Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UM Palangkaraya) mendapat
kepercayaan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR
RI) menyelenggarakan Seminar Nasional Empat Pilar Kehidupan Bernegara
yang di berlangsung di Hotel Aquarius, Palangkaraya, Kalimantan Tengah
(Kalteng), Kamis (2/8).
Seminar yang mengangkat tema: 'Reformasi Model GBHN: Mewujudkan
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah Yang Berorientasi
Pada Kesejahteraan Rakyat' ini diikuti oleh lebih dari 200 peserta dari
berbagai elemen masyarakat, yaitu: para dosen, mahasiswa, pimpinan
ormas, perwakilan partai politik, tokoh adat, dan elemen masyakat
lainnya.
Rektor Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Drs.H. Bulkani, M.Pd.,
menyatakan, seminar 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara ini
menjadi penting dalam rangka mewujudkan sistem perencanaan pembangunan
yang lebih pro rakyat, yang lebih berorientasi pada kesejahteraan
rakyat, khususnya di Kalteng. Hal ini juga merupakan salah satu
antisipasi keberagaman di masyarakat dan terjadinya perkembangan yang
pesat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tampil sebagai pemateri utama dalam seminar ini adalah dua politisi
nasional Ganjar Pranowo, anggota MPR RI dari Fraksi PDI-P, dan Hj.
Hetifah Sjaifudian, anggota MPR RI Fraksi Partai Golkar. Pemateri lain
adalah tokoh-tokoh Kalteng, yaitu: Ir. H. Syahrin Daulay, M.Eng (Ketua
Bappeda Provinsi Kalteng), Prof. Dr. H. M. Norsanie Darlan, MSPH. (Guru
Besar Pendidikan Luar Sekolah Universitas Palangka Raya), Prof. Dr.
Danes Jayanegara, SE,MSi (Guru Besar Ekonomi Universitas Palangkaraya),
dan HM. Wahyudi F. Dirun, S.P. (pimpinan Ormas di Kalteng). Gubernur
Kalteng yang direncanakan menjadi Keynote Speaker, karena ada acara lain
yang tidak dapat diwakilkan, sambutannya dibacakan oleh Sekda Provinsi
Kalteng, Dr. Siun Jarias.
Seminar nasional ini mencoba mendapatkan masukan suatu model
perbaikan yang menyerupai GBHN pada masa lalu (orde baru) yang saat ini
digantikan oleh Rencana Pembangunan Nasional dan Daerah. Model yang
merupakan grand design pembangunan nasional Indonesia ini diharapkan
dapat diperoleh melalui telaah dan kajian komprehensif, terutama oleh
kalangan akademik. Model ini juga harus dapat memastikan terlibatnya
masyarakat secara luas dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
pembangunan. Grand design yang saat ini diturunkan dari visi dan misi
Presiden terpilih di tingkat nasional serta Gubernur/Bupati/Walikota di
tingkat daerah harus terintegrasi dan selaras untuk menjamin tercapainya
cita-cita bersama untuk kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat
Indonesia.
Ganjar Pranowo dalam uraiannya memberikan gambaran besar perubahan
sosial politik dan ekonomi Indonesia yang berpengaruh pada sistem
perencanaan pembangunan. Model tersentralisasi yang digunakan pada waktu
lalu, termasuk dengan dibuatnya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
yang memodelkan masyarakat Indonesia yang homogen menyebabkan banyak
proses pembangunan yang tidak berjalan sesuai dengan harapan. Hal ini
karena penerapan model yang sama untuk karakter daerah yang berbeda dan
merupakan fungsi yang sifatnya berasal dari pusat ke daerah menyebabkan
tidak terakomodasinya keinginan daerah.
Sayangnya, model yang kemudian diubah dalam bentuk rencana
pembangunan nasional yang saat ini diturunkan dari visi misi Presiden
terpilih ternyata dalam implementasinya memiliki arah kebijakan
perencanan pembangunan yang berbeda-beda yang lebih banyak bersifat
politis sesuai keinginan kepala daerah masing-masing.
Oleh karena itu, menurut Ganjar, dalam tataran ideal arah kebijakan
perencanaan pembangunan nasional semestinya ditetapkan oleh wakil rakyat
dan daerah yang duduk di lembaga perwakilan. Proses penyusunannya harus
melibatkan seluruh komponen dan kekuatan bangsa. Dengan demikian adalah
tidak tepat apabila visi dan misi calon Presiden dan Wakil Presiden
menjadi satu-satunya dasar untuk menetapkan arah kebijakan perencanaan
pembangunan nasional. Karena, visi dan misi pembangunan nasional adalah
visi dan misi bersama sebagai manifestasi dari seluruh potensi dan
kekuatan bangsa, yang meniscayakan terwujudnya perencanaan pembangunan
yang adil dan demokratis merangkum seluruh kebutuhan bangsa, bukan
kepentingan politik.
Karena itu, kata Ginanjar, apabila ada gagasan untuk merumuskan
kembali arah kebijakan perencanaan pembangunan nasional model GBHN
adalah sejalan dengan esensi dari UUD NRI Tahun 1945 yang demokratis dan
berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Sabtu, 27 Oktober 2012
Prof. Norsanie Darlan, Akademisi: Remisi Bagi Koruptor Tak Mendidik
Minggu , 19 Agustus 2012 20:53:17
Oleh : Waddi Armi
KBRN, Palangka Raya : Sebaiknya remisi bagi pelaku
korupsi di Indonesia tidak diberikan karena dinilai tidak mendidik dan
kurang efek jera bagi nara pidana di Tanah Air, kata Prof Dr HM Norsanie
Darlan di Palangka Raya, Minggu (19/9).
Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) itu mengatakan, instansi terkait yang memberi remisi hingga bebas bersyarat terkesan "mengkhianati" rasa keadialan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di negeri ini.
"Remisi yang diberikan setiap hari-hari besar kenegaraan seperti 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan. Pemerintah memberikan remisi kepada Napi, tapi alangkah indahnya diberikan remisi mereka yang bukan kasus korupsi. Kalau remisi diberikan kepada mereka karena kasus korupsi, tidak mendidik," katanya.
Dia mengatakan, jika remisi diberikan kepada pelaku koruptor diprediksi akan semakin berani dilakukan oleh calon-calon koruptor lainnya. Karena mereka tidak akan mendapat efek jera. Justru mereka bertambah berani dengan perhitungan akan ada remisi jika terbukti bersalah dan divonis hakim pengadilan.
"Walau ketangkap, dan divonis, hukuman tidak selama masa putusan mengadilan karena adanya remesi. Remisi sebaiknya diberikan kepada mereka yang dipidana kasus lain, selain korupsi," katanya.
Boleh-boleh saja remisi diberikan kepada napi dalam kasus apapun karena sudah diatur dalam tata arutan dan perundang-undangan yang berlaku. Namun agaknya perlu ditinjau dan dikaji kembali PP Nomor 28 Tahun 2006 terkait remisi tersebut.
"Kita sama mengetahui bahwa selain Gayus Tambunan (koruptor perpajakan), beberapa terpidana korupsi yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin juga mendapat remisi," katanya.
Pelaku korupsi lainnya yang mendapat remisi 17 Agustus dan remisi khusus Idul Fitri, di antaranya terpidana kasus penyuapan terhadap hakim S., P.W. yang divonis 3,5 tahun penjara pada 2011 itu mendapatkan remisi tiga bulan serta remisi khusus Idul Fitri tiga bulan, tambah Norsanie.
Guru Besar bidang studi pendidikan luar sekolah (PLS) tersebut mengatakan, ini memberikan para pemakai duit rakyat. Jadi mereka akan bertambah berani dan tidak mendidik, baik bagi koruptor yang dipidana maupun yang belum tercium atau tersentuh hukum.
Norsanie mengatakan, mantan Wakil Bupati Subang MY mendapat remisi umum tiga bulan dan remisi khusus Idul Fitri 1 bulan, serta mantan Bupati Garut AS mendapat remisi umum tiga bulan dan remisi khusus Idul Fitri 1 bulan. Ini suatu kebijakan yang dinilai tidak mendidik masyarakat. (WDA/ant)
(Editor : Waddi Armi)
Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) itu mengatakan, instansi terkait yang memberi remisi hingga bebas bersyarat terkesan "mengkhianati" rasa keadialan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di negeri ini.
"Remisi yang diberikan setiap hari-hari besar kenegaraan seperti 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan. Pemerintah memberikan remisi kepada Napi, tapi alangkah indahnya diberikan remisi mereka yang bukan kasus korupsi. Kalau remisi diberikan kepada mereka karena kasus korupsi, tidak mendidik," katanya.
Dia mengatakan, jika remisi diberikan kepada pelaku koruptor diprediksi akan semakin berani dilakukan oleh calon-calon koruptor lainnya. Karena mereka tidak akan mendapat efek jera. Justru mereka bertambah berani dengan perhitungan akan ada remisi jika terbukti bersalah dan divonis hakim pengadilan.
"Walau ketangkap, dan divonis, hukuman tidak selama masa putusan mengadilan karena adanya remesi. Remisi sebaiknya diberikan kepada mereka yang dipidana kasus lain, selain korupsi," katanya.
Boleh-boleh saja remisi diberikan kepada napi dalam kasus apapun karena sudah diatur dalam tata arutan dan perundang-undangan yang berlaku. Namun agaknya perlu ditinjau dan dikaji kembali PP Nomor 28 Tahun 2006 terkait remisi tersebut.
"Kita sama mengetahui bahwa selain Gayus Tambunan (koruptor perpajakan), beberapa terpidana korupsi yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin juga mendapat remisi," katanya.
Pelaku korupsi lainnya yang mendapat remisi 17 Agustus dan remisi khusus Idul Fitri, di antaranya terpidana kasus penyuapan terhadap hakim S., P.W. yang divonis 3,5 tahun penjara pada 2011 itu mendapatkan remisi tiga bulan serta remisi khusus Idul Fitri tiga bulan, tambah Norsanie.
Guru Besar bidang studi pendidikan luar sekolah (PLS) tersebut mengatakan, ini memberikan para pemakai duit rakyat. Jadi mereka akan bertambah berani dan tidak mendidik, baik bagi koruptor yang dipidana maupun yang belum tercium atau tersentuh hukum.
Norsanie mengatakan, mantan Wakil Bupati Subang MY mendapat remisi umum tiga bulan dan remisi khusus Idul Fitri 1 bulan, serta mantan Bupati Garut AS mendapat remisi umum tiga bulan dan remisi khusus Idul Fitri 1 bulan. Ini suatu kebijakan yang dinilai tidak mendidik masyarakat. (WDA/ant)
(Editor : Waddi Armi)
Prof. Norsanie Darlan, "Huma Betang", Simbol Kerukunan Warga
Kompas, 04-Agustus 2012
Oleh Hasan Zainuddin
"Huma Betang" adalah dalam istilah sehari-hari "rumah besar" yang dihuni banyak orang dengan beragam agama dan kepercayaan tetapi tetap rukun nan damai.
Sehingga Huma Betang adalah sebuah simbol dan filosofis kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah (Kalteng) seperti yang terlihat di Kota Palangka Raya, Ibukota Provinsi Kalteng, kata Wali Kota Palangka Raya, Riban Satia.
Ketika menerima kunjungan Dirut LKBN Antara, Ahmad Mukhlis Yusuf beserta rombongan di rumah jabatannya (Kamis 2/8), Riban Satia bercerita banyak mengenai konsep kerukunan Huma Betang dalam adat masyarakat Dayak Kalteng.
Adapun rumah besar dimaksud bila diartikan secara luas sekarang ini, tentu tidak sebatas sebuah rumah, tetapi sudah sebuah wilayah, atau kawasan yakni se-Kalimantan Tengah.
"Kami sudah terbiasa hidup rukun dan damai dalam sebuah rumah besar, di saat ada perayaan agama Islam seperti Idul Fitri, warga agama lain di rumah itu ikut pula merayakannya, begitu juga saat Natal atau perayaan agama Kaharingan, warga muslim juga ikut merayakannya," kata Riban Satia.
Susana seperti itu sudah terlihat sejak lama sejak adanya rumah betang yang merupakan rumah adat dan khas Suku Dayak di Kalimantan Tengah.
Mereka yang hidup di "rumah betang" ini terdapat berbagai ragam kepercayaan apakah ia masih menganut kepercayaan lama yang di di Kalimantan Tengah "Kaharingan" atau ada pula yang sudah berpindah pada kepercayaan lain seperti Islam maupun kristen.
Melalui konsep huma betang itu pula berbagai program pembangunan di wilayah ini diterapkan, artinya masyarakat diajak secara toleran dan bahu membahu membangun wilayah.
"Berkat konsep itu pula, Palangka Raya dan wilayah Kalteng lainnya kini terus bisa berkembang," tuturnya lagi.
Dalam "huma betang" tidak pernah terjadi perselisihan yang berarti kerena tingkat kekeluargaan atau kekerabatan yang sangat tinggi.
Hal senada juga diutarakan budayawan sekaligus Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Norsanie Darlan dalam sebuah seminar.
Menurut guru besar pendidikan luar sekolah tersebut, bila suatu saat mereka di rumah betang mengadakan upacara "Tiwah" suatu acara yang sangat sakral suatu penghormatan terhadap leluruh, semua yang ada di rumah betang mendukung kegiatan tersebut.
Walau anak cucu mereka sudah berubah kepercayaan, namun rasa saling menghormati sangat tinggi, sehingga mereka rela untuk mengorbankan harta untuk mengadakan upacara pembongkaran makam leluhur, kemudian tulang belulangnya dibersihkan dan di simpan pada sebuah sandung yang mereka buat secara bergotong royong.
Dengan filosofi "Huma Betang" ini maka mereka tidak pernah menolak kehadiran tamu dari mana saja untuk tinggal di rumah betang, sejauh tamu tersebut mengikuti filosofi "di mana langit di junjung di situ bumi di injak".
Penuh Toleran
Toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di huma Betang ini, seperti perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik, atau terhadap mereka yang ada di sekitarnya.
Budaya yang sudah turun temurun, yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan, maka bagi penganut agama atau kepercayaan lain, ikut bersiapkan berbagai bahan, berupa beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain.
Agar para penganut kepercayaan beda turut merasakan segala suka cita mereka dalam kebersamaan.
Namun cara memasak dipersilakan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka, katanya.
Umumnya masyarakat Dayak penuh toleransi ini, terjadi pergeseran hanyalah terjadi belakangan ini saja atau antara 10-15 tahun terakhir.
Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi saja, katanya dalam sebuah seminar diselenggarakan MPR-RI bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMP).
Sebagai contoh bila seorang anak di pedalaman yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya lantaran dulu sulit mencari rumah kost, maka anak tersebut dititipkan kepada keluarga yang tinggal di Palangka Raya.
Keluarga yang dititipi anak tersebut bisa memang keluarga sedarah atau keturunan, atau bisa juga hanya sebatas keluarga sekampung, tetangga, atau hanya satu wilayah bahkan hanya kenalan saja.
Dengan toleransi yang sangat tinggi, maka anak yang ikut tinggal, di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa, kata Norsanie Darlan.
Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. "Di sinilah salah satu toleransi filosafi Huma Betang kita," kata Norsanie Darlan dosen kelahiran Anjir tersebut.
Rumah kost belakangan memang mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain di luar provinsi Kalimantan Tengah, untuk melanjutkan pendidikan terutama kuliah.
Sehingga mereka pendatang usia muda dari luar ini, mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4 - 5 tahun ke depan, akibat kebutuhan tersebut maka berdirilah rumah-rumah kost untuk kaum pendatang tersebut.
Sementara itu berdasarkan sebuah tulisan, filosofi Rumah Betang berkaitan erat dengan azas kekeluargaan yang diciptakan oleh leluhur suku Dayak.
Menurut sebuah cerita dahulu semua orang Dayak tinggal secara terpisah satu sama lainnya, sangat sulit berhubungan dan memantau keadaan masing-masing.
Oleh karena itu tetuha masyarakat Dayak merasa perlu memperhatikan sanak saudara-saudaranya. Untuk mempertemukan semua anggota keluarga yang terpisah-pisah, terbit sebuah ide. Yakni membangun rumah agar mempermudah hubungan antar sesama anggota yang sebelumnya berjauh-jauhan.
Rumah itu dibuat memanjang untuk menampung jumlah keluarga yang seiring waktu semakin bertambah, saat itulah penamaan Rumah Panjang atau Rumah Betang tercipta.
Seiring berjalannya waktu, mereka menyadari pentingnya membangun sebuah hubungan antar sesama manusia, sesuai dengan prinsip hidup leluhur mereka yaitu saling membantu sesama manusia menjadi sebuah nilai kemanusiaan yang bersahaja.
Mereka mulai menciptakan aturan-aturan tentang tata krama kehidupan bermasyarakat yang baik, itulah awal mula terciptanya hukum adat.
Hingga saat ini, azas kekeluargaan itu masih melekat dalam kehidupan keluarga yang sekarang menghuni rumah betang.
Secara garis besar, semua penghuni rumah betang merupakan sebuah keluarga besar yang berasal dari satu pertalian keturunan darah yang sama.
Keluarga yang besar ini memiliki hirarki adat yang tersusun ke dalam struktur lembaga adat Dayak, ada tetua adat yang mengetahui semua hal yang berkaitan dengan budaya rumah betang, ada juga penanggung jawab rumah betang, kepala desa, sekretaris desa semuanya juga berkumpul menjadi satu di dalam Rumah Betang.
Sumber :
ANT
Editor :
Jodhi Yudono
PERAN TENAGA PLS MERUPAKAN SALAH SATU UPAYA MENUNTASKAN WAJIB BELAJAR 9 TAHUN BAGI MASYARAKAT DESA TERTINGGAL
Oleh :
H. M. Norsanie Darlan
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan Pendidikan Masyarakat (Dikmas) Depdiknas dan mencari strategi upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak usia sekolah yang rumahnya jauh dari SLTP pada kawasan desa tertinggal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan naturalisme kualitatif bagi masyarakat desa tertinggal di desa Tambaba, Kecamatan Gunung Purai, Kabupaten Barito Utama, Kalimantan Tengah. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Dikmas Depdiknas baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten dan propinsi harus menyediakan lebih banyak tenaga-tenaga profesional di bidangnya seperti sarjana PLS dan Diploma; (2) dalam mendirikan SLTP-Terbuka, sebaiknya tidak satu lokasi dengan paket B karena programnya menjadi tumpang tindih; (3) Dikmas Depdiknas selaku ujung tombak selama ini tak mampu berperan banyak bagi masyarakat; dan (4) Salah satu upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak usia sekolah yang rumahnya jauh dari SLTP adalah penyediaan asrama siswa di setiap kecamatan yang memiliki desa tertingal.
Kata kunci : wajar dikdas, SMP-Terbuka, Paket B, Tenaga PLS, masyarakat tertinggal.
*) H.M. Norsanie Darlan, Guru Besar Madya pada PLS FKIP Universitas Palangka Raya
1. Pendahuluan
Dalam pembangunan sekarang, masih ditemukan berbagai kesenjangan di
masyarakat. Yang antara lain disebabkan oleh faktor kondisi geografis
ataupun sosial budaya, sehingga dapat menyebabkan ketertinggalan dalam
berbagai hal. Salah satu di antaranya yang kita bahas sekarang ialah
ketertinggalan masalah pendidikan jalur luar sekolah yang bila tidak
segera diatasi, ketertinggalan di bidang pendidikan tetap selalu muncul.
Namun, dalam postulat yang ada bagi masyarakat desa tertinggal selama
ini, belum dirasakan rendahnya pendidikan dapat berakibat suramnya masa
depan mereka. Dengan demikian, tanpa peningkatan pendidikan, baik jalur
sekolah maupun luar sekolah maka kualitas SDM kita tidak akan meningkat.Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (1) dan (2) serta Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, secara tegas telah diatur oleh pemerintah tentang jenis dan jalur pendidikan. Lebih lanjut dalam pasal 10 ayat (3) Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah, melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. Dengan demikian, kita semua perlu dan terpanggil untuk turut melaksanakan amanat tersebut. Strategi menuntaskan wajib belajar 9 tahun bagi masyarakat desa tertinggal, perlu kita kaji permasalahannya dan dicari berbagai jalan penuntasannya.
Konsep pembangunan lima tahun kita sekarang di bidang pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan bangsa dan kualitas sumber daya manusia (SDM), mengembangkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, budi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keahlian dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, serta kepribadian yang mantap dan mandiri. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan, wawasan keunggulan, kesetiakawanan sosial, dan kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berorientasi masa depan. Pendidikan nasional perlu ditata, dikembangkan, dan dimantapkan secara terpadu dan serasi, baik antarjalur, jenis, dan jenjang pendidikan maupun antarsektor pendidikan yang makin berkembang, efektif dan efisien, serta meningkatkan, mengutamakan pemerataan, dan peningkatan kualitas pendidikan dasar, perluasan dan peningkatan kualitas pendidikan kejuruan, pendidikan profesional serta pendidikan keterampilan, dan meningkatkan pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun. Masyarakat sebagai mitra pemerintah harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan kebutuhan, serta perkembangan pembangunan bangsa sekarang dan masa datang. Namun bila kesadaran mereka belum tumbuh, maka pemerintah harus berperan aktif dalam menuntaskannya.
2. Kajian Teori
Untuk menghindari kesalahpahaman pengertian di atas, maka akan
diuraikan beberapa pengertian atau peristilahan, sebagai berikut.
- Strategi pembangunan menurut Hasan Shadily (1984) bahwa tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh penduduk dalam kurun waktu satu generasi, yaitu menjelang tahun 2000. Untuk mencapai tujuan ini, rangkaian sasaran menyangkut jasa-jasa umum, termasuk penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Strategi pembangunan yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh penduduk yang memerlukan perubahan sosial dan struktur yang mendalam untuk mencapat sasaran yang diinginkan.
Apa sebenarnya pengertian strategi pendidikan luar sekolah. Menurut Prof. Harsono (1997) dalam makalahnya di seminar nasional PLS dan Konferensi ISPPSI di Surabaya, bahwa ada hubungan erat antara peningkatan mutu sumber daya manusia dengan pembangunan telah dimengerti, dipahami, dan diterima oleh banyak pihak. Namun, dalam menentukan prioritas pelaksanaannya, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, salah satunya ialah faktor lingkungan strategis termasuk potensi tantangan dan peluang yang ada di dalamnya. Memasuki abad XXI bangsa Indonesia dihadapkan pada fenomena lingkungan internasional, regional, dan nasional.
Sedangkan menurut Prof. Djudju Sudjana (1997) dalam seminar nasional PLS di Surabaya menguraikan agar dalam strategi meningkatkan peran PLS, SDM Indonesia siap menjadi pelaku yang memiliki daya saing komparatif, perlu memiliki sasaran yang jitu bagi para perencana pendidikan.
Adapun pengertian strategi PLS menurut H.M.Norsanie Darlan (1996) suatu rencana yang cermat mengenai kegiatan pendidikan untuk mencapai sasaran. Sedangkan menurut Prof. Santoso S. Hamodjojo (1998) strategi PLS adalah untuk meletakkan sistem yang tangguh untuk menangani pendidikan sepanjang hidup, dengan jalur insidental, informal, nonformal dan formal bagi semua warga negara untuk menggalang masyarakat gemar belajar yang beradab dan demokratis (madani).
- Menuntaskan, diambil dari istilah bahasa dengan asal kata tuntas (Moeliono, 1989). Yakni suatu kegiatan pendidikan bagi seseorang untuk menuntaskan atau menghabiskan (mencurahkan semua) masa pendidikan di sekolah atau pun di luar sekolah sehingga kualitas SDM semakin tahun semakin meningkat.
Kendala dalam penuntasan wajib belajar 9 tahun erat hubungannya dengan faktor sosial ekonomi dan budaya. Sebagian besar orang tidak mampu menyekolahkan anaknya karena ekonominya lemah (miskin). Apalagi sejak terjadinya krisis moneter dan krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Hal ini menyebabkan semakin banyak penduduk menjadi miskin, jumlah orang miskin bertambah dari 20 juta sebelum krisis dan sekarang mencapai hampir 80 juta orang. Menurut Sanapiah Faisal (1998) hal tersebut berakibat banyak tenaga kerja yang di PHK, sehingga berdampak negatif pula terhadap penuntasan wajib belajar 9 tahun khususnya anak usia pendidikan dasar.
- Wajib Belajar adalah suatu tuntutan zaman yang harus dilaksanakan kepada seluruh bangsa Indonesia baik laki-laki maupun perempuan; usia sekolah 7 - 15 tahun mapun bagi mereka yang karena sesuatu hal sehingga tidak ada kesempatan mengikuti pendidikan formal. Oleh karena itu, mereka harus di tolong dengan pendidikan luar sekolah.
- Harsono (1997) mengartikan masyarakat dari 2 bahasa asing yakni (1) Dalam bahasa Arab yaitu Syrk yang artinya sekelompok manusia saling bergaul di suatu tempat dengan berbagai kesamaan. Kedua, bahasa Inggris Society yang artinya sekumpulan manusia saling berinteraksi dalam suatu wilayah tertentu dengan berbagai kesamaan satu sama lainnya.
3. Masyarakat Desa Tertinggal
- Arti masyarakat desa adalah sejumlah manusia dalam arti
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap
sama. Sedangkan arti tertinggal/terpencil adalah terpisah dengan yang
lain (Poerwadarminta, 1986 dan Anton M. Moeliono, dkk, 1989). Dengan
demikian yang dimaksud masyarakat desa tertinggal adalah mereka berada
jauh dari pembangunan kota, karena ketertinggalan tersebut sehingga
sulit mengikuti perkembangan pembangunan, termasuk ketertinggalan dalam
dunia pendidikan.
- (2) Pada dasarnya rata-rata pendidikan dan pengetahuan masyarakat desa tertinggal relatif rendah. Demikian juga jiwa/semangat kewiraswastaan ini sudah jarang dijumpai (A.J. Nihin, 1990). Karena itu, kepada mereka perlu diperkenalkan pertimbangan-pertimbangan antara faktor out-put dan input dalam setiap usaha produksi, namun dalam bentuk yang sederhana dan terjangkau oleh pikiran masyarakat. Hal ini perlu dengan contoh, bukti, atau semacamnya.
Pengertian pendidikan nonformal menurut Depdiknas adalah usaha sadar yang dilakukan untuk membentuk perkembangan kepribadian serta kemampuan anak luar sekolah atau tepatnya di luar sistem persekolahan sebagaimana yang kita kenal sekarang.
PLS menurut Prof. Dr.H. Sutaryat Trisnamansyah (1997) adalah konsep pendidikan sepanjang hayat yang mengandung karakteristik, bahwa pendidikan tidak berakhir pada saat pendidikan sekolah selesai ditempuh oleh seorang individu, melainkan suatu proses sepanjang hayat, mencakup keseluruhan kurun waktu hidup seorang individu sejak lahir sampai mati. Pendidikan sepanjang hayat bukan hanya pendidikan orang dewasa, yang dimulai manakala seorang individu telah menyelesaikan pendidikan sekolah hingga berusia dewasa.
Pengertian pendidikan secara umum menurut Prof. H. Fuad Ihsan (1996) bahwa pedagogy atau ilmu pendidikan ialah penyelidikan, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik.
Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan mustahil suatu kelompok manusia dapat maju berkembang sejalan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso (1981) menguraikan PLS sebagai upaya menolong masyarakat untuk mencapai kemajuan sosial ekonomi, agar mereka dapat menduduki tempat yang layak dalam dunia modern. Pendidikan ini jelas ditujukan kepada masyarakat dan daerah yang terbelakang agar masyarakat dan daerah ini dapat menyamai daerah lain yang tidak terbelakang.
4. Keadaan di Lapangan
Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan di semua
jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan peran serta masyarakat, termasuk pendidikan di lingkungan
keluarga dan masyarakat terus dikembangkan secara merata di seluruh
tanah air dengan memberikan perhatian khusus kepada keluarga yang kurang
mampu, penyandang cacat, dan yang bertempat tinggal di daerah
terpencil/tertinggal di Kalimantan Tengah, sehingga makin meningkatkan
kualitas serta jangkauannya. Peserta didik yang memiliki tingkat
kecerdasan luar biasa mendapat perhatian dan pelayanan lebih khusus agar
dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya tanpa mengabaikan
potensi peserta didik lainnya.Pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, PLS, dan pendidikan kejuruan harus terus ditingkatkan pemerataan, kualitas, dan pengembangannya untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional serta kemampuan kepemimpinan yang tanggap terhadap kebutuhan pembangunan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), berjiwa penuh pengabdian dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan bangsa dan negara. Kehidupan kampus dikembangkan sebagai lingkungan ilmiah yang dinamis sesuai dengan disiplin ilmu dan profesional, yang berwawasan budaya bangsa, bermoral Pancasila, dan berkepribadian Indonesia. Perguruan tinggi terus diusahakan untuk lebih mampu menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengkajian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memberikan pengabdian kepada masyarakat yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan sejalan dengan iklim yang makin demokratis yang mendukung kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi perguruan tinggi (GBHN' 1999).
Pidato tertulis Mendikbud RI dalam rangka hari pendidikan nasional (Hardiknas, 2 Mei 1997) patut pula kita mengungkapkan rasa syukur yang mendalam bahwa ternyata hasil-hasil pembangunan yang telah kita capai selama ini, sangat menggembirakan. Kemajuan pendidikan di tanah air kita, menunjukkan peningkatan yang sangat pesat. Terutama dilihat dari kesempatan pendidikan yang semakin meluas pada semua jenis dan jenjang serta jalur pendidikan. Lebih-lebih kita telah berhasil meningkatkan program nasional wajib belajar pendidikan dasar dari 6 tahun menjadi 9 tahun sejak tahun 1994. Dengan tantangan globalisasi, kita harus menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Pada akhir Pelita VII diharapkan anak usia 15 tahun telah bersekolah pada jenjang SLTP (Wardiman, 1997). Pembangunan di negeri kita dirasakan sangat banyak kendala dalam beberapa tahun terakhir.
Sebagai bahan pemikiran kita bersama, berikut ini data dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Nasional Kalimantan Tengah (Bidang Dikmas) tahun 1997/1998 tentang lulusan sekolah dasar dan yang tertampung di SLTP
Menilik ke belakang, salah satu contoh dari data retrospektif dalam tabel di atas, anak lulusan SD dari Kabupaten/Kota Palangka Raya (Kalteng) tahun 1997/1998 sebanyak 30.700 siswa, dan yang tertampung di SLTP 19.879 siswa (64,7 persen). Dengan demikian, murid SD yang putus sekolah di Kalimantan Tengah sebesar 10.821 (5,2 persen). Mereka tersebar di wilayah kabupaten/kota Kalimantan Tengah yaitu: 1.081 siswa (9,9 persen) di Batara; 952 siswa (8,7 persen) di Barito Selatan; 3.071 siswa (28,3 persen) di Kabupaten Kapuas; 3.124 siswa (28,8 persen) di Kotawaringin Timur; 1.938 siswa (17,9 persen) di Kotawaringin Barat; serta 655 siswa (6,0 persen) di kota Palangka Raya. Angka-angka tersebut akan menurun kalau ada strategi, metoda, dan teknik penempatan tenaga yang sesuai dengan bidangnya. Baik dari tingkat kecamatan, kabupaten sampai di tingkat propinsi.
Dalam kaitan ini, kita hendaknya terus berusaha untuk melakukan upaya-upaya terobosan guna meningkatkan jumlah tempat-tempat belajar baru, agar seluruh kelompok umur 7-15 tahun dapat tertampung. Di antara terobosan yang telah dikembangkan selama ini untuk menuntaskan program wajib belajar adalah (a) belajar melalui SLTP terbuka, (b) penyelenggaraan pendidikan luar sekolah melalui kejar paket A setara sekolah dasar (SD) dan kejar paket B setara SLTP, serta (c) upaya memanfaatkan teknik-teknik pendidikan jarak jauh, melalui media cetak maupun elektronik. Bahkan sudah ada juga paket C untuk setara SMU, namun kebutuhan itu harus mampu merealisasi pada lapisan yang lebih bawah.
Perencanaan pengadaan alat fasilitas/sarana penunjang berupa tenaga, sarana dan prasarana. Perencanaan sarana penunjang baru dapat dilakukan setelah pola perintisan dengan menggunakan perangkat lunak seperti kurikulum, buku paket, modul, kaset, video, radio dll (Winarno Hani Seno 1990).
Guna mendukung keberhasilan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan, jalinan kerjasama antara tokoh-tokoh masyarakat (toma) tokoh-tokoh agama (toga) dan orang tua dengan pemerintah, hendaknya juga terus ditingkatkan. Hal ini penting karena tugas pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang tua siswa. Tanpa keterlibatan semua pihak, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa niscaya tidak akan berhasil dengan baik. Hal ini menurut Wardiman (1997) sangat pentingnya peran pemerintah daerah untuk menyukseskan program pendidikan nasional. Menurut Prof. Dr. H. Abdul Azis Wahab, MA (2000) ada kekeliruan strategi pembangunan dewasa ini. Strategi yang dijalankan pada pelita-pelita lalu lebih mengutamakan sektor ekonomi di garis depan. Sementara menurut ahli perbandingan pendidikan pemerintah Malaysia dan Jepang mengutamakan sektor pendidikan di garis depan. Sebagai bukti dapat kita lihat bahwa 2 atau 3 pelita silam warga Malaysia belajar di Indonesia dalam ilmu pendidikan, kedokteran, dan bahkan mereka berani mendatangkan tenaga-tenaga dosen bidang MIPA. Dalam tahun-tahun belakangan ini, ternyata negeri mereka jauh lebih maju dibanding pembangunan kita. Tidak sedikit pemuda kita yang belajar ke Malaysia di berbagai Universitas dan akademi. Termasuk tahun akademi 1997/98 penulis sendiri mengikuti seleksi di Malaya University dalam tawaran masuk ke rancangan ijazah tinggi. Dan di panggil sebagai mahasiswa di negeri jiran untuk memperoleh ijazah Doktor Falsafah (Ph.D). Namun karena negeri kita khususnya Kalimantan Tengah, kota Palangka Raya diselimuti asap tebal, penerbangan terhenti dalam beberapa minggu, sehingga surat panggilan terlambat 54 hari dari batas terakhir pendaftaran.
Di pihak lain sambutan Mendikbud RI, mengetuk hati kita bersama yang sekarang sedang membangun dengan melaksanakan program-program perluasan pendidikan. Menurut Wiranto Arismunandar (1998) bahwa jumlah murid sekolah dasar dan Madrasah Ibtidaiyah baru mencapai sekitar 7,5 juta anak atau 41 persen dari jumlah anak usia sekolah sekolah dasar 1998. Pada tahun 1984 jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 23 juta anak, atau 97 persen. Keberhasilan ini serta laju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang cenderung makin cepat mendorong kita untuk mencanangkan Gerakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 tahun pada tahun 1984. Selanjutnya, kita melangkah lebih maju lagi dengan melaksanakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, yang dicanangkan tanggal 2 Mei 1994. Sesuai dengan Instruksi Presiden RI pada pembukaan rapat kerja nasional Departemen Pendidikan Nasional di Istana Negara pada tanggal 22 Mei 1996, program tersebut harus dapat diselesaikan pada akhir Pelita VII. Mudah-mudahan krisis moneter yang melanda negeri kita tercinta, tidak berpengaruh besar dalam pembangunan bidang pendidikan.
Di Indonesia pendidikan nonformal/pendidikan luar sekolah dikonsepkan bahwa setiap kesempatan di mana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah, di mana seseorang memperoleh informasi pengetahuan, latihan ataupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta aktif yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaanya bahkan lingkungan masyarakat negaranya (Sudomo, 1974, Sanapiah Faisal 1981). Sedangkan penulis mengambil pengertian tentang pendidikan luar sekolah yaitu suatu pendidikan tak terpisahkan dengan pendidikan formal, namun pelaksanaannya dilakukan di luar sistem persekolahan di antaranya berbagai kegiatan penyuluhan guna menunjang di berbagai bidang pembangunan bangsa (M.Norsanie Darlan, 1983).
Dengan demikian PLS mempunyai tugas berat dalam memberdayakan masyarakat mulai usia 14 - 45 tahun di luar sekolah yang menjadi sasaran didiknya. Sehingga pendidikan harus memberikan berbagai kebutuhan masyarakat setempat. Menurut: H. Djudju Sudjana (2000) bahwa PLS sangat berkembang bagi masyarakat industri. Bila kita berpikir secara prospektif, maka dari sekarang kita mulai bergerak agar tidak tertinggal dari negara lain.
Dalam kesempatan ini, kita menilik terhadap kehidupan masyarakat dengan pola perladangan/pertanian yang dilakukan masyarakat desa tertinggal. Kegiatan yang mereka lakukan dalam berladang dimulai dari menebas, menebang hutan, dan kemudian membakar. Namun, perlu digarisbawahi bahwa membakar hutan (hasil penelitian tahun 1997 sampai awal 1998), ternyata di musim kemarau panjang, belum ditemukan petani membakar hutan untuk perladangan mereka. Pembakaran terjadi oleh mereka, setelah hujan turun beberapa kali, mereka sudah menguasai ilmu falak, dengan melihat posisi bintang. Oleh para tokoh masyarakat (toma) setempat dengan melihat keadaan bintanglah baru menentukan pembakaran ladang yang akan digarap. Dan cara membakar lokasi sudah mereka persiapan dengan membersihkan di sekelilingnya. Sehingga pembakaran hutan dan asap tebal di musim kemarau dari hasil penelitian penulis tidak seluruhnya benar oleh masyarakat peladang berpindah. Mereka sudah mengerti dampak/akibat dari pembakaran tersebut bagi habitat lingkungan di sekeliling mereka (H.M.Norsanie Darlan, 2000).
Mereka yang dimaksud masyarakat desa tertinggal adalah bermukim di bukit-bukit, tepian sungai, di lembah, danau, kawasan pantai, dan sebagainya. Semuanya mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan. Dalam strategi PLS untuk menuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun, Dikmas tingkat kecamatan sebagai ujung tombak. Bila penempatan tenaga PLS tidak pada bidangnya, maka upaya pemerintah tidak akan segera terwujud.
Sedangkan ciri PLS secara spesifik menurut Saleh Marzuki (1981) adalah (1) progam jangka pendek; (2) tidak dibatasi oleh jenjang-jenjang; (3) Usia didiknya tidak perlu sama/homogen; (4) sasaran didiknya beriorientasi jangka pendek dan praktis; (5) Diadakan sebagai respon kebutuhan yang mendesak; (6) Ijazah biasanya kurang memegang peran penting; (7) dapat diselenggarakan pemerintah dan swasta; (8) dapat diselenggarakan di dalam dan di luar kelas.
Dalam hal ini, mungkin timbul bertanyaan mengapa di perguruan tinggi ada jurusan atau program studi PLS? Padahal di lain pihak pendidikan tersebut diselenggarakan di luar sistem persekolahan. Sebagian perguruan tinggi sejak lama telah menyelenggarakan PLS. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli pembangunan bidang PLS. Mahasiswa yang dididik pada jurusan atau program studi PLS adalah dididik dalam jalur pendidikan formal. Namun, sistem berfikir mahasiswa di luar sistem persekolahan. Seperti mengenal tuna aksara latin dan angka, ini konsep "tempoe doeloe". Sekarang mahasiswa lebih dititikberatkan pada masalah yang lain yaitu bagaimana agar warga masyarakat mampu menghadapi tantangan lebih jauh ke depan pada era globalisasi untuk berwiraswasta, mengenal berbagai kursus keterampilan, dan berbagai bentuk pendidikan di luar sistem persekolahan. Misalnya Bordir, Mejahit, Tata Rias, Pertanian, Elektronika, Jurnalistik, Komputer, pendidikan dan latihan berbagai cabang olahraga, penyuluhan kesehatan, KB, pertanian, sampai kursus berbagai bahasa dll (Oong Komar, 2000). Harapan masyarakat menurut Yus Darusman (2000) adalah aktivitas PLS melalui peran kelompok belajar masyarakat sebagai kelompok pengubah dan kelompok penyebar. Dampak perilaku moral ekonomi masyarakat tampil sebagai masyarakat yang maju, padat keterampilan, padat karya, padat usaha, padat kesejahteraan. Hal ini di selenggarakan oleh masyarakat, LSM, Dinas, dan instansi pemerintah. Karena tidak tuntas akibat dari ledakan penduduk berdampak menimbulkan kemiskinan dalam dunia pendidikan. Salah satu diantaranya ditutupnya kran-kran PLS di berbagai tempat dengan alasan yang tidak jelas di zaman orde baru. Sehingga di sana-sini munculnya anak jalanan, para galandangan, dan berbagai masalah sosial yang membuat pusing bagi pihak si penutup kran itu sendiri, dan siapa pembinannya? Penulis berasumsi bahwa sebagai dampak ditutupnya kran PLS sejak tahun akademi 1987/88, terjadinya kendala dalam penuntasan wajib belajar yang cukup berarti. Yang paling menyedihkan bagi lembaga yang ditugasi menuntaskan wajib belajar itu adalah menerima tenaga-tenaga di luar profesinya. Sehingga bukan teori andragogy yang diterapkan pada warga masyarakat, melainkan sebaliknya. Jadi keterampilan dalam berkomunikasi sebagai ahli PLS kepada warga masyarakat tidak bisa hanya belajar dalam 2, 3 bulan. Melainkan memerlukan cukup waktu, cukup SKS dan cukup praktik lapangannya. Sebab di masyarakat mereka tidak perlu banyak komentar, melainkan melihat bukti dan kenyataan.
Sekarang sarjana PLS sebelum diyudisium harus memiliki keterampilan (Skill) tertentu yang diharapkan bisa menciptakan lapangan kerja sendiri di masyarakat. PLS adalah satu dari dua jalur pendidikan di Indonesia yang memiliki peran besar di masa depan. Sehingga sangat aneh, bila melihat calon mahasiswa S-2 dan S-3 PLS berdatangan dari bidang-bidang ilmu lain tidak terbatas dalam jurusan pendidikan semata, melainkan ilmu-ilmu nonkependidikan karena mereka tahu cerahnya masa depan PLS. Diharapkan pada penerimaan mahasiswa baru, Universitas Palangka Raya tidak menerima lewat undangan saja, namun harus juga lewat UMPTN. Kepada para rekan sejawat (dosen-dosen PLS) harus mampu mengubah sistem perkuliahan dengan mengutamakan teori-teori andragogy. Karena pasar kerja kita sudah jauh berbeda dari masa pendidikan masa 15 - 20 tahun silam. Pada waktunya nanti PLS sudah turut memikirkan pula terhadap mereka yang menghadapi pasca kerja di hari pensiun. Sebab Post Power Sindrom menunjukkan tanda-tanda kenaikan yang sangat bermakna dalam masa belakangan ini.
Dalam hal PLS guna mewujudkan manusia Indonesia memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa agar memiliki kemampuan baca tulis. Direktorat Pendidikan Masyarakat (Dikmas), Depdiknas perlu mengadakan pembenahan-pembenahan, sebab kalau masih berjalan seperti selama ini, maka PLS yang dititipkan oleh pemerintah tak akan mampu diwujudkan.
- Gerakan Nasional Orang Tua Asuh agar diusahakan dapat sampai ke wilayah pedesaan, sehingga upaya menolong kaum lemah segera terwujud.
- Memperbaiki kelemahan yang selama ini dirasakan misalnya penempatan tenaga, cenderung merekrut para guru atau tenaga yang telah bertugas bertahun-tahun. Mereka di tempatkan untuk mendidik masyarakat pada bidang PLS. Padahal ia telah terbiasa (berpengalaman) melakukan pengajaran pada pendidikan formal. Terhadap tugas yang berhubungan dengan masyarakat, bukan teori andragogy yang ia berikan, melainkan cenderung paedagogy. Sehingga berapapun anggaran yang disediakan secara objektif cenderung kurang memberi manfaat. Mahasiswa PLS telah dipersiapkan, namun tenaga mereka juga diserap oleh Dinas Instansi lain, terutama bagi yang memiliki Diklat Balai Latihan dan penyuluhan.
- Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) perlu pembenahan, sebab kalau hanya sebagai tempat penampungan cenderung akan timbul keterlambatan untuk berpacu dan upayanya dalam pengentasan kemiskinan. Menurut U. Sihombing (2000) SKB hanya memiliki sejumlah papan nama kelompok belajar. Sehingga bila dicek di lapangan, ternyata kelompok belajar tersebut cenderung sudah bubar. Di sini ada dugaan ketidakmampuan para tenaga kita dalam menerapkan teori andragogy yang berbasis pada pendidikan orang dewasa, yang tidak dimiliki jurusan-jurusan lain.
Bila kita menilik terhadap keterlibatan PLS dalam berbagai dinas/instansi di tanah air, maka hampir di seluruh instansi pemerintah maupun swasta pasti merasa memiliki ilmu ke-PLS-an ini. Sebab kalau kita mengkaji secara mendalam menurut Sarjan Kadir (1982) bahwa ada di beberapa negara termasuk Philipina menerapkan 4 jalur pendidikan, yakni Nonformal Education, Formal Education, Family Education dan Basic Education. Di Indonesia, dengan berlakunya Undang-Undang Pendidikan Nasional dewasa ini, menurut H. M. Norsanie Darlan (1998) bahwa pendidikan menerapkan 2 jalur saja, yakni pendidikan formal dan pendidikan luar sekolah.
Dari uraian di atas, kalau pendidikan formal berada di bangku sekolah sejak dari sekolah dasar sampai pendidikan tertinggi, maka hampir semua orang mencari kerja sudah menggunakan hal itu. Namun bila setiap instansi pemerintah maupun swasta yang ingin meningkatkan kualitas tenaga kerjanya dalam waktu relatif singkat, maka pendidikan luar sekolahlah jalur yang tepat. Dengan berpatokan undang-undang yang ada dan ingin meningkatkan keprofesionalan, maka tenaga kependidikan luar sekolah harus diberikan tempat untuk turut membenahi kelemahan kita bersama.
Salah satu contoh bila di dinas dan jawatan terdapat Diklat atau Balai Latihan Kerja, maka menilik UUPN no 2 tahun 1989 sebaiknya harus ada tenaga PLS yang turut menanganinya. Demikian juga pada penyuluhan, karena sedikit banyak telah ditanamkan dari berbagai teori andragogy selama di bangku kuliah. Di lembaga swasta sangat banyak corak dan ragamnya seperti kursus komputer, merias, menjahit dan bordir, berbagai keterampilan, serta kursus-kursus lainnya.
Dalam aspek sosial budaya masyarakat desa tertinggal masyarakat memiliki konsep budaya yang masih tinggi dan sebetulnya hanya sebagian kecil yang memiliki budaya tertutup. Konsep pembangunan yang ditawarkan termasuk pendidikan sudah mereka sadari dewasa ini. Pendidikan punya andil besar terhadap masa depan. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan, yakni faktor kesulitan biaya, jauhnya lokasi rumah, dan terbatasnya fasilitas belajar, serta belum banyak pendidikan yang ditawarkan memberikan motivasi mereka belajar. Salah satu strategi dan upaya penuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak usia sekolah, yang lokasi rumahnya jauh dari SLTP disediakan asrama siswa. Dalam penanganan pendidikan di Indonesia menurut Satrio Sumantri (2000) adalah sangat diperlukan adanya keterlibatan masyarakat dalam masalah pendidikan. Hal ini sesuai pula dengan GBHN di negeri kita tercinta ini.
Walau di berbagai daerah kondisi alam sangat menjanjikan terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat sekitarnya, namun mereka belum dapat menyelesaikan pendidikan formal sementara usia kerja sudah sampai. Untuk mengantisipasi itu, PLS Universitas Palangka Raya juga harus tanggap terhadap tantangan ini, agar warga masyarakat dapat diberikan bekal dalam menghadapi pasar kerja.
4. Simpulan
- Dikmas Depdiknas baik di tingkat kecamatan, kabupaten maupun propinsi harus menyediakan lebih banyak tenaga-tenaga profesional dibidangnya seperti sarjana PLS dan Diploma. Sehingga salah satu upaya menuntaskan wajar Dikdas 9 tahun segera terwujud.
- Dalam mendirikan SLTP-Terbuka, sebaiknya tidak satu tempat dengan lokasi paket B, karena programnya menjadi tumpang tindih. Kalaupun harus satu lokasi, perlu pemisahan yang jelas untuk SLTP-Terbuka bagi anak usia sekolah, dan bagi peserta paket B yang berusia 14 - 45 tahun. Dan bagi mereka yang belum tamat SD sebaiknya mengikuti program paket A fungsional. Atau pendidikan yang mampu mengantarkan kesejahteraan dia dan keluarganya.
- Kelemahan kita selama ini yang sangat dirasakan pada ujung tombak Dikmas adalah tak mampu berperan banyak. Sebab dalam penempatan tenaga, cenderung merekrut para guru atau tenaga lain yang telah bertugas bertahan-tahun. Mereka di tempatkan untuk mendidik masyarakat pada bidang PLS. Padahal ia telah terbiasa (berpengalaman) melakukan pendidikan formal. Sehingga berhadapan dengan masyarakat, bukanlah teori andragogy yang ia berikan, melainkan cenderung paedagogy.
- Salah satu strategi dan upaya penuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak usia sekolah, yang lokasi rumahnya jauh dari SLTP di sediakan Asrama Siswa.
4.2. Saran-saran
Indonesia sudah 2 angkatan S-2 PLS Kepelatihan, mereka
dibiayai oleh Proyek Dikmas. Dididik di Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia Bandung. Sayangnya dalam pertemuan para kandidat
doktor dengan mahasiswa-mahasiswa S-2 PLS ini tak seorangpun ada utusan
dari Kalimantan Tengah. Padahal mereka ini dipersiapkan untuk memimpin
Balai Pelatihan Kegiatan Belajar (BPKB) yang akan didirikan di
Kalimantan Tengah. Ketertinggalan kita hanya 2 kemungkinan, apakah kalah
bersaing dalam seleksi masuk calon S-2 yang lemah, ataukah memang
kesempatan bagi kita tidak dimanfaatkan.DAFTAR PUSTAKA
Arismunandar, Wiranto, 1998. Pidato Mendikbud RI 2 Mei, Hardiknas, Jakarta.Darusman, Yus, 2000. Model Transformasi Moral Ekonomi Pengrajin Melalui Pendidikan Luar Sekolah, PPS UPI, Disertasi, Bandung.Darlan, M. Norsanie, 1983. Dasar-dasar Pendidikan Luar Sekolah di Berbagai Negara, Unpar, Palangka Raya.------------, 1996. Strategi Pendidikan Luar Sekolah, FKIP Universitas Palangka Raya.------------, 1998. Strategi Menuntaskan Wajar 9 Tahun Bagi Masyarakat Desa Tertinggal di Kal-Teng, PLS FKIP Unpar, Palangka Raya.------------, 1998. Kehidupan Masyarakat Nelayan Akibat Pengaruh Kenaikan Harga Sembako di Kabupaten Kapuas Kal-Teng, Unpar, Palangka Raya.------------, 2000. Strategi Menuntaskan Wajib Belajar Dikdas 9 tahun bagi masyarakat Desa Tertinggal Suku Lawangan di Kal-Teng, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, BALITBANG Dipdiknas RI, Jakarta.------------, 2000. Strategi Menuntaskan Wajib Belajar Dikdas 9 tahun bagi masyarakat Desa Tertinggal, Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar, Universitas Palangka Raya.Djojonegoro, Wardiman, 1997. Pidato Mendikbud RI 2 Mei, Hardiknas, Jkt.Faisal, Sanapiah, 1981. Pendidikan Luar Sekolah, Dalam Sistem Pendidikan Nasional, Usaha Nasional, Surabaya.------------, 1998. Tantangan Pembinaan Ketenaga Kerjaan Dalam Menghadapi Era, globalisasi, Seminar Nas. dan Temu PLS IKIP Malang.GBHN, 1999. Garis-Garis Besar Haluan Negara, TAP MPR No IV/MPR/1999, Sinar Grafika, Jakarta.Hamidjojo, Santoso, S. , 1998. Tantangan PLS dalam Era Reformasi dan Globalisasi, Seminar Nasional dan Temu Alumnus, IKIP Malang.Hassan, Shadily, 1998. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta.Harsono, 1997. PLS dan Perkembangan Lingkungan Strategi, Makalah Seminar Nasional PSL dan Konperensi ISPPSI, Surabaya.Ihsan, H. Fuad, 1996. Dasar-dasar Kependidikan, Renika Cipta, Jakarta.Kadir, Sarjan, 1982. Perbandingan Pendidikan Philipina Indonesia, PLS FIP IKIP Malang.Koentjaraningrat, 1981. Pengantar Antropologi, UI Press, Jakarta.Komar, H. Oong, 2000. Spektrum Tenaga Kependidikan Pada Satuan Pendidikan Luar Sekolah Kursus, PPS UPI, Disertasi, Bandung.Manan, 1997. Keadaan Penduduk Buta Huruf dan Putus Sekolah, Kandep Kecamatan Kapuas Barat, Mandomai.Marzuki, Saleh, 1981. Pendidikan Luar Sekolah, FIP IKIP Malang.Moeliono, Anton M., 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Jakarta.Nihin, A.Dj. 1990. Pokok-pokok Pikiran Stategi Pembangunan Pedesaan, Muara Teweh.Robbin, Herbert, J. dan Irene S. 1992. Community Organization and Development, New York. Mac Millon Publishing Company.Sagala, Saiful, 2000. Manajemen dan Kebijakan Otonomi Pendidikan Untuk Pemberdayaan Masyarakat, Makalah, PPS, UPI, Bandung.Seno, Winarno Hami, 1990. Program Perintitas Wajar selama pelita V di Indonesia, Jakarta.Sihombing, U. 2000. Kuliah Umum Perkembangan Dikmas Di Indonesia, UPI, Bandung.Sudjana, H.Djudju, 1997. Peranan PLS Dlm Pengembangan SDM Berkualitas, Makalah Seminar Nasional PSL dan Konperensi ISPPSI, Surabaya.------------, 2000. Seminar Teori Belajar dan Pembelajaran Dalam PLS, PPS, UPI, Bandung.Sudomo, H.M. 1974. Pendidikan Non Formal di Indonesia, FIP IKIP Malang.Sumantri, Satrio, 2000. Rembuk Pendidikan Nasional, Temu Pemikiran Untuk Menyelamatkan Masa Depan Pendidikan Nasional, Makalah, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.Tim Wajar, 1991. Keputusan Menko Kesra tentang Wajar Pendidikan Dasar, Kantor Menko Kesra RI, Jakarta.Trisnamawansyah, H. Sutaryat, 1997. Peran PLS Dalam Pembangunan Masyarakat Gemar Belajar, Makalah Seminar Nasional PSL dan Konperensi ISPPSI, Surabaya.Tony, 1998. Program Kerja Dikmas Dalam Upaya Menuntaskan Wajar 9 Tahun di Kal-Teng, Kanwil Depdikbud KalimantanTengah, Palangka Raya.Poerwadarminto, WJS., 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.Wahab, H. Abdul Azis, 2000. Perbandingan Pendidikan di Berbagai Negara, Pps Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Next: POLA PEMBERDAYAAN MASYARAKATYusuf, Sulaiman, 1981. Pendidikan Sosial, Usaha Nasional, Surabaya
Norsanie: Konsep Budaya “Huma Betang” Bebas Terpimpin
KALIMANTAN-NEWS.COM UP DATE NEWS, SABTU (27/10/2012) :
(-SINTANG-) : Peringati SP, Bupati Lepas Touring King Rattle Club ***
(-KAPUAS HULU-) : Fasilitas Pendukung Border Nanga Badau Masih Perlu
Dibenahi *** (-KALIMANTAN BARAT-) : Mobil Boks Berisi Sosis Selundupan
Hilang Di Karantina Entikong *** Kubu Raya Peroleh Kucuran Dak Rp44
Miliar *** (-NASIONAL-) : Indonesia Upayakan Ketahanan Pangan Berbasis
Lokal *** 16 Damkar Dikerahkan Atasi Kebakaran Di Tanjung Priok
Kalimantan Tengah-PALANGKARAYA, (kalimantan-news) -
Masyarakat suku Dayak yang memiliki budaya menyatukan konsep bebas
terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat juga punya kearifan lokal yang
dikenal dengan sebutan "huma betang (rumah besar)", kata Prof H Norsanie
Darlan.
"Dari keturunan leluhur kita,
masyarakat Dayak yang punya konsep bebas terpimpin ini, menyatukan
konsep di rumah betang untuk tidak ada terjadi perselisihan yang
berarti," katanya pada seminar nasional di Palangka Raya, Kamis.
Seminar nasional bertema "Reformulasi Model GBHN: Mewujudkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah yang Berorientasi Pada Kesejahteraan Rakyat" dilaksanakan atas kerja sama MPR-RI dan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya.
Selain Prof Dr H Norsanie Darlan, seminar nasional "Empat Pilar Kehidupan Berbangsa" itu juga menghadirkan pemateri Ir H Syahrin Daulay, M. Eng, Prof Dr Danes Jayanegara SE, M. Si dan HM Wahyudi F Dirun, S.P.
Norsanie Darlan yang juga guru besar Universitas Palangka Raya (Unpar) itu mengatakan, ada ruang bebas yang merupakan sarana dalam mewujudkan pembangunan masyarakat merujuk pada budaya suku Dayak.
"Dalam ruang publik yang bebas itulah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi, wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran," ujarnya.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka ruang publik yang bebas menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan.
Norsanie mengatakan, dengan menafsirkan ruang publik yang bebas dalam tatanan pembangunan masyarakat, maka akan terjadi kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum.
"Bahkan, tingginya kekerabatan karena adanya rasa persaudaraan yang tinggi, tidak saling menyalahkan satu sama yang lain. Namun adanya kekompakan yang sulit diikuti oleh masyarakat lain terhadap budaya “huma betang” ini," tambahnya.
Masyarakat madani menurut Norsanie Darlan ditandai berkembangnya iklim demokrasi yang bebas berpendapat dan bertindak, baik secara individual maupun kolektif dengan penuh tanggung jawab.
"Tanggung jawab dalam bertindak itu diperlukan, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial serta penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis," demikian Norsanie Darlan. (phs/Ant)
Seminar nasional bertema "Reformulasi Model GBHN: Mewujudkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah yang Berorientasi Pada Kesejahteraan Rakyat" dilaksanakan atas kerja sama MPR-RI dan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya.
Selain Prof Dr H Norsanie Darlan, seminar nasional "Empat Pilar Kehidupan Berbangsa" itu juga menghadirkan pemateri Ir H Syahrin Daulay, M. Eng, Prof Dr Danes Jayanegara SE, M. Si dan HM Wahyudi F Dirun, S.P.
Norsanie Darlan yang juga guru besar Universitas Palangka Raya (Unpar) itu mengatakan, ada ruang bebas yang merupakan sarana dalam mewujudkan pembangunan masyarakat merujuk pada budaya suku Dayak.
"Dalam ruang publik yang bebas itulah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi, wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran," ujarnya.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka ruang publik yang bebas menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan.
Norsanie mengatakan, dengan menafsirkan ruang publik yang bebas dalam tatanan pembangunan masyarakat, maka akan terjadi kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum.
"Bahkan, tingginya kekerabatan karena adanya rasa persaudaraan yang tinggi, tidak saling menyalahkan satu sama yang lain. Namun adanya kekompakan yang sulit diikuti oleh masyarakat lain terhadap budaya “huma betang” ini," tambahnya.
Masyarakat madani menurut Norsanie Darlan ditandai berkembangnya iklim demokrasi yang bebas berpendapat dan bertindak, baik secara individual maupun kolektif dengan penuh tanggung jawab.
"Tanggung jawab dalam bertindak itu diperlukan, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial serta penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis," demikian Norsanie Darlan. (phs/Ant)
Prof. Norsanie Darlan; Hargai Mobil Listrik Karya Anak Bangsa
Palangka Raya (ANTARA News) - Mobil listrik dan sejumlah hasil karya sejenis ciptaan putra-putri Indonesia merupakan produk dalam negeri yang perlu dihargai masyarakat negeri ini, kata Prof Norsanie Darlan di Palangka Raya, Selasa.
Guru besar Universitas Palangka Raya (Unpar) itu mengatakan, banyak karya anak bangsa yang patut dihargai seperti mobil listrik "Lets Green & Go Electric" yang diujicoba Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan Senin (16/7) kemarin.
"Sebagai bangsa besar, kita harus berani mengubah persepsi, yang semula menjadi konsumen produk luar negeri menjadi konsumen produk dalam negeri," kata dosen program pascasarjana S-2 Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Unpar tersebut.
Ini merupakan sejarah baru di bidang otomotif hasil karya putri-putri Indonesia. Mobil listrik berlebel "Lets Green & Go Electric" ini dinilai dapat membantu mengurangi potensi yang bisa merusak lingkungan dan kesehatan.
Sebelumnya, sudah ada sejumlah SKM yang memproduk kendaraan serupa, namun bukan mobil listrik seperti SMK Magelang, EMK Taruna di Jawa Barat (Jabar) dan mobil Esemka Solo yang menjadi isu nasional beberapa bulan lalu.
"Kita berharap semua hasil karya anak bangsa dihargai tanpa cela. Jangan dinilai negatif seperti yang terjadi selama ini. Kalau penilaian negatif dikedepankan terhadap produk anak bangsa seperti dulu, kita khawatir pasarnya terus dikuasai produk luar negeri," katanya.
Pengalaman masa lalu sudah menjadi kenyataan. Semua anak bangsa masih ingat soal pesawat karya cipta anak bangsa yang tergabung dalam IPTN, yang akhirnya tidak berjalan maksimal akibat "ketidakpercayaan" pada bangsa sendiri.
"Sebenarnya, sekecil apapun hasil karya anak bangsa harus kita hargai. Siapa lagi yang menghargai hasil karya anak bangsa kalau bukan kita sendiri, termasuk produk mobil nasional seperti mobil listrik dan Esemka itu," katanya.
Norsanie mengatakan, sebenarnya berdirinya industri pesawat terbang Nortanio (IPTN) ikut mengangkat harkat dan martabat bangsa, tapi karena ada yang dengan nada tertentu meremehkan karya cipta dirgantara anak bangsa akhirnya tinggal "kenangan".
"Bila kita menelaah sejarah anak bangsa, Nurtanio adalah putra kelahiran Kalimantan Selatan. Tapi kenapa nama perusahaan yang menabalkan nama putra bangsa kelahiran Kalimantan Selatan itu diubah menjadi nama lain," kata Norsanie dengan nada tanya. (S019)
Editor: B Kunto Wibisono
Prof. Norsanie Darlan; Hargai Mobil Listrik Karya Anak Bangsa
Palangka Raya (ANTARA News) - Mobil listrik dan sejumlah hasil karya sejenis ciptaan putra-putri Indonesia merupakan produk dalam negeri yang perlu dihargai masyarakat negeri ini, kata Prof Norsanie Darlan di Palangka Raya, Selasa.
Guru besar Universitas Palangka Raya (Unpar) itu mengatakan, banyak karya anak bangsa yang patut dihargai seperti mobil listrik "Lets Green & Go Electric" yang diujicoba Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan Senin (16/7) kemarin.
"Sebagai bangsa besar, kita harus berani mengubah persepsi, yang semula menjadi konsumen produk luar negeri menjadi konsumen produk dalam negeri," kata dosen program pascasarjana S-2 Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Unpar tersebut.
Ini merupakan sejarah baru di bidang otomotif hasil karya putri-putri Indonesia. Mobil listrik berlebel "Lets Green & Go Electric" ini dinilai dapat membantu mengurangi potensi yang bisa merusak lingkungan dan kesehatan.
Sebelumnya, sudah ada sejumlah SKM yang memproduk kendaraan serupa, namun bukan mobil listrik seperti SMK Magelang, EMK Taruna di Jawa Barat (Jabar) dan mobil Esemka Solo yang menjadi isu nasional beberapa bulan lalu.
"Kita berharap semua hasil karya anak bangsa dihargai tanpa cela. Jangan dinilai negatif seperti yang terjadi selama ini. Kalau penilaian negatif dikedepankan terhadap produk anak bangsa seperti dulu, kita khawatir pasarnya terus dikuasai produk luar negeri," katanya.
Pengalaman masa lalu sudah menjadi kenyataan. Semua anak bangsa masih ingat soal pesawat karya cipta anak bangsa yang tergabung dalam IPTN, yang akhirnya tidak berjalan maksimal akibat "ketidakpercayaan" pada bangsa sendiri.
"Sebenarnya, sekecil apapun hasil karya anak bangsa harus kita hargai. Siapa lagi yang menghargai hasil karya anak bangsa kalau bukan kita sendiri, termasuk produk mobil nasional seperti mobil listrik dan Esemka itu," katanya.
Norsanie mengatakan, sebenarnya berdirinya industri pesawat terbang Nortanio (IPTN) ikut mengangkat harkat dan martabat bangsa, tapi karena ada yang dengan nada tertentu meremehkan karya cipta dirgantara anak bangsa akhirnya tinggal "kenangan".
"Bila kita menelaah sejarah anak bangsa, Nurtanio adalah putra kelahiran Kalimantan Selatan. Tapi kenapa nama perusahaan yang menabalkan nama putra bangsa kelahiran Kalimantan Selatan itu diubah menjadi nama lain," kata Norsanie dengan nada tanya. (S019)
Editor: B Kunto Wibisono
TUNA AKSARA ADA DI KANTONG KEMISKINAN
Oleh:
H.M.Norsanie
Darlan
Abstrak
Penelitian ini bertujuan: (1) Ingin mengetahui
tentang kantong kemiskinan warga tuna aksara di kawasan marjinal dalam proses
pembelajarannya; (2) Ingin mengetahui apa penyebab kemiskinan itu sampai
terjadi; dan (3) Ingin mengetahui kegagalan pendidikan formal sehingga angka
Tuna Aksara tak kunjung habis.
Penelitian ini, menetapkan
sebuah pendekatan penelitian kualitatif, kualitatif teradap sejumlah kawasan
marjinal di Kalimantan Tengah dengan alasan
pemilihan pendekatan kualitatif adalah: penelitian ini dilakukan pada
kondisi yang alamiah dengan langsung ke
sumber data peneliti, dimana peneliti instrument kunci. Subjek dalam
penelitian ini adalah: warga masyarakat marjinal yang ada di dalam beberapa
wilayah penelitian. Alat penelitian dalam pengumpulan data berupa: pedoman
wawancara dan observasi serta dokumentasi.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah: (1) kantong kemiskinan warga tuna aksara di kawasan marjinal ini, diperlukan proses
pembelajarannya bagi mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak tuntas
belajarnya sehingga perlu diberikan pertolongan; (2) penyebab kemiskinan itu
sampai terjadi, karena nasib yang membelenggu dalam kehidupan mereka; dan (3)
kegagalan pendidikan formal dalam merangkul mereka untuk proses belajar selama
usia sekolah, sehingga angka Tuna Aksara
tak kunjung habis.
Kata Kunci: Tuna Aksara, Kantong
Kemiskinan.
Pendahuluan
Sungguh banyak yang
mempertanyakan bahwa kenapai kantong kemiskinan selalu ada di kalangan
masyarakat miskin. Hal ini tidak selamanya hanya di tanah air kita, melainkan
di negara-negara tertentupun menemukan kasus yang sama. Namun terdapat beda dalam penanganan mereka
lebih cepat dibanding negeri kita tercinta ini.
Tuna aksara sebenarnya tidak
terjadi di kalangan miskin, dan kenapa hal itu harus terjadi. Bila kita
mengkaji dalam Surah pertama yang diterima Nabi Besar Muhammad SAW tentang:
”Al-Iqra”, yang secara jelas menyebutkan agar umat-Nya dapat membaca. Walau
kita ketahui bersama bahwa: Rasul Terakhir itu, betul-betul juga seorang tuna
aksara.
Kenapa hal itu bisa terjadi?,
karena kalau beliau sebagai seorang cerdik pandai atau orang yang dapat membaca
dan menulis dengan istilah sekarang dapat membaca, menulis dan berhitung
(calistung), maka dugaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an itu, dibuat oleh manusia.
Tapi karena si penerima wahyu tersebut seorang yang betul-betul tuna aksara.
Maka dugaan bahwa Al-Qur’an buatan manusia oleh mereka yang belum percaya itu,
dapat dipatahkan. Dan Al-Qur’an tentu saja ”...murni wahyu Allah...”. Karena
banyak bukti yang setelah dipelajari secara ilmiah terbukti betul-betul berasal
dari Yang Maha Besar Allah SWT.
Apakah hal itu benar? Kita pelajari saja, salah satu
dari surah pertama Al-Alaq yang diturunkan dari ayat 1. Sudah memerintahkan
kepada umatnya untuk membaca dengan menyebut nama Tuhan-mu yang menciptakan.
Kemudian dalam ayat 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; 3.
Bacalah, dan Tuhan-mulah Yang Maha pemurah; Ayat 4 Yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam dan ayat 5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.
Ayat pertama sangat
memerintahkan kepada Nabi Muhammad disini, tidak sebatas hanya sekedar agar
membaca menulis dan berhitung (Calistung), tapi juga kalau kita membaca suasana
apa yang telah, sedang dan akan terjadi. Baik
kondisi alam maupun hal-hal lainnya. Tapi mari kita bersama mengajak agar semua
warga negara Indonesia tuntas dalam calistung. Tentu saja sulit. Kenapa?
Mungkin kesadaran untuk belajar masih belum dijadikan prioritas utama dalam
hidupnya.
Dalam
ayat Kedua bahwa manusia dijadikan dari segumpal darah. Kalimat tersebut di atas, membuat manusia
khususnya mereka kalangan kedokteran yang berpikir memperdalam berbagai cabang
ilmu itu. Ternyata dari surah di atas, setelah dipelajari secara ilmiah oleh
kalangan ahlinya maka ayat di atas, telah terbukti kebenarannya.
Dalam akhir tahun
2006 tepatnya bulan Nopember - Desember, penulis berkunjung ke desa-desa
pesisir selatan di pedelaman Kalimantan Tengah, ternyata Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor: 5
Tahun 2006 tentang Gerakan Nasonal Percepatan Penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun memang dirasakan warga walau masih sebatas
persiapan. Kenapa hal itu terjadi, dalam mewujudkan pendidikan dasar sembilan
tahun ini, tidak semudah membalik telapak tangan. Demikian juga tidak semua
Bupati mengerti, apa sebenarnya wajar sembilan
tahun tersebut. Padahal Insrtuksi sudah sampai kepada mereka. Ditambah
dengan kewenangan otonomi daerah, ”...Kepala Dinas Pendidikan ada kalanya di
tempatkan tenaga yang bukan sarjana pendidikan...”, atau ka-Subdin PLS bukan sarjan PLS, melainkan kealiannya
sangat berbeda. Dan Dikmas di Kecamatan yang di tempatkan ada kalanya mantan
guru yang sudah 15 – 20 tahun bergulat dalam pendidikan formal.
Dengan demikian ala
berpikirnyapun sudah keformal-formalan. Namun karena ingin bekerja di
sturuktural apakah alasan ingin merubah nasib ataukah ada faktor KKN-nya, maka
duduklah mantan guru tersebut. Sehingga
secara realita Diknas kecamatan tersebut akan berwarna formal. Karena ia tidak
tahu sama sekali terhadap, teori dan pendekatan di jalur nonformal. Sementara
dipihak lain para sarjana PLS tertutup krannya untuk bekerja di Diknas karena
kran yang tersedia hanya disalurkan pada pendidikan formal alias jadi guru.
Seperti diangkat jadi guru SLA/SLP. Memang sarjana PLS di Indonesia
dipersiapkan untuk 2 pekerjaan Kalau Kran PLS dibuka, ia siap menempati Dikmas
subdin PLS dan berbagai instansi terkait. Tapi kalau tertutup kran PLS, maka ia
dipersilahkan melamar guru, karena punya akta mengajar IV. Karena ia dididik
dalam keguruan dan ilmu pendidikan.
Adapun yang jadi masalah kenapa
ditahun 80-an kran PLS digembar-gemburkan ditutup. Hal itu, berdampak negatif
hingga masa sekarang. Angka tuna aksara semakin tahun semakin membengkak. Siapa
yang berdosa terhadap negeri tercinta ini?. Sementara para sarjana PLS yang
masuk di kran guru, ia tidak masalah di jalur formal. Namun ia enggan untuk
turun pada jalur PLS, karena sudah terlena dengan pekerjaannya di jalur formal.
Tempat kerjanya sudah serba ada. Seperti dalam hal: ruang belajar, muridnya sudah ada, bahan belajarnya tersedia.
Sangat beda dengan di kelompok belajar atau PKBM.
Salah satu contoh dan berkesan bagi penulis
warga masyarakat yang didukung oleh kepada desa Satiruk Kecamatan Pulau Hanaut
Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah membuat kelompok belajar Paket B
di desanya, bagi anak usia sekolah. Karena dari 3 buah sekolah dasar yang
berdekatan setiap tahun meluluskan murid antara 15 -18 orang dari setiap
sekolah Dasar. Namun karena belum mendapat jatah gedung/guru SMP maka anak usia
12-15 tahun diikut sertakan dalam kelompok Belajar paket B. Sementara pemuda
dan orang dewasa karena belum ada tenaga berpendidikan PLS maka itulah yang
dapat mereka perbuat. Namun karena atas inisiatif kepala desa dan dibantu para
guru yang peduli terhadap nasib bangsa hal itu mereka lakukan.
Sebaiknya mereka ini,
dimasukkan pada sekolah formal seperti SMP/MTs. Karena Faktor usia yang masih
muda belia. Dan sebaiknya bagi mereka yang di atas 18 tahun, baru
diikutsertakan dalam kelompok belajar paket B tersebut. Dan mereka ini,
dimasukkan pada SD/SMP satu atap (terpadu/atau apalah istilahnya). Dan
sementara gedung sekolah dasar yang ada dapat untuk dijadikan ruang/kelas SLP
di desa itu.
Dipihak lain, orang tua masih
enggan memberangkatkan anaknya yang berusia 12 tahun ini urbanisasi ke kota
atau ke desa lain, untuk melanjutkan pendidikan seperti: SMP/MTS ke kota
kecamatan/Kabupaten karena jarak desa dengan kota kecamatan sangat jauh,
transportasi yang dapat menjangkau ke lokasi itu, hanya dengan klotok (perahu
bermesin di Kalimantan Tengah). Itupun tidak ada angkutan tetap setiap hari.
Sehingga menjadi kendala besar dalam penuntasan Wajar sembilan tahun ini.
Tujuan
Dalam
tulisan ini, tujuan yang akan diuraikan bergai hal sebagai berikut:
1. Ingin mengetahui tentang kantong kemiskinan warga tuna aksara di kawasan
marjinal dalam proses pembelajarannya;
2. Ingin mengetahui apa penyebab kemiskinan itu sampai terjadi;
3. Ingin mengetahui kegagalan pendidikan formal sehingga angka Tuna Aksara tak
kunjung habis.
Metoda
Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis
menetapkan sebuah pendekatan penelitian kualitatif, kualitatif teradap sejumlah
kawasan marjinal di Kalimantan Tengah dengan alasan
pemilihan pendekatan kualitatif adalah: (1) penelitian ini dilakukan pada
kondisi yang alamiah dengan langsung ke
sumber data peneliti, dimana peneliti instrument kunci; (2) lebih bersipat
deskriptif data yang terkumpul berbentuk
kata-kata, gambar atau tulisan tidak menekankan pada angka; (3) menekankan pada
proses dari pada produk; (4) analisis data secara induktif; dan (5) lebih menekankan makna dibalik data
yang tampak tentang permasalahan yang telah dirumuskan yang telah dirumuskan
dalam penelitian ini.
Subjek
Penelitian
Adapun subjek dalam penelitian
ini adalah: warga masyarakat marjinal yang ada di dalam beberapa wilayah
penelitian. Dan yang dijadikan subjek dalam penelitian ini, adalah mereka yang
hidup dalam segala kekurangan.
Alat
Penelitian
Dalam pengumpulan data tentu
menyesuaikan terhadap obyek yang dijadikan sasaran penelitian. Dalam penelitian
ini digunakan alat penelitian berupa: pedoman wawancara dan observasi.
Untuk pedoman wawancara digunakan untuk menggali data sedalam mungkin
dalam wawancara terhadap subyek penelitian seperti telah diuraikan di atas.
Pedoman wawancara berfungsi ganda yaitu dapat juga sebagai angket. Hanya saja
dalam penelitian ini, tidak menjadikan pedoman wawancara sebagai angket. Karena
pedoman wawancara ini, menyesuaikan terhadap jenis penelitian yang digunakan.
Pedoman observasi digunakan
terhadap obyek yang bersifat diam menbisu seribu bahasa. Artinya pada obyek
fisik PKBM yang memang betul-betul tidak dapat diwawancarai, maka pedoman
wawancara digunakan sebagai alat untuk menggali data hal itu.
Waktu
penelitian
Sedangkan waktu penelitian
menggunakan waktu 3 bulan dengan pembagian waktu penyusunan proposal 3 minggu, penelitian lapangan 7 minggu dan
analisis 2 minggu dan seminar hasil dan perbaikan laporan 1 minggu.
Hasil
Penelitian
Adapun hasil dari penelitian
tuna aksarana dan kantong kemiskinan adalah sebagai berikut:
Kantong
kemiskinan
Bicara tentang: apa istilah
kantong kemiskinan ini, ”tidak lain
adalah tempat-tempat tinggal, mereka bermukim dengan segala kekurangan. Mereka ini miskin ilmu dan miskin harta”, lokasinya begitu jauh dengan
kawasan marjinal di mana saja hal ini selalu ada. Baik
dipedesaan ataupun perkotaan. Namun yang paling menyolok adalah di perkotaan.
Sebab mereka ini memilih tempat area itu, tidak lain karena tidak punya tempat
lain lagi untuk apaberteduh. Sementara mereka yang terkumpul di lokasi itu,
cenderung pada mereka yang berpenghasilan tidak tetap dan sangat rendah.
Kehidupan merekapun juga tidak
dapat dikatakan baik. Karena mereka ini umumnya belum mendapatkan pekerjaan
yang layak. Sementara tuntutan hidup dengan jumlah keluarga biasanya lebih dari
kebanyakan orang. Karena bagai mana untuk mengendalikan hal itu, sementara mencari
sesuap nasipun terkadang tidak terjadwal seperti kebanyak orang. Minta
pelayanan kesehatan dan KB tidak tersedia waktu dan biaya. Apalagi pendidikan
yang memakan waktu lama. Namun dalam aspek pendidikan dan kesehatan yang selama
ini mendapat perhatian pemerintah, dalam kurun waktu mendatang, makin lama
makin membaik. Tinggal kesadaran mereka untuk belajar dan mendapatkan pelayanan
kesehatan/KB itu menuntut kesadaran yang tinggi.
Kantong kemiskinan sangat
terlihat dari jarak dekat pada tempat-tempat kumuh di perkotaan. Sementara dari
kejauhan bisa kita lihat di mana-mana. Makin banyak kalangan miskin, makin
besar juga jumlahnya peminta-minta di jalanan. Tujuan mereka meminta itu, tidak
lain adalah mencari rejeki untuk makan
dirinya dan keluarganya. Sehingga belajar membaca dan menulispun sungguh sulit diberikan.
Karena mereka ini, belum ada tersedia waktu untuk belajar karena yang utama
tidak lain mencari sesuap nasi.
Menilik
Penyebab Tuna Aksara
Meneliti Tuna Aksara adalah: ”mereka
yang belum tuntas membaca, menulis dan berhitung dalam hidupnya” yang ada di
pedesaan salah satu contoh di Kalimantan Tengah ada 2 kelompok berbeda
masing-masing masyarakat pesisir dan pedalaman. Masyarakat pesisir berada di
kawasan selatan Kalimantan Tengah. Karena Kalimantan Tengah pesisir selatannya
berada di Laut Jawa sepanjang +
800 Km yang memanjang dari perbatasan dari arah timur adalah wilayah di perbatasan
dengan Kalimantan Selatan dan ke arah barat yang berbatasan dengan Kalimantan
Barat. Sedangkan kawasan pedalaman yakni kawasan utara Kalimantan Tengah
sebelah timur berbatas dengan Kalimantan Timur dan Barat serta Utara dengan
Kalimntan Barat.
Bicara tentang tuna aksara di
kawasan pesisir tahun 1991, memang tidak seluruhnya buta huruf. Hal ini, dalam
penelitian yang pernah dilakukan pada anak usia sekolah dan orang dewasa.
Ternyata yang buta huruf di sana adalah sudah dapat membaca dan tulisan Arab.
Karena mereka juga dapat membaca Al-Qur’an. Sedangkan kawasan pedalaman
1999, ada warga masyarakat yang belum
dapat membaca tulis baik latin maupun Arab.
Pelaksanaan
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
buta aksara di Indonesia, diantaranya
yaitu: putus sekolah dasar. Sebab
dengan masih banyak anak Indonesia, yang belum
medapat kesempatan untuk masuk sekolah dasar menurut Ace Suryadi (2005) adalah
dikarenakan faktor:
Pertama: karena orang tua atau
keluarganya tidak mampu. Kondisi ini memaksa orang tua untuk mempekerjakan
anak-anak mereka, terutama dimusim pertanian yaitu waktu mengolah sawah,
menanam, mengetam dan lain lain.
Kedua: kondisi daerah yang
terisolasi atau daerah transmigrasi yang jauh dari sekolah, daerah yang terkena
bencana alam atau konflik, seperti Aceh, Nabire, Poso, Atambua, dan sebagainya.
Kedua faktor penyebab
ini, tidak menutup kemungkinan akan
menambah buta aksara jumlah buta aksara
di Indonesia.
Penuntasan
Wajar
Dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan mewujudkan Wajr sembilan tahun, sebuah pertemuan di kota
Kabupaten Kotawaringin Timur (Sampit) Kalimantan Tengah terungkap dalam salah
satu saran untuk penuntasan di masyarakat, agar wajar sembilan tahun dapat
dituntaskan adalah:”...Departemen Tenaga Kerja untuk membuat peraturan baru,
yakni setiap calon tenaga kerja baik sektor formal maupun informal adalah harus
memiliki ijazah minimal SLP...”. Seperti mereka mau mencari kerja sebagai buruh
pekerja perkebunan, pertokoan dan sebagainya. Selama ini, mereka bekerja tanpa
melihat latar belakang pendidikan. Pihak pengusaha semata-mata ingin mencari
tenaga kerja sebanyak mungkin. Sementara pendidikan formal ataupun pendidikan
nonformal seperti paket A atau B tidaklah diperhatikan. Yang penting bagaimana
usahanya maju dan keuntungan dapat
segera diwujudkan.
Anak usia sekolah antara 12 –
15 tahun di kawasan itu, muncul pikiran baru. Selama sekolah tidak mendapatkan
uang. Bahkan selalu meminta pada orang tua. Tidak sekolah hanya dengan
membersihkan rotan yang diambil dari kebun bekerjan 4 – 5 jam sehari, sudah
dapat mengantungi uang untuk makan dan jajan untuk 1 – 2 hari. Akhirnya sekolah
ditinggalkan begitu saja. Oleh sebab itu, perlu ada kerjasama dengan pihak
Depnaker dalam menetapkan calon pekerja, dengan memperhatikan latar belakang
pendidikan mereka sebagai persyaratan berpendidikan SLP atau paket B. Sehingga
wajar sembilan tahun dapat segera
dituntaskan.
Penyaradaran
Hidup
Dalam rangka penyadaran bahwa
masalah tuna aksaran ini, belum menjadikan tuluk ukur warga masyarakan dalam
suatu kebutuhan hidupnya. Sementara pihak pemerintah, perlu mencari jalan agar
warga masyarakat yang masih tuna aksara agar kurang mendapat kesempatan dalam
hal-hal tertentu. Sehingga bila suatu saat mereka yang karena sesuatu dan lain
hal, dalam hidupnya. Tidak dapat berbuat banyak dalam mencari pekerjaan, kalau
ia masih tuna aksara. Misal saja warga tuna aksara karena kesulitan membaca
setingga membuat KTP tak mudah diterbitkan. Karena sebagai prasyarat mutlat
misalnya. Isi sebuah konsep penyadaran hidup mereka yang tuna aksara.
Jika sebagai salah satu contoh
di atas diterapkan. Maka warga masyarakat yang tuna aksara akan berusaha
belajar ikut paket A dan B. Seperti saran masyarakat di atas, dalam lapangan pekerjaan, jika mereka tidak
memiliki Ijazah SLTP ia tidak akan dapat bekerja di perusahaan perkebunan dsb.
Sehingga pada saatnya itu mereka akan sadar dalam hidupnya suatu kebutuhan
dalam pendidikan dasar 9 tahun ini. Apakah dengan mengikuti jalur pendidikan
formal ataukah luar sekolah seperti paket A dan B.
Tapi pemerintah perlu bertindak
tegas, misalnya agar PKBM diantara sekian dari penyelenggara paket A dan B
untuk wajar 9 tahun tidak terlalu mudah mengikut sertakan mereka dalam ujian
negara. Kalau
mereka tidak mengikuti pelajaran secara rutin selama beberapa semester. Agar
mereka yang sering menuding pendidikan nonformal (PLS) kualitasnya belum seperti
mereka harapkan. Bagaimana para penuding ini, jadi terperanjat bahwa pendidikan
nonformal juga punya aturan yang jelas.
Terdapat keluhan tokoh formal
Ichwanuddin (2006) bahwa:”... pernah menyulitkan pihak Diknas (Dikjar) bila
bakal terjadi Pemilu dan Pilkada, ada orang-orang tertentu, yang mendesak agar
ikut serta dalam program paket C. Tidak itu saja, kepala Dikjar (Dinas
pendidikan dan pengajaran) Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah
ini, agar diikutsertakan ujian paket
C. Hal tersebuat ia pernah juga
diperiksa oleh pihak kejaksaan, karena ada indikasi bahwa lulusan paket C
diperoleh tanpa melalui kegiatan pendidikan luar sekolah yang wajar...”. Hal
seperti ini, fungsi PKBM perlu dijaga, bukan hanya sekedar kasihan. Tapi dengan terbitnya
Undang-Undang nomor: 20/2003 dalam Bab XX ada pula sanksi yang berat.
Kebanggaan kita semua memang lulusan paket C
sudah ada yang berhasil menjadi Bupati. Tidak terhitung yang menjadi anggota
DPR. Dalam kegagalan pendidikan formal tahun 2006 lalu, bisa kita ingat 15-20
tahun mendatang, lulusan paket C akan bermunculan menjadi pejabat di negeri
ini. Dengan demikian fungsi PKBM setara juga dengan pendidikan formal. Hanya
yang kita jaga kualitasnya.
Mutu dan
Relevansi
Untuk melihat bagaimana mutu dan relevansi menurut Ace Suryadi (2005)
adalah:
a.
Melakukan hasil pengujian terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan
standar yang telah dibakukan sehingga program pembelajaran yang telah
dilaksanakan selama ini dapat diketahui sejauh mana tingkat penguasaan peserta
didik.
b.
Berusaha melakukan peningkatan pelayanan pendidikan keaksaraan melalui kegiatan
pembelajaran yang berkelanjutan dan relevan sesuai dengan kebutuhan peserta
didik dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya melalui program life
skills.
Kegagalan Sekolah Formal
Berbicara tentang kegagalan sekolah formal selama ini, menurut Kepala Sub
Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional RI, Ella Yulaelawati (2006) bahwa :“…perlu
dilakukan pengkajian yang sangat mendasar tentang kegagalan sekolah formal yang
selama ini…”. Karena sekolah formal sebagai jalur pertama ternyata tidak
seluruhnya menemukan cara efektif dalam penyelenggaraan pendidikan formalnya.
Padahal pendidikan formal ini telah disiapkan
dengan segala fasiltas, guru dan materi belajar yang cukup. Tapi kenapa
setelah diserahkan tugas lewat pendidikan formal selalu kandas dalam penuntasan
pendidikan dasar 9 tahun.
Sementara kegagalan dalam menekan angka tuna aksara ini menurut: Singarasa
(2006) adalah: ”…masa lalu, pihak pemerintah betul-betul membina masyarakat
yang diikuti dengan kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap program yang
dilancarkan pemerintah. Dan turut mendukung upaya menurunkan angka tuna aksara.
Namun sekarang kita sadari bersama dengan kurangnya partisipasi masyarakat akan
turut meninggikan angka buta huruf….”. Dengan demikian, berarti perlu
penyadaran dan ketaatan warga untuk belajar.
Menurut Darlan (2006) Bahwa:”... dalam wajar 9 tahun, bangsa kita di era
pembangunan sekarang terjadi peningkatan angka tuna aksara selalu tinggi. Walau
pemerintah sudah secara gencar melakukannya. Namun angka tuna aksara makin
tahun masih bertambah. Hal ini perlu kita cari sebab akibatnya...”.
Seorang
dosen pendidikan luar sekolah (PLS) Universitas Palangka Raya: Ringkin (2006) bahwa ia: “…mengkritisi
rumusan hasil pertemuan sarjana di Palangka Raya beberapa waktu lalu bahwa
kalangan pendidikan sendiri yang duduk dalam komisinya masih terlupakan tentang
pendidikan luar sekolah. Padahal jika menguasai terhadap Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional nomor: 20/2003 secara jelas ada 3 jalur pendidikan yakni:
(a) Pendidikan Formal, (b) Pendidikan non formal dan (c) Pendidikan informal…”.
PLS berada pada pendidikan non formal. Sementara dalam butir 2 Pendidikan
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan
pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesataraan, serta
pendidikan lain yang ditunjuk untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Ini
juga memasuki pada jalur pendidikan informal kita.
Kegagalan yang dikritik dosen senior PLS FKIP Unpar itu, tidak lain karena
ketidak mengertian banyak orang tentang jalur pendidikan kita, baik dalam
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 maupun Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku dan ada di negeri kita cintai
ini.
Belajar Dari Sebuah Pengalaman
Dalam mengakhiri
tahun 2006, ada sebuah pekerjaan yang ditugasi oleh LPPM Universitas Palangka
Raya untuk asistensi Wajib bejalar 9 tahun di Kabupaten Kotawaringin Timur
Kalimantan Tengah, mendampingi para Camat, Diknas Kecamatan, Depag Kecamatan
dan Kepala Desa serta tokoh masyarakat dalam membicarakan SD/SMP satu atap.
Sebuah desa di tepi
Laut Jawa tepatnya Desa Satiruk, kecamatan Pulau Hanaut ada 3 gedung sekolah
dasar yang berdekatan setiap tahun meluluskan antara 18-20 orang/sekolah. Namun
tidak ada SMP/MTs baik negeri maupun swasta di sekitar itu. sehingga kepala
desanya berinisiatif membentuk kelompok belajar paket B. Namun dalam segi usia
12-14 tahun. Sementara yang berusia 18 – 40 tahun tak pernah dapat sentuhan
pendidikan baik formal SMP/MTs maupun nonformal paket B. Padahal negara kita
sedang gigihnya menuntaskan wajar 9 tahun. Termasuk merealisasikan Instruksi
Presiden nomor: 5 tahun 2006 tertenggal 9 Juni 2006. Tentang Gerakan Nasional
Percepatan Penuntasan Wajar pendidikan dasar 9 tahun dan pemberantasan buta aksara.
Pengalaman lain
tahun 1992 penulis penelitian di kawasan pantai, menemukan sebuah bangunan
beratapkan daun nipah, dinding daun nipah dan berlantaikan tanah, ukuran 6 x 4
m dengan 10 orang murid 4 diantaranya duduk di kelas 2.
Saat bertemu dengan
penulis penduduk di kecamatan Kumai Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan
Tengah ini, diajak membaca huruf latin dan angka belum sempurna. Tapi
dituliskan huruf Arab mereka lancar membaca. Berarti penduduk pesisir tidak
seluruhnya buta aksara, kecuali latin. Sedangkan huruf Arab mereka sudah bisa,
karena setiap orang tua melatih anaknya untuk membaca Al-Qur’an. Kasus ini
berada di kawasan selatan Kalimantan Tengah. Tepatnya di utara Laut Jawa.
Perlu Perubahan
Dalam bagian akhir tulisan ini perlu suatu upaya merubah konsep yang selama
ini, ternyata terjadi kesalahan dalam dunia pendidikan luar sekolah. Memang
selama ini, pendidikan luar sekolah terlupakan. Bahkan jika pendidikan luar
sekolah bagi pekerjanya seperti tutor misalnya mendapat imbalan lebih banyak
dengan ucapan terima kasih. Sementara jika tersedia dana, untuk tenaga tutor
hanya dengan imbalan yang jauh dari cukup. Padahal, petugas PLS jauh lebih
sulit dibanding mereka yang bekerja di jalur pendidikan formal. Misal dalam
pendidikan formal gedung sekolah, guru dan murid serta buku bacaan tersedia,
semuanya serba ada. Sementara dalam jalur pendidikan luar sekolah terjadi
sebaliknya. Ruang belajar terkadang di rumah penduduk, di balai desa dll. Murid
dirayu agar mau belajar. Karena mereka dalam kondisi belajar tidak penting
baginya. Hal itu perlu diberikan penyadaran diri individu yang masih belum
tuntas wajar 9 tahun. Materinya elastisitas yang diberikan berdasarkan
kesepakatan bersama.
Dengan melihat hal di atas, saran dari penulis agar mulai sekarang kita
adakan perubahan. Artinya dalam hal pendanaan, tidak selalu pada pendidikan
formal yang besar. Tapi bagaimana jika kalau PKBM, yang tak punya gedung yang
memadai. Pihak Diknas turut membantu mereka yang mendirikan pusat kegiatan
belajar masyarakat ini, pada gedung mereka, buku bacaan dan honor tutor yang
cukup. Sebab kita sangat bersyukur kepada segelintir warga masyarakat yang
peduli dunia pendidikan. Kenapa yang peduli pendidikan ini, tidak kita bantu
dalam rehab atau perluasan tempat belajar mereka di PKBM itu. Sehingga motivasi
mereka dalam membantu proses percepatan penuntasan pendidikan dasar 9 tahun
segera terwujud.
Jika hal ini direalisasikan, Insyaa Allah kegairahan belajar mesyarakat
akan meningkat. Dan angka tuna aksara akan dapat ditekan.
Dalam Proses
Pendidikan Pendewasaan
Dari hasil penelitian di
lapangan terjadi kegagalan pendidikan formal dalam merangkul mereka untuk
proses belajar selama usia sekolah, ada kalanya mereka di saat ujian sekolah
karena ketidak mampuan ekonomi orang tua, atau anak tersebut bermasalah di
sekolah seperti jarang turun, sering bertindak yang aneh-aneh atau mengganggu
temannya di sekolah. Sehingga yan bersangkutan tidak sempat tuntas dalam
belajarnya. Atau karena faktor geografis antara tempat tinggal dengan sekolah.
Sehingga anak tidak dapat bersekolah seperti kebanyakan orang.
Jika hal
di atas pada jalur pendidikan formal seperti guru, kepala sekolah tidak proaktif
melacak murid-murid atau pemuda usia sekolah, yang tidak mau bersekolah supaya
pendidikan warga betul-betul bisa dituntaskan. sehingga angka Tuna Aksara yang
selama ini tak kunjung habis. Dapat diselesaikan. Kalau tidak tentu saja seperti
masa-masa lalu dan sekarang ini.
Kesimpulan
1.Bahwa kantong kemiskinan warga tuna aksara di kawasan marjinal ini, diperlukan proses
pembelajarannya bagi mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak tuntas
belajarnya sehingga perlu diberikan pertolongan;
2.bahwa penyebab kemiskinan itu sampai terjadi, karena nasib yang
membelenggu dalam kehidupan mereka;
3.Bahwa kegagalan pendidikan formal dalam merangkul mereka untuk proses
belajar selama usia sekolah, sehingga
angka Tuna Aksara tak kunjung habis.
DAFTAR
PUSTAKA
Darlan,
H. M. Norsanie, 2006. Pendidikan Luar
Sekolah di Kalimantan Tengah,
Makalah, Palangka Raya.
-----------,
2006. Sulitnya Pemerataan Wajar Sembilan
Tahun di Kalimantan Tengah, Universitas Mulawarman, Samarinda.
------------, 2007. UPAYA MENGOPTIMALKAN
FUNGSI DAN PERAN KBM SEBAGAI LEMBAGA PENGEMBANG SUMBERDAYA MASYARAKAT, PKBM
Zamzam, Malang.
Hamid,
H. Dedi, 2003. Uuno 20 Tahun 2003, Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Asokadikta, Jakarta.
Ichwanuddin,
2006. Keberatan Kepala Dinas Pendidikan
dan Pengajaran Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah, Pangkalan
Bun.
Ringkin, Don F, 2005. Kritik Pendidikan Luar Sekolah hanya dipandang dengan sebelah mata oleh
banyak kalangan, Kal-Teng Pos Opini, Palangka Raya.
Singarasa, Henry 2006. Diskusi Pendidikan Keaksaraan dengan
Berbagai Latar Belakang Bidang Keilmuan, Rektor Universitas Palangka Raya,
Palangka Raya.
Suryadi,
Ace, 2005. Kebijakan dan Strategi
Gerakan Pemberantasan Buta Aksara Intensif, Hotel Sahid Raya Solo.
Yulaelawati, Ella,
2006. Kegagalan Sekolah Formal Dalam
Melaksanakan Pendidikan, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas RI, RRI,
Jayapura.
Langganan:
Postingan (Atom)