0leh:
H.M. Norsanie Dalan
Guru Besar PLS Universitas Palangka Raya
Pendahuluan
Materi kuliah umum ini, merupakan
sejarah hidup bagi penulis dalam memberikan memaparkan tentang kiprah
Pendidikan Luar Dalam Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Desa Tertinggal (antara
harpan dan kenyataan) suatu permintaan pihak Program Studi ini, sebuah materi yang kurang begitu siap
dalam menghadi mahasiswa sekolah pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Sebab perguruan tinggi Pembina ini, tidaklah gampang untuk dijadikan objek
kuliah umum ini, namun ketua Program Studi S-2 dan S-3 PLS sekolah Pascasarjana meminta
saya, yang kebetulan ada waktu untuk menyiapkan materi yang sangat sederhana
ini.
Ditinjau dari sisi sejarah, bahwa
Universitas Palangka Raya di tahun 1962 lalu berdiri atas kerjasama antara: antara
IKIP Bandung cabang Palangka Raya. Dan Fakultas Ekonomi. Karena di setiap
Provinsi kala itu, ada wacana harus berdiri perguruan tinggi negeri. Maka
bergabunglah 2 perguruan ini yaitu: IKIP Bandung Cabang Palangka Raya dengan
Fakultas Ekonomi juga di Palangka Raya, menjadi Universitas Palangka Raya.
Universitas ini, dengan kependekannya di sebut UNPAR.
Untuk menyingkat waktu dalam pemberian materi ini,
maka dalam penyampaiannya terdapat beberapa sub bangian yaitu: berbagai
pendapat ahli, Melirik Undang-Undang, Pemberdayaan Masyarakat, Masyarakat
Kawasan Tertinggal, Program Mehaga lewu, Masyarakat Kawasan Tertinggal, Kiprah PLS, Kiprah Mahasiswa PLS Dalam
Pemberdayaan, Peran Pendidikan Tenaga Kepdidikan, kualifikasi
pendidik, Perubahan Sosial Alamiah, Harapan dan Kenyataan. Untuk lebih jelasnya
hal-hal di atas, akan diurakan secara deserhana berikut ini:
Berbagai Pendapat Ahli
Mengenali kiprah PLS sebenarnya “kiprah” adalah:
suatu perbuatan baik secara perseorangan ataukah berkelompok dalam melakukan
sebuah gerakan khususnya berupa pendidikan luar sekolah, baik dalam cara
spontan dengan proses yang cepat maupun
secara perlahan. Namun kiprah dalam proses pendidikan luar sekolah ini, suatu
kegiatan yang secara sadar berencana baik akan, sedang maupun telah dilakukan
dalam proses pendidikan luar sekolah.
Bagaimana
sebenarnya desa tertinggal, bila kita mengkaji apa itu desa tertinggal, tidak
terlepas pada istilah desa: menurut: Tim Akar Media (2003; 105)
menyebutkan:”…desa adalah sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan
kampung di luar kota, dusun…”. Sedangkan
tertinggal tidak lain adalah kawasan itu, masih banyak ketertinggalan dari
berbagai program pembangunan sejak masa lalu, hingga sekarang. Dengan demikian
desa tertinggal adalah merupakah suatu desa yang berada di kawasan pedesaan ada
kalanya berlokasi nan jauh di sana dan ada pula yang lokasinya masih dekat
dengan perkotaan. Namun desa tertinggal tinggal ini selalu ketinggalan dari
berbagai program pembangunan, termasuk dalam upaya pemberdayaannya.
Melirik
Undang-Undang
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) nomor 20 tahun 2003 secara jelas memandu kita, pada pekerjaan
sehari-hari di bidang pendidikan. Untuk itu, penulis dalam kesempatan ini,
memberikan sedikit apa yang diketahui tentang peran pendidik dan tenaga
kependidikan dalam masyarakat di tanah air kita tercinta ini.
Kalau kita memperhatikan dan
mengenali pasal 39 dari Undang-undang di atas, (1) tentang tenaga kependidikan
adalah bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan,
pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang berhasilnya proses pendidikan
pada satuan pendidikan. Berbicara tentang tenaga kependidikan ia bertugas
menjalankan administrasi pendidikan baik dalam pengelolaan, pengawasan dengan
cara dalam hal-hal menjalankan pengawasan dan pelayanan teknis di institusi
atau lembaga pendidikan. Tentu saja jalur pendidikan dimaksud baik formal
maupun non formal.
Di pihak lain, apa itu tugas
tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan, baik ia dalam tugas
di pendidikan non formal (pendidikan luar sekolah) seperti: penilik dan pamong
belajar. Demikian juga dalam tugas pendidikan formal seperti: pengawas,
peneliti dan pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar. Namun
demikian untuk diketahui bersama bahwa pada jalur pendidikan luar sekolahpun
juga, ada tenaga seperti peneliti, pengembang media belajar dan teknisi sumber
belajar masyarakat.
Dipihak lain bila kita
mencermati apa sebenarnya pendidik itu berdasar pasal 39 ayat (2) maka hal ini
ia merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
terutama bagi pendidik dan perguruan tinggi.
Pemberdayaan
Masyarakat
Sungguh menggembirakan, jika
digulirkannya konsep dari program pemberdayaan masyarakat untuk kalangan
masyarakat pedesaan. Terlebih bagi mereka yang secara sengaja ataukah kebetulan
terlahir hingga dewasa di kawasan desa
tertinggal.
Pemberdayaan tentu kalau kita
memperhatikan asal katanya “daya” yang ditambah awalan pember dan akhiran an.
Jika diperhatikan istilah daya Tim Akar
Media (2003; 100) bahwa:”…suatu kekuatan, tenaga pengaruh akal dengan cara
ihktiar…” Sementara Djudju Sudjana (2000) bahwa:”…menyejelaskan daya adalah
banyak macamnya. Ada dari alam, tenaga air, angin, listrik, mata hari
dsb…”. Sehingga hal itu, akan
memimbulkan sebuah daya. Namun dalam upaya pemberdayaan masyarakat ini, tentu
saja sasarannya warga masyarakat. Untuk tujuan memberikan motivasi dalam proses
belajar memberlajarkan mereka dengan
tujuan pendidikan non formal ataukah in formal.
Jika kita mengkaji konsep lama tentang
pemberdayaan masyarakat di pedesaan,
tidaklah salah penulis mengambil pendapat salah seorang tokoh senior PLS kita:
Sanapiah Faisal (1981) bahwa: “…yang disebut masyarakat pedesaan mereka itu,
tinggal kebanyakan tidak terjangkau aliran listrik…”. Konsep di atas walau
disadari dewasa ini, sudah tidak lagi seluruhnya benar (terwujud), namun tempat
tinggal masyarakat kita sungguh ciri
itu, mulai dirambah oleh teknologi. Karena sekarang di berbagai pedesaan di
tanah air ini, sudah sulit membedakan kalau hanya dengan alasan aliran listrik.
Karena masyarakat telah banyak yang memiliki kemampuan membeli mesin listrik.
Apakah mereka di pinggiran kota ataukan di pedesaan sekalipun.
Dalam sudut pandang lain, Sanapiah
Faisal (1981) bahwa:”...masyarakat membagi dalam 3 kelompok besar,
masing-masing; Pertama: masyarakat perkotaan; Kedua: masyarakat
pinggiran kota; dan Ketiga: masyarakat desa pedesaan...”. Dari 3 kelompok di
atas, penulis dalam kesemptan ini mencoba mengurai terhadap keadaan masyarakat
sekarang sebgai berikut:
Menilik
masyarakat perkotaan sungguh luar biasa. Karena mereka berada dalam wilayah perkotaan yang berhadapan
dengan segala lapisan masyarakat selalu ada konpleks. Apakah mereka golongan
kaya, menengah hingga miskin, selalu ada di perkotaan. Bahkan tidak menutup
kemungkinan perkotaan menjadi objek masyarakat untuk mengadu nasib sehingga
mereka berhadapan dengan 2 pilihan untuk datang ke kota. Masing-masing tidak
lain kecuali jadi miskin atau kaya. Dan di perkotaan tidak dapat berhasil baik
kecuali harus memiliki skills dan pendidikan. Kalau hanya dengan kekuatan otot
lebih banyak gagal dari keberhasilannya. Mareka yang sudah menghadapi berbagai
kegagalan, akhirnya memilih menempati kawasan yang agak kosong untuk mencari kawasan yang lebih keluar kota untuk
membuka usaha lain.
Dalam
kawasan perkotaan, lapangan kerja sangat ditentukan dengan pendidikan. Di
perkotaan juga fasilitas belajar lebih banyak dan selalu kualitasnya lebih
baik. Diperkotaan memberikan harapan besar kepada mereka yang memperoleh
pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, di perkotaan sangat memperhatikan
bedang kesehatan. Dan berbagai fasilitas lainnya selalu tersedia di kota.
Masyarakat
pinggiran kota, yang serba tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan, namun
untuk menyesuaikan dengan tuntutan kehidupan, mereka ini dalam posisi yang
serba tanggung. Kenapa demikian? Karena untuk ikut bertahan sebagai masyarakat
pedesaan, sementara kehidupan masyarakat kota tidak bisa mereka biarkan begitu
saja. Merekapun perlu untuk menyesuaikan dengan perkembangan kehidupan
masyarakat kota. Namun terkendala dengan segala biaya yang serba mahal.
Termasuk juga pola kehidupan perkotaan yang menuntut serba modern. Dari hal-hal
di atas, tidak menutup kemungkinan mereka terbawa arus. Sehingga membuat mereka
jadi serba susah dalam menghadapi segala tuntutan kehidupan. Sementara kalau
mreka bertahan sebagai masyarakat pinggiran kota, membuat kehidupannya tambah
melarat karena lapangan pekerjaan, persaingan berbagai macam dalam kehidupan
masyarakat pinggiran kota ini sungguh menyedihkan.
Dalam sudut
pandang lain, desa mereka menjadi tempat di bangunnya berbagai perusahaan,
namun tuntutan keterampilan kerja membuat mereka gigit jari karena untuk
bekerja dituntut persyaratan tertentu yang tidak dapat mereka penuhi. Akibatnya
pekerja perusahaanpun harus didatangkan tenaga kerja dari luar. Sehingga masyarakat
pinggiran kota ini hanya sekedar jadi penonton belaka. Mereka dihadapkan dalam
posisi sulit untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Sekarang
bagaimana mereka yang tinggal di desa pedesaan. Penulis melirik dengan berbagai
hasil penelitian yang cukup panjang. Mereka yang bermukim di kawasan desa
pedesaan sungguh menyedihkan, karena
tidak semua program yang dilancarkan pemerintah bertujuan memberdayakan
mereka sesuai dengan kebutuhan. Kemudian program pemberdayaan itu hanya
sebagian kecil yang menikmatinya. Karena area lokasi mereka yang tersebar tidak
merata. Ditambah jumlahnya tidak banyak
dan tidak merata, ditambah lagi sebaran yang tidak merata, membuat
program-program yang dilancarkan pemerintah kurang bisa menyentuh pada semua
masyarakat desa pedesaan. Karena dana yang tersedia tidak memadai disertai
perencanaan yang kurang akurat dan kurang matang.
Selain itu, untuk mensejahterakan masyarakat kawasan ini sudah lama oleh
pemerintah, diantaranya sarana pendidikan, kesehatan. Namun tenaga guru yang
ditugaskan kurang memberikan curahan hati dan tenaganya untuk menjalankan
tugasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Demikian juga program-program
pemerintah lainnya.
Kehidupan masyarakat yang bermukim di kawasan desa tertinggal masih belum
mengetahui secara jelas apa sumber daya alam yang ada di kawasan mereka. Mereka hanya tahu apa yang pernah
mereka lakukan. Menurut Darlan (2002) bahwa:”...Akibat ketidak tahuan mereka
itulah yang muncul sebagai penomena penulis juga meneliti kawasan desa tertinggal
kawasan pantai yang sejak nenek moyang merekamenanam dan memelihara perkebunan
kelapa. Nanum yang mereka ketahui kelapa hanya buah kelapa di kupas, dijual
atau dijadikan minyak goreng dan kopra. Sementara yang lainnya belum diolah
karena ketidak tahuan mereka. Padahal kalau kita mengkaji secara teliti
sebatang pohon kelapa punya 48 manfaat untuk kehidupan masyarakat manusia...”.
Program Mehaga lewu
Bila berbicara tentang program mehaga lewu di Kalimantan Tengah adalah hal
ini merupakan suatu konsep tersendiri bagi masyarakat pedalaman. Upaya
pemberdayaannya lebih cenderung pada para tokoh masyarakat. Apakah tokoh agama
(toma) ataukan tokoh masyarakat (toma), yang setiap hari dan tanggal tertentu
diadakan pertemuan dengan mereka.
Arti program ”mahaga lewu” adalah diambil dari bahasa daerah, yang artinya
yaitu program pemeliharaan desa. Program ini sebenarnya bagian dari
pemberdayaan masyarakat, seperti yang dilaksanakan program pemberdayaan
masyarakat di provinsi lain.
Kegiatan seperti ini, memang belum banyak dilaksanakan sebelumnya. Terlebih
dalam peristiwa pertemuan dengan masyarakat. Sehingga sepertinya program ini
kalangan politikus menyebut sebuah konsep politik untuk mencapai tujuan
tertentu. Dipihak lain. Pertemuan dengan warga masyarakat bisa membuat sebelah
pihak senang dan dipihak lain kurang menyenangi. Sehingga jumlah pertemuan
rutin orang datang hanya sebatas itu-itu saja. Paling dikhawatirkan bagaimana
bila pertemuan itu bila tanggal telah ditetapkan oleh pejabat, tidak ada
kepastian yang secara tiba-tiba ada undangan pemerintah pusat secara mendadak,
maka tidak boleh diwakilkan misalnya.
Sementara tanggal rutin yang ditetapkan mereka dari desa-desa nanjauh di sana
sudah datang. Namun pertemuan yang mereka tentukan ternyata penguasa daerahnya
tidak dapat hadir, membuat calon perserta rapat jadi kecewa.
Keharidan para tokoh masyarakat
dalam hal itu, tidak sudah diketahui bahwa mereka menuntut hal-hal tertentu. Tentu saja kehadiran
mereka memenuhi undangan, tentu akan ada maunya. Nah bila tidak dapat dipenuhi
oleh pemimpin daerah, maka akan menjadi cemoohan masyarakat.
Masyarakat Kawasan Tertinggal
Berbicara
tentang Percepatan Pembangunan Desa Tertinggal, Albertus, (2010) menyebutkan bahwa:”…Kegiatan
ini diawali dengan pembentukan Desa Mandiri berjumlah 288 desa. Setiap desa
mendapat dana pembangunan sebesar Rp 250 juta yang akan dimanfaatkan untuk
usaha-usaha produktif seperti pembangunan peternakan sapi dan budi daya jagung.
Dua jenis
usaha itu merupakan bagian dari empat tekad pembangunan NTT. Dua lainnya ialah
pembangunan koperasi dan penanaman pohon cendana...”. Fokus tulisan dari hasil
penelitian diarahkan ke ternak dan jagung, tetapi bisa berkembang ke usaha lain
sesuai karakteristik di desa tertinggal. Program ini untuk mendukung ketahanan
pangan.
Menurut
arti kriteria desa penerima program ditentukan sesuai jumlah penduduk miskin di
daerah itu. Penduduk miskin terbanyak mendapat prioritas utama, dan masih akan
bertambah untuk tahun anggaran berikutnya. Kriteria lainnya desa tersebut harus
terpencil, tidak sedang menerima program pengentasan penduduk miskin dari data pemerintah,
dan infrastruktur pelayanan sosial seperti air bersih, sanitasi, dan ruang
layak huni masih rendah dan kurang layak.
Langkah
membangun kawasan desa tertinggal ini adalah upaya strategis pemerintah
mendorong percepatan pembangunan di Indonesia, khususnya yang berbasis pada
desa. Menurut H.M. Lukman Edy (2008) bahwa:”…hal ini juga
didasari nilai dan komitmen pemerintah untuk membangun desa, yang tentunya
bukan hanya milik pemerintah semata, tetapi juga menjadi tanggung jawab semua
komponen bangsa, warga masyarakat, pemerintah dan siapa saja yang mau berkiprah
membangun desa. Masa lalu sentralisasi pembangunan di era Orde Baru harus mampu
dijadikan motivasi untuk melakukan pembangunan secara menyeluruh, baik lintas
sektoral, lintas wilayah, maupun lintas bidang...”.
Salah satu
komitmen yang dilakukan pemerintah sekarang adalah mendorong percepatan
pembangunan khususnya di dasa-dasa tertinggal, termasuk juga kawasan desa
tertinggal. Data resmi (2008) Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
menyebutkan, terdapat 38.232 (54,14%) kategori desa maju, yang terdiri atas
36.793 (52,03) kategori maju dan 1.493 (2,11%) kategori sangat maju.
Adapun desa
tertinggal berjumlah 32.379 (45,86%), terdiri atas 29.634 (41,97) kategori
tertinggal dan 2.745 (3,89%) kategori sangat tertinggal. Ketimpangan inilah
yang menjadi komitmen pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan desa
tertinggal. Sementara itu, fakta tentang desa tertinggal menyebutkan bahwa desa
yang belum dapat dilalui mobil sebanyak 9.425,desa yang belum ada sarana
kesehatan sejumlah 20.435 desa, desa yang belum ada pasar permamen sebanyak
29.421, desa tertinggal yang belum dialiri listrik sebanyak 6.240 desa.
Jumlah ini, cukup besar. Dan rata-rata keluarga miskin di desar tertinggal
adalah 46,44% dan IPN desa tertinggal sebesar 66,46.
Data di
atas, walau antara teori yang digulirkan oleh: Sanapiah Faisal (1981) lalu
masih dirasakan, seperti ciri desa di pedesaan masa lalu yaitu: desa-desa yang
belum dialiri listrik. Desa miskin dan belum terjangkau listrik, menurut hasil
penelitian Dr. Colly, MD (1986) bahwa: ”...di jawa tengah ia menyebutkan daerah itu, pertumbuhan kelahiran relatif
masih tinggi...” Hal ini beralasan bahwa: masyarakat desa tertinggal bila malam
tiba, mereka tidak banyak pirikan seperti halnya orang kota. Mereka karena
tidak memiliki kesibukan dan penerangan lampupun kecuari lampu tembok, cuma
seadanya. Maka bila anak pada masuk ke tempat tidur, orang tuanya pun juga
menyelesaikan hajadnya sebagai suami istri sebelum tidur. Sehingga angka
kelahiranpun tidak dapat ditekan secara besar-besaran.
Peran PLS
dalam upaya ini juga sangat terkendala. Karena fasiltas lampu yang tidak
mendungkung dalam proses belajar membelajarkan di malam hari. Mereka hanya
bertemu di kelompok belajar (kejar) di sore hari, sementara saat yang sama
mereka juga terikat untuk bekerja ke sawah/ladangnya. Sehingga hingga
masyarakat kawasan tertinggal ini, dalam hal ini, terkendala dalam hal proses
membelajarkan masyarakat.
Masyarakat
kawasan desa tertinggal, mereka ini sejak lahir hingga meninggalkan dunia fana
ini, tinggal di lereng bukit, tepi danau, pesisir laut, tepi sungai. Masih
banyak yang belum mengenyam dunia pendidikan formal. Seperti SDN, MI, SMP dan
SMA, dan sejenisnya. Salah satunya adalah melalui pendidikan non formal. Namun
bagaimana kita ketahui bersama, keterjangkawan tenaga kita masih sangat
terbatas. Sementara tenaga yang pepatah menyebutkan adalah bagaikan: ”tidak ada
rotan akarpun berguna”. Itulah sebabnya pekerjaan PLS berwarna warni di tanah
air kita. Jika sekiranya tenaga pendidik kependidikan pendidikan non formal dan
informal (TPK-PNFI) betul-betul dari mereka yang betul-betul terdidik ke arah
PLS, dan mau berkiprah kepada PNFI, tentu saja hasilnya beda dengan sekarang. Kendala juga dihadapi,
adalah tidak meratanya jurusan/studi PLS di provinsi di Indonesia.
Kiprah PLS
Dalam masa
reformasi dewasa ini, PLS belum dapat berkiprah secara maksimal termasuk di kawasan desa tertinggal. Hal ini disebabkan
dengan beberapa alasan berikut:
1.
Kehadiran PLS masih dilihat sebelah mata;
2.
Kehadiran TLD yang menutup peluang PLS;
3.
Formasi lapangan kerja masih tertutup.
Untuk lebih
jelasnya hal-hal di atas, penulis uraikan sebagai berikut:
Pertama: Tidak semua orang
mengerti dan tahu tentang PLS kita ini. Misal di kalangan pejabat sturuktural
yang tahu bahwa ia ikut diklat di berbagai penjenjangan, bahwa pendidikan yang
ia ikuti itu adalah bagian dari pendidikan luar sekolah. Demikian juga
dikalangan masyarakat luas bahwa PLS hanya sekedar untuk pemberantasan buta
huruf. Padahal mereka, pernah ikut berbagai kursus. Misalnya kursus komputer,
kursus bahasa, mengemudi, pertukangan, perbengkelan. Dan kursus-kursus tersebut
adalah bagian pendidikan luar sekolah atau sekarang disebut dengan pendidikan
non formal.
Kedua: Pemerintah ingin
segera menuntaskan segala program pendidikan non formal dan informal dengan
menempatkan TLD sebagai tujuan program mereka ini, dapat mempercepat lajunya pertumbuhan
pembangunan. Namun dari hasil penelitian secara cermat dan hati-hati, hasilnya
tidak demikian. Karena sarjana yang diangkat bukan tenaga yang terdidik ke arah
itu, hasilnyapun diragukan. Mereka setelah mendapat NIP dari Kementrian Diknas,
karena tidak sanggup bergulat dengan berbagai program PLS di lapangan, ternyata
sudah banyak mereka yang pindah dari Subdin atau bidang PLS (pendidikan non formal dan informal) ke
instansi yang sesuai dengan bidang keilmuannya. Berarti lapangan kerja untuk
TLD ini, adalah merugikan bagi sarjana PLS dan Subdin/Bidang PLS membukakan
pintu PNS bagi non PLS.
Ketiga: Bila melihat lapangan
kerja sepertinya tertutup. Kalau kita cermati masih ada hal-hal diperhatikan
sebagai berikut: tawaran formasi kerja terhadap sarjana PLS sepertinya tidak
ada, padahal kekurangan. karena masa era reformasi ini, ternyata kebebasan
untuk mengusul calon tenaga kerja melalui BKD atau apa istilah lain, cukup
memprihatinkan. Mereka para berokrasi mengusul ke perencanaan kepegawaian berdasar
daftar keluarganya yang belum mendapatkan lapangan kerja. Tapi tidak melihat
sarjana mana yang tepat dan akurat untuk menggulir pekerjaan yang sangat teknis
di Subdin/Bdang PNFI dan BP2NFI atau SKB. Belum lagi instansi terkait lain
seperti: Depsos unuk pekerja sosial, BKKBN untuk PLKB dll. Hasilnya dapat kita
lihat sendiri sarjana yang non PLS tidak betah bekerja di tempat itu, karena
bukan bidang kesarjanaannya. Akhirnya setelah diangkat beberapa waktu kemudian
pikir pindah ke bidang /instasi dinas keilmuannya. Maka tenaga kita hilang,
akhirnya menjadi cemoohan masyarakat bahwa ”...PLS/PNFI menerima PNS dari
bidang lain, setelah mereka dapat NIP sudah memikir pindah. Sementara sarjana
pada bidangnya tidak tertampung...” karena
berbagai alasan.
Kiptah PLS di pedesaan melalui
pendirian PKBM menurut: Rina (20007) adalah:”... bisa lebih total dalam
mengabdikan diri untuk memberdayakan masyarakat melalui pendidikan non formal. Ada
yang menjadikan rumahnya sebagai kantor sekaligus tempat pembelajaran bagi kelombok
belajar PAUD. Keberadaan Kejar ini, sangat diminati oleh masyarakat di desa,
karena mereka mulai tumbuh kesadaran
membelajarkan anak, terlebih kalau ada yang gratis. Ini bisa dimaklumi,
mengingat kehidupan masyarakat disini masih kurang menaruh perhatian pada biaya
pendidikan anak-anaknya. Mereka berpikir anak adalah aset keluarga yang harus
dilibatkan membantu ekonomi orang tua, sehingga kebanyakan dari mereka setelah
lulus SD, anak-anak langsung dipekerjakan orang tuanya bekerja di sektor
pertanian, tambak dan bekerja sebagai buruh pabrik yang banyak berdiri di
sekitar desa. Selain kejar paket yang ada di desa dan berkiprah mendirikan PKBM
juga yang mempunyai binaan kejar. Program PNFI yang ditangani selain pendidikan
kesetaraan adalah menyelenggarakan program Keaksaraan Fungsional dan
penyelenggaraan PAUD yang diberi nama Kelompok Bermain: “CAHAYA BUNDA”
serta kursus bahasa inggris untuk instruktur anak usia dini.
Kiprah untuk program keaksaraan
fungsional, PKBM membina beberapa kelompok,
dimana sampai saat ini keberadaan kelompok tetap berjalan dengan kegiatan
ekonomi produktif yang dapat diakses ke perkotaan berupa usaha pembuatan
banding presto dan rempeyek. “Lumayan hasil penjualannya bisa untuk memperbesar
kas kelompok setelah dipotong biaya operasional. Harus disadari bahwa upaya
memberdayakan dan membelajarkan masyarakat melalui program pendidikan luar
sekolah, harus sabar dan telaten, mengingat masyarakat yang menjadi sasaran
didik kebanyakan terdiri dari golongan kurang mampu secara ekonomi, sehingga
mereka masih disibukkan oleh upaya mencari nafkah ketimbang mikir peningkatan
mutu hidup melalui pendidikan.”
Kiprah para
pejuang pendidikan luar sekolah dan kesehatan seperti: Dian Sofianty
dan Mehdinsareza W. (2007) mereka melihat:“...Jika
dibandingkan dengan awal mula ketika berdiri kelompok belajarnya, untuk
sekarang respon para pedagang sudah mulai bagus dan positif...”. Sosialisasi
mereka pun tidak terbatas hanya para
pedagang saja, tetapi terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar Desa Tertinggal.
Kiprah mereka yang tidak mengenal waktu berjalan itu, dari kampung ke kampung untuk
sosialisasi program. Diawal awalnya hanya memiliki satu orang murid (warga belajar) ini,
kemudian berkembang terus hingga memiliki puluhan murid...”.
Dari sudut
lain bagaimanapun juga kepentingan untuk mengenyam pendidikan dan kesehatan
merupakan kepentingan dasar bagi setiap orang tak terkecuali mereka yang
tinggal di kawasan desa tertinggal. Biaya pendidikan terkadang menjadi momok
bagi para orang tua yang akhirnya memutuskan hal tersebut. Namun kesadaran para
orang tua menganggap hal tersebut sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang
anak didik menjadi salah satu faktor yang tidak kalah pentingnya untuk
dipertimbangkan kembali.
Melihat
aktivitas berbagai instansi terkait untuk kawasan perkotaan Jawa Timur yang
postif ditiru. Mereka ini tentu bukan tanpa tujuan tempat kelompok belajar tersebut
dibuat di pasar. Kepala Puskesmas Jagir, sebagai Tim eHealth di kantornya, ia seorang
dokter: Sri Peni Tjahyati (2008)
menjelaskan bahwa:”...awalnya tempat tersebut bukanlah semata-mata sebagai
tempat Posyandu. Tempat tersebut, awalnya merupakan Tempat Penitipan Anak (TPA)
bagi anak-anak pedagang, namun tercetus ide dari beberapa instansi, bahwa
daripada hanya penitipkan, bagaimana kalau diadakan PAUD juga dan sekaligus
Posyandu jelasnya. Maka tahun 2005, Pos tersebut di bangun berdasarkan
kerjasama dari beberapa instansi yakni dari: Dinas Pendidikan, PD Pasar, PKK
Kota Surabaya dan juga Dinas Kesehatan Kota yang diwakili oleh Puskesmas Jagir...”.
Dengan demikian kemajuan, kemudahan
disertai fasilitas pendidikan dan kesehatan serba tersedia dalam upaya kiprah
pihaknya sebagai pelaksanan di lini lapangan sangatlah mudah dalam turut serta
membina kelompok belajar untuk memajukan bidang pendidikan dan kesehatan.
Sebaliknya di kawasan desa tertinggal tentulah tidak semudah yang diuraikan di
atas. Karena di kawasan itu, pengambil kebijakan di tingkat lini selalu ada di
tempat. Sementara di kawasan pedesaan sering
terkendala karena mereka itu, sering tidak bersamaan berada di tempat tugasnya.
Dan mereka petugas lini lapangan ini kurang mau berkoordinasi seperti contoh di
perkotaan Surabaya karena punya
kesibukan yang berbeda.
Kiprah Mahasiswa PLS Dalam Pemberdayaan
Kiprah
mahasiswa PLS dalam upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan belum nampak di
tanah air. Hal ini karena perguruan tinggi yang memproduk PLS tidak di semua
perguruan tinggi negeri. Kecuali di Jawa Timur seperti: Malang, Surabaya dan
Jember. Sementara yang swasta banyak di Jawa Barat, 1 di DIY dan 1 Univesitas
Muhammadiyah di Sulawesi Tengah.
Dengan
memperhatikan sebaran yang tidak merata, juga turut mempengaruhi kiprah
mahasiswa PLS dalam upaya pemberdayaan kita kemasyarakat. Sebab Universitas
Negeri saja tidak di semua provinsi ada. Sementara perguruan tinggi swasta
terbesar di Jawa Barat, Jakarta, DIY dan Sulawesi Tengah.
Pemberdayaan
mahasiswa melalui KKN dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui Lembaga
Pengabdian kepada Masyarakat terasa mengecewakan. Karena ada perguruan tinggi
yang tidak memiliki jurusan/prodi PLS tentunya diberikan oleh mereka yang bukan
sarjana PLS dalam pembekalan KKNnya. Akibatnya kiprah PLS sungguh belum
waktunya memberikan warna di tanah air.
Lab PLS
tentu dalam mengerahkan mahasiswa untuk praktek Ke-PLS-an masih juga belum
dapat mewarna kiprahnya. Karena ada dugaan di masing-masing Lab PLS di
perguruan tinggi belum banyak mengadakan pertemuan sesama pengelolanya. Untuk
sementara ini, menurut dugaan penulis masih sepertinya jalan di tempat
masing-masing. Sehingga kiprah mahasiswa belum banyak dikenal masyarakat. Dan
masyarakat sepertinya aneh melihat kalau
ada kegiatan mahasiswa PLS di lapangan. Hal ini juga membuat kiprah kita jadi
tidak banyak dikenal masyarakat.
Penulis
menyadari kiprah mahasiswa PLS bukan berarti tidak ada sama sekali. Sebenarnya
sudah banyak, namun diiringi luarnya wilayah tanah air kita, disertai jumlah
penduduk yang tidak merata, membuat kiprah kita belum dirasakan oleh semua
orang itulah, dalam Sub topik terdahulu tentang kehadiran PLS di masyarakat,
dilihat dengan sebelah mata.
Peran Pendidikan Tenaga Kepdidikan
Bila memperhatikan tentang pendidik tenaga kependidikan (PTK)
bersama Warga Belajarnya Dalam Pemberian Keterampilan
Kewajiban Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kalau kita mengkaji terhadap PTK-PNF minimal ada 3 kewajiban mereka tenaga kependidikan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Adapun ke 3 hal tersebut menurut Darlan, (2010) sebagai berikut:
Kewajiban Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kalau kita mengkaji terhadap PTK-PNF minimal ada 3 kewajiban mereka tenaga kependidikan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Adapun ke 3 hal tersebut menurut Darlan, (2010) sebagai berikut:
1.Berkewajiban menciptakan
suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, punya keratif, dinamis dan
dialogis;
2.Berkewajiban mempunyai
kometmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan luar sekolah;
dan
3.Berkewajiban memberi
teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan
kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Dari ke 3 hal di atas,
suatu kewajiban yang harus diciptakan oleh masing-masing pendidik dan tenaga
kependidikan - pendidikan non formal dan infomal (TPK-PNFI) dalam menjalankan
tugasnya. Agar dalam menjalankan profesinya dapat menjadi contoh bagi orang
lain, baik di perkotanaan maupun pedesaan.
Kualifikasi
Pendidik
Bila kita perhatikan dalam hal kualifikasi dan jenjang
pendidikan, maka perlu diperhatikan pada hal-hal sebagai berikut:
1. Pendidik harus memiliki kualitas minimum
dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional;
2.Pendidik untuk pendidikan formal pada
jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
Kualialifikasi pendidik tentu saja tidak bisa bagaikan
semudah membalik telapak tangan. Karena tugas mereka yang sangat mulia ini,
tidaklah mudah dengan hanya diberikan satu atau dua hari atau satu dua bulan.
Tapi pendidikan luar sekolah tentu memperoleh tenaga yang berkualitas
menggunakan waktu 4 – 5 tahun. Jadi atas ketidak pahaman masyarakat selama ini,
tentang pekerjaan PLS hanya sebatas ”pembarantasan buta huruf”, tidaklah
seluruhnya demikian. Pekerjaan PLS sungguh luas dan memerlukan keahlian
tersendiri.
Perubahan Sosial Alamiah
Belajar
dari pengalaman memang sebuah peristiwa penelitian yang berbeda-beda, ternyata
ada perubahan diantaranya yang jatuh pada masa sekarang dengan masa sepuluh
sampai lima belas tahun silam. Ada beberapa hal yang dilihat secara alamiah
desa-desa tertinggal ini, pasti ada terjadi perubahan sosial secara alamiah. Hal ini seperti:
1.Masyarakat yang angka tuna aksara semakin berkurang;
2.Walau mereka tidak banyak berkomunikasi ke luar desa, tapi mereka tahu
perkembangan desa, kota lain;
3.Modernisasi desa pasti terjadi walau secara lamban.
Dari konsep
kemajuan perubahan pembangunan masyarakat desa menurut Piott Sztompka (2004;
23) bahwa:”... terlihat ciri-ciri fundamental kondisi kehidupan manusia; adanya
jurang abadi antara kenyataan dan harapan...”.
Dalam
perubahan sosial, secara alamiah terjadi sebagai akibat mereka: melihat,
mendengar, memperhatian, terhadap desa
lain. Selain itu, pemikiran masyarakat
lambat laun termotivasi baik dari dalam dirinya maupun dari luar. Ingin
menjadikan desa yang lebih maju dari masa sebelumnya. Sehingga perubahan sosial
secara alamiah ini tidaklah atas datagnya bantuan pembangunan dari pemerintah,
tapi secara alamiah tersebut muncul dari berkembang desa itu sendiri.
Sebenarnya bantuan pembangunan dari pemerintah kalau sangat tanggung/tidak
memadai, justru memanjakan masyarakat. Sehingga jiwa gotong royongnya mereka jadi hilang.
Perubahan Sosial Alamiah
Belajar
dari pengalaman memang sebuah peristiwa penelitian yang berbeda-beda, ternyata
ada perubahan diantaranya yang jatuh pada masa sekarang dengan masa sepuluh
sampai lima belas tahun silam. Ada beberapa hal yang dilihat secara alamiah
desa-desa tertinggal ini, pasti ada terjadi perubahan sosial secara alamiah.
Hal ini seperti:
1.Masyarakat yang angka tuna aksara semakin berkurang;
2.Walau mereka tidak banyak berkomunikasi ke luar desa, tapi mereka tahu
perkembangan desa, kota lain;
3.Modernisasi desa pasti terjadi walau secara lamban.
Dari konsep
kemajuan perubahan pembangunan masyarakat desa menurut Piott Sztompka (2004;
23) bahwa:”... terlihat ciri-ciri fundamental kondisi kehidupan manusia; adanya
jurang abadi antara kenyataan dan harapan...”.
Dalam
perubahan sosial, secara alamiah terjadi sebagai akibat mereka: melihat,
mendengar, memperhatian, terhadap desa
lain. Selain itu, pemikiran masyarakat
lambat laun termotivasi baik dari dalam dirinya maupun dari luar. Ingin
menjadikan desa yang lebih maju dari masa sebelumnya. Sehingga perubahan sosial
secara alamiah ini tidaklah atas datagnya bantuan pembangunan dari pemerintah,
tapi secara alamiah tersebut muncul dari berkembang desa itu sendiri.
Sebenarnya bantuan pembangunan dari pemerintah kalau sangat tanggung/tidak
memadai, justru memanjakan masyarakat. Sehingga jiwa gotong royongnya mereka jadi hilang.
Harapan dan Kenyataan
Sungguh
banyak kalangan yang memusatkan pikirannya terhadap masyarakat kawasan
tertinggal. Karena objeknya sungguh luas,
dengan sebaran yang tidak merata, dan anggaran yang masih terbatas,
mengakibatkan program-program yang dilancarkan tidak banyak menyentuh pada
masyarakat kawasan desa tertinggal.
Sejujurnya
bahwa tidak ada masyarakat kawasan desa tertinggal yang ingin selalu miskin.
Apakah miskin pencaharian, miskin pendidikan dsb. Namun mereka selalu berharap
kapan desa mereka mendapat kecuran pemberdayaan. sehingga ada kalanya
program-program yang diluncurkan tersebut ternyata tidak banyak menyentuh pada
mereka dengan berbagai alasan mereka berkilah.
Dari hasil
penelitian di berbagai provinsi di Indonesia, kenyataannya bahwa pemberdayaan
yang sudah dan sedang bergulir memerlukan pengkajian lebih mendalam lagi.
Karena dalam pemberdayaan yang digulirkan dari pihak penyedia dana kepada
masyarakat, belum banyak menunjukkan hasil yang memadai. Walau hal itu, penulis
maklumi dengan segala keterbatasan yang ada. Harapan masyarakat untuk
pemerataan pembangunan lewat pemberdayaan ini yang betul-betul sesuai dengan
kebutuhannya. Andaikata ada program inovatif, sebaiknya bermanfaat untuk semua.
Kenyataan
yang ada dalam pemberdayaan yang digulirkan tidak semuanya diketahui oleh
masyarakat. Harusnya mereka tahu terhadap apa saja bentuk pemberdayaan kita.
Sehingga harapan masyarakat ini, betul-betul dirasakan mereka.
Proses
kemajuan desa tertinggal memang sangat langka kalau terjadi semakin hari,
bulan, tahun akan menurun. Menurut Christopher Dawson (dalam Lasch 1991; 43)
Berdasar konsep peradaban umat manusia dalam peradaban barat selama hampir
3.000 tahun belum pernah ada pemikiran demikian...”. Sehingga setiap warga
masyarakat berharap pasti di desanya
mengharap terjadi kemajuan. Walau secara lambat.
Semoga
Bermanfaat Untuk Semua, Amin yarabbal’amin.
Daftar Pustaka
Albertus, 2010. Percepat Pembangunan Desa Tertinggal di
NTT, Kupang.
Colly, 1986. Angka
Kelahiran Masyarakat pedesaan, dosen Fakultas Kedokteran Komunitas (FKK) UGM,
Yogyakarta.
Darlan, H.M. Norsanie,
2002. Penelitian Masyarakat Desa tertinggal Kawasan Pantai, UPI, Bandung.
------------, 2010. Peran Pendidik dan Tenaga
Kependidikan, berita, Lembaga Kantor Beita Antara, Jakarta.
Edi Basuki dan Zainal
2007. Kiprah Tenaga Lapangan Dikmas
melalui PKBM dalam upaya memberdayakan masyarakat, Sidoarjo.
Edy, H.M. Lukman, 2008.
Membangun Bangsa, Membangun Desa, Pada Kementerian Negara Pembangunan Daerah
Tertinggal meluncurkan desa model yang dicanangkan langsung oleh Presiden RI,
Jakarta.
Faisal,
Sanapiah, 1981. Sosiologi Masyarakat Kota Dan Desa, Usaha Nasional Surabaya.
Media, Tim
Akar, 2003. Kamus Lengkap Praktis Bahasa Indonesia, Akar media, Surabaya.
Rina, 2007. Kiprah Tenaga Lapangan Dikmas melalui PKBM dalam
upaya memberdayakan masyarakat dengan ketelatenan, Sidoarjo.
Sofianty, Dian dan W. Mehdinsareza, 2007. Pos Multifungsi di
Dalam Pasar Wonokromo, Surabaya.
Sudjana, Djudju, 2000.
Pendidikan Luar Sekolah, PT. Al-falah, Bandung.
Tjahyati, Sri Peni, 2008. Membangun
kerjasama dari beberapa instansi yakni dari Dinas Pendidikan, PD Pasar, PKK
Kota dan Dinas Kesehatan Puskesmas, Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar