Minggu, 23 Mei 2021
Prof. Peran Naib Dalam Memasyarakatkan
Peran Naib Dalam Memasyarakatkan Kependudukan dan Keluarga Berencana Pada Acara Akad Nikah
(Sebuah Papaparan di Hadapan Tokoh Agama dan Masyarakat di BKKBN)
Oleh:
H.M. Norsanie Darlan
Pendahuluan
Penulisan materi ini tidak terlepas dengan apa yang ditugaskan oleh Bapak Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D kepala BKKBN Pusat, saat acara silaturrahmi dengan dosen PLS se-Indonesia tanggal, 1 Februari 2014 di UNJ Lt 6 yang beliau sedang mengupas tentang pemasyarakatan Kependudukan dan Keluarga Berencana nelalui petugas di saat berlangsungnya khutbah nikah. Secara kebetulan di tahun 1987 lalu, tesis S-2 saya di Fakultas Kedokteran UGM juga menyuluh calon pengantin untuk tujuan imunisasi TT kepada calon pengantin wanita di kabupaten Bantul dan kota Yogyakarta.
Dengan demikian, penulis secara spontan ditugasi kepala BKKBN pusat untuk melakukan eksperimen kepada para calon pengantin dalam hal pemasyarakat Kependudukan dan Kepuarga Berencana melalui naip yang melaksanakan akad nikah.
Untuk lebih jelas dan rinci hal-hal di atas, dapat dibaca secara rinci dalam paparan berikut ini:
Berbagai Pengertian
Untuk tidak terjadi kesalah pahaman terhadap arti dalam judul, penulis ini, penulis mencoba mengurai serba singkat berbagai hal sebagai berikut:
Arti Peran; adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam hal tertentu. Dipihak lain, pengertian Peran Definisi Menurut Para Ahli, Konsep, Struktur. Selain itu, memberikan pengertian peran menurut Friedman, M, (1998) adalah:”…serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informal…”. Peran didasarkan pada ketentuan dan harapan yang menerangkan apa yang in dividu-individu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut. Dalam hal ini, orang yang berperan tentu Naip. Karena naip yang menyampaikan khutbah Nikah kepada sepasang pengantin.
Arti Naip menurut Wikipedia Indonesia adalah: “…seseorang yang mempersatukan calon suami dan isteri dalam acara sakral pada Pernikahan…atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu…”. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islamhttp://id. Wikipedia. org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam - cite_note-1. Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan, Allah s.w.t. menjadikan manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.
Naip ada di berbagai daerah bermacam-caman sebuat. Adanya peng menyebut dengan penghulu, ada juga dengan sebutan pengulu. Dll. Tapi yang jelas naip adalah orang yang bertugas melaksanakan ikrar akad nikah, di hadapan sejumlah saksi.
Arti Memasyarakatkan adalah: “…menjadikan konsep itu jadi dikenal oleh masyarakat: usaha - gerakan kependudukan dan keluarga berencana…” itu, sudah menunjukkan hasil; Pemerintah sudah berusaha sejak tahun 70-an dan telah berusaha keras – menyampaikan pesan-pesan KKB kepada segala lapisan masyarakat di tanah air, baik di perkotaan hingga pedesaan nanjauh di sana.
Arti Kependudukan adalah: asal kata Penduduk ini, adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan jumlah, struktur, umur, jenis kelamin, agama, kelahiran, perkawinan, kehamilan, kematian, persebaran, mobilitas dan kualitas serta ketahanannya yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Pengelolaan kependudukan dan pembangunan keluarga adalah upaya terencana untuk mengarahkan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk pada seluruh dimensi penduduk. Perkembangan kependudukan adalah kondisi yang berhubungan dengan perubahan keadaan kependudukan yang dapat berpengaruh dan dipengaruhi oleh keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Jadi pengaturan kependudukan yang ditata secara berencana, akan menghasilkan kependudukan yang berkualitas.
Arti Keluarga Berencana (KB) adalah:”…merupakan suatu program pemerintah yang dirancang untuk menyeimbangkan antara kebutuhan dan jumlah penduduk…”. Program keluarga berencana oleh pemerintah adalah agar keluarga sebagai unit terkecil kehidupan bangsa diharapkan menerima Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang berorientasi pada pertumbuhan yang seimbang. Gerakan Keluarga Berencana Nasional Indonesia telah berumur sangat lama di negeri ini yaitu sejak tahun 70-an dan masyarakat dunia menganggap berhasil menurunkan angka kelahiran yang bermakna. Perencanaan jumlah keluarga dengan pembatasan yang bisa dilakukan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau penanggulangan kelahiran seperti kondom, spiral, IUD, dan sebagainya.
Arti Akad Nikah adalah Saat akad nikah "Aku terima nikah nya si dia binti ayah si dia dengan Mas kawin......." Singkat, padat, dan jelas. Tapi tahukah makna dalam "perjanjian/-ikrar" tersebut ?
Sebuah hadist mengemukakan tentang akad nikah ini, adalah: "…Maka aku tanggung dosa-dosanya si dia dari orang tua nya, dosa apa saja yang telah dia lakukan dari tidak menutup aurat hingga meninggalkan Sholat. Semua yang berhubungan dengan si dia, aku tanggung dan bukan lagi orang tua nya yang menanggung, serta akan aku tanggung semua dosa calon anak-anakku…".
Jika aku GAGAL? "…Maka aku adalah suami yang fasik, ingkar, dan
rela masuk neraka, aku rela malaikat menyiksaku hingga hancur tubuhku'' (Hadist Riwayat Muslim).
Perkawinan Menurut Hukum Adat
Dari sisi lain, Ady Hermansyah (2010) bahwa:
”...apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkawinan adat. Ini adalah suatu bentuk hidup bersama yang lenggeng lestari antara seorang pria dan wanita yang diakui oleh persekutuan adat dan yang diarahkan pada pembantu dan keluarga...”.
Berkenan dengan adanya hubungan yang tepat dari topik ini, maka menurut Hukum Adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu, bukan saja berarti sebagai perikatan Perdata tetapi juga merupakan “Perikatan Adat” dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan adat istiadat, kewarisan kekeluargaan, dan kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya (Ibadah) maupun hubungan manusia dengan manusia (Mu’Amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat didunia dan selamat di Akhirat.
Imam Sudiyati adalah: (1991:17) dalam bukunya Hukum Adat mengatakan: ”...Menurut Hukum Adat perkawinan biasa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabak, bisa merupakan urusan pribadi bergantung pada susunan masyarakat...”
Tujuan perkawinan
• Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan
• Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih
• Memperoleh keturunan yang sah
• Menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan menumbuhkan aktivitas dalam berusaha mencari rezeki yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab.
Hukum Islam mengatur tentang syarat-sayarat dan rukun perkawinan menurut firman Allah dalam Al-Quran (yang tidak dapat dirubah dan berlaku sepanjang masa) dan Al-Hadits.
Adapun perbedaan syarat-syarat dan rukun perkawinan Islam yaitu bahwa syarat-syarat merupakan hal yang harus dipenuhi sebelum melangsungkan perkawinan, sedangkan rukun perkawinan merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan.
Rukun perkawinan Islam terdiri dari :
1. Harus ada calon suami dan isteri, atau wakilnya
2. Harus ada wali dan calon isteri, atau wakilnya
3. Harus ada dua orang saksi laki-laki Islam yang telah memenuhi syarat.
4. Adanya ijab-qabul
Haruskah Nikah 2 Kali Dalam Kasus Kawin Hamil?
Memperhatikan terhadap sub judul di atas, kita sedikit harus masuk pada masalah hukum Islam. Walau penulis bukan ahlinya pada bidang itu, namun karena membahas tentang pernikahan. Maka dirasa perlu untuk memaparkan sub judul di atas.
Sebuah pertanyaan Adhimaz (2011) yang mau mengetahui tentang: ”...menikahi seorang wanita yang sudah hamil...”. Apa haram hukumnya menikahi wanita itu? Apa harus nikah 2 kali?.
Menurut: Letezia Tobing, (2011) menjawab pertanyaan pada sub judul di atas sebagai berikut: ”...Kami kurang mendapatkan keterangan, apakah yang pria yang ingin menikahi wanita tersebut adalah pria yang menghamilinya atau bukan...”.
Jika pria tersebut ingin menikahi wanita yang dihamilinya, maka hal tersebut dapat dilakukan, karena tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang melarang mengenai hal tersebut.
Dari hal di atas harus ada kaitan dengan Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu jika kita melihat pada ketentuan mengenai perkawinan-perkawinan yang dilarang berdasarkan UU Perkawinan, dalam Pasal 8 UU Perkawinan, dikatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua,anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
4. erhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
5. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Selain itu, mengenai perkawinan yang dilarang, terdapat juga dalam Pasal 9 dan Pasal 10 UU Perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan juga dilarang perkawinan antara seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali telah memenuhi syarat dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan (Pasal 9 UU Perkawinan).
2. Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 UU Perkawinan).
Sedangkan jika dilihat dari Hukum Islam sendiri, dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) diatur mengenai “kawin hamil”. Pasal 53 KHI mengatakan bahwa: “…seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya…”. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Jadi berdasarkan uraian di atas, bagi pria yang ingin menikahi wanita yang dihamilinya, UU Perkawinan tidak melarang perkawinan seperti itu. Dalam Hukum Islam sendiri, perkawinan seperti itu tidak haram, bahkan diperbolehkan. Selain itu, tidak perlu nikah 2 (dua) kali (dalam hal ini tidak perlu dilakukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir).
Sedangkan, jika seorang pria ingin menikahi wanita yang dihamili pria lain, mengenai hal tersebut juga tidak ada larangannya dalam UU Perkawinan maupun KHI.
Dalam Hukum Islam pun tidak ada pengaturan yang melarang hal tersebut. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Bagaimana Hukumnya Menikahi Perempuan yang Hamil di Luar Nikah?, KHI tidak mengatur secara eksplisit apakah perempuan yang hamil di luar nikah boleh dikawinkan dengan pria lain selain yang menghamilinya. Tapi, dari ketentuan Pasal 53 ayat (1) KHI secara tidak langsung membuka kemungkinan perempuan yang hamil di luar nikah untuk tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya atau dikawinkan dengan pria selain yang menghamilinya. Karena, norma hukum yang ada dalam pasal tersebut bersifat kebolehan (menggunakan frasa “dapat”) dan bukan keharusan. Jadi, wanita yang hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan pria yang tidak menghamilinya. Namun, menurut hemat kami, dalam hal ini si perempuan terlebih dahulu harus memberi tahu mengenai kehamilannya tersebut kepada si calon suami. Atau jika kita melakukan penafsiran secara a contrario terhadap ketentuan Pasal 53 ayat (2) KHI, maka perkawinan perempuan yang hamil di luar nikah dengan pria yang tidak menghamilinya harus menunggu sampai si perempuan melahirkan.
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Pandangan Islam terhadap perkawinan antara agama
Perkawinan menurut agama Islam, ialah pelaksanaan, peningkatan dan penyempurnaan ibadah kepada Allah dalam hubungan antara dua jenis manusia, pria dan wanita yang ditakdirkan oleh Allah satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusiaan untuk memenuhi nalurinya dalam hubungan sexuil, untuk melanjutkan keturunan yang sah serta mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir bathin bagi keselamatan keluarga, masyarakat dan negara serta keadilan dan kedamaian baik didalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Menurut agama Islam, proses hubungan sexuil manusia harus berjalan dengan semangat kerukunan dan kedamaian dengan menghormati hak-hak azasi manusia sebagai insan-insan sederajat antara pria dan wanita untuk menempuh kehidupan yang baik di dunia.
Arti perkawinan menurut istilah ilmu fiqh dipakai perkataan “nikah” dan perkataan “ziwaaj”. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Arti yang sebenarnya dari pada nikah adalah “dham” yang berarti “menghimpit”, “menindih” atau “berkumpul” sedangkan arti kiasannya ialah “wathaa” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.
Dalam pada itu, perkawinan yang disyariatkan agama Islam mempunyai beberapa segi, diantaranya ialah :
Segi ibadah
Perkawinan menurut agama Islam mempunyai unsur-unsur ibadah. Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebahagian dari ibadahnya dan berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari agamanya.
Sabda Rasulullah SAW :
“…Barang siapa yang telah dianugerahi Allah isteri yang saleh, maka sesungguhnya ia telah mengusahakan sebahagian agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah pada bahagian yang lain…”
(H.R. Thabrani dan Al Hakim dan dinyatakan shaheh sunatnya)
Segi hukum
Perkawinan yang menurut disyariatkan agama Islam merupakan suatu perjanjian yang kuat, sebagaimana Firman Allah SWT :
“…Bagaimana kamu akan mengambil harta yang telah kamu berikan kepada bekas isterimu, padahal sebagian kamu telah bercampur (bergaul) dengan yang lain sebagi suami isteri. Dan mereka (isteri-isteri) telah mengambil dari kamu janji yang kuat..:. (Q.S An-Nisa : 211).
Dalam hal perkawinan ini, secara jelas diuraikan berikut:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama, sebab merupakan asas pokok dalam kehidupan kemasyarakatan yang sempurna, bukan saja perkawinan itu suatu jalan yang sangat mulia untuk mengatur kehidupan dan keturunan, juga dipandang sebagai suatu jalan menuju perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya. Dengan demikian akan terjadi saling bertolong-tolongan antara satu dengan yang lainnya.
Sesungguhnya pertalian dengan perkawinan adalah sangat teguh dalam hidup dan kehidupan manusia. Sebab itu untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungannya serta melindungi hak dan kewajiban yang timbul dari perkawinan itu maka perkawinan itu perlu dicatat. Akibat hukum yang timbul bukan saja antara suami-isteri bahkan antara kedua belah pihak keluarga. Hubungan antara suami-isteri sangat mempengaruhi antara keluarga kedua belah pihak baik segi kebaikannya maupun keburukannya.
Di dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa seorang suami cukup beristeri satu, terkecuali dalam keadaan terpaksa dapat beristeri lebih dari saw dengan izin Pengadilan Agama.
Di dalam Qur'an juga dijelaskan bahwa bagi laki-laki boleh kawin dua atau tiga atau empat, tetapi dengan syarat adil, Hal ini untuk men¬cegah kesewenang-wenangan laki-laki untuk beristeri lebih dari satu.
Perkawinan bukanlah sekedar untuk kebutuhan sex semata, tetapi merupakan titik awal dari pembangunan masyarakat; dari sini akan di¬bangun satu masyarakat besar.
Untuk menjaga keutuhan rumah tangga, antara kedua belah pihak sebelum berumah tangga harus sudah matang lahir-batin. Disamping itu harus mengetahui tugas dan kewajibannya dan saling pengertian, isi mengisi dan toleransi.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar-Rum. 21)
Menciptakan Rumah Tangga Bahagia
1. Mempelajari Ilmu Agama
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Karena itu, suami-isteri harus saling melengkapi dan saling membantu setiap kekurangan masing-masing pihak. Di samping itu faktor ajaran agama Islam adalah unsur pokok yang paling penting dalam pembinaan rumah tangga yang bahagia, sebab ajaran Islam memberikan petunjuk antara yang baik dengan yang buruk, antara yang menguntungkan dengan yang merugikan, yang akhirnya memberikan semacam pegangan dalam hidup dan kehidupan, bagaimana sikap jiwa sewaktu mendapat nikmat dan ketika mendapat musibah.
Banyak pemimpin rumah tangga yang mengutamakan ilmu dunia saja, sehingga anak-anak dan keluarganya mendapat penga¬jaran dan pendidikan umum yang cukup sampai mendapat titel sarjana, tetapi mengabaikan pendidikan agama. Anggota keluarga¬nya tidak mengenal huruf AI Qur'an, tidak pernah sujud mengha¬dap kiblat, di rumah itu tidak terdengar suara azan, suara kaset yang membaca Al Qur'an, yang terdengar hanya lagu-lagu pop saja. Di dinding rumah hanya terdapat gambar bintang film dan ti¬dak satupun terdapat lukisan yang menunjukkan jiwa keagamaan. Tidak heran apabila rumah tangga yang demikian mendapat sedikit cobaan sudah panik dan gelisah.
Adapun rumah tangga yang mementingkan ajaran-ajaran agama, mereka selalu mendekatkan diri kepada Allah, disamping berusaha mencapai kenikmatan hidup di dunia, maka dari dalam rumah tangga itu selalu memantul sinar bahagia, ketenangan, kenikmatan rohaniyah, walaupun berada dalam situasi kekurangan dan kemiskinan serta sertba kesulitan.
1.Keluarga Bahagia Sejahtera
Keluarga bahagia sejahtera adalah idaman semua orang. Namun perwujudan hal itu sangat didambakan semua pasangan. Keluarga bahagia dan sejahtera tidak diukur dengan kekayaan. Tapi keluarga sejahtera terjadinya kerukunan dalam keluarga juga sejahtera. Apa lagi jika dalam keluarga tidak terjadi cekcok, saling menghargai satu sama lain, mensyukuri apa adanya. Isteri tidak banyak permintaan. Sehingga kehidupan pasangan suami isteri jadi rukun dan damai.
Keluarga sejahtera juga pasangan suami isteri menyadari penghasil suami dengan jumlah keluarga. Bila jumlah keluarga terlalu besar, maka tingkat kesejahteraanpun yang jadi rendah.
2.Mengatur Kelahiran
Dalam setiap pasangan yang baru berkeluarga atau akan berkeluarga, tidak salahnya seorang petugas pencatat nikah (Naip) memberikan sedikit pengetahuan dalam mengatur keluarga. Dalam hidup berkeluarga tidak selalu segera menghadirkan momongan. Karena kalau terlalu cepat, kapan waktunya untuk berbulan madu dari sebuah pasangan yang berbahagia dan menikmati pasangan yang diharapkan. Setelah itu, baru mengatur kapan akan terjadi kelahiran anak pertama dan anak berikutnya. Jika jarak anak pertama ke anak berikutnya cukup jauh, maka perhatian ibu dalam pemeliharaan anak akan lebih baik, termasuk kesehatan anak yang dilahirkan.
2.Menghindari Perceraian
Perceraian sangat tidak diharapkan. Karena dengan perceraian anak-anak yang mengalami penderitaan, siapa yang memberi nafkah untuk anak-anak mereka. Dan bagai mana pendidikan serta kesehatannya. Sehingga perceraian harus dihindari, walau pihak ayah ataupun ibu serbaberkecukupan. Tapi akibat perceraian membuat perasaan anak jadi tidak punya panutan. Itulah yang menjadikan perceraian dimurkan Allah SWT.
3.Akhlaq dan kesopanan
Unsur rumah tangga bahagia itu ialah terciptanya hu¬bungan yang harmonis antara sesama keluarga, antara suami-isteri, antara anak-anak, antara anak dengan ibu-bapaknya dan dengan yang lainnya. Yang tua mengasihi yang muda dan yang muda menghormati yang tua.
Sikap saling menghormati dan mengasihi ini, digariskan dalam satu Hadits:
لَيْسَ مِنَّامَنْ لَمْ يُوَقِّرْكَبِيْرَنَاوَلَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَاTidaklah termasuk umat kami orang-orang yang tidak meng¬hormati orang-orang besar dan orang-orang yang tidak menyayangi orang-orang kecil dari kami.
5. Harmonis dalam Pergaulan
Dalam rumah tangga bahagia, senantiasa, tergalang pergaulan yang harmonis antara sesama keluarga. Semuanya menempatkan diri laksana awak kapal yang sedang mengarungi samudera luas dan badai yang selalu ada, masing-masing sejak dari Kapten sampai Mua¬lim dan penjaga mesin, kelasi dan tukang masak menjalankan tugas masing-masing dengan gembira dan bertanggung jawab demi untuk keselamatan bersama.
Setiap anggota keluarga hidup rukun dan mesra, tidak saling curiga mencurigai, salah menyalahkan dan sebagainya. Apabila terjadi kericuhan diselesaikan secara kekeluargaan dengan menjauh¬kan akibatnya yang merupakan bom waktu dan dapat meledak sewaktu-waktu.
5. Hemat dan Hidup Sederhana
Unsur berikut ini ialah hemat dan hidup sederhana. Sebagian besar kehancuran suatu rumah tangga karena keroyalan hidup, tidak berhemat dan tidak memikirkan hari esok. Tidak mengerti ada musim hujan dan musim panas.
Hawa nafsu ingin hidup mewah tidak seimbang dengan sum¬ber pendapatan yang ada, sehingga timbullah satu keadaan yang gawat di rumah tangga itu. Besar pasak dari pada tiang.
Ajaran Islam selalu memperingatkan supaya manusia hidup qona'ah yaitu mencukupkan apa yang ada serta menyesuaikan dengan keadaan kita sendiri dan tidak perlu mencontoh kekayaan orang lain.
6.Menyadari Cacat Sendiri
Dalam pembinaan rumah tangga bahagia ialah menyadari cacat diri sendiri. Banyak orang terlalu rajin melihat cacat orang lain tetapi jarang sekali melihat cacatnya sendiri. Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya; apabila setiap pemimpin rumah tangga menyadari ini sepenuhnya maka dapatlah dihindarkan perasaan benar sendiri.
Itulah sebabnya ahli hikmat sering menasehatkan agar orang itu sering mengacakan diri sendiri, supaya dia tahu di mana kelebihannya dan di mana pula kekurangannya. Apabila orang itu sudah menyadari dirinya, dia akan selalu mawas diri dan akhirnya berusaha memperbaikinya atau bertaobat. Dengan demikian perka¬winan tetap kekal selama-lamanya.
Daftar Pustaka
Adhimaz, (2011). Haruskah Nikah 2 Kali Dalam Kasus Kawin Hamil?, artikel, Jakarta.
BKKBN, 2011. Serial Tanya Jawab Keluarga Sejahtera Kesehatan & Reproduksi, Dalam Pandangan Islam, Jakarta.
Kementrian Agama RI, 1974. Tentang Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Jakarta.
------------, 1991. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta.
------------, 2003. Pedoman Pelaksanaan Akad Nikah, Direktorat Jend. Bimbingan Masyarakat Islam, Jakarta.
Hermansyah, Andy, 2010. Perkawinan Hukum Adat, Artikel, Jakarta.
Kementerian Agama RI, Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Jakarta.
Kementrian Agama RI, 2000, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Direktorat Jend. Bimbingan Masyarakat Islam, Jakarta.
Kementrian Agama RI, 2007. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 11, tentang Pencatatan Nikah, Direktorat Jend. Bimbingan Masyarakat Islam, Jakarta.
Kementrian Agama RI, 2011, Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam, Direktorat Jend. Bimbingan Masyarakat Islam, Jakarta.
M. Friedman, 1998. Pengertian Peran serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial, Artikel, Surabaya.
Sudiyati, Imam, 1991. Hukum Adat, dalam masalah perkawinan, Jakarta.
Tobing, Letezia, 2011. Haruskah Nikah 2 Kali Dalam Kasus Kawin Hamil?, artikel.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar