Kompas
Sabtu, 4 Agustus 2012 | 22:29 WIB
Dibaca: 1276
Dibaca: 1277
KOMPAS/A HANDOKO
Ilustrasi: Rumah Betang Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan
Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat pada awal
September lalu. Masyarakat Iban seperti halnya sub suku Dayak lainnya di
Kalimantan Barat, memiliki tradisi hidup komunal di rumah betang atau
rumah panjang.
Oleh
Hasan Zainuddin
"Huma
Betang" adalah dalam istilah sehari-hari "rumah besar" yang dihuni
banyak orang dengan beragam agama dan kepercayaan tetapi tetap rukun nan
damai.
Sehingga Huma Betang adalah sebuah simbol dan filosofis
kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah (Kalteng) seperti yang
terlihat di Kota Palangka Raya, Ibukota Provinsi Kalteng, kata Wali
Kota Palangka Raya, Riban Satia.
Ketika menerima kunjungan Dirut
LKBN Antara, Ahmad Mukhlis Yusuf beserta rombongan di rumah jabatannya
(Kamis 2/8), Riban Satia bercerita banyak mengenai konsep kerukunan Huma
Betang dalam adat masyarakat Dayak Kalteng.
Adapun rumah besar
dimaksud bila diartikan secara luas sekarang ini, tentu tidak sebatas
sebuah rumah, tetapi sudah sebuah wilayah, atau kawasan yakni
se-Kalimantan Tengah.
"Kami sudah terbiasa hidup rukun dan damai
dalam sebuah rumah besar, di saat ada perayaan agama Islam seperti Idul
Fitri, warga agama lain di rumah itu ikut pula merayakannya, begitu juga
saat Natal atau perayaan agama Kaharingan, warga muslim juga ikut
merayakannya," kata Riban Satia.
Susana seperti itu sudah terlihat
sejak lama sejak adanya rumah betang yang merupakan rumah adat dan khas
Suku Dayak di Kalimantan Tengah.
Mereka yang hidup di "rumah
betang" ini terdapat berbagai ragam kepercayaan apakah ia masih menganut
kepercayaan lama yang di di Kalimantan Tengah "Kaharingan" atau ada
pula yang sudah berpindah pada kepercayaan lain seperti Islam maupun
kristen.
Melalui konsep huma betang itu pula berbagai program
pembangunan di wilayah ini diterapkan, artinya masyarakat diajak secara
toleran dan bahu membahu membangun wilayah.
"Berkat konsep itu pula, Palangka Raya dan wilayah Kalteng lainnya kini terus bisa berkembang," tuturnya lagi.
Dalam
"huma betang" tidak pernah terjadi perselisihan yang berarti kerena
tingkat kekeluargaan atau kekerabatan yang sangat tinggi.
Hal
senada juga diutarakan budayawan sekaligus Guru Besar Universitas
Palangka Raya (Unpar) Prof Norsanie Darlan dalam sebuah seminar.
Menurut
guru besar pendidikan luar sekolah tersebut, bila suatu saat mereka di
rumah betang mengadakan upacara "Tiwah" suatu acara yang sangat sakral
suatu penghormatan terhadap leluruh, semua yang ada di rumah betang
mendukung kegiatan tersebut.
Walau anak cucu mereka sudah berubah
kepercayaan, namun rasa saling menghormati sangat tinggi, sehingga
mereka rela untuk mengorbankan harta untuk mengadakan upacara
pembongkaran makam leluhur, kemudian tulang belulangnya dibersihkan dan
di simpan pada sebuah sandung yang mereka buat secara bergotong royong.
Dengan
filosofi "Huma Betang" ini maka mereka tidak pernah menolak kehadiran
tamu dari mana saja untuk tinggal di rumah betang, sejauh tamu tersebut
mengikuti filosofi "di mana langit di junjung di situ bumi di injak".
Penuh Toleran
Toleran
merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat
untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang
dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan
masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di huma Betang
ini, seperti perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak
dan adik, atau terhadap mereka yang ada di sekitarnya.
Budaya yang
sudah turun temurun, yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan
upacara ritual keagamaan, maka bagi penganut agama atau kepercayaan
lain, ikut bersiapkan berbagai bahan, berupa beras, ayam, minyak
goreng, garam dan lain-lain.
Agar para penganut kepercayaan beda turut merasakan segala suka cita mereka dalam kebersamaan.
Namun
cara memasak dipersilakan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri.
Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka, katanya.
Umumnya
masyarakat Dayak penuh toleransi ini, terjadi pergeseran hanyalah
terjadi belakangan ini saja atau antara 10-15 tahun terakhir.
Pergeseran
budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi saja, katanya
dalam sebuah seminar diselenggarakan MPR-RI bekerja sama dengan
Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMP).
Sebagai contoh bila
seorang anak di pedalaman yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka
Raya lantaran dulu sulit mencari rumah kost, maka anak tersebut
dititipkan kepada keluarga yang tinggal di Palangka Raya.
Keluarga
yang dititipi anak tersebut bisa memang keluarga sedarah atau
keturunan, atau bisa juga hanya sebatas keluarga sekampung, tetangga,
atau hanya satu wilayah bahkan hanya kenalan saja.
Dengan
toleransi yang sangat tinggi, maka anak yang ikut tinggal, di rumah
tersebut tidak pernah membayar sewa, kata Norsanie Darlan.
Toleransi
di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga
yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong
menolong. "Di sinilah salah satu toleransi filosafi Huma Betang kita,"
kata Norsanie Darlan dosen kelahiran Anjir tersebut.
Rumah kost
belakangan memang mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari
kota lain di luar provinsi Kalimantan Tengah, untuk melanjutkan
pendidikan terutama kuliah.
Sehingga mereka pendatang usia muda
dari luar ini, mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4 - 5
tahun ke depan, akibat kebutuhan tersebut maka berdirilah rumah-rumah
kost untuk kaum pendatang tersebut.
Sementara itu berdasarkan
sebuah tulisan, filosofi Rumah Betang berkaitan erat dengan azas
kekeluargaan yang diciptakan oleh leluhur suku Dayak.
Menurut
sebuah cerita dahulu semua orang Dayak tinggal secara terpisah satu sama
lainnya, sangat sulit berhubungan dan memantau keadaan masing-masing.
Oleh
karena itu tetuha masyarakat Dayak merasa perlu memperhatikan sanak
saudara-saudaranya. Untuk mempertemukan semua anggota keluarga yang
terpisah-pisah, terbit sebuah ide. Yakni membangun rumah agar
mempermudah hubungan antar sesama anggota yang sebelumnya
berjauh-jauhan.
Rumah itu dibuat memanjang untuk menampung jumlah
keluarga yang seiring waktu semakin bertambah, saat itulah penamaan
Rumah Panjang atau Rumah Betang tercipta.
Seiring berjalannya
waktu, mereka menyadari pentingnya membangun sebuah hubungan antar
sesama manusia, sesuai dengan prinsip hidup leluhur mereka yaitu saling
membantu sesama manusia menjadi sebuah nilai kemanusiaan yang bersahaja.
Mereka
mulai menciptakan aturan-aturan tentang tata krama kehidupan
bermasyarakat yang baik, itulah awal mula terciptanya hukum adat.
Hingga saat ini, azas kekeluargaan itu masih melekat dalam kehidupan keluarga yang sekarang menghuni ruah betang.
Secara
garis besar, semua penghuni rumah betang merupakan sebuah keluarga
besar yang berasal dari satu pertalian keturunan darah yang sama.
Keluarga
yang besar ini memiliki hirarki adat yang tersusun ke dalam struktur
lembaga adat Dayak, ada tetua adat yang mengetahui semua hal yang
berkaitan dengan budaya rumah betang, ada juga penanggung jawab rumah
betang, kepala desa, sekretaris desa semuanya juga berkumpul menjadi
satu di dalam Rumah Betang.