Minggu, 08 Juli 2012

TIGA TANTANGAN BESAR BAGI GENERASI PENERUS BANGSA

                                                                            Oleh:
                                                                 H.M.Norsanie Darlan


Ada 3 (tiga) tantangan yang dihadapi para pemuda generasi muda  dewasa ini, yang ternyata tidak sebatas pada kaum muda saja yang merasakannya. Tapi orang tuapun juga merasakan hal itu. Ke 3 hal tersebut di atas adalah:
1.Tantangan masuk sekolah;
2.Tantangan masuk Perguruan Tinggi; dan
3.Tantangan masuk lapangan kerja.
Untuk lebih jelasnya ke 3 hal di atas, secara sederhana akan diuraikan satu persatu sebagai berikut:

Tantangan masuk sekolah
Sejak akhir tahun 70-an sudah melaui bermunculan satu-persatu di daerah yang menginformasikan bahwa tahun demi tahun anak usia sekolah dirasakan untuk masuk sekolah apakah sekolah dasar ataukah SLTP mapun SLTA ternyata jumlah kursi tidak sebanding dengan jumlah anak yang mau masuk sekolah. Hal ini pasti jauh berbeda.  Dengan kata lain daya tampung sekolah mulai kurang. Sementara penambahan setiap tahun sepertinya tetap tidak terbendung. Sekolah-sekolah swasta dengan tampil seadanya pun di daerah tertentu, juga dengan sangat banyak masih ada yang tak tertampung. Ini sebuah akibat ledakan penduduk masa lalu.
Dalam istilah lain adalah, “Sejak lama di negeri ini”, masuk sekolah ”para calon murid” sudah mendapatkan tantangan yang terkadang di perkotaan terdapat komentar masyarakat ”siapa berduit, ialah yang bakal dapat” dalam meraih pendidikan anaknya yang lebih baik dan kualitasnyapun tidak diragukan.

Namun kita sama maklumi bersama bahwa masyarakat pemukimannya tidak menumpuk di perkotaan. Melainkan mereka sebagian besar penduduk negeri ini, bertempat tinggal di pedesaan. Kita sama maklumi  tidak seluruh desa terlebih masa lalu terdapat sekolah dasar. Sehingga tidak menutup kemungkinan ada warga masyarakat kita yang karena sesuatu dan lain hal selama hidupnya, tidak sempat mengenyam atau menikmati dunia pendidikan formal. Atau bersekolah.
Fasilitas pendidikan di atas tidak saja untuk sekolah dasar. Padahal wajib belajar kita tidak lagi Wajar 6 tahun. Tapi sudah bergeser ke 9 – 12 tahun. Sementara gedung SMP dan SLTA belum juga tersedia hingga anak mau belajar ke SMP dan SLTA terkendala. Hal ini menuntut agar kita dapat memikirkan bersama masalah tersebut. Karena kesempatan pendidikan yang ada di negeri kita disebabkan fasilitas pndidikan yang masih dirasakan kurang. Dipihak lain menurut M. Saad Arfani (2011) ia mengungkapkan bahwa:”...jauhnya sekolah jadi penyebab anak-anak pedesaan tak melanjutkan pendidikan...”. kalimat di depan sungguh di temukan di mana-mana baik di daerah kita maupun di daerah lain.
Hal seperti di atas, tidak saja dirasakan di pedesaan. Tapi di perkotaan sekalipun penduduk kita yang fasilitas pendidikan sudah dianggap mendekati cukup, namun masih ditemukan penduduk kota yang belum berkesempatan mecicipi pendidikan formal. Sehingga pemulis berasumsi tidak tuntas pendidikan ini, kalau hanya dipikirkan dan di fasilitas Cuma pada pendidikan formal. Peran pendidikan non formal, ternyata sangat penting, namun  karena ketidak mengertian, ketidak fahaman mereka yang didudukkan pada bidang pendidikan non formal. Maka hal-hal di atas, tidak bisa dituntaskan. Alasan yang penulis asumsikan adalah mereka yang ditempatkan pada Subdin/Bidang pendidikan non formal masih tidak profesional. Penempatan sarjana “...atau tenaga yang bukan ahlinya, tunggu kehancurannya...”.

Tantangan masuk Perguruan Tinggi
Kalau kita melihat mulai munculnya istilah: “UMPTN” yang kepanjangannya adalah Ujian masuk perguruan tinggi negeri ini, digulir juga sejak tahun 80-an juga. Yang terkadang anak lulusan SLTA yang mau masuk perguruan tinggi tujuan Bandung, ternyata tes-nya lulus di Palangka Raya. Kenapa demikian seperti uraian ini masyarakat turut berpartisipasi menyelenggarakan pendidikan tinggi. Ternyata perguruan tinggi swasata tidak masuk UMPTN sehingga dengan tidak diperkirakan sebelumnya ia harus kuliah di Unpar-Universitas Palangka Raya. Karena di kota Bandung juga ada perguruan tinggi diberi nama Unpar. Tapi punya yayasan swasta.
Dengan seleksi yang relatif ketat disertai beratnya persaingan, 1 berbanding 15 maka tidak menutup kemungkinan calon mahasiswa yang kapasitasnya bila dibawah standar dengan sangat menyesal terpaksa harus tidak lulus pada jurusan/program studi pilihannya. Karena dengan system seleksi sekarang calon dari sumatera utara, Aceh, Papua, Sulawesi dan berbagai provinsi di Jawa dengan mudah lulus di Unpar. Sementara putra daerah, hanya gigit jari. Karena ada dugaan standar pendidikan yang ada di provinsi kita relatif rendah. Mudah-mudahan mulai terjadi perbaikan masa sekarang dan masa datang. Sehingga standar kita sama dengan kawasan yang lebih maju.
Kita sama maklumi bahwa dalam 20 tahun terakhir, sudah dirasakan di tanah air kita bahwa tes masuk perguruan tinggi negeri sungguh dirasakan betapa sulitnya. Namun seleksi ini, semakin tahun semakin tambah berat. Sehingga upaya memberikan berbagai pendidikan luar sekolah atau pendidikan non formal pada lembaga kursus pada bidangnya oleh orang tua kepada anaknya sungguh memberatkan biaya. Terlebih biaya yang diperlukan. Ada kalanya sang anak kurang perhatian, tapi orang tuanya justru sibuk mendaftar anak untuk kursus itu dan ini, dengan tujuan bahwa anaknya berhasil lulus dalam seleksi masuk perguruan tinggi.

Tantangan masuk lapangan kerja
Kaum generasi muda dewasa ini menghadapi masa sulit, sebagai akibat ledakan pendudukan di negeri kita masa lalu sangat tinggi. Hal itu memberikan efek negatif kepada generasi mncari kerja dimasa sekarang.
Selain hal di atas, bergulirnya era reformasi, yang selama ini, kurang mendukung terhadap kebijakan masa lalu. Ebagai contoh yang sdr boleh perhatikan. Kebijakan masa lampau, dinas pendidikan yang doeloe disebut Kantor Wilayah Pendidikan. Kepala Katornya paslu lulusan ”alumnus” IKIP atau FKIP. Dewasa ini ternyata dapat diduduki oleh bukan kesarjaan itu. Sehingga pastilah ada bagai perahu layar putus kemudi. Contoh lain dengan kebebasan dewasa ini, bisa terjadi juga kepala Rumah Sakit dipimpin oleh bukan dokter. Kepala Kejaksaan bisa dipimpin oleh orang yang bukan Sarjana Hukum. Jika hal itu terjadi, apa yang bakal terjadi. Ini sebagai bukti derasnya arus reformasi.
Sekarang bagaimana dengan tantangan pada sarjana sekarang. Ada dugaan kemudahan yang muncul dari pihak penentu kebijakan, seperti: penerimaan calon pegawai negeri diusulannya sangat tidak sesuai dengan tenaga kerja pada bidang-bidang yang ada di instansi yang di pimpinnya. Karena ada indikasi untuk menolong keluarga terdekat. Sehingga setelah ia masuk, apa yang harus ia kerjakan. Karena KKN-nya sudah bisa dimunculkan.

Tren pendidikan sudah berubah
Tempo doeloe, sejak tahun 60-an penulis rasakan bahwa pendidikan kejuruan betul-betul kurang diminati. Asumsi masyarakat bahwa ikut belajar di sekolah kejurusan seperti sekolah toempoe doeloe: SPG, PGA, SMOA, SPR kurang diminati oleh anak para pejabat atau orang tua tergolong mampu. Namun dewasa ini, sekolah kejuruan mulai akhir tahun 90-an, lapangan kerja sarjana seperti Hukum, Ekonomi, teknik, Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Sosial Politik, dll. Sedikit kesulitan mencari lapangan kerja sederhananya ”jenuh”. Namun sarjana FKIP/IKIP dari berbagai jurusan/Program studi yang tempo doeloe mulai dipermudah mencari kerja. Karena tenaga guru, selalu dicari di mana-mana. Karena upaya meningkatkan kualitas SDM masyarakat diawali dengan wajib belajar di tanah air kita mulai diterapkan. Sehingga lapangan kerja sekolah guru dari Diploma hingga sarjana sungguh dicari pemerintah.
Sayangnya dalam kurun waktu tertentu proses ini, ”terkontaminasi” karena ada penyelenggaraan kursus yang salah. Sebetulnya kursus akta IV, adalah untuk seorang dokter mengajar di sekolah pengatur rawat (SPR). SIM mengakarnya adalah: Akta IV. Demikian juga seorang Ir. Pertanian yang mengajar di SPMA, ia sudah punya NIP tapi belum punya Akta mengajar IV sebagai SIM nya. Tapi nyatanya ada sarjana tertentu di luar sekolah guru, memiliki Akta IV untuk melamar kerja. Dan diterima ternyata tidak mampu menajar, membuat RPP, media pendidikannya kurang sehingga jadi bahan tertawaan murid di depan kelas. Untuk itu, ada istilah profesional tidak saja pada dunia perkantoran, dunia usaha, tapi juga berdiri di depan kelas-pun harus profesional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar