sekali, dua kali mungkin majikannya maklum. Tapi kalau setiap disuruh tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan, maka hal itu memicu pertengkaran antara majikan dengan pesuruh rumah tangga," ujarnya. "Dari pertengkaran itu, tidak menutup kemungkinan menjadi perselisihan yang tidak berkesudahan. Efek negatif yang muncul selama ini tidak lain mengirim tenaga kerja rumah tangga itu, akan membawa nama bangsa," demikian Norsanie Darlan.***4*** (T.KR-SHN/B/F. Assegaf/F. Assegaf) 21-02-2015 10:31:29