Peran Naib Dalam Memasyarakatkan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Pada Acara Akad Nikah
Oleh:
H.M. Norsanie Darlan
Pendahuluan
Penulisan materi ini tidak terlepas dengan apa yang
ditugaskan oleh Bapak Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D kepala BKKBN Pusat, saat
acara silaturrahmi dengan dosen PLS se-Indonesia tanggal, 1 Februari 2014 di
UNJ Lt 6 yang beliau sedang mengupas tentang pemasyarakatan Kependudukan dan
Keluarga Berencana nelalui petugas di saat berlangsungnya khutbah nikah. Secara
kebetulan di tahun 1987 lalu, tesis S-2 saya di Fakultas Kedokteran UGM juga
menyuluh calon pengantin untuk tujuan imunisasi TT kepada calon pengantin
wanita di kabupaten Bantul dan kota Yogyakarta.
Dengan demikian, penulis secara spontan ditugasi
kepala BKKBN pusat untuk melakukan eksperimen kepada para calon pengantin dalam
hal pemasyarakat Kependudukan dan Kepuarga Berencana melalui naip yang
melaksanakan akad nikah.
Untuk lebih jelas dan rinci hal-hal di atas, dapat
dibaca secara rinci dalam paparan berikut ini:
Berbagai Pengertian
Untuk tidak terjadi kesalah pahaman terhadap arti
dalam judul, penulis ini, penulis mencoba mengurai serba singkat berbagai hal
sebagai berikut:
Arti Peran; adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam hal tertentu. Dipihak lain, pengertian Peran Definisi Menurut Para Ahli, Konsep, Struktur. Selain itu, memberikan pengertian peran menurut Friedman, M, (1998) adalah:”…serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informal…”. Peran didasarkan pada ketentuan dan harapan yang menerangkan apa yang in dividu-individu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut. Dalam hal ini, orang yang berperan tentu Naip. Karena naip yang menyampaikan khutbah Nikah kepada sepasang pengantin.
Arti
Naip menurut Wikipedia Indonesia adalah: “…seseorang
yang mempersatukan calon suami dan isteri dalam acara sakral pada Pernikahan…atau nikah artinya adalah terkumpul dan
menyatu…”. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara
sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan
ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islamhttp://id. Wikipedia.
org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam - cite_note-1. Kata zawaj digunakan
dalam al-Quran artinya adalah pasangan
yang dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan, Allah s.w.t. menjadikan
manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.
Naip ada
di berbagai daerah bermacam-caman sebuat. Adanya peng menyebut dengan penghulu,
ada juga dengan sebutan pengulu. Dll. Tapi yang jelas naip adalah orang yang
bertugas melaksanakan ikrar akad nikah, di hadapan sejumlah saksi.
Arti
Memasyarakatkan adalah: “…menjadikan konsep itu jadi
dikenal oleh masyarakat: usaha - gerakan kependudukan dan keluarga
berencana…” itu, sudah menunjukkan hasil; Pemerintah sudah berusaha sejak tahun
70-an dan telah berusaha keras – menyampaikan pesan-pesan KKB kepada segala
lapisan masyarakat di tanah air, baik di perkotaan hingga pedesaan nanjauh di
sana.
Arti Kependudukan adalah: asal kata Penduduk ini, adalah warga negara Indonesia dan orang
asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Kependudukan adalah
hal ihwal yang berkaitan dengan jumlah,
struktur, umur, jenis kelamin, agama, kelahiran,
perkawinan, kehamilan, kematian, persebaran, mobilitas
dan kualitas serta ketahanannya yang menyangkut
politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Pengelolaan
kependudukan dan pembangunan keluarga adalah
upaya terencana untuk mengarahkan perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga untuk mewujudkan penduduk
tumbuh seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk pada seluruh dimensi
penduduk. Perkembangan kependudukan adalah kondisi
yang berhubungan dengan perubahan keadaan
kependudukan yang dapat berpengaruh dan
dipengaruhi oleh keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Jadi
pengaturan kependudukan yang ditata secara berencana, akan menghasilkan
kependudukan yang berkualitas.
Arti Keluarga Berencana (KB) adalah:”…merupakan
suatu program pemerintah yang dirancang untuk menyeimbangkan antara kebutuhan
dan jumlah penduduk…”. Program
keluarga berencana oleh pemerintah adalah agar keluarga sebagai unit terkecil
kehidupan bangsa diharapkan menerima Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera
(NKKBS) yang berorientasi pada pertumbuhan yang seimbang. Gerakan Keluarga
Berencana Nasional Indonesia telah berumur sangat lama di negeri ini yaitu
sejak tahun 70-an dan masyarakat dunia menganggap berhasil menurunkan angka
kelahiran yang bermakna. Perencanaan jumlah keluarga dengan pembatasan
yang bisa dilakukan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau penanggulangan
kelahiran seperti kondom, spiral, IUD, dan sebagainya.
Arti Akad Nikah adalah Saat akad nikah "Aku terima nikah nya si dia
binti ayah si dia dengan Mas kawin......." Singkat, padat, dan jelas. Tapi
tahukah makna dalam "perjanjian/-ikrar" tersebut ?
Sebuah hadist mengemukakan tentang
akad nikah ini, adalah: "…Maka aku tanggung dosa-dosanya si dia dari orang
tua nya, dosa apa saja yang telah dia lakukan dari tidak menutup aurat hingga
meninggalkan Sholat. Semua yang berhubungan dengan si dia, aku tanggung dan
bukan lagi orang tua nya yang menanggung, serta akan aku tanggung semua dosa
calon anak-anakku…".
Jika aku
GAGAL? "…Maka aku adalah suami yang fasik, ingkar, dan
rela masuk neraka, aku rela malaikat menyiksaku hingga hancur tubuhku'' (Hadist Riwayat Muslim).
rela masuk neraka, aku rela malaikat menyiksaku hingga hancur tubuhku'' (Hadist Riwayat Muslim).
Perkawinan Menurut Hukum Adat
Dari sisi lain, Ady Hermansyah
(2010) bahwa:
”...apa yang sebenarnya yang
dimaksud dengan perkawinan adat. Ini adalah suatu bentuk hidup bersama yang
lenggeng lestari antara seorang pria dan wanita yang diakui oleh persekutuan
adat dan yang diarahkan pada pembantu dan keluarga...”.
Berkenan dengan adanya hubungan yang tepat dari topik ini, maka menurut Hukum
Adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu, bukan saja berarti sebagai
perikatan Perdata tetapi juga merupakan “Perikatan Adat” dan sekaligus
merupakan perikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Jadi terjadinya suatu ikatan
perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan
keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama kedudukan
anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan adat
istiadat, kewarisan kekeluargaan, dan kekerabatan dan ketetanggaan serta
menyangkut upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban
mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan
Tuhannya (Ibadah) maupun hubungan manusia dengan manusia (Mu’Amalah) dalam
pergaulan hidup agar selamat didunia dan selamat di Akhirat.
Imam Sudiyati adalah:
(1991:17) dalam bukunya Hukum Adat mengatakan: ”...Menurut Hukum Adat
perkawinan biasa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabak,
bisa merupakan urusan pribadi bergantung pada susunan masyarakat...”
Tujuan
perkawinan
- Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan
- Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih
- Memperoleh keturunan yang sah
- Menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan menumbuhkan aktivitas dalam berusaha mencari rezeki yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab.
Hukum
Islam mengatur tentang syarat-sayarat dan rukun perkawinan menurut firman Allah
dalam Al-Quran (yang tidak dapat dirubah dan berlaku sepanjang masa) dan Al-Hadits.
Adapun
perbedaan syarat-syarat dan rukun perkawinan Islam yaitu bahwa syarat-syarat
merupakan hal yang harus dipenuhi sebelum melangsungkan perkawinan, sedangkan
rukun perkawinan merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu melangsungkan
perkawinan.
Rukun
perkawinan Islam terdiri dari :
- Harus ada calon suami dan isteri, atau wakilnya
- Harus ada wali dan calon isteri, atau wakilnya
- Harus ada dua orang saksi laki-laki Islam yang telah memenuhi syarat.
- Adanya ijab-qabul
Haruskah Nikah 2 Kali Dalam Kasus Kawin Hamil?
Memperhatikan
terhadap sub judul di atas, kita sedikit harus masuk pada masalah hukum Islam.
Walau penulis bukan ahlinya pada bidang itu, namun karena membahas tentang
pernikahan. Maka dirasa perlu untuk memaparkan sub judul di atas.
Sebuah
pertanyaan Adhimaz (2011) yang mau mengetahui tentang: ”...menikahi seorang
wanita yang sudah hamil...”. Apa haram hukumnya menikahi wanita itu? Apa harus nikah 2
kali?.
Menurut:
Letezia Tobing, (2011) menjawab pertanyaan pada sub judul di atas sebagai
berikut: ”...Kami kurang mendapatkan keterangan, apakah yang pria yang ingin
menikahi wanita tersebut adalah pria yang menghamilinya atau bukan...”.
Jika
pria tersebut ingin menikahi wanita yang dihamilinya, maka hal tersebut dapat
dilakukan, karena tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang
melarang mengenai hal tersebut.
Dari
hal di atas harus ada kaitan dengan Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain
itu jika kita melihat pada ketentuan mengenai perkawinan-perkawinan yang
dilarang berdasarkan UU Perkawinan, dalam Pasal 8 UU Perkawinan,
dikatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
1. Berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
2. Berhubungan
darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3. Berhubungan
semenda, yaitu mertua,anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
4. erhubungan susuan,
yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
5. Berhubungan
saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang;
6. Mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Selain
itu, mengenai perkawinan yang dilarang, terdapat juga dalam Pasal 9 dan
Pasal 10 UU Perkawinan, yaitu:
1.
Perkawinan juga dilarang perkawinan antara seseorang yang masih terikat tali
perkawinan dengan orang lain, kecuali telah memenuhi syarat dalam Pasal 3 ayat
(2) dan Pasal 4 UU Perkawinan (Pasal 9 UU Perkawinan).
2.
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 UU
Perkawinan).
Sedangkan
jika dilihat dari Hukum Islam sendiri, dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)
diatur mengenai “kawin hamil”. Pasal 53 KHI mengatakan bahwa: “…seorang
wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
Perkawinan tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya…”. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Jadi
berdasarkan uraian di atas, bagi pria yang ingin menikahi wanita yang
dihamilinya, UU Perkawinan tidak melarang perkawinan seperti itu. Dalam Hukum
Islam sendiri, perkawinan seperti itu tidak haram, bahkan diperbolehkan. Selain
itu, tidak perlu nikah 2 (dua) kali (dalam hal ini tidak perlu dilakukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir).
Sedangkan,
jika seorang pria ingin menikahi wanita yang dihamili pria lain, mengenai hal
tersebut juga tidak ada larangannya dalam UU Perkawinan maupun KHI.
Dalam
Hukum Islam pun tidak ada pengaturan yang melarang hal tersebut. Sebagaimana
pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Bagaimana Hukumnya
Menikahi Perempuan yang Hamil di Luar Nikah?, KHI tidak mengatur
secara eksplisit apakah perempuan yang hamil di luar nikah boleh dikawinkan
dengan pria lain selain yang menghamilinya. Tapi, dari ketentuan Pasal 53
ayat (1) KHI secara tidak langsung membuka kemungkinan perempuan yang hamil
di luar nikah untuk tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya atau
dikawinkan dengan pria selain yang menghamilinya. Karena, norma hukum yang ada
dalam pasal tersebut bersifat kebolehan (menggunakan frasa “dapat”) dan bukan
keharusan. Jadi, wanita yang hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan pria
yang tidak menghamilinya. Namun, menurut hemat kami, dalam hal ini si perempuan
terlebih dahulu harus memberi tahu mengenai kehamilannya tersebut kepada si
calon suami. Atau jika kita melakukan penafsiran secara a contrario
terhadap ketentuan Pasal 53 ayat (2) KHI, maka perkawinan perempuan yang hamil
di luar nikah dengan pria yang tidak menghamilinya harus menunggu sampai si
perempuan melahirkan.
Dasar Hukum:
2. Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Pandangan Islam
terhadap perkawinan antara agama
Perkawinan
menurut agama Islam, ialah pelaksanaan, peningkatan dan penyempurnaan ibadah
kepada Allah dalam hubungan antara dua jenis manusia, pria dan wanita yang
ditakdirkan oleh Allah satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan
hidup kemanusiaan untuk memenuhi nalurinya dalam hubungan sexuil, untuk
melanjutkan keturunan yang sah serta mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan
lahir bathin bagi keselamatan keluarga, masyarakat dan negara serta keadilan
dan kedamaian baik didalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Menurut agama Islam,
proses hubungan sexuil manusia harus berjalan dengan semangat kerukunan dan
kedamaian dengan menghormati hak-hak azasi manusia sebagai insan-insan
sederajat antara pria dan wanita untuk menempuh kehidupan yang baik di dunia.
Arti
perkawinan menurut istilah ilmu fiqh dipakai perkataan “nikah” dan perkataan
“ziwaaj”. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti
kiasan (majaaz). Arti yang sebenarnya dari pada nikah adalah “dham” yang
berarti “menghimpit”, “menindih” atau “berkumpul” sedangkan arti kiasannya
ialah “wathaa” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti mengadakan
perjanjian pernikahan.
Dalam
pada itu, perkawinan yang disyariatkan agama Islam mempunyai beberapa segi,
diantaranya ialah :
Segi ibadah
Perkawinan menurut agama Islam mempunyai
unsur-unsur ibadah. Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebahagian
dari ibadahnya dan berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari agamanya.
Sabda Rasulullah SAW :
“…Barang siapa yang
telah dianugerahi Allah isteri yang saleh, maka sesungguhnya ia telah
mengusahakan sebahagian agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah pada bahagian
yang lain…”
(H.R. Thabrani dan Al
Hakim dan dinyatakan shaheh sunatnya)
Segi hukum
Perkawinan yang menurut disyariatkan
agama Islam merupakan suatu perjanjian yang kuat, sebagaimana Firman Allah SWT
:
“…Bagaimana kamu akan
mengambil harta yang telah kamu berikan kepada bekas isterimu, padahal sebagian
kamu telah bercampur (bergaul) dengan yang lain sebagi suami isteri. Dan mereka
(isteri-isteri) telah mengambil dari kamu janji yang kuat..:. (Q.S An-Nisa :
211).
Dalam
hal perkawinan ini, secara jelas diuraikan berikut:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari
pada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak.
dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum agama, sebab merupakan asas pokok dalam kehidupan kemasyarakatan yang
sempurna, bukan saja perkawinan itu suatu jalan yang sangat mulia untuk mengatur
kehidupan dan keturunan, juga dipandang sebagai suatu jalan menuju perkenalan
antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya. Dengan
demikian akan terjadi saling bertolong-tolongan antara satu dengan yang
lainnya.
Sesungguhnya pertalian dengan perkawinan adalah
sangat teguh dalam hidup dan kehidupan manusia. Sebab itu untuk mendapatkan
kepastian hukum dan perlindungannya serta melindungi hak dan kewajiban yang
timbul dari perkawinan itu maka perkawinan itu perlu dicatat. Akibat hukum yang
timbul bukan saja antara suami-isteri bahkan antara kedua belah pihak keluarga.
Hubungan antara suami-isteri sangat mempengaruhi antara keluarga kedua belah
pihak baik segi kebaikannya maupun keburukannya.
Di dalam Undang-undang nomor 1
tahun 1974 dijelaskan bahwa seorang suami cukup beristeri satu, terkecuali
dalam keadaan terpaksa dapat beristeri lebih dari saw dengan izin Pengadilan
Agama.
Di dalam Qur'an juga dijelaskan
bahwa bagi laki-laki boleh kawin dua atau tiga atau empat, tetapi dengan syarat
adil, Hal ini untuk mencegah kesewenang-wenangan laki-laki untuk beristeri
lebih dari satu.
Perkawinan bukanlah sekedar
untuk kebutuhan sex semata, tetapi merupakan titik awal dari pembangunan
masyarakat; dari sini akan dibangun satu masyarakat besar.
Untuk menjaga keutuhan rumah tangga, antara kedua
belah pihak sebelum berumah tangga harus sudah matang lahir-batin. Disamping
itu harus mengetahui tugas dan kewajibannya dan saling pengertian, isi mengisi
dan toleransi.
Firman Allah di dalam Al Qur'an :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br&
t,n=y{ /ä3s9
ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør&
(#þqãZä3ó¡tFÏj9
$ygøs9Î) @yèy_ur
Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4
¨bÎ) Îû
y7Ï9ºs ;M»tUy
5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir”. (Ar-Rum. 21)
Menciptakan Rumah Tangga Bahagia
1.
Mempelajari Ilmu Agama
Tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal. Karena itu, suami-isteri harus saling
melengkapi dan saling membantu setiap kekurangan masing-masing pihak. Di
samping itu faktor ajaran agama Islam adalah unsur pokok yang paling penting
dalam pembinaan rumah tangga yang bahagia, sebab ajaran Islam memberikan
petunjuk antara yang baik dengan yang buruk, antara yang menguntungkan dengan
yang merugikan, yang akhirnya memberikan semacam pegangan dalam hidup dan kehidupan,
bagaimana sikap jiwa sewaktu mendapat nikmat dan ketika mendapat musibah.
Banyak pemimpin rumah tangga yang
mengutamakan ilmu dunia saja, sehingga anak-anak dan keluarganya mendapat pengajaran
dan pendidikan umum yang cukup sampai mendapat titel sarjana, tetapi
mengabaikan pendidikan agama. Anggota keluarganya tidak mengenal huruf AI
Qur'an, tidak pernah sujud menghadap kiblat, di rumah itu tidak terdengar
suara azan, suara kaset yang membaca Al Qur'an, yang terdengar hanya lagu-lagu
pop saja. Di dinding rumah hanya terdapat gambar bintang film dan tidak
satupun terdapat lukisan yang menunjukkan jiwa keagamaan. Tidak heran apabila
rumah tangga yang demikian mendapat sedikit cobaan sudah panik dan gelisah.
Adapun rumah tangga yang mementingkan
ajaran-ajaran agama, mereka selalu mendekatkan diri kepada Allah, disamping
berusaha mencapai kenikmatan hidup di dunia, maka dari dalam rumah tangga itu
selalu memantul sinar bahagia, ketenangan, kenikmatan rohaniyah, walaupun
berada dalam situasi kekurangan dan kemiskinan serta sertba kesulitan.
1.Keluarga Bahagia
Sejahtera
Keluarga bahagia sejahtera adalah idaman semua
orang. Namun perwujudan hal itu sangat didambakan semua pasangan. Keluarga
bahagia dan sejahtera tidak diukur dengan kekayaan. Tapi keluarga sejahtera
terjadinya kerukunan dalam keluarga juga sejahtera. Apa lagi jika dalam
keluarga tidak terjadi cekcok, saling menghargai satu sama lain, mensyukuri apa
adanya. Isteri tidak banyak permintaan. Sehingga kehidupan pasangan suami
isteri jadi rukun dan damai.
Keluarga sejahtera juga pasangan suami isteri
menyadari penghasil suami dengan jumlah
keluarga. Bila jumlah keluarga terlalu besar, maka tingkat kesejahteraanpun
yang jadi rendah.
2.Mengatur Kelahiran
Dalam setiap pasangan yang baru berkeluarga atau
akan berkeluarga, tidak salahnya seorang petugas pencatat nikah (Naip)
memberikan sedikit pengetahuan dalam mengatur keluarga. Dalam hidup berkeluarga
tidak selalu segera menghadirkan momongan. Karena kalau terlalu cepat, kapan
waktunya untuk berbulan madu dari sebuah pasangan yang berbahagia dan menikmati
pasangan yang diharapkan. Setelah itu, baru mengatur kapan akan terjadi
kelahiran anak pertama dan anak berikutnya. Jika jarak anak pertama ke anak
berikutnya cukup jauh, maka perhatian ibu dalam pemeliharaan anak akan lebih
baik, termasuk kesehatan anak yang dilahirkan.
2.Menghindari Perceraian
Perceraian sangat tidak diharapkan. Karena dengan
perceraian anak-anak yang mengalami penderitaan, siapa yang memberi nafkah
untuk anak-anak mereka. Dan bagai mana pendidikan serta kesehatannya. Sehingga
perceraian harus dihindari, walau pihak ayah ataupun ibu serbaberkecukupan. Tapi akibat perceraian
membuat perasaan anak jadi tidak punya panutan. Itulah yang menjadikan
perceraian dimurkan Allah SWT.
3.Akhlaq dan kesopanan
Unsur rumah tangga bahagia itu ialah terciptanya hubungan
yang harmonis antara sesama keluarga, antara suami-isteri, antara anak-anak,
antara anak dengan ibu-bapaknya dan dengan yang lainnya. Yang tua mengasihi
yang muda dan yang muda menghormati yang tua.
Sikap saling
menghormati dan mengasihi ini, digariskan dalam satu Hadits:
لَيْسَ
مِنَّامَنْ لَمْ يُوَقِّرْكَبِيْرَنَاوَلَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَاTidaklah termasuk umat kami
orang-orang yang tidak menghormati orang-orang besar dan orang-orang yang
tidak menyayangi orang-orang kecil dari kami.
4. Harmonis dalam Pergaulan
Dalam rumah tangga bahagia,
senantiasa, tergalang pergaulan yang harmonis antara sesama keluarga. Semuanya
menempatkan diri laksana awak kapal yang sedang mengarungi samudera luas dan
badai yang selalu ada, masing-masing sejak dari Kapten sampai Mualim dan
penjaga mesin, kelasi dan tukang masak menjalankan tugas masing-masing dengan
gembira dan bertanggung jawab demi untuk keselamatan bersama.
Setiap anggota keluarga hidup
rukun dan mesra, tidak saling curiga mencurigai, salah menyalahkan dan
sebagainya. Apabila terjadi kericuhan diselesaikan secara kekeluargaan dengan
menjauhkan akibatnya yang merupakan bom waktu dan dapat meledak sewaktu-waktu.
5. Hemat dan Hidup Sederhana
Unsur berikut ini ialah hemat dan
hidup sederhana. Sebagian besar kehancuran suatu rumah tangga karena keroyalan
hidup, tidak berhemat dan tidak memikirkan hari esok. Tidak mengerti ada musim
hujan dan musim panas.
Hawa nafsu ingin hidup mewah
tidak seimbang dengan sumber pendapatan yang ada, sehingga timbullah satu
keadaan yang gawat di rumah tangga itu.
Besar pasak dari pada tiang.
Ajaran Islam selalu
memperingatkan supaya manusia hidup qona'ah yaitu mencukupkan apa yang ada
serta menyesuaikan dengan keadaan kita sendiri dan tidak perlu mencontoh
kekayaan orang lain.
6.Menyadari Cacat Sendiri
Dalam pembinaan rumah tangga bahagia ialah menyadari
cacat diri sendiri. Banyak orang terlalu rajin melihat cacat orang lain tetapi
jarang sekali melihat cacatnya sendiri. Setiap orang mempunyai kelebihan dan
kekurangannya; apabila setiap pemimpin rumah tangga menyadari ini sepenuhnya
maka dapatlah dihindarkan perasaan benar sendiri.
Itulah sebabnya ahli hikmat sering menasehatkan agar
orang itu sering mengacakan diri sendiri, supaya dia tahu di mana kelebihannya
dan di mana pula kekurangannya. Apabila orang itu sudah menyadari dirinya, dia
akan selalu mawas diri dan akhirnya berusaha memperbaikinya atau bertaobat.
Dengan demikian perkawinan tetap kekal selama-lamanya.
Daftar
Pustaka
Adhimaz, (2011). Haruskah Nikah 2
Kali Dalam Kasus Kawin Hamil?, artikel, Jakarta.
BKKBN, 2011. Serial Tanya Jawab Keluarga Sejahtera Kesehatan &
Reproduksi, Dalam Pandangan Islam, Jakarta.
Kementrian Agama RI, 1974. Tentang Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Jakarta.
------------, 1991. Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam,
Jakarta.
------------, 2003. Pedoman
Pelaksanaan Akad Nikah, Direktorat Jend. Bimbingan Masyarakat Islam, Jakarta.
Hermansyah, Andy, 2010. Perkawinan Hukum Adat, Artikel, Jakarta.
Kementrian Agama RI, 2000,
Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Direktorat Jend. Bimbingan Masyarakat
Islam, Jakarta.
Kementrian Agama RI, 2007.
Keputusan Menteri Agama RI Nomor 11, tentang Pencatatan Nikah, Direktorat Jend.
Bimbingan Masyarakat Islam, Jakarta.
Kementrian Agama RI, 2011,
Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam,
Direktorat Jend. Bimbingan Masyarakat Islam, Jakarta.
M. Friedman, 1998. Pengertian Peran serangkaian perilaku yang diharapkan pada
seseorang sesuai dengan posisi sosial, Artikel, Surabaya.
Sudiyati, Imam, 1991. Hukum
Adat, dalam masalah perkawinan,
Jakarta.
Tobing, Letezia, 2011. Haruskah Nikah 2 Kali Dalam Kasus Kawin
Hamil?, artikel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar