KOMPASIANA News
Ibu kota pindah. Ide ini sudah
lama dilontarkan oleh berbagai pihak. Tidak mudah memang. Banyak yang
masih memandang sinis ide ini. Bagi mereka, opsi pindah ibu kota itu
adalah opsi pesimis. Bagi yang mendukung, opsi memindahkan ibukota
adalah ide yang matang dengan pertimbagan sempurna.
Saat ibukota disibukkan dengan banjir, ide ini dilontarkan kembali. Hari ini (Senin, 21 Januari 2013) Jokowi bertemu dengan pimpinan MPR di Gedung MPR RI. Dalam pertemuan itu Pak Jokowi berkata “Kalau
memang sudah kita mentok dan kesulitan untuk mengatasi banjir Jakarta,
tidak ada jalan lain. Ya, saya sangat setuju dengan Bapak Ketua MPR
untuk dipindah,” (sumber : www.kompas.com). Jadi jelaslah sudah sang Gubernur Jakarta termasuk pihak yang setuju ibukota pindah, dengan catatan Kalau memang sudah kita mentok dan kesulitan untuk mengatasi banjir Jakarta, tidak ada jalan lain.
Sebenarnya masih sanggupkah Jakarta menyandang gelar ibukota? Mari kita coba cari jawabannya, berdasarkan data-data berikut :
1. Sejak Indonesia masih berpresidenkan
Soekarno, ide pindah ibukota ke Palangkaraya sudah sering diajukan. Ide
ini digagas oleh beliau sekitar tahun 1957. Saat ini, banyak ahli yang
mendukung pendapat ini karena memiliki lahan luas serta dimungkinkan
dibangun sejumlah perkantoran kementerian. Kota Palangkaraya juga berada di atas bukit sehingga tidak akan terjadi banjir. Pendapat ini kembali diamini oleh Prof HM Norsanie Darlan (Guru Besar Universitas Palangkaraya)
2. Pendapat para pakar mengenai pemindahan ibu kota :
Andrinof Chaniago (Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia)
berpendapat daya dukung Pulau Jawa khususnya Jakarta dan sekitarnya tak
memadai lagi untuk Ibukota. Satu bom sosial siap meledak di Jakarta 20
tahun lagi. Kesenjangan sosial kian tajam, kriminalitas tinggi, taraf
kesehatan menurun. Gangguan jiwa meningkat
Yayat Supriyatna (Planolog
dari Universitas Trisakti) berpendapat Jakarta tidak pernah disiapkan
secara matang untuk menjadi Ibukota dengan skala sebesar sekarang, Dari sekadar kota perdagangan, kemudian harus menampung aktivitas pemerintahan dalam skala besar sehingga fungsi dan perannya tidak jelas.
Haryo Winarso (Haryo Winarso) berpendapat Ibukota
tidak dapat pindah ke dalam lokasi berdekatan karena hal tersebut hanya
akan memperpanjang kemacetan diakrenakan orang-orang yang terlibat
pemerintahan tetap tinggal di Jakarta sehingga akan tetap macet
Sonny Harry B. Harmadi (Pakar demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia)
berpendapat pemindahan Ibukota ke luar Jakarta dan bahkan ke luar Jawa.
kepadatan penduduk dan pemusatan aktivitas yang terus meningkat di
kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi menjadikan daerah
ini tidak lagi ideal sebagai kandidat Ibukota baru Republik Indonesia
M Jehansyah Siregar (doktor di bidang perencanaan kota dari Universitas Tokyo)
berpendapat Berdasarkan berbagai kajian yang telah ada, Kalimantan
pulau yang telah siap secara infrastruktur dan secara geografis
Kalimantan jauh dari pusat gempa dan gunung berapi.
Dari data-data diatas, dapat disimpulkan
Jakarta berbeban terlalu berat, disamping sebagai pusat pemerintahan, ia
juga mengemban tugas sebagai pusat ekonomi dan perdagangan. Maka dapat
dilihat dari pendapat para ahli tersebut termasuk Pak Karno juga, untuk
membantu Jakarta jadi “sehat” pindahkanlah satu tugas ke kota lain, dan
yang paling mendukung dipindahkan adalah tugas sebagai pusat
pemerintahan. Jadi, jika ibukota negara pindah, yang berpindah adalah
pusat pemerintahannya.
Metode seperti ini bukanlah metode baru,
sudah banyak negara yang mempraktekannya, lihat saja Amerika Serikat
yang memusatkan pemerintahan di Washington sementara ekonomi tetap
dipusatkan di New York. Demikian halnya dengan Australia, ibukota
(pemerintahan) sudah dipindahkan ke Canberra. Bahkan saudara sebelah
kita –Malaysia-, juga memindahkan pusat pemerintahannya ke Putrajaya.
Tampaknya, ide memindahkan pusat pemerintahan ini kita setujui saja ya.^_^
Salam,
R.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar