Oleh:
H.M.Norsanie
Darlan
Abstrak
Penelitian ini bertujuan: (1) Ingin mengetahui
tentang kantong kemiskinan warga tuna aksara di kawasan marjinal dalam proses
pembelajarannya; (2) Ingin mengetahui apa penyebab kemiskinan itu sampai
terjadi; dan (3) Ingin mengetahui kegagalan pendidikan formal sehingga angka
Tuna Aksara tak kunjung habis.
Penelitian ini, menetapkan
sebuah pendekatan penelitian kualitatif, kualitatif teradap sejumlah kawasan
marjinal di Kalimantan Tengah dengan alasan
pemilihan pendekatan kualitatif adalah: penelitian ini dilakukan pada
kondisi yang alamiah dengan langsung ke
sumber data peneliti, dimana peneliti instrument kunci. Subjek dalam
penelitian ini adalah: warga masyarakat marjinal yang ada di dalam beberapa
wilayah penelitian. Alat penelitian dalam pengumpulan data berupa: pedoman
wawancara dan observasi serta dokumentasi.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah: (1) kantong kemiskinan warga tuna aksara di kawasan marjinal ini, diperlukan proses
pembelajarannya bagi mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak tuntas
belajarnya sehingga perlu diberikan pertolongan; (2) penyebab kemiskinan itu
sampai terjadi, karena nasib yang membelenggu dalam kehidupan mereka; dan (3)
kegagalan pendidikan formal dalam merangkul mereka untuk proses belajar selama
usia sekolah, sehingga angka Tuna Aksara
tak kunjung habis.
Kata Kunci: Tuna Aksara, Kantong
Kemiskinan.
Pendahuluan
Sungguh banyak yang
mempertanyakan bahwa kenapai kantong kemiskinan selalu ada di kalangan
masyarakat miskin. Hal ini tidak selamanya hanya di tanah air kita, melainkan
di negara-negara tertentupun menemukan kasus yang sama. Namun terdapat beda dalam penanganan mereka
lebih cepat dibanding negeri kita tercinta ini.
Tuna aksara sebenarnya tidak
terjadi di kalangan miskin, dan kenapa hal itu harus terjadi. Bila kita
mengkaji dalam Surah pertama yang diterima Nabi Besar Muhammad SAW tentang:
”Al-Iqra”, yang secara jelas menyebutkan agar umat-Nya dapat membaca. Walau
kita ketahui bersama bahwa: Rasul Terakhir itu, betul-betul juga seorang tuna
aksara.
Kenapa hal itu bisa terjadi?,
karena kalau beliau sebagai seorang cerdik pandai atau orang yang dapat membaca
dan menulis dengan istilah sekarang dapat membaca, menulis dan berhitung
(calistung), maka dugaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an itu, dibuat oleh manusia.
Tapi karena si penerima wahyu tersebut seorang yang betul-betul tuna aksara.
Maka dugaan bahwa Al-Qur’an buatan manusia oleh mereka yang belum percaya itu,
dapat dipatahkan. Dan Al-Qur’an tentu saja ”...murni wahyu Allah...”. Karena
banyak bukti yang setelah dipelajari secara ilmiah terbukti betul-betul berasal
dari Yang Maha Besar Allah SWT.
Apakah hal itu benar? Kita pelajari saja, salah satu
dari surah pertama Al-Alaq yang diturunkan dari ayat 1. Sudah memerintahkan
kepada umatnya untuk membaca dengan menyebut nama Tuhan-mu yang menciptakan.
Kemudian dalam ayat 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; 3.
Bacalah, dan Tuhan-mulah Yang Maha pemurah; Ayat 4 Yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam dan ayat 5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.
Ayat pertama sangat
memerintahkan kepada Nabi Muhammad disini, tidak sebatas hanya sekedar agar
membaca menulis dan berhitung (Calistung), tapi juga kalau kita membaca suasana
apa yang telah, sedang dan akan terjadi. Baik
kondisi alam maupun hal-hal lainnya. Tapi mari kita bersama mengajak agar semua
warga negara Indonesia tuntas dalam calistung. Tentu saja sulit. Kenapa?
Mungkin kesadaran untuk belajar masih belum dijadikan prioritas utama dalam
hidupnya.
Dalam
ayat Kedua bahwa manusia dijadikan dari segumpal darah. Kalimat tersebut di atas, membuat manusia
khususnya mereka kalangan kedokteran yang berpikir memperdalam berbagai cabang
ilmu itu. Ternyata dari surah di atas, setelah dipelajari secara ilmiah oleh
kalangan ahlinya maka ayat di atas, telah terbukti kebenarannya.
Dalam akhir tahun
2006 tepatnya bulan Nopember - Desember, penulis berkunjung ke desa-desa
pesisir selatan di pedelaman Kalimantan Tengah, ternyata Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor: 5
Tahun 2006 tentang Gerakan Nasonal Percepatan Penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun memang dirasakan warga walau masih sebatas
persiapan. Kenapa hal itu terjadi, dalam mewujudkan pendidikan dasar sembilan
tahun ini, tidak semudah membalik telapak tangan. Demikian juga tidak semua
Bupati mengerti, apa sebenarnya wajar sembilan
tahun tersebut. Padahal Insrtuksi sudah sampai kepada mereka. Ditambah
dengan kewenangan otonomi daerah, ”...Kepala Dinas Pendidikan ada kalanya di
tempatkan tenaga yang bukan sarjana pendidikan...”, atau ka-Subdin PLS bukan sarjan PLS, melainkan kealiannya
sangat berbeda. Dan Dikmas di Kecamatan yang di tempatkan ada kalanya mantan
guru yang sudah 15 – 20 tahun bergulat dalam pendidikan formal.
Dengan demikian ala
berpikirnyapun sudah keformal-formalan. Namun karena ingin bekerja di
sturuktural apakah alasan ingin merubah nasib ataukah ada faktor KKN-nya, maka
duduklah mantan guru tersebut. Sehingga
secara realita Diknas kecamatan tersebut akan berwarna formal. Karena ia tidak
tahu sama sekali terhadap, teori dan pendekatan di jalur nonformal. Sementara
dipihak lain para sarjana PLS tertutup krannya untuk bekerja di Diknas karena
kran yang tersedia hanya disalurkan pada pendidikan formal alias jadi guru.
Seperti diangkat jadi guru SLA/SLP. Memang sarjana PLS di Indonesia
dipersiapkan untuk 2 pekerjaan Kalau Kran PLS dibuka, ia siap menempati Dikmas
subdin PLS dan berbagai instansi terkait. Tapi kalau tertutup kran PLS, maka ia
dipersilahkan melamar guru, karena punya akta mengajar IV. Karena ia dididik
dalam keguruan dan ilmu pendidikan.
Adapun yang jadi masalah kenapa
ditahun 80-an kran PLS digembar-gemburkan ditutup. Hal itu, berdampak negatif
hingga masa sekarang. Angka tuna aksara semakin tahun semakin membengkak. Siapa
yang berdosa terhadap negeri tercinta ini?. Sementara para sarjana PLS yang
masuk di kran guru, ia tidak masalah di jalur formal. Namun ia enggan untuk
turun pada jalur PLS, karena sudah terlena dengan pekerjaannya di jalur formal.
Tempat kerjanya sudah serba ada. Seperti dalam hal: ruang belajar, muridnya sudah ada, bahan belajarnya tersedia.
Sangat beda dengan di kelompok belajar atau PKBM.
Salah satu contoh dan berkesan bagi penulis
warga masyarakat yang didukung oleh kepada desa Satiruk Kecamatan Pulau Hanaut
Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah membuat kelompok belajar Paket B
di desanya, bagi anak usia sekolah. Karena dari 3 buah sekolah dasar yang
berdekatan setiap tahun meluluskan murid antara 15 -18 orang dari setiap
sekolah Dasar. Namun karena belum mendapat jatah gedung/guru SMP maka anak usia
12-15 tahun diikut sertakan dalam kelompok Belajar paket B. Sementara pemuda
dan orang dewasa karena belum ada tenaga berpendidikan PLS maka itulah yang
dapat mereka perbuat. Namun karena atas inisiatif kepala desa dan dibantu para
guru yang peduli terhadap nasib bangsa hal itu mereka lakukan.
Sebaiknya mereka ini,
dimasukkan pada sekolah formal seperti SMP/MTs. Karena Faktor usia yang masih
muda belia. Dan sebaiknya bagi mereka yang di atas 18 tahun, baru
diikutsertakan dalam kelompok belajar paket B tersebut. Dan mereka ini,
dimasukkan pada SD/SMP satu atap (terpadu/atau apalah istilahnya). Dan
sementara gedung sekolah dasar yang ada dapat untuk dijadikan ruang/kelas SLP
di desa itu.
Dipihak lain, orang tua masih
enggan memberangkatkan anaknya yang berusia 12 tahun ini urbanisasi ke kota
atau ke desa lain, untuk melanjutkan pendidikan seperti: SMP/MTS ke kota
kecamatan/Kabupaten karena jarak desa dengan kota kecamatan sangat jauh,
transportasi yang dapat menjangkau ke lokasi itu, hanya dengan klotok (perahu
bermesin di Kalimantan Tengah). Itupun tidak ada angkutan tetap setiap hari.
Sehingga menjadi kendala besar dalam penuntasan Wajar sembilan tahun ini.
Tujuan
Dalam
tulisan ini, tujuan yang akan diuraikan bergai hal sebagai berikut:
1. Ingin mengetahui tentang kantong kemiskinan warga tuna aksara di kawasan
marjinal dalam proses pembelajarannya;
2. Ingin mengetahui apa penyebab kemiskinan itu sampai terjadi;
3. Ingin mengetahui kegagalan pendidikan formal sehingga angka Tuna Aksara tak
kunjung habis.
Metoda
Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis
menetapkan sebuah pendekatan penelitian kualitatif, kualitatif teradap sejumlah
kawasan marjinal di Kalimantan Tengah dengan alasan
pemilihan pendekatan kualitatif adalah: (1) penelitian ini dilakukan pada
kondisi yang alamiah dengan langsung ke
sumber data peneliti, dimana peneliti instrument kunci; (2) lebih bersipat
deskriptif data yang terkumpul berbentuk
kata-kata, gambar atau tulisan tidak menekankan pada angka; (3) menekankan pada
proses dari pada produk; (4) analisis data secara induktif; dan (5) lebih menekankan makna dibalik data
yang tampak tentang permasalahan yang telah dirumuskan yang telah dirumuskan
dalam penelitian ini.
Subjek
Penelitian
Adapun subjek dalam penelitian
ini adalah: warga masyarakat marjinal yang ada di dalam beberapa wilayah
penelitian. Dan yang dijadikan subjek dalam penelitian ini, adalah mereka yang
hidup dalam segala kekurangan.
Alat
Penelitian
Dalam pengumpulan data tentu
menyesuaikan terhadap obyek yang dijadikan sasaran penelitian. Dalam penelitian
ini digunakan alat penelitian berupa: pedoman wawancara dan observasi.
Untuk pedoman wawancara digunakan untuk menggali data sedalam mungkin
dalam wawancara terhadap subyek penelitian seperti telah diuraikan di atas.
Pedoman wawancara berfungsi ganda yaitu dapat juga sebagai angket. Hanya saja
dalam penelitian ini, tidak menjadikan pedoman wawancara sebagai angket. Karena
pedoman wawancara ini, menyesuaikan terhadap jenis penelitian yang digunakan.
Pedoman observasi digunakan
terhadap obyek yang bersifat diam menbisu seribu bahasa. Artinya pada obyek
fisik PKBM yang memang betul-betul tidak dapat diwawancarai, maka pedoman
wawancara digunakan sebagai alat untuk menggali data hal itu.
Waktu
penelitian
Sedangkan waktu penelitian
menggunakan waktu 3 bulan dengan pembagian waktu penyusunan proposal 3 minggu, penelitian lapangan 7 minggu dan
analisis 2 minggu dan seminar hasil dan perbaikan laporan 1 minggu.
Hasil
Penelitian
Adapun hasil dari penelitian
tuna aksarana dan kantong kemiskinan adalah sebagai berikut:
Kantong
kemiskinan
Bicara tentang: apa istilah
kantong kemiskinan ini, ”tidak lain
adalah tempat-tempat tinggal, mereka bermukim dengan segala kekurangan. Mereka ini miskin ilmu dan miskin harta”, lokasinya begitu jauh dengan
kawasan marjinal di mana saja hal ini selalu ada. Baik
dipedesaan ataupun perkotaan. Namun yang paling menyolok adalah di perkotaan.
Sebab mereka ini memilih tempat area itu, tidak lain karena tidak punya tempat
lain lagi untuk apaberteduh. Sementara mereka yang terkumpul di lokasi itu,
cenderung pada mereka yang berpenghasilan tidak tetap dan sangat rendah.
Kehidupan merekapun juga tidak
dapat dikatakan baik. Karena mereka ini umumnya belum mendapatkan pekerjaan
yang layak. Sementara tuntutan hidup dengan jumlah keluarga biasanya lebih dari
kebanyakan orang. Karena bagai mana untuk mengendalikan hal itu, sementara mencari
sesuap nasipun terkadang tidak terjadwal seperti kebanyak orang. Minta
pelayanan kesehatan dan KB tidak tersedia waktu dan biaya. Apalagi pendidikan
yang memakan waktu lama. Namun dalam aspek pendidikan dan kesehatan yang selama
ini mendapat perhatian pemerintah, dalam kurun waktu mendatang, makin lama
makin membaik. Tinggal kesadaran mereka untuk belajar dan mendapatkan pelayanan
kesehatan/KB itu menuntut kesadaran yang tinggi.
Kantong kemiskinan sangat
terlihat dari jarak dekat pada tempat-tempat kumuh di perkotaan. Sementara dari
kejauhan bisa kita lihat di mana-mana. Makin banyak kalangan miskin, makin
besar juga jumlahnya peminta-minta di jalanan. Tujuan mereka meminta itu, tidak
lain adalah mencari rejeki untuk makan
dirinya dan keluarganya. Sehingga belajar membaca dan menulispun sungguh sulit diberikan.
Karena mereka ini, belum ada tersedia waktu untuk belajar karena yang utama
tidak lain mencari sesuap nasi.
Menilik
Penyebab Tuna Aksara
Meneliti Tuna Aksara adalah: ”mereka
yang belum tuntas membaca, menulis dan berhitung dalam hidupnya” yang ada di
pedesaan salah satu contoh di Kalimantan Tengah ada 2 kelompok berbeda
masing-masing masyarakat pesisir dan pedalaman. Masyarakat pesisir berada di
kawasan selatan Kalimantan Tengah. Karena Kalimantan Tengah pesisir selatannya
berada di Laut Jawa sepanjang +
800 Km yang memanjang dari perbatasan dari arah timur adalah wilayah di perbatasan
dengan Kalimantan Selatan dan ke arah barat yang berbatasan dengan Kalimantan
Barat. Sedangkan kawasan pedalaman yakni kawasan utara Kalimantan Tengah
sebelah timur berbatas dengan Kalimantan Timur dan Barat serta Utara dengan
Kalimntan Barat.
Bicara tentang tuna aksara di
kawasan pesisir tahun 1991, memang tidak seluruhnya buta huruf. Hal ini, dalam
penelitian yang pernah dilakukan pada anak usia sekolah dan orang dewasa.
Ternyata yang buta huruf di sana adalah sudah dapat membaca dan tulisan Arab.
Karena mereka juga dapat membaca Al-Qur’an. Sedangkan kawasan pedalaman
1999, ada warga masyarakat yang belum
dapat membaca tulis baik latin maupun Arab.
Pelaksanaan
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
buta aksara di Indonesia, diantaranya
yaitu: putus sekolah dasar. Sebab
dengan masih banyak anak Indonesia, yang belum
medapat kesempatan untuk masuk sekolah dasar menurut Ace Suryadi (2005) adalah
dikarenakan faktor:
Pertama: karena orang tua atau
keluarganya tidak mampu. Kondisi ini memaksa orang tua untuk mempekerjakan
anak-anak mereka, terutama dimusim pertanian yaitu waktu mengolah sawah,
menanam, mengetam dan lain lain.
Kedua: kondisi daerah yang
terisolasi atau daerah transmigrasi yang jauh dari sekolah, daerah yang terkena
bencana alam atau konflik, seperti Aceh, Nabire, Poso, Atambua, dan sebagainya.
Kedua faktor penyebab
ini, tidak menutup kemungkinan akan
menambah buta aksara jumlah buta aksara
di Indonesia.
Penuntasan
Wajar
Dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan mewujudkan Wajr sembilan tahun, sebuah pertemuan di kota
Kabupaten Kotawaringin Timur (Sampit) Kalimantan Tengah terungkap dalam salah
satu saran untuk penuntasan di masyarakat, agar wajar sembilan tahun dapat
dituntaskan adalah:”...Departemen Tenaga Kerja untuk membuat peraturan baru,
yakni setiap calon tenaga kerja baik sektor formal maupun informal adalah harus
memiliki ijazah minimal SLP...”. Seperti mereka mau mencari kerja sebagai buruh
pekerja perkebunan, pertokoan dan sebagainya. Selama ini, mereka bekerja tanpa
melihat latar belakang pendidikan. Pihak pengusaha semata-mata ingin mencari
tenaga kerja sebanyak mungkin. Sementara pendidikan formal ataupun pendidikan
nonformal seperti paket A atau B tidaklah diperhatikan. Yang penting bagaimana
usahanya maju dan keuntungan dapat
segera diwujudkan.
Anak usia sekolah antara 12 –
15 tahun di kawasan itu, muncul pikiran baru. Selama sekolah tidak mendapatkan
uang. Bahkan selalu meminta pada orang tua. Tidak sekolah hanya dengan
membersihkan rotan yang diambil dari kebun bekerjan 4 – 5 jam sehari, sudah
dapat mengantungi uang untuk makan dan jajan untuk 1 – 2 hari. Akhirnya sekolah
ditinggalkan begitu saja. Oleh sebab itu, perlu ada kerjasama dengan pihak
Depnaker dalam menetapkan calon pekerja, dengan memperhatikan latar belakang
pendidikan mereka sebagai persyaratan berpendidikan SLP atau paket B. Sehingga
wajar sembilan tahun dapat segera
dituntaskan.
Penyaradaran
Hidup
Dalam rangka penyadaran bahwa
masalah tuna aksaran ini, belum menjadikan tuluk ukur warga masyarakan dalam
suatu kebutuhan hidupnya. Sementara pihak pemerintah, perlu mencari jalan agar
warga masyarakat yang masih tuna aksara agar kurang mendapat kesempatan dalam
hal-hal tertentu. Sehingga bila suatu saat mereka yang karena sesuatu dan lain
hal, dalam hidupnya. Tidak dapat berbuat banyak dalam mencari pekerjaan, kalau
ia masih tuna aksara. Misal saja warga tuna aksara karena kesulitan membaca
setingga membuat KTP tak mudah diterbitkan. Karena sebagai prasyarat mutlat
misalnya. Isi sebuah konsep penyadaran hidup mereka yang tuna aksara.
Jika sebagai salah satu contoh
di atas diterapkan. Maka warga masyarakat yang tuna aksara akan berusaha
belajar ikut paket A dan B. Seperti saran masyarakat di atas, dalam lapangan pekerjaan, jika mereka tidak
memiliki Ijazah SLTP ia tidak akan dapat bekerja di perusahaan perkebunan dsb.
Sehingga pada saatnya itu mereka akan sadar dalam hidupnya suatu kebutuhan
dalam pendidikan dasar 9 tahun ini. Apakah dengan mengikuti jalur pendidikan
formal ataukah luar sekolah seperti paket A dan B.
Tapi pemerintah perlu bertindak
tegas, misalnya agar PKBM diantara sekian dari penyelenggara paket A dan B
untuk wajar 9 tahun tidak terlalu mudah mengikut sertakan mereka dalam ujian
negara. Kalau
mereka tidak mengikuti pelajaran secara rutin selama beberapa semester. Agar
mereka yang sering menuding pendidikan nonformal (PLS) kualitasnya belum seperti
mereka harapkan. Bagaimana para penuding ini, jadi terperanjat bahwa pendidikan
nonformal juga punya aturan yang jelas.
Terdapat keluhan tokoh formal
Ichwanuddin (2006) bahwa:”... pernah menyulitkan pihak Diknas (Dikjar) bila
bakal terjadi Pemilu dan Pilkada, ada orang-orang tertentu, yang mendesak agar
ikut serta dalam program paket C. Tidak itu saja, kepala Dikjar (Dinas
pendidikan dan pengajaran) Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah
ini, agar diikutsertakan ujian paket
C. Hal tersebuat ia pernah juga
diperiksa oleh pihak kejaksaan, karena ada indikasi bahwa lulusan paket C
diperoleh tanpa melalui kegiatan pendidikan luar sekolah yang wajar...”. Hal
seperti ini, fungsi PKBM perlu dijaga, bukan hanya sekedar kasihan. Tapi dengan terbitnya
Undang-Undang nomor: 20/2003 dalam Bab XX ada pula sanksi yang berat.
Kebanggaan kita semua memang lulusan paket C
sudah ada yang berhasil menjadi Bupati. Tidak terhitung yang menjadi anggota
DPR. Dalam kegagalan pendidikan formal tahun 2006 lalu, bisa kita ingat 15-20
tahun mendatang, lulusan paket C akan bermunculan menjadi pejabat di negeri
ini. Dengan demikian fungsi PKBM setara juga dengan pendidikan formal. Hanya
yang kita jaga kualitasnya.
Mutu dan
Relevansi
Untuk melihat bagaimana mutu dan relevansi menurut Ace Suryadi (2005)
adalah:
a.
Melakukan hasil pengujian terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan
standar yang telah dibakukan sehingga program pembelajaran yang telah
dilaksanakan selama ini dapat diketahui sejauh mana tingkat penguasaan peserta
didik.
b.
Berusaha melakukan peningkatan pelayanan pendidikan keaksaraan melalui kegiatan
pembelajaran yang berkelanjutan dan relevan sesuai dengan kebutuhan peserta
didik dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya melalui program life
skills.
Kegagalan Sekolah Formal
Berbicara tentang kegagalan sekolah formal selama ini, menurut Kepala Sub
Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional RI, Ella Yulaelawati (2006) bahwa :“…perlu
dilakukan pengkajian yang sangat mendasar tentang kegagalan sekolah formal yang
selama ini…”. Karena sekolah formal sebagai jalur pertama ternyata tidak
seluruhnya menemukan cara efektif dalam penyelenggaraan pendidikan formalnya.
Padahal pendidikan formal ini telah disiapkan
dengan segala fasiltas, guru dan materi belajar yang cukup. Tapi kenapa
setelah diserahkan tugas lewat pendidikan formal selalu kandas dalam penuntasan
pendidikan dasar 9 tahun.
Sementara kegagalan dalam menekan angka tuna aksara ini menurut: Singarasa
(2006) adalah: ”…masa lalu, pihak pemerintah betul-betul membina masyarakat
yang diikuti dengan kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap program yang
dilancarkan pemerintah. Dan turut mendukung upaya menurunkan angka tuna aksara.
Namun sekarang kita sadari bersama dengan kurangnya partisipasi masyarakat akan
turut meninggikan angka buta huruf….”. Dengan demikian, berarti perlu
penyadaran dan ketaatan warga untuk belajar.
Menurut Darlan (2006) Bahwa:”... dalam wajar 9 tahun, bangsa kita di era
pembangunan sekarang terjadi peningkatan angka tuna aksara selalu tinggi. Walau
pemerintah sudah secara gencar melakukannya. Namun angka tuna aksara makin
tahun masih bertambah. Hal ini perlu kita cari sebab akibatnya...”.
Seorang
dosen pendidikan luar sekolah (PLS) Universitas Palangka Raya: Ringkin (2006) bahwa ia: “…mengkritisi
rumusan hasil pertemuan sarjana di Palangka Raya beberapa waktu lalu bahwa
kalangan pendidikan sendiri yang duduk dalam komisinya masih terlupakan tentang
pendidikan luar sekolah. Padahal jika menguasai terhadap Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional nomor: 20/2003 secara jelas ada 3 jalur pendidikan yakni:
(a) Pendidikan Formal, (b) Pendidikan non formal dan (c) Pendidikan informal…”.
PLS berada pada pendidikan non formal. Sementara dalam butir 2 Pendidikan
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan
pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesataraan, serta
pendidikan lain yang ditunjuk untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Ini
juga memasuki pada jalur pendidikan informal kita.
Kegagalan yang dikritik dosen senior PLS FKIP Unpar itu, tidak lain karena
ketidak mengertian banyak orang tentang jalur pendidikan kita, baik dalam
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 maupun Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku dan ada di negeri kita cintai
ini.
Belajar Dari Sebuah Pengalaman
Dalam mengakhiri
tahun 2006, ada sebuah pekerjaan yang ditugasi oleh LPPM Universitas Palangka
Raya untuk asistensi Wajib bejalar 9 tahun di Kabupaten Kotawaringin Timur
Kalimantan Tengah, mendampingi para Camat, Diknas Kecamatan, Depag Kecamatan
dan Kepala Desa serta tokoh masyarakat dalam membicarakan SD/SMP satu atap.
Sebuah desa di tepi
Laut Jawa tepatnya Desa Satiruk, kecamatan Pulau Hanaut ada 3 gedung sekolah
dasar yang berdekatan setiap tahun meluluskan antara 18-20 orang/sekolah. Namun
tidak ada SMP/MTs baik negeri maupun swasta di sekitar itu. sehingga kepala
desanya berinisiatif membentuk kelompok belajar paket B. Namun dalam segi usia
12-14 tahun. Sementara yang berusia 18 – 40 tahun tak pernah dapat sentuhan
pendidikan baik formal SMP/MTs maupun nonformal paket B. Padahal negara kita
sedang gigihnya menuntaskan wajar 9 tahun. Termasuk merealisasikan Instruksi
Presiden nomor: 5 tahun 2006 tertenggal 9 Juni 2006. Tentang Gerakan Nasional
Percepatan Penuntasan Wajar pendidikan dasar 9 tahun dan pemberantasan buta aksara.
Pengalaman lain
tahun 1992 penulis penelitian di kawasan pantai, menemukan sebuah bangunan
beratapkan daun nipah, dinding daun nipah dan berlantaikan tanah, ukuran 6 x 4
m dengan 10 orang murid 4 diantaranya duduk di kelas 2.
Saat bertemu dengan
penulis penduduk di kecamatan Kumai Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan
Tengah ini, diajak membaca huruf latin dan angka belum sempurna. Tapi
dituliskan huruf Arab mereka lancar membaca. Berarti penduduk pesisir tidak
seluruhnya buta aksara, kecuali latin. Sedangkan huruf Arab mereka sudah bisa,
karena setiap orang tua melatih anaknya untuk membaca Al-Qur’an. Kasus ini
berada di kawasan selatan Kalimantan Tengah. Tepatnya di utara Laut Jawa.
Perlu Perubahan
Dalam bagian akhir tulisan ini perlu suatu upaya merubah konsep yang selama
ini, ternyata terjadi kesalahan dalam dunia pendidikan luar sekolah. Memang
selama ini, pendidikan luar sekolah terlupakan. Bahkan jika pendidikan luar
sekolah bagi pekerjanya seperti tutor misalnya mendapat imbalan lebih banyak
dengan ucapan terima kasih. Sementara jika tersedia dana, untuk tenaga tutor
hanya dengan imbalan yang jauh dari cukup. Padahal, petugas PLS jauh lebih
sulit dibanding mereka yang bekerja di jalur pendidikan formal. Misal dalam
pendidikan formal gedung sekolah, guru dan murid serta buku bacaan tersedia,
semuanya serba ada. Sementara dalam jalur pendidikan luar sekolah terjadi
sebaliknya. Ruang belajar terkadang di rumah penduduk, di balai desa dll. Murid
dirayu agar mau belajar. Karena mereka dalam kondisi belajar tidak penting
baginya. Hal itu perlu diberikan penyadaran diri individu yang masih belum
tuntas wajar 9 tahun. Materinya elastisitas yang diberikan berdasarkan
kesepakatan bersama.
Dengan melihat hal di atas, saran dari penulis agar mulai sekarang kita
adakan perubahan. Artinya dalam hal pendanaan, tidak selalu pada pendidikan
formal yang besar. Tapi bagaimana jika kalau PKBM, yang tak punya gedung yang
memadai. Pihak Diknas turut membantu mereka yang mendirikan pusat kegiatan
belajar masyarakat ini, pada gedung mereka, buku bacaan dan honor tutor yang
cukup. Sebab kita sangat bersyukur kepada segelintir warga masyarakat yang
peduli dunia pendidikan. Kenapa yang peduli pendidikan ini, tidak kita bantu
dalam rehab atau perluasan tempat belajar mereka di PKBM itu. Sehingga motivasi
mereka dalam membantu proses percepatan penuntasan pendidikan dasar 9 tahun
segera terwujud.
Jika hal ini direalisasikan, Insyaa Allah kegairahan belajar mesyarakat
akan meningkat. Dan angka tuna aksara akan dapat ditekan.
Dalam Proses
Pendidikan Pendewasaan
Dari hasil penelitian di
lapangan terjadi kegagalan pendidikan formal dalam merangkul mereka untuk
proses belajar selama usia sekolah, ada kalanya mereka di saat ujian sekolah
karena ketidak mampuan ekonomi orang tua, atau anak tersebut bermasalah di
sekolah seperti jarang turun, sering bertindak yang aneh-aneh atau mengganggu
temannya di sekolah. Sehingga yan bersangkutan tidak sempat tuntas dalam
belajarnya. Atau karena faktor geografis antara tempat tinggal dengan sekolah.
Sehingga anak tidak dapat bersekolah seperti kebanyakan orang.
Jika hal
di atas pada jalur pendidikan formal seperti guru, kepala sekolah tidak proaktif
melacak murid-murid atau pemuda usia sekolah, yang tidak mau bersekolah supaya
pendidikan warga betul-betul bisa dituntaskan. sehingga angka Tuna Aksara yang
selama ini tak kunjung habis. Dapat diselesaikan. Kalau tidak tentu saja seperti
masa-masa lalu dan sekarang ini.
Kesimpulan
1.Bahwa kantong kemiskinan warga tuna aksara di kawasan marjinal ini, diperlukan proses
pembelajarannya bagi mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak tuntas
belajarnya sehingga perlu diberikan pertolongan;
2.bahwa penyebab kemiskinan itu sampai terjadi, karena nasib yang
membelenggu dalam kehidupan mereka;
3.Bahwa kegagalan pendidikan formal dalam merangkul mereka untuk proses
belajar selama usia sekolah, sehingga
angka Tuna Aksara tak kunjung habis.
DAFTAR
PUSTAKA
Darlan,
H. M. Norsanie, 2006. Pendidikan Luar
Sekolah di Kalimantan Tengah,
Makalah, Palangka Raya.
-----------,
2006. Sulitnya Pemerataan Wajar Sembilan
Tahun di Kalimantan Tengah, Universitas Mulawarman, Samarinda.
------------, 2007. UPAYA MENGOPTIMALKAN
FUNGSI DAN PERAN KBM SEBAGAI LEMBAGA PENGEMBANG SUMBERDAYA MASYARAKAT, PKBM
Zamzam, Malang.
Hamid,
H. Dedi, 2003. Uuno 20 Tahun 2003, Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Asokadikta, Jakarta.
Ichwanuddin,
2006. Keberatan Kepala Dinas Pendidikan
dan Pengajaran Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah, Pangkalan
Bun.
Ringkin, Don F, 2005. Kritik Pendidikan Luar Sekolah hanya dipandang dengan sebelah mata oleh
banyak kalangan, Kal-Teng Pos Opini, Palangka Raya.
Singarasa, Henry 2006. Diskusi Pendidikan Keaksaraan dengan
Berbagai Latar Belakang Bidang Keilmuan, Rektor Universitas Palangka Raya,
Palangka Raya.
Suryadi,
Ace, 2005. Kebijakan dan Strategi
Gerakan Pemberantasan Buta Aksara Intensif, Hotel Sahid Raya Solo.
Yulaelawati, Ella,
2006. Kegagalan Sekolah Formal Dalam
Melaksanakan Pendidikan, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas RI, RRI,
Jayapura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar