Rabu, 07 Januari 2015
PERJUANGAN NASIONAL YANG TERLUPAKAN
Jurnal Sumatra
Pengamat: Pejuang Anjir Serapat Kalteng Hanya Kenangan pahlawan
15/12/2014 Galeri, Headlines, Kalimantan, Kalimantan Tengah, Nusantara
Banjarmasin, jurnalsumatra.com –
Pengamat sosial dan akademisi Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH berpendapat, dua pejuang dari Anjir Serapat, Kabupaten Kapuas, kini hanya kenangan.
Pasalnya dua pejuang dari Anjir Serapat itu masing-masing Idris atau Diris dan H Amri tidak ada pengabdian nama-nama mereka, berbeda dengan daerah lain, ujarnya kepada Antara Kalimantan Selatan di Banjarmasin, Minggu.
Kedua pejuang yang korban tersebut saat serangan tentara Belanda ke Anjir Serapat (sekitar 35 kilometer barat Banjarmasin), yang ketika itu (17 Desember 1945) sedang berlangsung kegiatan pasar atau disebut Pasar Senin.
Padahal peristiwa 17 Desember 1945 atau 69 tahun silam di Anjir Serapat (150 kilometer timur Palangkaraya, ibu kota Kalteng) itu erat kaitannya dengan peristiwa 10 November 1945.
Dalam pemberontakan 10 November 1945 yang kemudian menjadi Hari Pahlawan Nasional itu, Bung Tomo memerintahkan anggota tentaranya dari Surabaya untuk mengadakan perlawanan/pertempuran di berbagai daerah/kota di tanah air terhadap penjajah Belanda.
“Berbagai daerah/kota di tanah air itu, termasuk kawasan pesisir Kalteng. Untuk mengabarkan, bahwa bendera kita adalah dwi warna Sang Merah Putih,” tutur putra Indonesia kelahiran Anjir Serapat (sekitar 35 kilometer barat Banjarmasin) tersebut.
“Selain itu, mengakarkan bahwa negeri kita tercinta ini bukan lagi negara jajahan Belanda atau Jepang. Tapi sudah merdeka, dan ada Presiden sendiri Bung Karno,” lanjut Guru Besar dari perguruan tinggi negeri tertua di “Bumi Isen Mulang” (pantang mundur) Kalteng itu.
Ia menuturkan, untuk menyampaikan ke berbagai pelosok daerah di tanah air, salah satu utusan ke Kalimantan adalah Djaderie dan kawan-kawan (dkk), menggunakan perahu layar.
“Dari ‘kota Pahlawan’ Surabaya tiga hari berlayar masuklah mereka ke Sungai Mentaya – Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalteng, dengan tujuan melawan penjajah yang ada di Asrama Tatas Banjarmasin (kina Komplek Masjid Raya Sabilal Muhtadin),” ungkapnya.
Tapi oleh karena di Mentaya melayari sungai ini sampai ke kota Sampit, tidak terjadi pertempuran. Sebab tujuan mereka menghancurkan Asrama Tatas, namun sejumlah pemuda dari Sampit dan Samuda Kotim, ikut membawa perahunya masing-masing mengikuti rombongan Djaderie dkk itu.
Sesampai di Bahaur Kabupaten Kapuas, Kalteng, mereka mendapat tambahan pejuang dan di Kuala Kapuas (ibu kota Kab Kapuas) perahu mereka tidak boleh bertambat, karena dijaga serdadu/tentara musuh.
Kemudian mereka melanjutkan mendayung perahu ke Anjir Serapat. Sampai di Km 10 sekitar pukul 02.00 waktu setempat atau menjelang subuh Jumat 14 Desember 1945. Di tempat itu mereka menaiki rumah kepala desa bernama H Abubakar Bannang, dan di tempat itu pula terjadi interaksi bagaikan gayung bersambut.
Kepala desa itu sudah punya pasukan mantan tentara Jepang yang dilatih baik di Banjarmasin dan Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim) maupun dan dari berbagai daerah lain.
“Mereka pun bersepakat Sabtu 15 Desember 1945 mengikuti rombongan utusan Bung Tomo dari Surabaya itu menuju Banjarmasin untuk melumpuhkan tentara musuh di Asrama Tatas dengan pertempuran, terlebih mereka akan merampas gudang senjata musuh tersebut,” ceritanya.
Kesepakatan
Kesepakatan bersama antara rombongan utusan Bung Tomo, pejuang dari Sampit dan Samuda serta Bahaur ditambah para pejuang dari Anjir Serapat yang sangat banyak jumlahnya, menetapkan dinihari Minggu 16 Desember 1945 bersepakat pula dengan pejuang dari Kalsel, yaitu Amuntai, Kandangan, Barabai, Martapura, Marabahan, Kotabaru, Pelaihari dan berbagai daerah lain.
Namun sangat disayangkan pada jam 22.00 malam 15 Desember 1945 gudang senjata telah dikosongkan oleh tentara/serdadu musuh.
Karena gelagat pertempuran sudah tercium oleh pasukan musuh. Sebab mereka melihat grak-gerik pejuang yang berbeda dengan hari-hari lain. Sementara mereka tahui banyak pemuda tak dikenal mundar-mandir di sekitar Asrama Tatas itu.
Sebelum jam yang ditentukan untuk menggempur tangsi (markas) musuh itu, sampailah bocoran bahwa jam 22 lalu gudang senjata yang diintai sudah dikosongkan, maka pemberontakan jam 02.00 dinihari 16 Desember 1945 ditangguhkan.
Karena rencana pemberontakan untuk merebut senjata itu gagal. Mata-mata musuh sudah mencium, sebab ada pejuang yang tertangkap bahwa pusat perlawanan rakyat itu ada di Anjir Serapat.
Kemudian Senin 17 Desember 1945 tentara KNIL/Belanda berangkat menyerang Anjir Serapat dengan tujuan membumi hanguskan.
Tepatnya pukul 10.30 pagi, saat Pasar Senin sedang berlangsung perahu yang cukup banyak disertai terusan Anjir Serapat sangat sempit kala itu, tentara Knil membidik pemuda yang mendapat tugas mengamankan bendera Merah Putih yang telah mereka naikan sejak Jumat dinihari 14 Desember 1945.
Ketika pertempuran pukul 10.30 hingga 12.30 itu, di pihak tentara musuh tertembak yang diberondong dengan timah panas dari perahu. Namun kurban tentara musuh itu segera dimasukkan ke ruang perawatan di kapal. Tentara musuh itupun naik pitam karena baru sampai anggota mereka sudah ada yang tertembak.
Oleh karena
itu, mereka (tentara KNIL) langsung menembaki orang-orang di sekitar tiang bendera Merah Putih. Maka korban pertama di pihak tentara pejuang RI adalah Idris dengan nama kecilnya Diris sebagai Syuhada dalam pertempuran tersebut, dimana para pejuang cuma dengan senjata seadanya.
Sementara pengunjung Pasar Senin ketika itu berlarian mencari perlindungan. Setelah Pasar Senin pedagang pasar sudah meninggalkan dagangannya, maka tentara musuh menggeladah dari rumah ke rumah penduduk, untuk mencari siapa penentang mereka.
Tapi tidak mereka temukan. Karena para pejuang dengan barisan yang kuat berada pada tempat yang mereka siapkan. Namun sejumlah tentara musuh yang berasal dari Asrama Tatas Banjmarmasin itu, tidak berani mendekat ke lokasi itu, karena mereka penuh kehati-hatian kalau-kalau datang serangan mendadak.
Sebab mereka tahu bahwa di Anjir Serapat sangat banyak penentang penjajah. Dan kerap kali di terusan ini terjadi perintang kapal penjajah.
Dari pengeledahan dari rumah ke rumah mereka bertemu dengan rumah Haji Mastur. Serdadu musuh mengetahui di rumah itu ada pejuang. Senjatapun mereka muntahkan ke berbagai tempat termasuk ke dinding dan daun pintu dimana H Amri berlindung.
Pintu mereka gedor, dan H Amri mengarahkan senjata laras pendeknya ke arah serdadu Knil. Namun apa yang hendak di kata, timah panas dari musuh lebih dahulu menembus dada kiri dan kanannya.
Dikarenakan sejumlah timah panas/peluru itu berserang di dadanya, warga Anjir Separat yang bernama Haji Amri pun tersungkur dengan bersimbah darah sampai tetesan darah yang paling akhir di rumah ayahnya sendiri.
Kemudian para pejuang memancing arah ke perkebunan karet yang telah mereka rencanakan. Tapi serdadu musuh tidak mau terpancing. Mereka meneruskan perjalanannya ke Kuala Kapuas, ibu kota Kabupaten Kapuas, Kalteng.
Permasalahannya sekarang kenapa dua pejuang, tidak pernah diabadikan pemerintah daerah setempat baik sebagai nama jalan maupun bangunan monomental lain, di sepanjang Anjir Serapat, dan kota-kota lain di Kalteng, termasuk di Kuala Kapuas sendiri.
Padahal perjuangan rakyat itu, menurut dosen pascasarjana Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Unpar tersebut, bukan lokal, tapi juga bernuansa nasional. Karena dalam pertemuran itu ada rombongan Djaderie dkk dari Surabaya.
Selain itu, dari Samuda, Sampit, Bahaur, Mandomai dan Pulang Pisau (kesemua di Kalteng). Bahkan dari Kalsel di saat pertempuran berlangsung mereka juga turut bertempur.
“Makam Pahlawan Surya Chandra di Km 10 Anjir Serapat, setelah W.A. Gara menjadi Gubernur Kalteng dalam minggu kedua, beliau meletakkan batu pertama pemugaran Makam itu. Yang hingga kini masih ada sebagai saksi sejarah,” ujarnya.
“W.A Gara, pemuda dari Desa Bundar Barito Selatan (daerah pedalaman Kalteng) itu, saat pertempuran berlangsung juga ada di dalam peristiwa bersejarah tersebut,” ungkap Norsanie mengenang peristiwa 17 Desember 69 tahun silam. (anjas)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar