H.M.Norsanie Darlan
Ada 3 (tiga)
tantangan yang dihadapi para pemuda generasi muda dewasa ini, yang ternyata tidak sebatas pada kaum muda saja yang
merasakannya. Tapi orang tuapun juga merasakan hal itu. Ke 3 hal tersebut di
atas adalah:
1.Tantangan
masuk sekolah;
2.Tantangan masuk
Perguruan Tinggi; dan
3.Tantangan
masuk lapangan kerja.
Untuk lebih
jelasnya ke 3 hal di atas, secara sederhana akan diuraikan satu persatu sebagai
berikut:
Tantangan masuk sekolah
Sejak akhir
tahun 70-an sudah melaui bermunculan satu-persatu di daerah yang
menginformasikan bahwa tahun demi tahun anak usia sekolah dirasakan untuk masuk
sekolah apakah sekolah dasar ataukah SLTP mapun SLTA ternyata jumlah kursi tidak
sebanding dengan jumlah anak yang mau masuk sekolah. Hal ini pasti jauh
berbeda. Dengan kata lain daya tampung sekolah mulai kurang.
Sementara penambahan setiap tahun sepertinya tetap tidak terbendung.
Sekolah-sekolah swasta dengan tampil seadanya pun di daerah tertentu, juga
dengan sangat banyak masih ada yang tak tertampung. Ini sebuah akibat ledakan
penduduk masa lalu.
Dalam istilah lain adalah, “Sejak
lama di negeri ini”, masuk sekolah ”para calon murid” sudah mendapatkan
tantangan yang terkadang di perkotaan terdapat komentar masyarakat ”siapa
berduit, ialah yang bakal dapat” dalam meraih pendidikan anaknya yang lebih
baik dan kualitasnyapun tidak diragukan.
Namun kita sama maklumi bersama
bahwa masyarakat pemukimannya tidak menumpuk di perkotaan. Melainkan mereka
sebagian besar penduduk negeri ini, bertempat tinggal di pedesaan. Kita sama
maklumi tidak seluruh desa terlebih masa
lalu terdapat sekolah dasar. Sehingga tidak menutup kemungkinan ada warga
masyarakat kita yang karena sesuatu dan lain hal selama hidupnya, tidak sempat
mengenyam atau menikmati dunia pendidikan formal. Atau bersekolah.
Fasilitas
pendidikan di atas tidak saja untuk sekolah dasar. Padahal wajib belajar kita
tidak lagi Wajar 6 tahun. Tapi sudah bergeser ke 9 – 12 tahun. Sementara gedung
SMP dan SLTA belum juga tersedia hingga anak mau belajar ke SMP dan SLTA terkendala.
Hal ini menuntut agar kita dapat memikirkan bersama masalah tersebut. Karena
kesempatan pendidikan yang ada di negeri kita disebabkan fasilitas pndidikan
yang masih dirasakan kurang. Dipihak lain menurut M. Saad Arfani (2011) ia mengungkapkan
bahwa:”...jauhnya sekolah jadi penyebab anak-anak pedesaan tak melanjutkan
pendidikan...”. kalimat di depan sungguh di temukan di mana-mana baik di
daerah kita maupun di daerah lain.
Hal seperti di
atas, tidak saja dirasakan di pedesaan. Tapi di perkotaan sekalipun penduduk
kita yang fasilitas pendidikan sudah dianggap mendekati cukup, namun masih
ditemukan penduduk kota yang belum berkesempatan mecicipi pendidikan formal.
Sehingga pemulis berasumsi tidak tuntas pendidikan ini, kalau hanya dipikirkan
dan di fasilitas Cuma pada pendidikan formal. Peran pendidikan non formal,
ternyata sangat penting, namun karena
ketidak mengertian, ketidak fahaman mereka yang didudukkan pada bidang
pendidikan non formal. Maka hal-hal di atas, tidak bisa dituntaskan. Alasan
yang penulis asumsikan adalah mereka yang ditempatkan pada Subdin/Bidang
pendidikan non formal masih tidak profesional. Penempatan sarjana “...atau
tenaga yang bukan ahlinya, tunggu kehancurannya...”.
Tantangan masuk Perguruan Tinggi
Kalau kita
melihat mulai munculnya istilah: “UMPTN” yang kepanjangannya adalah Ujian masuk
perguruan tinggi negeri ini, digulir juga sejak tahun 80-an juga. Yang terkadang anak lulusan SLTA
yang mau masuk perguruan tinggi tujuan Bandung, ternyata tes-nya lulus di
Palangka Raya. Kenapa demikian seperti uraian ini masyarakat turut
berpartisipasi menyelenggarakan pendidikan tinggi. Ternyata perguruan tinggi
swasata tidak masuk UMPTN sehingga dengan tidak diperkirakan sebelumnya ia
harus kuliah di Unpar-Universitas Palangka Raya. Karena di kota
Bandung juga ada perguruan tinggi diberi nama Unpar. Tapi punya yayasan swasta.
Dengan seleksi yang relatif ketat
disertai beratnya persaingan, 1 berbanding 15 maka tidak menutup kemungkinan
calon mahasiswa yang kapasitasnya bila dibawah standar dengan sangat menyesal
terpaksa harus tidak lulus pada jurusan/program studi pilihannya. Karena dengan
system seleksi sekarang calon dari sumatera utara, Aceh, Papua, Sulawesi dan
berbagai provinsi di Jawa dengan mudah lulus di Unpar. Sementara putra daerah,
hanya gigit jari. Karena ada dugaan standar pendidikan yang ada di provinsi
kita relatif rendah. Mudah-mudahan mulai terjadi perbaikan masa sekarang dan
masa datang. Sehingga standar kita sama dengan kawasan yang lebih maju.
Kita sama maklumi bahwa dalam 20
tahun terakhir, sudah dirasakan di tanah air kita bahwa tes masuk perguruan
tinggi negeri sungguh dirasakan betapa sulitnya. Namun seleksi ini, semakin
tahun semakin tambah berat. Sehingga upaya memberikan berbagai pendidikan luar
sekolah atau pendidikan non formal pada lembaga kursus pada bidangnya oleh
orang tua kepada anaknya sungguh memberatkan biaya. Terlebih biaya yang
diperlukan. Ada kalanya sang anak kurang perhatian, tapi orang tuanya justru
sibuk mendaftar anak untuk kursus itu dan ini, dengan tujuan bahwa anaknya
berhasil lulus dalam seleksi masuk perguruan tinggi.
Tantangan masuk
lapangan kerja
Kaum generasi muda dewasa ini
menghadapi masa sulit, sebagai akibat ledakan pendudukan di negeri kita masa
lalu sangat tinggi. Hal itu memberikan efek negatif kepada generasi
mncari kerja dimasa sekarang.
Selain hal di
atas, bergulirnya era reformasi, yang selama ini, kurang mendukung terhadap
kebijakan masa lalu. Ebagai contoh yang sdr boleh perhatikan. Kebijakan masa
lampau, dinas pendidikan yang doeloe disebut Kantor Wilayah Pendidikan. Kepala
Katornya paslu lulusan ”alumnus” IKIP atau FKIP. Dewasa ini ternyata dapat
diduduki oleh bukan kesarjaan itu. Sehingga pastilah ada bagai perahu layar
putus kemudi. Contoh lain dengan kebebasan dewasa ini, bisa terjadi juga kepala
Rumah Sakit dipimpin oleh bukan dokter. Kepala Kejaksaan bisa dipimpin
oleh orang yang bukan Sarjana Hukum. Jika hal itu terjadi, apa yang bakal
terjadi. Ini sebagai bukti derasnya arus reformasi.
Sekarang
bagaimana dengan tantangan pada sarjana sekarang. Ada dugaan kemudahan yang
muncul dari pihak penentu kebijakan, seperti: penerimaan calon pegawai negeri
diusulannya sangat tidak sesuai dengan tenaga kerja pada bidang-bidang yang ada
di instansi yang di pimpinnya. Karena ada indikasi untuk menolong keluarga
terdekat. Sehingga setelah ia masuk, apa yang harus ia kerjakan. Karena KKN-nya
sudah bisa dimunculkan.
Tren pendidikan sudah berubah
Tempo doeloe,
sejak tahun 60-an penulis rasakan bahwa pendidikan kejuruan betul-betul kurang
diminati. Asumsi masyarakat bahwa ikut belajar di sekolah kejurusan seperti
sekolah toempoe doeloe: SPG, PGA, SMOA, SPR kurang diminati oleh anak para
pejabat atau orang tua tergolong mampu. Namun dewasa ini, sekolah kejuruan
mulai akhir tahun 90-an, lapangan kerja sarjana seperti Hukum, Ekonomi, teknik,
Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Sosial Politik, dll. Sedikit kesulitan mencari
lapangan kerja sederhananya ”jenuh”. Namun sarjana FKIP/IKIP dari berbagai
jurusan/Program studi yang tempo doeloe mulai dipermudah mencari kerja. Karena
tenaga guru, selalu dicari di mana-mana. Karena upaya meningkatkan kualitas SDM
masyarakat diawali dengan wajib belajar di tanah air kita mulai diterapkan.
Sehingga lapangan kerja sekolah guru dari Diploma hingga sarjana sungguh dicari
pemerintah.
Sayangnya
dalam kurun waktu tertentu proses ini, ”terkontaminasi” karena ada
penyelenggaraan kursus yang salah. Sebetulnya kursus akta IV, adalah untuk
seorang dokter mengajar di sekolah pengatur rawat (SPR). SIM mengakarnya
adalah: Akta IV. Demikian juga seorang Ir. Pertanian yang mengajar di SPMA, ia
sudah punya NIP tapi belum punya Akta mengajar IV sebagai SIM nya. Tapi
nyatanya ada sarjana tertentu di luar sekolah guru, memiliki Akta IV untuk
melamar kerja. Dan diterima ternyata tidak mampu menajar, membuat RPP, media
pendidikannya kurang sehingga jadi bahan tertawaan murid di depan kelas. Untuk
itu, ada istilah profesional tidak saja pada dunia perkantoran, dunia usaha,
tapi juga berdiri di depan kelas-pun harus profesional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar