Oleh:
H.M.Norsanie Darlan
Pendahuluan
Dalam era pembangunan bangsa, memang perlu adanya upaya
mencari berbagai alternatif dalam menunjang terwujudkan pembangunan yang
berkesinambungan. Apakah dalam aspek SDM, ataukan infrasturukturnya yang ada.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengurai beberapa
hal, yaitu: sedikit masalah arti pembangunan itu sendiri, bagaimana
karakternya, dan ruang lingkup publik yang bebas bagaimana berdemokratis serta Pluralisme dan Multikulturalisme yang penuh
toleransi.
.
Arti Pembangunan menurut Hasan Alwi (2002;103)
adalah:”…sebuah proses pembangunan yang dimulai dari negara maju melalui
pemerintah negara berkembang…”. Sehubungan dengan pembangunan daerah berbasis
kearifan lokal (Huma Betang) ini, adalah tentu sangat erat hubungannya dengan
pembinaan masyarakat yang lebih maju dari masa-masa sebelumnya. Karena harapan
pembangunan ini tidak sekedar di perkotaan, melainkan juga pedesaan sangat
diimpikan masyarakat.
Arti Masyarakat menurut: Shadily (1980), Harsono
(1997) Darlan (2002) adalah:”…sekumpulan manusia yang saling berinteraksi dalam
suatu wilayah tertentu dengan berbagai kesamaan tujuan satu sama lainnya…”.
Dengan demikian interaksi masyarakat dalam suatu wilayah pembangunan daerah
berbasis kearifan lokal (Huma Betang) ini, adalah adanya sifat saling
menghormati, saling menghargai satu sama lain. Walau masyarakat Dayak berbeda
suku, agama dan keyaninan. Tapi juga saling Bantu membantu satu sama lain,
bergotong royong adalah budaya masyarakat sejak nenek moyang.
Arti Kearifan asal katanya arif, menurut Hasan Alwi
(2002;65) adalah:”…dalam melakukan sesuatu dengan secara bijaksana, cerdik dan
pandai, dan berilmu…”. Atau istilah lain:”harati” Untuk membangunan
tanpa ada pemihakan terhadap kelompok tertentu.
Arti Karakter, menurut: Moeliono (1989; 389) dan
Poerwadarminta (1986) Norsanie Darlan, (2011) menyebutkan:"...sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain...".
Sedangkan menurut: Esau dan Yakub (2010) dalam kamus
umum bahasa Indonesia, adalah:"...karakter ialah tabiat, watak,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari
yang lain...". Kemudian Leonardo A. Sjamsuri (2010) dalam bukunya
"'Kariama Versus Karakter" mengatakan bahwa karakter
adalah:"...merupakan siapa ands sesungguhnya...". Sedangkan karakter
dalam arti PLS, menurut Sutaryat (2010) bahwa:"...dalam menyusun kurikulum
bersifat fleksibelitas bagi pamong belajar, tutor, instruktur dapat dilaksanakan
dengan musyawarah dengan WB dan dalam penggunaan metoda pembelajaran yang
bersifat partisipatif...". Hal ini menunjukkan kepada kegunaan dan
keunggulan suatu produk manusia. Dengan demikian karakter yang dimaksudkan
adalah sikap yang jujur, rendah hati, sabar, tutus ikhlas dan sopan dalam
pergaulan. Artinya tidak berkarakter atau tabiat yang keras. Sebagai
tenaga yang dalam jabatan fungsional,
tentu harapan kita semua punya karakter yang santun, murah hati, berwawasan
luas dan bisa mengayomi kepada semua orang. Termasuk anak didiknya.
Tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat
madani” di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang
subur yang berazaskan moral Pancasila yang menjamin keseimbangan antara
kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Ia juga memberikan gambaran
kondisi yang bertentangan dengan masyarakat, yaitu adanya kemelut yang diderita
oleh umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas,
kemiskinan, ketidak adilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual,
dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi pembangunan masyarakat yang
kritis.
Walaupun ide-ide masyarakat terhadap kearifan lokal
menurut: Hidayat, (2008) bertolak dari:”... konsep civil society, namun ide-ide itu juga
terdapat dalam konsep yang disebut Gelner dengan, budaya tinggi yang juga
terdapat dalam sejarah Asia Tenggara di kalangan Melayu Indonesia...”.
Pernyataan, Komaruddin Hidayat (1999: 267)
bahwa:”... dalam wacana di Indonesia, istilah “pembangunan masyarakat” kali
pertama diperkenalkan oleh Nurcholish Madjid, yang spirit serta visinya
terbukukan dalam nama yayasan yang Pendidikannya...”. Secara “semantik” artinya
kira-kira ialah, sebuah excellent [paramount]
yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban, “Pembaharuan Pendidikan.
Selanjutnya, ia mempopulerkan istilah itu dalam wacana dan ruang lingkup yang
lebih luas yang kemudian diikuti oleh para pakar yang lain.
Menurut: Nurcholish Madjid (2000: 80) dalam Hidayat
(2008) bahwa:”... pembangunan masyarakat merupakan masyarakat yang sopan,
beradab, dan teratur dalam bentuk negara yang baik...”. Menurutnya pembangunan
masyarakat dalam semangat modern tidak lain dari civil society, karena kata ”pembangunan” menunjuk makna peradaban atau
kebudayaan. Oleh karena ide-ide dasar pembangunan masyarakat dan
substansi civil society yang
berkembang di dunia Eropa sama, maka Dawam Raharjo (2000) dalam Hidayat (2008)
berpendapat bahwa:”...substansi pembangunan masyarakat dalam istilah civil society di dunia Barat adalah
suatu konsep pembangunan masyarakat...”. Teori civil society dapat
dipinjam untuk menjelaskan istilah pembangunan masyarakat yang digali
dari khazanah sejarah
bangsa. Senada dengan hal ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara
pembangunan masyarakat yang lahir dari khazanah sejarah dan peradaban
Islam dengan civil society yang
lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat.
Sementara itu, Emil Salim dalam Hidayat (2008)
adalah:”...sebagai ketua Gerakan Masyarakat Madani, pernah mengatakan bahwa
masyarakat madani sebenarnya telah ada di Indonesia...”. Wujud pembangunan
masyarakat ini sesungguhnya telah tertanam dalam masyarakat paguyuban yang dominan di masa lalu, ketika
kelompok masyarakat berkedudukan sama dan mengatur kehidupan bersama dengan
musyawarah. Selanjutnya ia menambahkan, bahwa substansi pembangunan masyarakat
telah lama ada dalam etika sosial politik masyarakat Indonesia yang berkembang
dalam kultur masyarakat Indonesia.
Semangat berbudaya, sosial politik yang
mengedepankan mekanisme musyawarah dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan
politik merupakan budaya masyarakat Indonesia yang menonjol.
Dalam perspektif civil
society (Barat) mekanisme musyawarah dalam menyelesaikan
permasalahan adalah merupakan salah satu prosedur demokrasi yang substantif
bagi pembangunan bangsa di daerah.
Karakteristik
Bertolak dari beberapa pengertian masyarakat madani
yang telah disampaikan di atas, maka karakteristik yang menonjol pada
masyarakat madani menurut: Iyane Bone (2012) adalah:”...masyarakat madani
merupakan istilah yang dipakai untuk mengkonseptualisasikan sebuah masyarakat
ideal yang dicita-citakan. Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab “Mujtama’
madani” yang diperkenalkan kali pertama oleh Naquib al-Attas, guru besar
sejarah dan peradaban yang juga filosof kontemporer dari Malaysia tentang
Masyarakat Madani…”.
Tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat
madani” menurut: Hidayat, (2008) adalah:”... di Indonesia menggambarkan
masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur yang berazaskan moral yang
menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan
masyarakat...”. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang bertentangan dengan
masyarakat, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat manusia seperti
meluasnya keganasan, sikap melampaui batas, kemiskinan, ketidak adilan,
kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual, dan kemunduran budaya yang
merupakan manifestasi masyarakat yang kritis. Walaupun ide-ide pembangunan
masyarakat bertolak dari konsep civil society, namun ide-ide itu juga
terdapat dalam konsep budaya tinggi
melayu yang juga terdapat dalam sejarah Asia Tenggara di kalangan Melayu
Indonesia.
Menurut Nurcholish Madjid (2000;80) dalam (Hidayat,
2008) bahwa:”...masyarakat madani merupakan masyarakat yang sopan, beradab, dan
teratur dalam bentuk warga negara yang baik...”. Menurutnya masyarakat madani
dalam semangat modern tidak lain dari civil society, karena kata
“madani” menunjuk pada makna peradaban atau kebudayaan...”. Oleh karena ide-ide
dasar masyarakat madani dan substansi civil society yang berkembang di
dunia Eropa sama, maka Dawam Raharjo berpendapat bahwa substansi masyarakat
madani dalam dunia Islam dan civil society di dunia Barat adalah satu.
Teori civil society dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah
masyarakat madani yang digali dari khazanah sejarah. Senada dengan hal
ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara pemangunan masyarakat yang lahir
dari khazanah sejarah dan peradaban dengan civil society yang
lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat.
Ruang Publik yang Bebas
Adanya ruang publik yang bebas merupakan sarana
dalam mewujudkan pembangunan masyarakat. Pada ruang publik yang bebaslah
individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana
dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Sebagai sebuah
prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam
sebuah tatanan masyarakat, maka ruang publik yang bebas menjadi salah satu
bagian yang harus diperhatikan. Dengan menafsirkan ruang publik yang bebas
dalam tatanan pembangunan masyarakat, maka akan terjadi kebebasan warga negara
dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum.
Dari keturunan leluhur kita, masyarakat Dayak yang
punya konsep bebas terpimpin ini, menyatukan konsep di rumah betang untuk tidak
ada terjadi perselisihan yang berarti. Bahkan tingginya kekerabatan karena
adanya rasa persaudaraan yang tinggi, tidak saling menyalahkan satu sama yang
lain. Namun adanya kekompakan yang sulit diikuti oleh masyarakat lain terhadap
budaya ”huma betang” ini.
Demokratis
Masyarakat madani ditandai oleh berkembangnya iklim
demokrasi berupa kebebasan berpendapat dan bertindak baik secara individual
maupun kolektif yang bertanggung jawab, sehingga tercipta keseimbangan antara
implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial, serta penyelengaraan
pemerintahan secara demokratis.
Masyarakat yang demokratis inilah yang harus ditiru
oleh generasi penerus kita. Apakah dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi saling tumpang tindih. Dan muncul pula budaya
mereka yang saling menghormati sesama. Tidak pernah ada larangan untuk datang
pada komunitas Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal sebelumnya. Jika
seseorang atau sekelompok masyarakat komunitas luar yang ikut serta dalam upaya
bercocok tanam, berladang, berkebun selalu dipersilahkan. Selama tidak
menyalahi tata aturan, tatanan budaya masyarakat setempat.
Pluralisme dan Multikulturalisme
Pluralisme menunjuk pada
keragaman/kemajemukan yang ada di masyarakat, menurut: Blum, (2001: 19)
dan Ahimsa-Putra, (2009:2) yakni:”...
kondisi dalam suatu masyarakat yang secara faktual berbeda-beda. Sementara itu
multi kultralisme lebih mengacu pada sikap warga masyarakat terhadap
perbedaan-perbedaan baik yang ada dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan
maupun dalam masyarakat lain...”. Sikap itu, dibentuk dengan
melibatkan seperangkat nilai yang didasarkan pada minat untuk mempelajari dan
memahami (understanding) dan
pada penghormatan (respect)
serta penghargaaan (valuation)
kepada kebudayaan masyarakat lain. Walaupun tidak selalu diikuti dengan
kesetujuan dan kesepakatan terhadap apa yang ada dalam kebudayaan lain, tetapi
yang ditekankan dalam multikulturalisme adalah pemahaman, penghormatan, dan
penghargaan yang tinggi.
Selain hal di atas pruralisme
menurut Norsanie Darlan (2004) adalah:”...di masyarakat Dayak sungguh
memberikan kearifan yang sangat tinggi harganya. Karena sejak masa lampau,
tidak pernah ada perselisihan yang berarti dalam kehidupan ”Huma Betang” walau
sudah menelan waktu yang panjang. Kehidupan saling menghargai, saling
menghormati dan saling tolong menolong yang tercipta sejak beberapa abad silam,
membuat suatu cerminan budaya yang
sangat tinggi dan dihormati...”.
Perselisihan bisa terjadi karena
dengan etnis lain dapat dilihat kejadian yang juga terjadi hal sama seperti:
dengan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Lampung dan di DKI pada etnis yang
sama. Hal itu adalah sebuah peristiwa pada titik puncak sama dengan daerah
lain, bahwa etnis yang pernah ada di Kalimantan Tengah ini, betul-betul tidak
bisa hidup bersama dalam ”Huma Betang”. Karena mereka tidak punya filsafat: “...di mana
bumi di injak, di situ langit di junjung....”. Sementara etnis lain tak ternah.
Penuh
Toleran
Toleran merupakan sikap budaya
yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukan sikap saling
menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan
masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di ”huma Betang” ini,
seperti: perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik
atau terhadap mereka yang ada di sekitar. Budaya yang sudah turun temurun,
yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan
lain, dipersiapkan bahan berupa: beras, ayam, minyak goreng, garam dan
lain-lain. Agar para penganut kepercayaan beda turut merasakan segala suka cita
mereka dalam kebersamaan. Namun cara memasak dipersilahkan untuk dimasak oleh
kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa
mereka.
Umumnya masyarakat Dayak penuh
toleransi ini, terjadi pergeseran dalam 10-15 tahun terakhir. Pergeseran budaya
ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi. Sebagai contoh 20 tahun
lebih ke masa lampau anak yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya.
Sulit mencari rumah kost, yang banyak adalah anak dititip pada keluarga yang
tinggal di Palangka Raya. Apakah ia keluarga satu keturunan darah, ataukah
hanya kenalan tetangga desa. Disini toleransi yang sangat tinggi. Karena anak
yang ikut tinggal, di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa. Karena saling
toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.
Toleransi di sini juga tidak
memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu
rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. Dan disinilah salah satu
toleransi filosafi ”Huma Betang ” kita.
Rumah kost mulai berdiri karena
banyaknya anak yang datang dari kota lain di luar provinsi Kalimantan Tengah,
di saat mereka mau melanjutkan pendidikan terutama kuliah. Sehingga mereka
pendatang usia muda dari luar ini, mau tidak mau harus mencari tempat tinggal
antara 4 – 5 tahun ke depan. Akhirnya berdirilah rumah-rumah kost untuk kaum
pendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar