PERAN TENAGA PLS MERUPAKAN SALAH SATU UPAYA
MENUNTASKAN WAJIB BELAJAR 9 TAHUN
BAGI MASYARAKAT DESA TERTINGGAL
Oleh: H.M.Norsanie Darlan
1. Pendahuluan
Dalam pembangunan sekarang, masih ditemukan berbagai kesenjangan di
masyarakat. Yang antara lain disebabkan oleh faktor kondisi geografis
ataupun sosial budaya, sehingga dapat menyebabkan ketertinggalan dalam
berbagai hal. Salah satu di antaranya yang kita bahas sekarang ialah
ketertinggalan masalah pendidikan jalur luar sekolah yang bila tidak
segera diatasi, ketertinggalan di bidang pendidikan tetap selalu muncul.
Namun, dalam postulat yang ada bagi masyarakat desa tertinggal selama
ini, belum dirasakan rendahnya pendidikan dapat berakibat suramnya masa
depan mereka. Dengan demikian, tanpa peningkatan pendidikan, baik jalur
sekolah maupun luar sekolah maka kualitas SDM kita tidak akan meningkat.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (1) dan (2) serta
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional,
secara tegas telah diatur oleh pemerintah tentang jenis dan jalur
pendidikan. Lebih lanjut dalam pasal 10 ayat (3) Jalur pendidikan luar
sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah,
melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan
berkesinambungan. Dengan demikian, kita semua perlu dan terpanggil untuk
turut melaksanakan amanat tersebut. Strategi menuntaskan wajib belajar 9
tahun bagi masyarakat desa tertinggal, perlu kita kaji permasalahannya
dan dicari berbagai jalan penuntasannya.
Konsep pembangunan lima tahun kita sekarang di bidang pendidikan
nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia, berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan
kecerdasan bangsa dan kualitas sumber daya manusia (SDM), mengembangkan
manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, budi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan, keahlian dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
serta kepribadian yang mantap dan mandiri. Pendidikan nasional juga
harus menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan
semangat kebangsaan, wawasan keunggulan, kesetiakawanan sosial, dan
kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan
serta berorientasi masa depan. Pendidikan nasional perlu ditata,
dikembangkan, dan dimantapkan secara terpadu dan serasi, baik
antarjalur, jenis, dan jenjang pendidikan maupun antarsektor pendidikan
yang makin berkembang, efektif dan efisien, serta meningkatkan,
mengutamakan pemerataan, dan peningkatan kualitas pendidikan dasar,
perluasan dan peningkatan kualitas pendidikan kejuruan, pendidikan
profesional serta pendidikan keterampilan, dan meningkatkan pelaksanaan
wajib belajar sembilan tahun. Masyarakat sebagai mitra pemerintah harus
diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi, tuntutan kebutuhan, serta perkembangan pembangunan bangsa
sekarang dan masa datang. Namun bila kesadaran mereka belum tumbuh, maka
pemerintah harus berperan aktif dalam menuntaskannya.
2. Kajian Teori
Untuk menghindari kesalahpahaman pengertian di atas, maka akan diuraikan
beberapa pengertian atau peristilahan, sebagai berikut.
1. Strategi pembangunan menurut Hasan Shadily (1984) bahwa tujuan utama
untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh penduduk dalam kurun waktu satu
generasi, yaitu menjelang tahun 2000. Untuk mencapai tujuan ini,
rangkaian sasaran menyangkut jasa-jasa umum, termasuk penyediaan
fasilitas pendidikan dan kesehatan. Strategi pembangunan yang
mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh penduduk yang
memerlukan perubahan sosial dan struktur yang mendalam untuk mencapat
sasaran yang diinginkan.
Apa sebenarnya pengertian strategi pendidikan luar sekolah. Menurut
Prof. Harsono (1997) dalam makalahnya di seminar nasional PLS dan
Konferensi ISPPSI di Surabaya, bahwa ada hubungan erat antara
peningkatan mutu sumber daya manusia dengan pembangunan telah
dimengerti, dipahami, dan diterima oleh banyak pihak. Namun, dalam
menentukan prioritas pelaksanaannya, banyak faktor yang perlu
dipertimbangkan, salah satunya ialah faktor lingkungan strategis
termasuk potensi tantangan dan peluang yang ada di dalamnya. Memasuki
abad XXI bangsa Indonesia dihadapkan pada fenomena lingkungan
internasional, regional, dan nasional.
Sedangkan menurut Prof. Djudju Sudjana (1997) dalam seminar nasional PLS
di Surabaya menguraikan agar dalam strategi meningkatkan peran PLS, SDM
Indonesia siap menjadi pelaku yang memiliki daya saing komparatif,
perlu memiliki sasaran yang jitu bagi para perencana pendidikan.
Adapun pengertian strategi PLS menurut H.M.Norsanie Darlan (1996) suatu
rencana yang cermat mengenai kegiatan pendidikan untuk mencapai sasaran.
Sedangkan menurut Prof. Santoso S. Hamodjojo (1998) strategi PLS adalah
untuk meletakkan sistem yang tangguh untuk menangani pendidikan
sepanjang hidup, dengan jalur insidental, informal, nonformal dan formal
bagi semua warga negara untuk menggalang masyarakat gemar belajar yang
beradab dan demokratis (madani).
2. Menuntaskan, diambil dari istilah bahasa dengan asal kata tuntas
(Moeliono, 1989). Yakni suatu kegiatan pendidikan bagi seseorang untuk
menuntaskan atau menghabiskan (mencurahkan semua) masa pendidikan di
sekolah atau pun di luar sekolah sehingga kualitas SDM semakin tahun
semakin meningkat.
Kendala dalam penuntasan wajib belajar 9 tahun erat hubungannya dengan
faktor sosial ekonomi dan budaya. Sebagian besar orang tidak mampu
menyekolahkan anaknya karena ekonominya lemah (miskin). Apalagi sejak
terjadinya krisis moneter dan krisis ekonomi melanda Indonesia pada
pertengahan tahun 1997. Hal ini menyebabkan semakin banyak penduduk
menjadi miskin, jumlah orang miskin bertambah dari 20 juta sebelum
krisis dan sekarang mencapai hampir 80 juta orang. Menurut Sanapiah
Faisal (1998) hal tersebut berakibat banyak tenaga kerja yang di PHK,
sehingga berdampak negatif pula terhadap penuntasan wajib belajar 9
tahun khususnya anak usia pendidikan dasar.
3. Wajib Belajar adalah suatu tuntutan zaman yang harus dilaksanakan
kepada seluruh bangsa Indonesia baik laki-laki maupun perempuan; usia
sekolah 7 - 15 tahun mapun bagi mereka yang karena sesuatu hal sehingga
tidak ada kesempatan mengikuti pendidikan formal. Oleh karena itu,
mereka harus di tolong dengan pendidikan luar sekolah.
3. Harsono (1997) mengartikan masyarakat dari 2 bahasa asing yakni (1)
Dalam bahasa Arab yaitu Syrk yang artinya sekelompok manusia saling
bergaul di suatu tempat dengan berbagai kesamaan. Kedua, bahasa Inggris
Society yang artinya sekumpulan manusia saling berinteraksi dalam suatu
wilayah tertentu dengan berbagai kesamaan satu sama lainnya.
Pendapat tokoh lain seperti Poerwadarminto (1986) dan Moeliono (1989)
mengartikan masyarakat adalah sekumpulan orang dalam arti seluas-luasnya
terikat dalam kebudayaan yang dianggap sama. Misalnya terpelajar,
cendekiawan, pedagang, pegawai, pengusaha, petani, nelayan dll. Dalam
penjelasan lain masyarakat ada yang tinggal di kota dan di desa.
Masing-masing istilah ini memiliki kekhassan tersendiri satu sama
lainnya.
3. Masyarakat Desa Tertinggal
1. Arti masyarakat desa adalah sejumlah manusia dalam arti
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap
sama. Sedangkan arti tertinggal/terpencil adalah terpisah dengan yang
lain (Poerwadarminta, 1986 dan Anton M. Moeliono, dkk, 1989). Dengan
demikian yang dimaksud masyarakat desa tertinggal adalah mereka berada
jauh dari pembangunan kota, karena ketertinggalan tersebut sehingga
sulit mengikuti perkembangan pembangunan, termasuk ketertinggalan dalam
dunia pendidikan.
2. (2) Pada dasarnya rata-rata pendidikan dan pengetahuan masyarakat
desa tertinggal relatif rendah. Demikian juga jiwa/semangat
kewiraswastaan ini sudah jarang dijumpai (A.J. Nihin, 1990). Karena itu,
kepada mereka perlu diperkenalkan pertimbangan-pertimbangan antara
faktor out-put dan input dalam setiap usaha produksi, namun dalam bentuk
yang sederhana dan terjangkau oleh pikiran masyarakat. Hal ini perlu
dengan contoh, bukti, atau semacamnya.
Untuk lebih mendalami arti pendidikan luar sekolah (Non Formal
Education) menurut Prof. H.M. Sudomo (1974) adalah setiap kegiatan
pendidikan yang diorganisir di luar sistem pendidikan formal, baik
dilakukan sebagai kegiatan yang lebih luas untuk memenuhi kebutuhan
pelajar (Clientele) dalam mencapai tujuan belajar.
Pengertian pendidikan nonformal menurut Depdiknas adalah usaha sadar
yang dilakukan untuk membentuk perkembangan kepribadian serta kemampuan
anak luar sekolah atau tepatnya di luar sistem persekolahan sebagaimana
yang kita kenal sekarang.
PLS menurut Prof. Dr.H. Sutaryat Trisnamansyah (1997) adalah konsep
pendidikan sepanjang hayat yang mengandung karakteristik, bahwa
pendidikan tidak berakhir pada saat pendidikan sekolah selesai ditempuh
oleh seorang individu, melainkan suatu proses sepanjang hayat, mencakup
keseluruhan kurun waktu hidup seorang individu sejak lahir sampai mati.
Pendidikan sepanjang hayat bukan hanya pendidikan orang dewasa, yang
dimulai manakala seorang individu telah menyelesaikan pendidikan sekolah
hingga berusia dewasa.
Pengertian pendidikan secara umum menurut Prof. H. Fuad Ihsan (1996)
bahwa pedagogy atau ilmu pendidikan ialah penyelidikan, merenungkan
tentang gejala-gejala perbuatan mendidik.
Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang
harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan mustahil suatu kelompok
manusia dapat maju berkembang sejalan aspirasi (cita-cita) untuk maju,
sejahtera, dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Soelaiman
Joesoef dan Slamet Santoso (1981) menguraikan PLS sebagai upaya menolong
masyarakat untuk mencapai kemajuan sosial ekonomi, agar mereka dapat
menduduki tempat yang layak dalam dunia modern. Pendidikan ini jelas
ditujukan kepada masyarakat dan daerah yang terbelakang agar masyarakat
dan daerah ini dapat menyamai daerah lain yang tidak terbelakang.
4. Keadaan di Lapangan
Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan di semua jalur,
jenis, dan jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan
peran serta masyarakat, termasuk pendidikan di lingkungan keluarga dan
masyarakat terus dikembangkan secara merata di seluruh tanah air dengan
memberikan perhatian khusus kepada keluarga yang kurang mampu,
penyandang cacat, dan yang bertempat tinggal di daerah
terpencil/tertinggal di Kalimantan Tengah, sehingga makin meningkatkan
kualitas serta jangkauannya. Peserta didik yang memiliki tingkat
kecerdasan luar biasa mendapat perhatian dan pelayanan lebih khusus agar
dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya tanpa mengabaikan
potensi peserta didik lainnya.
Pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan
tinggi, PLS, dan pendidikan kejuruan harus terus ditingkatkan
pemerataan, kualitas, dan pengembangannya untuk menyiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan
profesional serta kemampuan kepemimpinan yang tanggap terhadap kebutuhan
pembangunan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek),
berjiwa penuh pengabdian dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar
terhadap masa depan bangsa dan negara. Kehidupan kampus dikembangkan
sebagai lingkungan ilmiah yang dinamis sesuai dengan disiplin ilmu dan
profesional, yang berwawasan budaya bangsa, bermoral Pancasila, dan
berkepribadian Indonesia. Perguruan tinggi terus diusahakan untuk lebih
mampu menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengkajian di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memberikan pengabdian kepada
masyarakat yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan sesuai dengan kebutuhan
pembangunan sejalan dengan iklim yang makin demokratis yang mendukung
kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi perguruan
tinggi (GBHN' 1999).
Pidato tertulis Mendikbud RI dalam rangka hari pendidikan nasional
(Hardiknas, 2 Mei 1997) patut pula kita mengungkapkan rasa syukur yang
mendalam bahwa ternyata hasil-hasil pembangunan yang telah kita capai
selama ini, sangat menggembirakan. Kemajuan pendidikan di tanah air
kita, menunjukkan peningkatan yang sangat pesat. Terutama dilihat dari
kesempatan pendidikan yang semakin meluas pada semua jenis dan jenjang
serta jalur pendidikan. Lebih-lebih kita telah berhasil meningkatkan
program nasional wajib belajar pendidikan dasar dari 6 tahun menjadi 9
tahun sejak tahun 1994. Dengan tantangan globalisasi, kita harus
menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya. Pada akhir Pelita VII diharapkan anak usia 15
tahun telah bersekolah pada jenjang SLTP (Wardiman, 1997). Pembangunan
di negeri kita dirasakan sangat banyak kendala dalam beberapa tahun
terakhir.
Sebagai bahan pemikiran kita bersama, berikut ini data dari Kantor
Wilayah Departemen Pendidikan Nasional Kalimantan Tengah (Bidang Dikmas)
tahun 1997/1998 tentang lulusan sekolah dasar dan yang tertampung di
SLTP
Menilik ke belakang, salah satu contoh dari data retrospektif dalam
tabel di atas, anak lulusan SD dari Kabupaten/Kota Palangka Raya
(Kalteng) tahun 1997/1998 sebanyak 30.700 siswa, dan yang tertampung di
SLTP 19.879 siswa (64,7 persen). Dengan demikian, murid SD yang putus
sekolah di Kalimantan Tengah sebesar 10.821 (5,2 persen). Mereka
tersebar di wilayah kabupaten/kota Kalimantan Tengah yaitu: 1.081 siswa
(9,9 persen) di Batara; 952 siswa (8,7 persen) di Barito Selatan; 3.071
siswa (28,3 persen) di Kabupaten Kapuas; 3.124 siswa (28,8 persen) di
Kotawaringin Timur; 1.938 siswa (17,9 persen) di Kotawaringin Barat;
serta 655 siswa (6,0 persen) di kota Palangka Raya. Angka-angka tersebut
akan menurun kalau ada strategi, metoda, dan teknik penempatan tenaga
yang sesuai dengan bidangnya. Baik dari tingkat kecamatan, kabupaten
sampai di tingkat propinsi.
Dalam kaitan ini, kita hendaknya terus berusaha untuk melakukan
upaya-upaya terobosan guna meningkatkan jumlah tempat-tempat belajar
baru, agar seluruh kelompok umur 7-15 tahun dapat tertampung. Di antara
terobosan yang telah dikembangkan selama ini untuk menuntaskan program
wajib belajar adalah (a) belajar melalui SLTP terbuka, (b)
penyelenggaraan pendidikan luar sekolah melalui kejar paket A setara
sekolah dasar (SD) dan kejar paket B setara SLTP, serta (c) upaya
memanfaatkan teknik-teknik pendidikan jarak jauh, melalui media cetak
maupun elektronik. Bahkan sudah ada juga paket C untuk setara SMU, namun
kebutuhan itu harus mampu merealisasi pada lapisan yang lebih bawah.
Perencanaan pengadaan alat fasilitas/sarana penunjang berupa tenaga,
sarana dan prasarana. Perencanaan sarana penunjang baru dapat dilakukan
setelah pola perintisan dengan menggunakan perangkat lunak seperti
kurikulum, buku paket, modul, kaset, video, radio dll (Winarno Hani Seno
1990).
Guna mendukung keberhasilan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9
tahun dan upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan, jalinan kerjasama
antara tokoh-tokoh masyarakat (toma) tokoh-tokoh agama (toga) dan orang
tua dengan pemerintah, hendaknya juga terus ditingkatkan. Hal ini
penting karena tugas pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah, masyarakat dan orang tua siswa. Tanpa keterlibatan semua
pihak, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa niscaya tidak akan berhasil
dengan baik. Hal ini menurut Wardiman (1997) sangat pentingnya peran
pemerintah daerah untuk menyukseskan program pendidikan nasional.
Menurut Prof. Dr. H. Abdul Azis Wahab, MA (2000) ada kekeliruan strategi
pembangunan dewasa ini. Strategi yang dijalankan pada pelita-pelita
lalu lebih mengutamakan sektor ekonomi di garis depan. Sementara menurut
ahli perbandingan pendidikan pemerintah Malaysia dan Jepang
mengutamakan sektor pendidikan di garis depan. Sebagai bukti dapat kita
lihat bahwa 2 atau 3 pelita silam warga Malaysia belajar di Indonesia
dalam ilmu pendidikan, kedokteran, dan bahkan mereka berani mendatangkan
tenaga-tenaga dosen bidang MIPA. Dalam tahun-tahun belakangan ini,
ternyata negeri mereka jauh lebih maju dibanding pembangunan kita. Tidak
sedikit pemuda kita yang belajar ke Malaysia di berbagai Universitas
dan akademi. Termasuk tahun akademi 1997/98 penulis sendiri mengikuti
seleksi di Malaya University dalam tawaran masuk ke rancangan ijazah
tinggi. Dan di panggil sebagai mahasiswa di negeri jiran untuk
memperoleh ijazah Doktor Falsafah (Ph.D). Namun karena negeri kita
khususnya Kalimantan Tengah, kota Palangka Raya diselimuti asap tebal,
penerbangan terhenti dalam beberapa minggu, sehingga surat panggilan
terlambat 54 hari dari batas terakhir pendaftaran.
Di pihak lain sambutan Mendikbud RI, mengetuk hati kita bersama yang
sekarang sedang membangun dengan melaksanakan program-program perluasan
pendidikan. Menurut Wiranto Arismunandar (1998) bahwa jumlah murid
sekolah dasar dan Madrasah Ibtidaiyah baru mencapai sekitar 7,5 juta
anak atau 41 persen dari jumlah anak usia sekolah sekolah dasar 1998.
Pada tahun 1984 jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 23 juta anak,
atau 97 persen. Keberhasilan ini serta laju kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek) yang cenderung makin cepat mendorong kita untuk
mencanangkan Gerakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 tahun pada tahun
1984. Selanjutnya, kita melangkah lebih maju lagi dengan melaksanakan
wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, yang dicanangkan tanggal 2 Mei
1994. Sesuai dengan Instruksi Presiden RI pada pembukaan rapat kerja
nasional Departemen Pendidikan Nasional di Istana Negara pada tanggal 22
Mei 1996, program tersebut harus dapat diselesaikan pada akhir Pelita
VII. Mudah-mudahan krisis moneter yang melanda negeri kita tercinta,
tidak berpengaruh besar dalam pembangunan bidang pendidikan.
Di Indonesia pendidikan nonformal/pendidikan luar sekolah dikonsepkan
bahwa setiap kesempatan di mana terdapat komunikasi yang teratur dan
terarah di luar sekolah, di mana seseorang memperoleh informasi
pengetahuan, latihan ataupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan
hidupnya, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan
nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta aktif yang efisien
dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaanya bahkan lingkungan
masyarakat negaranya (Sudomo, 1974, Sanapiah Faisal 1981). Sedangkan
penulis mengambil pengertian tentang pendidikan luar sekolah yaitu suatu
pendidikan tak terpisahkan dengan pendidikan formal, namun
pelaksanaannya dilakukan di luar sistem persekolahan di antaranya
berbagai kegiatan penyuluhan guna menunjang di berbagai bidang
pembangunan bangsa (M.Norsanie Darlan, 1983).
Dengan demikian PLS mempunyai tugas berat dalam memberdayakan masyarakat
mulai usia 14 - 45 tahun di luar sekolah yang menjadi sasaran didiknya.
Sehingga pendidikan harus memberikan berbagai kebutuhan masyarakat
setempat. Menurut: H. Djudju Sudjana (2000) bahwa PLS sangat berkembang
bagi masyarakat industri. Bila kita berpikir secara prospektif, maka
dari sekarang kita mulai bergerak agar tidak tertinggal dari negara
lain.
Dalam kesempatan ini, kita menilik terhadap kehidupan masyarakat dengan
pola perladangan/pertanian yang dilakukan masyarakat desa tertinggal.
Kegiatan yang mereka lakukan dalam berladang dimulai dari menebas,
menebang hutan, dan kemudian membakar. Namun, perlu digarisbawahi bahwa
membakar hutan (hasil penelitian tahun 1997 sampai awal 1998), ternyata
di musim kemarau panjang, belum ditemukan petani membakar hutan untuk
perladangan mereka. Pembakaran terjadi oleh mereka, setelah hujan turun
beberapa kali, mereka sudah menguasai ilmu falak, dengan melihat posisi
bintang. Oleh para tokoh masyarakat (toma) setempat dengan melihat
keadaan bintanglah baru menentukan pembakaran ladang yang akan digarap.
Dan cara membakar lokasi sudah mereka persiapan dengan membersihkan di
sekelilingnya. Sehingga pembakaran hutan dan asap tebal di musim kemarau
dari hasil penelitian penulis tidak seluruhnya benar oleh masyarakat
peladang berpindah. Mereka sudah mengerti dampak/akibat dari pembakaran
tersebut bagi habitat lingkungan di sekeliling mereka (H.M.Norsanie
Darlan, 2000).
Mereka yang dimaksud masyarakat desa tertinggal adalah bermukim di
bukit-bukit, tepian sungai, di lembah, danau, kawasan pantai, dan
sebagainya. Semuanya mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam
bidang pendidikan. Dalam strategi PLS untuk menuntaskan Wajar Dikdas 9
tahun, Dikmas tingkat kecamatan sebagai ujung tombak. Bila penempatan
tenaga PLS tidak pada bidangnya, maka upaya pemerintah tidak akan segera
terwujud.
Sedangkan ciri PLS secara spesifik menurut Saleh Marzuki (1981) adalah
(1) progam jangka pendek; (2) tidak dibatasi oleh jenjang-jenjang; (3)
Usia didiknya tidak perlu sama/homogen; (4) sasaran didiknya
beriorientasi jangka pendek dan praktis; (5) Diadakan sebagai respon
kebutuhan yang mendesak; (6) Ijazah biasanya kurang memegang peran
penting; (7) dapat diselenggarakan pemerintah dan swasta; (8) dapat
diselenggarakan di dalam dan di luar kelas.
Dalam hal ini, mungkin timbul bertanyaan mengapa di perguruan tinggi ada
jurusan atau program studi PLS? Padahal di lain pihak pendidikan
tersebut diselenggarakan di luar sistem persekolahan. Sebagian perguruan
tinggi sejak lama telah menyelenggarakan PLS. Tujuannya adalah untuk
memenuhi kebutuhan tenaga ahli pembangunan bidang PLS. Mahasiswa yang
dididik pada jurusan atau program studi PLS adalah dididik dalam jalur
pendidikan formal. Namun, sistem berfikir mahasiswa di luar sistem
persekolahan. Seperti mengenal tuna aksara latin dan angka, ini konsep
"tempoe doeloe". Sekarang mahasiswa lebih dititikberatkan pada masalah
yang lain yaitu bagaimana agar warga masyarakat mampu menghadapi
tantangan lebih jauh ke depan pada era globalisasi untuk berwiraswasta,
mengenal berbagai kursus keterampilan, dan berbagai bentuk pendidikan di
luar sistem persekolahan. Misalnya Bordir, Mejahit, Tata Rias,
Pertanian, Elektronika, Jurnalistik, Komputer, pendidikan dan latihan
berbagai cabang olahraga, penyuluhan kesehatan, KB, pertanian, sampai
kursus berbagai bahasa dll (Oong Komar, 2000). Harapan masyarakat
menurut Yus Darusman (2000) adalah aktivitas PLS melalui peran kelompok
belajar masyarakat sebagai kelompok pengubah dan kelompok penyebar.
Dampak perilaku moral ekonomi masyarakat tampil sebagai masyarakat yang
maju, padat keterampilan, padat karya, padat usaha, padat kesejahteraan.
Hal ini di selenggarakan oleh masyarakat, LSM, Dinas, dan instansi
pemerintah. Karena tidak tuntas akibat dari ledakan penduduk berdampak
menimbulkan kemiskinan dalam dunia pendidikan. Salah satu diantaranya
ditutupnya kran-kran PLS di berbagai tempat dengan alasan yang tidak
jelas di zaman orde baru. Sehingga di sana-sini munculnya anak jalanan,
para galandangan, dan berbagai masalah sosial yang membuat pusing bagi
pihak si penutup kran itu sendiri, dan siapa pembinannya? Penulis
berasumsi bahwa sebagai dampak ditutupnya kran PLS sejak tahun akademi
1987/88, terjadinya kendala dalam penuntasan wajib belajar yang cukup
berarti. Yang paling menyedihkan bagi lembaga yang ditugasi menuntaskan
wajib belajar itu adalah menerima tenaga-tenaga di luar profesinya.
Sehingga bukan teori andragogy yang diterapkan pada warga masyarakat,
melainkan sebaliknya. Jadi keterampilan dalam berkomunikasi sebagai ahli
PLS kepada warga masyarakat tidak bisa hanya belajar dalam 2, 3 bulan.
Melainkan memerlukan cukup waktu, cukup SKS dan cukup praktik
lapangannya. Sebab di masyarakat mereka tidak perlu banyak komentar,
melainkan melihat bukti dan kenyataan.
Sekarang sarjana PLS sebelum diyudisium harus memiliki keterampilan
(Skill) tertentu yang diharapkan bisa menciptakan lapangan kerja sendiri
di masyarakat. PLS adalah satu dari dua jalur pendidikan di Indonesia
yang memiliki peran besar di masa depan. Sehingga sangat aneh, bila
melihat calon mahasiswa S-2 dan S-3 PLS berdatangan dari bidang-bidang
ilmu lain tidak terbatas dalam jurusan pendidikan semata, melainkan
ilmu-ilmu nonkependidikan karena mereka tahu cerahnya masa depan PLS.
Diharapkan pada penerimaan mahasiswa baru, Universitas Palangka Raya
tidak menerima lewat undangan saja, namun harus juga lewat UMPTN. Kepada
para rekan sejawat (dosen-dosen PLS) harus mampu mengubah sistem
perkuliahan dengan mengutamakan teori-teori andragogy. Karena pasar
kerja kita sudah jauh berbeda dari masa pendidikan masa 15 - 20 tahun
silam. Pada waktunya nanti PLS sudah turut memikirkan pula terhadap
mereka yang menghadapi pasca kerja di hari pensiun. Sebab Post Power
Sindrom menunjukkan tanda-tanda kenaikan yang sangat bermakna dalam masa
belakangan ini.
Dalam hal PLS guna mewujudkan manusia Indonesia memajukan kesejahteraan,
mencerdaskan kehidupan bangsa agar memiliki kemampuan baca tulis.
Direktorat Pendidikan Masyarakat (Dikmas), Depdiknas perlu mengadakan
pembenahan-pembenahan, sebab kalau masih berjalan seperti selama ini,
maka PLS yang dititipkan oleh pemerintah tak akan mampu diwujudkan.
1. Gerakan Nasional Orang Tua Asuh agar diusahakan dapat sampai ke
wilayah pedesaan, sehingga upaya menolong kaum lemah segera terwujud.
2. Memperbaiki kelemahan yang selama ini dirasakan misalnya penempatan
tenaga, cenderung merekrut para guru atau tenaga yang telah bertugas
bertahun-tahun. Mereka di tempatkan untuk mendidik masyarakat pada
bidang PLS. Padahal ia telah terbiasa (berpengalaman) melakukan
pengajaran pada pendidikan formal. Terhadap tugas yang berhubungan
dengan masyarakat, bukan teori andragogy yang ia berikan, melainkan
cenderung paedagogy. Sehingga berapapun anggaran yang disediakan secara
objektif cenderung kurang memberi manfaat. Mahasiswa PLS telah
dipersiapkan, namun tenaga mereka juga diserap oleh Dinas Instansi lain,
terutama bagi yang memiliki Diklat Balai Latihan dan penyuluhan.
3. Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) perlu pembenahan, sebab kalau hanya
sebagai tempat penampungan cenderung akan timbul keterlambatan untuk
berpacu dan upayanya dalam pengentasan kemiskinan. Menurut U. Sihombing
(2000) SKB hanya memiliki sejumlah papan nama kelompok belajar. Sehingga
bila dicek di lapangan, ternyata kelompok belajar tersebut cenderung
sudah bubar. Di sini ada dugaan ketidakmampuan para tenaga kita dalam
menerapkan teori andragogy yang berbasis pada pendidikan orang dewasa,
yang tidak dimiliki jurusan-jurusan lain.
Mengupas manajemen dan kebijakan dalam otonomi pendidikan untuk
pemberdayaan masyarakat menurut Saiful Sagala (2000) ada dua saingan
utama profesi kependidikan. Salah satu diantaranya orang luar (external)
pendidikan yang menyatakan bahwa semua orang bisa mengajar
(guru/pendidik) dan menduduki jabatan pendidikan, tetapi bagaimana
menjadi guru yang baik dan memahami aspirasi pendidikan dalam jabatan,
maka sampai saat ini belum ada yang menyatakan pendidikan berkualitas di
Indonesia. Hal ini disebabkan latahnya dalam penempatan tenaga kerja
kita, termasuk dalam menangani PLS yang belum efektif.
Bila kita menilik terhadap keterlibatan PLS dalam berbagai
dinas/instansi di tanah air, maka hampir di seluruh instansi pemerintah
maupun swasta pasti merasa memiliki ilmu ke-PLS-an ini. Sebab kalau kita
mengkaji secara mendalam menurut Sarjan Kadir (1982) bahwa ada di
beberapa negara termasuk Philipina menerapkan 4 jalur pendidikan, yakni
Nonformal Education, Formal Education, Family Education dan Basic
Education. Di Indonesia, dengan berlakunya Undang-Undang Pendidikan
Nasional dewasa ini, menurut H. M. Norsanie Darlan (1998) bahwa
pendidikan menerapkan 2 jalur saja, yakni pendidikan formal dan
pendidikan luar sekolah.
Dari uraian di atas, kalau pendidikan formal berada di bangku sekolah
sejak dari sekolah dasar sampai pendidikan tertinggi, maka hampir semua
orang mencari kerja sudah menggunakan hal itu. Namun bila setiap
instansi pemerintah maupun swasta yang ingin meningkatkan kualitas
tenaga kerjanya dalam waktu relatif singkat, maka pendidikan luar
sekolahlah jalur yang tepat. Dengan berpatokan undang-undang yang ada
dan ingin meningkatkan keprofesionalan, maka tenaga kependidikan luar
sekolah harus diberikan tempat untuk turut membenahi kelemahan kita
bersama.
Salah satu contoh bila di dinas dan jawatan terdapat Diklat atau Balai
Latihan Kerja, maka menilik UUPN no 2 tahun 1989 sebaiknya harus ada
tenaga PLS yang turut menanganinya. Demikian juga pada penyuluhan,
karena sedikit banyak telah ditanamkan dari berbagai teori andragogy
selama di bangku kuliah. Di lembaga swasta sangat banyak corak dan
ragamnya seperti kursus komputer, merias, menjahit dan bordir, berbagai
keterampilan, serta kursus-kursus lainnya.
Dalam aspek sosial budaya masyarakat desa tertinggal masyarakat memiliki
konsep budaya yang masih tinggi dan sebetulnya hanya sebagian kecil
yang memiliki budaya tertutup. Konsep pembangunan yang ditawarkan
termasuk pendidikan sudah mereka sadari dewasa ini. Pendidikan punya
andil besar terhadap masa depan. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu
kita perhatikan, yakni faktor kesulitan biaya, jauhnya lokasi rumah, dan
terbatasnya fasilitas belajar, serta belum banyak pendidikan yang
ditawarkan memberikan motivasi mereka belajar. Salah satu strategi dan
upaya penuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak usia sekolah, yang
lokasi rumahnya jauh dari SLTP disediakan asrama siswa. Dalam penanganan
pendidikan di Indonesia menurut Satrio Sumantri (2000) adalah sangat
diperlukan adanya keterlibatan masyarakat dalam masalah pendidikan. Hal
ini sesuai pula dengan GBHN di negeri kita tercinta ini.
Walau di berbagai daerah kondisi alam sangat menjanjikan terhadap
kehidupan sosial budaya masyarakat sekitarnya, namun mereka belum dapat
menyelesaikan pendidikan formal sementara usia kerja sudah sampai. Untuk
mengantisipasi itu, PLS Universitas Palangka Raya juga harus tanggap
terhadap tantangan ini, agar warga masyarakat dapat diberikan bekal
dalam menghadapi pasar kerja.
4. Simpulan
1. Dikmas Depdiknas baik di tingkat kecamatan, kabupaten maupun propinsi
harus menyediakan lebih banyak tenaga-tenaga profesional dibidangnya
seperti sarjana PLS dan Diploma. Sehingga salah satu upaya menuntaskan
wajar Dikdas 9 tahun segera terwujud.
2. Dalam mendirikan SLTP-Terbuka, sebaiknya tidak satu tempat dengan
lokasi paket B, karena programnya menjadi tumpang tindih. Kalaupun harus
satu lokasi, perlu pemisahan yang jelas untuk SLTP-Terbuka bagi anak
usia sekolah, dan bagi peserta paket B yang berusia 14 - 45 tahun. Dan
bagi mereka yang belum tamat SD sebaiknya mengikuti program paket A
fungsional. Atau pendidikan yang mampu mengantarkan kesejahteraan dia
dan keluarganya.
3. Kelemahan kita selama ini yang sangat dirasakan pada ujung tombak
Dikmas adalah tak mampu berperan banyak. Sebab dalam penempatan tenaga,
cenderung merekrut para guru atau tenaga lain yang telah bertugas
bertahan-tahun. Mereka di tempatkan untuk mendidik masyarakat pada
bidang PLS. Padahal ia telah terbiasa (berpengalaman) melakukan
pendidikan formal. Sehingga berhadapan dengan masyarakat, bukanlah teori
andragogy yang ia berikan, melainkan cenderung paedagogy.
4. Salah satu strategi dan upaya penuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun bagi
anak usia sekolah, yang lokasi rumahnya jauh dari SLTP di sediakan
Asrama Siswa.