PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MENUNTASKAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN BAGI MASYARAKAT
DESA TERTINGGAL
Oleh:
H.M.Norsanie
Darlan
A. PENDAHULUAN
Dalam pembangunan sekarang, masih ditemukan berbagai
kesenjangan di masyarakat. Yang antara lain disebabkan oleh faktor kondisi
geografis ataupun sosial budaya, sehingga dapat menyebabkan ketertinggalan
dalam berbagai hal. Salah satu di antaranya yang kita bahas sekarang ialah
ketertinggalan masalah pendidikan jalur luar sekolah yang bila tidak segera
diatasi, ketertinggalan di bidang pendidikan tetap selalu muncul. Namun, dalam
postulat yang ada bagi masyarakat desa tertinggal selama ini, belum dirasakan
rendahnya pendidikan dapat berakibat suramnya masa depan mereka. Dengan
demikian, tanpa peningkatan pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah
maka kualitas SDM kita tidak akan meningkat.
Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 pasal 31 ayat (1) dan (2) serta Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang
sistem pendidikan nasional, secara tegas telah diatur oleh pemerintah tentang
jenis dan jalur pendidikan. Lebih lanjut dalam pasal 10 ayat (3) Jalur
pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar
sekolah, melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan
berkesinambungan. Dengan demikian, kita semua perlu dan terpanggil untuk turut
melaksanakan amanat tersebut. Strategi menuntaskan wajib belajar 9 tahun bagi
masyarakat desa tertinggal, perlu kita kaji permasalahannya dan dicari berbagai
jalan penuntasannya.
Konsep pembangunan di bidang
pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia, berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan
bangsa dan kualitas sumber daya manusia (SDM), mengembangkan manusia serta
masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, budi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keahlian dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, serta kepribadian yang mantap dan
mandiri. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta
tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan, wawasan keunggulan,
kesetia-kawanan sosial, dan kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai
jasa para pahlawan serta berorientasi masa depan. Pendidikan nasional perlu
ditata, dikembangkan, dan dimantapkan secara terpadu dan serasi, baik
antarjalur, jenis, dan jenjang pendidikan maupun antarsektor pendidikan yang
makin berkembang, efektif dan efisien, serta meningkatkan, mengutamakan
pemerataan, dan peningkatan kualitas pendidikan dasar, perluasan dan
peningkatan kualitas pendidikan kejuruan, pendidikan profesional serta
pendidikan keterampilan, dan meningkatkan pelaksanaan wajib belajar sembilan
tahun. Masyarakat sebagai mitra pemerintah harus diberi kesempatan
seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional
sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan kebutuhan, serta
perkembangan pembangunan bangsa sekarang dan masa datang. Namun bila kesadaran
mereka belum tumbuh, maka pemerintah harus berperan aktif dalam menuntaskannya.
B. KAJIAN TEORI
Untuk menghindari kesalahpahaman pengertian di atas, maka
akan diuraikan beberapa pengertian atau peristilahan, sebagai berikut :
- Strategi pembangunan menurut Hasan Shadily (1984) bahwa tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh penduduk dalam kurun waktu satu generasi, yaitu menjelang tahun 2000. Untuk mencapai tujuan ini, rangkaian sasaran menyangkut jasa-jasa umum, termasuk penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Strategi pembangunan yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh penduduk yang memerlukan perubahan sosial dan struktur yang mendalam untuk mencapai sasaran yang diinginkan.
Apa sebenarnya pengertian strategi
pendidikan luar sekolah. Menurut Prof. Harsono (1997) dalam makalahnya di seminar
nasional PLS dan Konferensi ISPPSI di Surabaya, bahwa ada hubungan erat antara
peningkatan mutu sumber daya manusia dengan pembangunan telah dimengerti,
dipahami, dan diterima oleh banyak pihak. Namun, dalam menentukan prioritas
pelaksanaannya, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, salah satunya ialah
faktor lingkungan strategis termasuk potensi tantangan dan peluang yang ada di
dalamnya. Memasuki abad XXI bangsa Indonesia dihadapkan pada fenomena
lingkungan internasional, regional, dan nasional.
Sedangkan
menurut Prof. Djudju Sudjana (1997) dalam seminar nasional PLS di Surabaya
menguraikan agar dalam strategi meningkatkan peran PLS, SDM Indonesia siap
menjadi pelaku yang memiliki daya saing komparatif, perlu memiliki sasaran yang
jitu bagi para perencana pendidikan.
Adapun
pengertian strategi PLS menurut H.M.Norsanie Darlan (1996) suatu rencana yang
cermat mengenai kegiatan pendidikan untuk mencapai sasaran. Sedangkan menurut
Prof. Santoso S. Hamidjojo (1998) strategi PLS adalah untuk meletakkan sistem
yang tangguh untuk menangani pendidikan sepanjang hidup, dengan jalur
insidental, informal, nonformal dan formal bagi semua warga negara untuk
menggalang masyarakat gemar belajar yang beradab dan demokratis (madani).
- Menuntaskan, diambil dari istilah bahasa dengan asal kata tuntas (Moeliono, 1989). Yakni suatu kegiatan pendidikan bagi seseorang untuk menuntaskan atau menghabiskan (mencurahkan semua) masa pendidikan di sekolah atau pun di luar sekolah sehingga kualitas SDM semakin tahun semakin meningkat.
Kendala dalam penuntasan
wajib belajar 9 tahun erat hubungannya dengan faktor sosial ekonomi dan budaya.
Sebagian besar orang tidak mampu menyekolahkan anaknya karena ekonominya lemah
(miskin). Apalagi sejak terjadinya krisis moneter dan krisis ekonomi melanda
Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Hal ini menyebabkan semakin banyak
penduduk menjadi miskin, jumlah orang miskin bertambah dari 20 juta sebelum
krisis dan sekarang mencapai hampir 80 juta orang. Menurut Sanapiah Faisal
(1998) hal tersebut berakibat banyak tenaga kerja yang di PHK, sehingga
berdampak negatif pula terhadap penuntasan wajib belajar 9 tahun khususnya anak
usia pendidikan dasar.
- Wajib Belajar adalah suatu tuntutan zaman yang harus dilaksanakan kepada seluruh bangsa Indonesia baik laki-laki maupun perempuan; usia sekolah 7 - 15 tahun mapun bagi mereka yang karena sesuatu hal sehingga tidak ada kesempatan mengikuti pendidikan formal. Oleh karena itu, mereka harus di tolong dengan pendidikan luar sekolah.
- Harsono (1997) mengartikan masyarakat dari 2 bahasa asing yakni (1) Dalam bahasa Arab yaitu Syrk yang artinya sekelompok manusia saling bergaul di suatu tempat dengan berbagai kesamaan. Kedua, bahasa Inggris Society yang artinya sekumpulan manusia saling berinteraksi dalam suatu wilayah tertentu dengan berbagai kesamaan satu sama lainnya.
Pendapat tokoh lain
seperti Poerwadarminto (1986) dan Moeliono (1989) mengartikan masyarakat adalah
sekumpulan orang dalam arti seluas-luasnya terikat dalam kebudayaan yang
dianggap sama. Misalnya terpelajar, cendekiawan, pedagang, pegawai, pengusaha,
petani, nelayan dll. Dalam penjelasan lain masyarakat ada yang tinggal di kota
dan di desa. Masing-masing istilah ini memiliki kekhassan tersendiri
satu sama lainnya.
C. MASYARAKAT DESA TERTINGGAL
- Arti masyarakat desa adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Sedangkan arti tertinggal/terpencil adalah terpisah dengan yang lain (Poerwadarminta, 1986 dan Anton M. Moeliono, dkk, 1989). Dengan demikian yang dimaksud masyarakat desa tertinggal adalah mereka berada jauh dari pembangunan kota, karena ketertinggalan tersebut sehingga sulit mengikuti perkembangan pembangunan, termasuk ketertinggalan dalam dunia pendidikan.
- Pada dasarnya rata-rata pendidikan dan pengetahuan masyarakat desa tertinggal relatif rendah. Demikian juga jiwa/semangat kewiraswastaan ini sudah jarang dijumpai (A.J. Nihin, 1990). Karena itu, kepada mereka perlu diperkenalkan pertimbangan-pertimbangan antara faktor out-put dan input dalam setiap usaha produksi, namun dalam bentuk yang sederhana dan terjangkau oleh pikiran masyarakat. Hal ini perlu dengan contoh, bukti, atau semacamnya.
Untuk lebih mendalami arti pendidikan luar
sekolah (Non Formal Education) menurut Prof. H.M. Sudomo (1974) adalah
setiap kegiatan pendidikan yang diorganisir di luar sistem pendidikan formal,
baik dilakukan sebagai kegiatan yang lebih luas untuk memenuhi kebutuhan
pelajar (Clientele) dalam mencapai tujuan belajar.
Pengertian pendidikan nonformal
menurut Depdiknas adalah usaha sadar yang dilakukan untuk membentuk
perkembangan kepribadian serta kemampuan anak luar sekolah atau tepatnya di
luar sistem persekolahan sebagaimana yang kita kenal sekarang.
PLS menurut Prof. Dr.H. Sutaryat
Trisnamansyah (1997) adalah konsep pendidikan sepanjang hayat yang mengandung
karakteristik, bahwa pendidikan tidak berakhir pada saat pendidikan sekolah
selesai ditempuh oleh seorang individu, melainkan suatu proses sepanjang hayat,
mencakup keseluruhan kurun waktu hidup seorang individu sejak lahir sampai
mati. Pendidikan sepanjang hayat bukan hanya pendidikan orang dewasa, yang
dimulai manakala seorang individu telah menyelesaikan pendidikan sekolah hingga
berusia dewasa.
Pengertian pendidikan secara
umum menurut Prof. H. Fuad Ihsan (1996) bahwa pedagogy atau ilmu pendidikan
ialah penyelidikan, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik.
Pendidikan bagi kehidupan umat
manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa
pendidikan mustahil suatu kelompok manusia dapat maju berkembang sejalan
aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep
pandangan hidup mereka. Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso (1981) menguraikan
PLS sebagai upaya menolong masyarakat untuk mencapai kemajuan sosial ekonomi,
agar mereka dapat menduduki tempat yang layak dalam dunia modern. Pendidikan
ini jelas ditujukan kepada masyarakat dan daerah yang terbelakang agar
masyarakat dan daerah ini dapat menyamai daerah lain yang tidak terbelakang.
D. KEADAAN DI LAPANGAN
Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan di
semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah
dan peran serta masyarakat, termasuk pendidikan di lingkungan keluarga dan
masyarakat terus dikembangkan secara merata di seluruh tanah air dengan
memberikan perhatian khusus kepada keluarga yang kurang mampu, penyandang
cacat, dan yang bertempat tinggal di daerah terpencil/tertinggal di Nusa
Tenggara Timur, sehingga makin meningkatkan kualitas serta jangkauannya.
Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa mendapat perhatian
dan pelayanan lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya
tanpa mengabaikan potensi peserta didik lainnya.
Pendidikan prasekolah,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, PLS, dan pendidikan
kejuruan harus terus ditingkatkan pemerataan, kualitas, dan pengembangannya
untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademik dan profesional serta kemampuan kepemimpinan yang tanggap
terhadap kebutuhan pembangunan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek), berjiwa penuh pengabdian dan memiliki rasa tanggung jawab
yang besar terhadap masa depan bangsa dan negara. Kehidupan kampus dikembangkan
sebagai lingkungan ilmiah yang dinamis sesuai dengan disiplin ilmu dan
profesional, yang berwawasan budaya bangsa, bermoral Pancasila, dan
berkepribadian Indonesia.
Perguruan tinggi terus diusahakan untuk lebih mampu menyelenggarakan
pendidikan, penelitian, dan pengkajian di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta memberikan pengabdian kepada masyarakat yang bermanfaat bagi
kemanusiaan dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan sejalan dengan iklim yang
makin demokratis yang mendukung kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik,
dan otonomi perguruan tinggi.
Pidato tertulis Mendikbud RI
dalam rangka hari pendidikan nasional patut pula kita mengungkapkan rasa syukur
yang mendalam bahwa ternyata hasil-hasil pembangunan yang telah kita capai
selama ini, sangat menggembirakan. Kemajuan pendidikan di tanah air kita,
menunjukkan peningkatan yang sangat pesat. Terutama dilihat dari kesempatan
pendidikan yang semakin meluas pada semua jenis dan jenjang serta jalur
pendidikan. Lebih-lebih kita telah berhasil meningkatkan program nasional wajib
belajar pendidikan dasar dari 6 tahun menjadi 9 tahun sejak tahun 1994. Dengan
tantangan globalisasi, kita harus menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar 9
tahun dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Pada akhir tahun 2005 diharapkan
anak usia 15 tahun telah bersekolah pada jenjang SLTP. Pembangunan
di negeri kita dirasakan sangat banyak kendala dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam
kaitan ini, kita hendaknya terus berusaha untuk melakukan upaya-upaya terobosan
guna meningkatkan jumlah tempat-tempat belajar baru, agar seluruh kelompok umur
7-15 tahun dapat tertampung.
Di antara
terobosan yang telah dikembangkan selama ini untuk menuntaskan program wajib
belajar adalah :
(a) belajar melalui SLTP
terbuka,
(b) penyelenggaraan pendidikan
luar sekolah melalui kejar paket A setara sekolah dasar (SD) dan kejar paket B
setara SLTP, serta
(c) upaya memanfaatkan
teknik-teknik pendidikan jarak jauh, melalui media cetak maupun elektronik. Bahkan
sudah ada juga Paket C setara SMA, namun kebutuhan itu harus mampu merealisasi
pada lapisan yang lebih bawah.
Perencanaan
pengadaan alat fasilitas/sarana penunjang berupa tenaga, sarana dan prasarana.
Perencanaan sarana penunjang baru dapat dilakukan setelah pola perintisan
dengan menggunakan perangkat lunak seperti kurikulum, buku paket, modul, kaset,
video, radio dll (Winarno Hani Seno 1990).
Guna
mendukung keberhasilan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan
upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan, jalinan kerjasama antara tokoh-tokoh
masyarakat (toma) tokoh-tokoh agama (toga) dan orang tua dengan pemerintah,
hendaknya juga terus ditingkatkan. Hal ini penting karena tugas pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang tua
siswa. Tanpa keterlibatan semua pihak, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
niscaya tidak akan berhasil dengan baik. Hal ini menurut Wardiman (1997) sangat
pentingnya peran pemerintah daerah untuk menyukseskan program pendidikan
nasional. Menurut Prof. Dr. H. Abdul Azis Wahab, MA (2000) ada kekeliruan
strategi pembangunan dewasa ini.
Strategi
yang dijalankan pada pelita-pelita lalu lebih mengutamakan sektor ekonomi di
garis depan. Sementara menurut ahli perbandingan pendidikan pemerintah Malaysia
dan Jepang mengutamakan sektor pendidikan di garis depan. Sebagai bukti dapat
kita lihat bahwa 2 atau 3 pelita silam warga Malaysia belajar di Indonesia
dalam ilmu pendidikan, kedokteran, dan bahkan mereka berani mendatangkan
tenaga-tenaga dosen bidang MIPA. Dalam tahun-tahun belakangan ini, ternyata
negeri mereka jauh lebih maju dibanding pembangunan kita. Tidak sedikit pemuda
kita yang belajar ke Malaysia di berbagai Universitas dan akademi.
Di pihak
lain sambutan Mendikbud RI, mengetuk hati kita bersama yang sekarang sedang
membangun dengan melaksanakan program-program perluasan pendidikan. Keberhasilan
ini serta laju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang cenderung
makin cepat mendorong kita untuk mencanangkan Gerakan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar 6 tahun pada tahun 1984. Selanjutnya, kita melangkah lebih maju lagi
dengan melaksanakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Mudah-mudahan
krisis moneter yang melanda negeri kita tercinta, tidak berpengaruh besar dalam
pembangunan bidang pendidikan.
Di Indonesia pendidikan
nonformal/pendidikan luar sekolah dikonsepkan bahwa setiap kesempatan di mana
terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah, di mana seseorang
memperoleh informasi pengetahuan, latihan ataupun bimbingan sesuai dengan usia
dan kebutuhan hidupnya, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap
dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta aktif yang efisien
dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaanya bahkan lingkungan
masyarakat negaranya (Sudomo, 1974, Sanapiah Faisal 1981). Sedangkan penulis
mengambil pengertian tentang pendidikan luar sekolah yaitu suatu pendidikan tak
terpisahkan dengan pendidikan formal, namun pelaksanaannya dilakukan di luar
sistem persekolahan di antaranya berbagai kegiatan penyuluhan guna menunjang di
berbagai bidang pembangunan bangsa (M.Norsanie Darlan, 1983).
Dengan demikian PLS mempunyai
tugas berat dalam memberdayakan masyarakat mulai usia 14 - 45 tahun di luar
sekolah yang menjadi sasaran didiknya. Sehingga pendidikan harus memberikan
berbagai kebutuhan masyarakat setempat. Menurut: H. Djudju Sudjana (2000) bahwa
PLS sangat berkembang bagi masyarakat industri. Bila kita berpikir secara
prospektif, maka dari sekarang kita mulai bergerak agar tidak tertinggal dari
negara lain.
Dalam kesempatan ini, kita
menilik terhadap kehidupan masyarakat dengan pola perladangan/pertanian yang
dilakukan masyarakat desa tertinggal. Kegiatan yang mereka lakukan dalam
berladang dimulai dari menebas, menebang hutan, dan kemudian membakar. Namun,
perlu digarisbawahi bahwa membakar hutan (hasil penelitian tahun 1997 sampai
awal 1998), ternyata di musim kemarau panjang, belum ditemukan petani membakar
hutan untuk perladangan mereka. Pembakaran terjadi oleh mereka, setelah hujan
turun beberapa kali, mereka sudah menguasai ilmu falak, dengan melihat posisi
bintang. Oleh para tokoh masyarakat (tomas) setempat dengan melihat keadaan
bintanglah baru menentukan pembakaran ladang yang akan digarap. Dan cara
membakar lokasi sudah mereka persiapan dengan membersihkan di sekelilingnya.
Sehingga pembakaran hutan dan asap tebal di musim kemarau dari hasil penelitian
penulis tidak seluruhnya benar oleh masyarakat peladang berpindah. Mereka sudah
mengerti dampak/akibat dari pembakaran tersebut bagi habitat lingkungan di
sekeliling mereka (H.M.Norsanie Darlan, 2000).
Mereka yang dimaksud masyarakat
desa tertinggal adalah bermukim di bukit-bukit, tepian sungai, di lembah,
danau, kawasan pantai, dan sebagainya. Semuanya mendapatkan hak dan kesempatan
yang sama dalam bidang pendidikan. Dalam strategi PLS untuk menuntaskan Wajar
Dikdas 9 tahun, SKB bersama Pamong Belajar sebagai ujung tombak. Bila
penempatan tenaga PLS tidak pada bidangnya, maka upaya pemerintah tidak akan
segera terwujud.
Sedangkan ciri Pendidikan Luar
Sekolah secara spesifik menurut Saleh Marzuki (1981) adalah :
1. progam jangka pendek;
2. tidak dibatasi oleh jenjang-jenjang;
3. Usia didiknya tidak perlu
sama/homogen;
4. sasaran didiknya beriorientasi
jangka pendek dan praktis;
5. Diadakan sebagai respon kebutuhan
yang mendesak;
6. Ijazah biasanya kurang memegang
peran penting;
7. dapat diselenggarakan pemerintah
dan swasta;
8. dapat diselenggarakan di dalam dan
di luar kelas.
Dalam hal ini, mungkin timbul
bertanyaan mengapa di perguruan tinggi ada jurusan atau program studi PLS?
Padahal di lain pihak pendidikan tersebut diselenggarakan di luar sistem
persekolahan. Sebagian perguruan tinggi sejak lama telah menyelenggarakan PLS.
Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli pembangunan bidang PLS.
Mahasiswa yang dididik pada jurusan atau program studi PLS adalah dididik dalam
jalur pendidikan formal. Namun, sistem berfikir mahasiswa di luar sistem
persekolahan. Seperti mengenal tuna aksara latin dan angka, ini konsep
"tempoe doeloe". Sekarang mahasiswa lebih dititikberatkan pada
masalah yang lain yaitu bagaimana agar warga masyarakat mampu menghadapi
tantangan lebih jauh ke depan pada era globalisasi untuk berwiraswasta,
mengenal berbagai kursus keterampilan, dan berbagai bentuk pendidikan di luar
sistem persekolahan. Misalnya Bordir, Mejahit, Tata Rias, Pertanian,
Elektronika, Jurnalistik, Komputer, pendidikan dan latihan berbagai cabang
olahraga, penyuluhan kesehatan, KB, pertanian, sampai kursus berbagai bahasa
dll (Oong Komar, 2000).
Harapan masyarakat menurut Yus
Darusman (2000) adalah aktivitas PLS melalui peran kelompok belajar masyarakat
sebagai kelompok pengubah dan kelompok penyebar. Dampak perilaku moral ekonomi
masyarakat tampil sebagai masyarakat yang maju, padat keterampilan, padat
karya, padat usaha, padat kesejahteraan. Hal ini di selenggarakan oleh
masyarakat, LSM, Dinas, dan instansi pemerintah. Karena tidak tuntas akibat
dari ledakan penduduk berdampak menimbulkan kemiskinan dalam dunia pendidikan. Salah
satu diantaranya ditutupnya kran-kran PLS di berbagai tempat dengan alasan yang
tidak jelas di zaman orde baru. Sehingga di sana-sini munculnya anak jalanan,
para galandangan, dan berbagai masalah sosial yang membuat pusing bagi pihak si
penutup kran itu sendiri, dan siapa pembinannya? Penulis berasumsi bahwa
sebagai dampak ditutupnya kran PLS sejak tahun akademi 1987/88, terjadinya
kendala dalam penuntasan wajib belajar yang cukup berarti. Yang paling
menyedihkan bagi lembaga yang ditugasi menuntaskan wajib belajar itu adalah
menerima tenaga-tenaga di luar profesinya. Sehingga bukan teori andragogy yang
diterapkan pada warga masyarakat, melainkan sebaliknya. Jadi keterampilan dalam
berkomunikasi sebagai ahli PLS kepada warga masyarakat tidak bisa hanya belajar
dalam 2, 3 bulan. Melainkan memerlukan cukup waktu, cukup SKS dan cukup praktik
lapangannya. Sebab di masyarakat mereka tidak perlu banyak komentar, melainkan
melihat bukti dan kenyataan.
Sekarang sarjana PLS sebelum diyudisium harus
memiliki keterampilan (Skill) tertentu yang diharapkan bisa menciptakan
lapangan kerja sendiri di masyarakat. PLS adalah satu dari dua jalur pendidikan
di Indonesia
yang memiliki peran besar di masa depan. Sehingga sangat aneh, bila melihat
calon mahasiswa S-2 dan S-3 PLS berdatangan dari bidang-bidang ilmu lain tidak
terbatas dalam jurusan pendidikan semata, melainkan ilmu-ilmu nonkependidikan
karena mereka tahu cerahnya masa depan PLS. Diharapkan pada penerimaan mahasiswa
baru, Universitas Palangka Raya tidak menerima lewat undangan saja, namun harus
juga lewat UMPTN. Kepada para rekan sejawat (dosen-dosen PLS) harus mampu
mengubah sistem perkuliahan dengan mengutamakan teori-teori andragogy. Karena
pasar kerja kita sudah jauh berbeda dari masa pendidikan masa 15 - 20 tahun
silam. Pada waktunya nanti PLS sudah turut memikirkan pula terhadap mereka yang
menghadapi pasca kerja di hari pensiun. Sebab Post Power Sindrom
menunjukkan tanda-tanda kenaikan yang sangat bermakna dalam masa belakangan ini.
Dalam hal PLS guna
mewujudkan manusia Indonesia memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan
bangsa agar memiliki kemampuan baca tulis. Direktorat Pendidikan Masyarakat (Dikmas),
Depdiknas perlu mengadakan pembenahan-pembenahan, sebab kalau masih berjalan
seperti selama ini, maka PLS yang dititipkan oleh pemerintah tak akan mampu
diwujudkan.
1. Gerakan Nasional Orang Tua Asuh agar diusahakan dapat sampai ke wilayah
pedesaan, sehingga upaya menolong kaum lemah segera terwujud.
2. Memperbaiki
kelemahan yang selama ini dirasakan misalnya penempatan tenaga, cenderung
merekrut para guru atau tenaga yang telah bertugas bertahun-tahun. Mereka di
tempatkan untuk mendidik masyarakat pada bidang PLS. Padahal ia telah terbiasa
(berpengalaman) melakukan pengajaran pada pendidikan formal. Terhadap tugas
yang berhubungan dengan masyarakat, bukan teori andragogy yang ia berikan,
melainkan cenderung paedagogy. Sehingga berapapun anggaran yang disediakan
secara objektif cenderung kurang memberi manfaat. Mahasiswa PLS telah
dipersiapkan, namun tenaga mereka juga diserap oleh Dinas Instansi lain,
terutama bagi yang memiliki Diklat Balai Latihan dan penyuluhan.
3. Sanggar
Kegiatan Belajar (SKB) perlu pembenahan, sebab kalau hanya sebagai tempat
penampungan cenderung akan timbul keterlambatan untuk berpacu dan upayanya
dalam pengentasan kemiskinan. Menurut U. Sihombing (2000) SKB hanya memiliki
sejumlah papan nama kelompok belajar. Sehingga bila dicek di lapangan, ternyata
kelompok belajar tersebut cenderung sudah bubar. Di sini ada dugaan
ketidakmampuan para tenaga kita dalam menerapkan teori andragogy yang berbasis
pada pendidikan orang dewasa, yang tidak dimiliki jurusan-jurusan lain.
Mengupas manajemen dan kebijakan dalam
otonomi pendidikan untuk pemberdayaan masyarakat menurut Saiful Sagala (2000)
ada dua saingan utama profesi kependidikan. Salah satu diantaranya orang luar (external)
pendidikan yang menyatakan bahwa semua orang bisa mengajar (guru/pendidik) dan
menduduki jabatan pendidikan, tetapi bagaimana menjadi guru yang baik dan
memahami aspirasi pendidikan dalam jabatan, maka sampai saat ini belum ada yang
menyatakan pendidikan berkualitas di Indonesia. Hal ini disebabkan latahnya dalam
penempatan tenaga kerja kita, termasuk dalam menangani PLS yang belum efektif.
Bila kita menilik terhadap
keterlibatan PLS dalam berbagai dinas/instansi di tanah air, maka hampir di
seluruh instansi pemerintah maupun swasta pasti merasa memiliki ilmu ke-PLS-an
ini. Sebab kalau kita mengkaji secara mendalam menurut Sarjan Kadir (1982)
bahwa ada di beberapa negara termasuk Philipina menerapkan 4 jalur pendidikan,
yakni Nonformal Education, Formal Education, Family Education dan Basic
Education. Di Indonesia, dengan berlakunya Undang-Undang Pendidikan Nasional
dewasa ini, menurut H. M. Norsanie Darlan (1998) bahwa pendidikan menerapkan 2
jalur saja, yakni pendidikan formal dan pendidikan luar sekolah.
Dari uraian di atas, kalau
pendidikan formal berada di bangku sekolah sejak dari sekolah dasar sampai
pendidikan tertinggi, maka hampir semua orang mencari kerja sudah menggunakan
hal itu. Namun bila setiap instansi pemerintah maupun swasta yang ingin
meningkatkan kualitas tenaga kerjanya dalam waktu relatif singkat, maka
pendidikan luar sekolahlah jalur yang tepat. Dengan berpatokan undang-undang
yang ada dan ingin meningkatkan keprofesionalan, maka tenaga kependidikan luar
sekolah harus diberikan tempat untuk turut membenahi kelemahan kita bersama.
Salah satu contoh bila di dinas dan jawatan
terdapat Diklat atau Balai Latihan Kerja, maka menilik UUPN no 2 tahun 1989
sebaiknya harus ada tenaga PLS yang turut menanganinya. Demikian juga pada
penyuluhan, karena sedikit banyak telah ditanamkan dari berbagai teori andragogy
selama di bangku kuliah. Di lembaga swasta sangat banyak corak dan ragamnya
seperti kursus komputer, merias, menjahit dan bordir, berbagai keterampilan,
serta kursus-kursus lainnya.
Dalam aspek sosial budaya
masyarakat desa tertinggal masyarakat memiliki konsep budaya yang masih tinggi
dan sebetulnya hanya sebagian kecil yang memiliki budaya tertutup. Konsep
pembangunan yang ditawarkan termasuk pendidikan sudah mereka sadari dewasa ini.
Pendidikan punya andil besar terhadap masa depan. Hanya saja ada beberapa hal
yang perlu kita perhatikan, yakni faktor kesulitan biaya, jauhnya lokasi rumah,
dan terbatasnya fasilitas belajar, serta belum banyak pendidikan yang
ditawarkan memberikan motivasi mereka belajar. Salah satu strategi dan upaya
penuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak usia sekolah, yang lokasi rumahnya
jauh dari SLTP disediakan asrama siswa. Dalam penanganan pendidikan di Indonesia
menurut Satrio Sumantri (2000) adalah sangat diperlukan adanya keterlibatan
masyarakat dalam masalah pendidikan. Hal ini sesuai pula dengan
GBHN di negeri kita tercinta ini.
Walau di berbagai daerah kondisi
alam sangat menjanjikan terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat sekitarnya,
namun mereka belum dapat menyelesaikan pendidikan formal sementara usia kerja
sudah sampai. Untuk mengantisipasi itu, PLS Universitas Palangka Raya juga
harus tanggap terhadap tantangan ini, agar warga masyarakat dapat diberikan
bekal dalam menghadapi pasar kerja.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Dikmas Depdiknas
baik di tingkat kecamatan, kabupaten maupun propinsi harus menyediakan lebih
banyak tenaga-tenaga profesional dibidangnya seperti sarjana PLS dan Diploma.
Sehingga salah satu upaya menuntaskan wajar Dikdas 9 tahun segera terwujud.
b. Dalam mendirikan
SLTP-Terbuka, sebaiknya tidak satu tempat dengan lokasi paket B, karena
programnya menjadi tumpang tindih. Kalaupun harus satu lokasi, perlu pemisahan
yang jelas untuk SLTP-Terbuka bagi anak usia sekolah, dan bagi peserta paket B
yang berusia 14 - 45 tahun. Dan bagi mereka yang belum tamat SD sebaiknya
mengikuti program paket A fungsional. Atau pendidikan yang mampu mengantarkan
kesejahteraan dia dan keluarganya.
c. Kelemahan kita
selama ini yang sangat dirasakan pada ujung tombak Dikmas adalah tak mampu
berperan banyak. Sebab dalam penempatan tenaga, cenderung merekrut para guru
atau tenaga lain yang telah bertugas bertahan-tahun. Mereka di tempatkan untuk
mendidik masyarakat pada bidang PLS. Padahal ia telah terbiasa (berpengalaman)
melakukan pendidikan formal. Sehingga berhadapan dengan masyarakat, bukanlah
teori andragogy yang ia berikan, melainkan cenderung paedagogy.
d. Salah satu
strategi dan upaya penuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak usia sekolah,
yang lokasi rumahnya jauh dari SLTP di sediakan Asrama Siswa.
2. Saran-saran
Indonesia sudah memiliki program PLS
Kepelatihan baik jenjang S1 dan S2, mereka dibiayai oleh Proyek PMPTK.
Sayangnya dalam pertemuan para mahasiswa-mahasiswa PLS ini tak seorangpun ada
utusan dari Nusa Tenggara Timur. Padahal mereka ini dipersiapkan untuk
mengembangkan pendidikan luar sekolah didaerah. Ketertinggalan kita hanya 2
kemungkinan, apakah kalah bersaing dalam seleksi masuk calon S-1 dan S-2 yang
lemah, ataukah memang kesempatan bagi kita tidak dimanfaatkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Darusman, Yus, 2000. Model Transformasi
Moral Ekonomi Pengrajin Melalui Pendidikan Luar Sekolah, PPS UPI,
Disertasi, Bandung.
Darlan, M. Norsanie, 1983. Dasar-dasar
Pendidikan Luar Sekolah di Berbagai Negara, Unpar, Palangka Raya.
------------, 2000. Strategi Menuntaskan
Wajib Belajar Dikdas 9 tahun bagi masyarakat Desa Tertinggal, Orasi Ilmiah
Pengukuhan Guru Besar, Universitas Palangka Raya.
Djojonegoro, Wardiman, 1998. Tantangan
Pembinaan Ketenaga Kerjaan Dalam Menghadapi Era, globalisasi, Seminar Nas.
dan Temu PLS IKIP Malang.
Hamidjojo, Santoso, S. , 1998. Tantangan
PLS dalam Era Reformasi dan Globalisasi, Seminar Nasional dan Temu Alumnus,
IKIP Malang.
Koentjaraningrat, 1981. Pengantar
Antropologi, UI Press, Jakarta.
Komar, H. Oong, 2000. Spektrum Tenaga Kependidikan Pada
Satuan Pendidikan Luar Sekolah Kursus, PPS UPI, Disertasi, Bandung.
Manan, 1997. Keadaan
Penduduk Buta Huruf dan Putus Sekolah, Kandep Kecamatan Kapuas Barat,
Mandomai.
Nihin, A.Dj.
1990. Pokok-pokok Pikiran Stategi Pembangunan Pedesaan, Muara Teweh.
Sihombing, U.
2000. Kuliah Umum Perkembangan Dikmas Di Indonesia, UPI, Bandung.
Sudjana,
H.Djudju, 1997. Peranan PLS Dlm Pengembangan SDM Berkualitas, Makalah
Seminar Nasional PSL dan Konperensi ISPPSI, Surabaya.
Sumantri, Satrio,
2000. Rembuk Pendidikan Nasional, Temu Pemikiran Untuk Menyelamatkan
Masa Depan Pendidikan Nasional, Makalah, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Bandung.
Tim Wajar, 1991. Keputusan
Menko Kesra tentang Wajar Pendidikan Dasar, Kantor Menko Kesra RI, Jakarta.
Yusuf, Sulaiman, 1981. Pendidikan Sosial,
Usaha Nasional, Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar