29 April 2013 | 10:09 WIB
Ini merupakan respon atas rencana pemberlakukan dua harga BBM dari pemerintah, dimana pemilik motor dan angkutan umum masih diperolehkan membeli dengan harga Rp 4.500 per liter. Sedangkan harga BBM untuk pemilik mobil pribadi akan terjadi kenaikan (kisaran harga menjadi Rp 6.500 per liter).
Demikian bunyi pesan berantai tersebut; "dari perbedaan harga
premium bisa jadi penghasilan. Jadi pemilik motor dan MPU bisa beli di
SPBU seharga Rp 4.500 lalu di jual ke pemilik mobil pribadi plat hitam
seharga Rp 6.000, dengan keuntungan Rp 1.500 atau 33% dari modal."
Pesan ini juga memuat ilustrasi potensi keuntungan dari pemilik
motor sekitar Rp 67.500 per hari atau Rp 2.025 juta per bulan. Potensi
keuntungan yang lebih fantastis ini terjadi pada MPU, yaitu Rp 9 juta
per bulan.
Kekhawatiran penyimpangan ini sejatinya sudah pernah diutarakan
berbagai pihak. Tidak ada jaminan konsumen pemilik motor ataupun
angkutan umum tidak melakukan bisnis 'BBM eceran' karena bentuk
pengawasan yang sangat sulit. Hal ini kembali ditegaskan Pengamat sosial
kemasyarakatan dari Universitas Palangka Raya (Unpar), Prof Dr HM
Norsanie Darlan MS PH.
"Karena masyarakat pada umumnya tak mengetahui mana BBM bersubsidi
dan non subsidi, sehingga berpotensi pula penyimpangan peruntukan.
Penyimpangan peruntukan itu bisa terjadi di perkotaan, terlebih di
daerah pedalaman," ucap Norsanie, Senin (29/4).
Di Kalimantan, khususnya pedalaman yang memakai jalur transportasi
sungai, apakah pengawasan akan efektif? Belum lagi aparat keamanan juga
tidak mungkin melakukan pengawasan 24 jam.
Hal ini sudah terlihat saat banyak angkutan yang mengantri untuk membeli BBM jenis solar. Setelah mendapatkan BBM subsidi, mereka menjualnya dengan harga lebih tinggi.
"Mungkinkah aparat kepolisian bisa mengawasi praktek seperti itu. Sementara personel kepolisian terbatas dan mereka yang berbuat penyimpangan itu biasanya sembunyi-sembunyi," paparnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar