Oleh:
H.M.Norsanie
Darlan
Makalah
ini dipaparkan pada Seminar Nasional yang disenggarakan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) bekerja sama dengan
Universitas
Muhammadiyah Palangka Raya (UMP)
di
Ballroom Aquarius Hotel, 2 Agustus 2012
1.Pendahuluan
Bila kita
mencermati pembangunan daerah bahwa sejak kejatuhan rezim Orde Baru pada tahun
1998, awal terjadinya paradigma pembangunan masyarakat di negeri tercinta ini
menjadi wacana yang selalu aktual untuk dibicarakan sampai sekarang. Hal
ini setidaknya tercermin dari tema:”...Reformasi Model GBHN: Mewujudkan sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah yang berorientasi pada
kesejahteraan rakyat...”. Dalam rangka seminar Nasional yang diselenggarakan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang bekerjasama dengan Universitas
Muhammadiyah Palangka Raya (UMP) dalam rangka 4 (empat) pilar kehidupan
bernegara yaitu: Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, NKRI dan
Bhineka Tunggal Eka.
Setelah
lahirnya UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengganti UU 22 tahun
1999 tentang pemerintahan daerah, kembali membawa perubahan besar dalam tatanan
pemerintahan daerah. Sehingga menurut: Nihin (2005;14) bahwa:”...kita
dihadapkan perubahan cepat dimana belum lagi UU 22 1999 secara penuh,
dilaksanakan telah diganti dengan UU 32 tahun 2004. hal ini tentu beralasan,
karena terdapat ketidak jelasan pada bunyi Undang-Undannya sendiri yang
menimbulkan penafsiran yang berbeda tentang pemberian otonomi daerah kepada
daerah serta implementasi penyelenggaraannya...”.
Pemilihan tema
seminar kita ini bukan tanpa alasan, melainkan penuh dengan pertimbangan
tentang Rencana Pembangunan yang telah dicanangkan Misi dan Visi pembangunannya.
Di kalangan ICMI membahas apa itu masyarakat madari. Apakah dalam aspek SDMnya ataupun
terhadap masa depan bangsa.
Dengan demikian, dijadikan sebagai
momentum untuk memikirkan dan mewujudkan suatu kondisi Masyarakat madani yang dicita-citakan oleh masyarakat
luas. Masyarakat yang Madani, Maju, dan Sejahtera” sebagai sebuah cita-cita pembangunan
bangsa tentunya bukanlah slogan atau label yang tanpa makna. Cita-cita itu
merupakan harapan masyarakat yang untuk mewujudkannya diperlukan
langkah-langkah nyata; salah satu di antaranya adalah membangun masyarakat
madani dengan memanfaatkan kearifan lokal.
Tulisan ini membahas permasalahan
pembangunan daerah berbasis kearifan lokal (Huma Betang) ini. Sehubungan dengan,
ada 2 (dua) konsep yang perlu mendapatkan pembahasan yaitu pembangunan masyarakat
dan kearifan lokal, dengan rujukan pada pembangunan Kalimantan Tengah.
Menurut Budi Mulyadi, (2008)
bahwa:”...
Pemerintah sudah seharusnya memperhatikan aspek kearifan lokal dalam membangun
daerah-daerah tertinggal...”. Aspek kearifan lokal memegang peranan penting
dalam pembangunan daerah tertinggal. Setiap daerah memiliki adat dan kebudayaan
masing-masing yang dipegang masyarakat setempat. Dan kehidupan mereka tidak
bisa dipisahkan dari pembangunan nasional.
2.Pembangunan Masyarakat:
Pengertian dan Karakteristik
2.1. Beberapa
Pengertian
Arti Pembangunan menurut Hasan Alwi
(2002;103) adalah:”…sebuah proses pembangunan yang dimulai dari negara maju
melalui pemerintah negara berkembang…”. Sehubungan dengan pembangunan daerah
berbasis kearifan lokal (Huma Betang) ini, adalah tentu sangat erat hubungannya
dengan pembinaan masyarakat yang lebih maju dari masa-masa sebelumnya. Karena
harapan pembangunan ini tidak sekedar di perkotaan, melainkan juga pedesaan
sangat diimpikan masyarakat.
Arti Masyarakat menurut: Shadily
(1980), Harsono (1997) Darlan (2002) adalah:”…sekumpulan manusia yang saling
berinteraksi dalam suatu wilayah tertentu dengan berbagai kesamaan tujuan satu
sama lainnya…”. Dengan demikian interaksi masyarakat dalam suatu wilayah
pembangunan daerah berbasis kearifan lokal (Huma Betang) ini, adalah adanya
sifat saling menghormati, saling menghargai satu sama lain. Walau masyarakat
Dayak berbeda suku, agama dan keyaninan. Tapi juga saling Bantu membantu satu
sama lain, bergotong royong adalah budaya masyarakat sejak nenek moyang.
Arti Kearifan asal katanya arif,
menurut Hasan Alwi (2002;65) adalah:”…dalam melakukan sesuatu dengan secara
bijaksana, cerdik dan pandai, dan
berilmu…”. Atau istilah lain:”harati”
Untuk membangunan tanpa ada pemihakan terhadap kelompok tertentu.
Arti Karakter, menurut: Moeliono
(1989; 389) dan Poerwadarminta (1986) Norsanie Darlan, (2011) menyebutkan:"...sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain...".
Sedangkan menurut: Esau dan Yakub
(2010) dalam kamus umum bahasa Indonesia, adalah:"...karakter ialah
tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dari yang lain...". Kemudian Leonardo A. Sjamsuri (2010) dalam
bukunya "'Kariama Versus Karakter" mengatakan bahwa karakter
adalah:"...merupakan siapa ands sesungguhnya...". Sedangkan karakter
dalam arti PLS, menurut Sutaryat (2010) bahwa:"...dalam menyusun kurikulum
bersifat fleksibelitas bagi pamong belajar, tutor, instruktur dapat
dilaksanakan dengan musyawarah dengan WB dan dalam penggunaan metoda
pembelajaran yang bersifat partisipatif...". Hal ini menunjukkan kepada
kegunaan dan keunggulan suatu produk manusia. Dengan demikian karakter yang
dimaksudkan adalah sikap yang jujur, rendah hati, sabar, tutus ikhlas dan sopan
dalam pergaulan. Artinya tidak berkarakter atau tabiat yang keras. Sebagai
tenaga yang dalam jabatan fungsional,
tentu harapan kita semua punya karakter yang santun, murah hati, berwawasan
luas dan bisa mengayomi kepada semua orang. Termasuk anak didiknya.
Tokoh yang memperkenalkan istilah
“masyarakat madani” di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem
sosial yang subur yang berazaskan moral Pancasila yang menjamin keseimbangan
antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Ia juga
memberikan gambaran kondisi yang bertentangan dengan masyarakat, yaitu adanya
kemelut yang diderita oleh umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap
melampaui batas, kemiskinan, ketidak adilan, kebejatan sosial, kejahilan,
kelesuan intelektual, dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi pembangunan
masyarakat yang kritis.
Walaupun
ide-ide masyarakat terhadap kearifan lokal menurut: Hidayat, (2008) bertolak
dari:”... konsep civil society,
namun ide-ide itu juga terdapat dalam konsep yang disebut Gelner dengan, budaya
tinggi yang juga terdapat dalam sejarah Asia Tenggara di kalangan Melayu
Indonesia...”.
Pernyataan, Komaruddin
Hidayat (1999: 267) bahwa:”... dalam wacana di Indonesia, istilah “pembangunan masyarakat”
kali pertama diperkenalkan oleh Nurcholish Madjid, yang spirit serta visinya
terbukukan dalam nama yayasan yang Pendidikannya...”. Secara “semantik” artinya
kira-kira ialah, sebuah excellent [paramount]
yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban, “Pembaharuan Pendidikan.
Selanjutnya, ia mempopulerkan istilah itu dalam wacana dan ruang lingkup yang
lebih luas yang kemudian diikuti oleh para pakar yang lain.
Menurut:
Nurcholish Madjid (2000: 80) dalam Hidayat (2008) bahwa:”... pembangunan masyarakat
merupakan masyarakat yang sopan, beradab, dan teratur dalam bentuk negara yang
baik...”. Menurutnya pembangunan masyarakat dalam semangat modern tidak lain
dari civil society,
karena kata ”pembangunan” menunjuk makna
peradaban atau kebudayaan. Oleh karena ide-ide dasar pembangunan masyarakat dan
substansi civil society yang
berkembang di dunia Eropa sama, maka Dawam Raharjo (2000) dalam Hidayat (2008) berpendapat
bahwa:”...substansi pembangunan masyarakat dalam istilah civil society di dunia Barat adalah
suatu konsep pembangunan masyarakat...”. Teori civil society dapat
dipinjam untuk menjelaskan istilah pembangunan masyarakat yang digali
dari khazanah sejarah
bangsa. Senada dengan hal ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara pembangunan
masyarakat yang lahir dari khazanah sejarah dan peradaban Islam
dengan civil society yang
lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat.
Sementara itu,
Emil Salim dalam Hidayat (2008) adalah:”...sebagai ketua Gerakan Masyarakat
Madani, pernah mengatakan bahwa masyarakat madani sebenarnya telah ada di
Indonesia...”. Wujud pembangunan masyarakat ini sesungguhnya telah tertanam
dalam masyarakat paguyuban yang dominan di masa lalu, ketika kelompok masyarakat berkedudukan
sama dan mengatur kehidupan bersama dengan musyawarah. Selanjutnya ia
menambahkan, bahwa substansi pembangunan masyarakat telah lama ada dalam etika
sosial politik masyarakat Indonesia yang berkembang dalam kultur masyarakat
Indonesia.
Semangat
berbudaya, sosial politik yang mengedepankan mekanisme musyawarah dalam
penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik merupakan budaya masyarakat
Indonesia yang menonjol. Dalam perspektif civil society (Barat) mekanisme musyawarah dalam
menyelesaikan permasalahan adalah merupakan salah satu prosedur demokrasi yang
substantif bagi pembangunan bangsa di daerah.
2.2.
Karakteristik
Bertolak dari
beberapa pengertian masyarakat madani yang telah disampaikan di atas, maka
karakteristik yang menonjol pada masyarakat madani menurut: Iyane Bone (2012) adalah:”...masyarakat
madani merupakan istilah yang dipakai untuk mengkonseptualisasikan sebuah
masyarakat ideal yang dicita-citakan. Istilah itu diterjemahkan dari bahasa
Arab “Mujtama’ madani” yang diperkenalkan kali pertama oleh Naquib
al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban yang juga filosof kontemporer dari Malaysia
tentang Masyarakat Madani…”.
Tokoh yang
memperkenalkan istilah “masyarakat madani” menurut: Hidayat, (2008) adalah:”...
di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur
yang berazaskan moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan
dengan kestabilan masyarakat...”. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang
bertentangan dengan masyarakat, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat
manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas, kemiskinan, ketidak
adilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual, dan kemunduran
budaya yang merupakan manifestasi masyarakat yang kritis. Walaupun ide-ide pembangunan
masyarakat bertolak dari konsep civil society, namun ide-ide itu juga
terdapat dalam konsep budaya tinggi melayu
yang juga terdapat dalam sejarah Asia Tenggara di kalangan Melayu Indonesia.
Menurut
Nurcholish Madjid (2000;80) dalam (Hidayat, 2008) bahwa:”...masyarakat madani
merupakan masyarakat yang sopan, beradab, dan teratur dalam bentuk warga negara
yang baik...”. Menurutnya masyarakat madani dalam semangat modern tidak lain
dari civil society, karena kata “madani” menunjuk pada makna peradaban atau
kebudayaan...”. Oleh karena ide-ide dasar masyarakat madani dan substansi civil
society yang berkembang di dunia Eropa sama, maka Dawam Raharjo berpendapat
bahwa substansi masyarakat madani dalam dunia Islam dan civil society di
dunia Barat adalah satu. Teori civil society dapat dipinjam untuk
menjelaskan istilah masyarakat madani yang digali dari khazanah sejarah.
Senada dengan hal ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara pemangunan masyarakat
yang lahir dari khazanah sejarah dan peradaban dengan civil society yang
lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat.
2.3. Ruang Publik yang Bebas
Adanya ruang
publik yang bebas merupakan sarana dalam mewujudkan pembangunan masyarakat.
Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu
melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami
distorsi dan kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan
dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat,
maka ruang publik yang bebas menjadi salah satu bagian yang harus
diperhatikan. Dengan menafsirkan ruang publik yang bebas dalam tatanan pembangunan
masyarakat, maka akan terjadi kebebasan warga negara dalam menyalurkan
aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum.
Dari keturunan
leluhur kita, masyarakat Dayak yang punya konsep bebas terpimpin ini,
menyatukan konsep di rumah betang untuk tidak ada terjadi perselisihan yang
berarti. Bahkan tingginya kekerabatan karena adanya rasa persaudaraan yang
tinggi, tidak saling menyalahkan satu sama yang lain. Namun adanya kekompakan
yang sulit diikuti oleh masyarakat lain terhadap budaya ”huma betang” ini.
2.4. Demokratis
Masyarakat
madani ditandai oleh berkembangnya iklim demokrasi berupa kebebasan berpendapat
dan bertindak baik secara individual maupun kolektif yang bertanggung jawab,
sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan
kestabilan sosial, serta penyelengaraan pemerintahan secara demokratis.
Masyarakat
yang demokratis inilah yang harus ditiru oleh generasi penerus kita. Apakah
dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi
saling tumpang tindih. Dan muncul pula budaya mereka yang saling
menghormati sesama. Tidak pernah ada larangan untuk datang pada komunitas
Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal sebelumnya. Jika seseorang atau
sekelompok masyarakat komunitas luar yang ikut serta dalam upaya bercocok
tanam, berladang, berkebun selalu dipersilahkan. Selama tidak menyalahi tata
aturan, tatanan budaya masyarakat setempat.
2.5. Penuh Toleran
Toleran
merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk
menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan
oleh orang lain.
Toleransi
muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di
”huma Betang” ini, seperti: perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua,
kakak dan adik atau terhadap mereka yang ada di sekitar. Budaya yang sudah
turun temurun, yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual
keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan lain, dipersiapkan bahan berupa:
beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain. Agar para penganut kepercayaan
beda turut merasakan segala suka cita mereka dalam kebersamaan. Namun cara
memasak dipersilahkan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini
terhadap para tamu yang datang ke desa mereka.
Umumnya masyarakat
Dayak penuh toleransi ini, terjadi pergeseran dalam 10-15 tahun terakhir.
Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi. Sebagai
contoh 20 tahun lebih ke masa lampau anak yang mau sekolah ke kota khususnya di
Palangka Raya. Sulit mencari rumah kost, yang banyak adalah anak dititip pada
keluarga yang tinggal di Palangka Raya. Apakah ia keluarga satu keturunan
darah, ataukah hanya kenalan tetangga desa. Disini toleransi yang sangat
tinggi. Karena anak yang ikut tinggal, di rumah tersebut tidak pernah membayar
sewa. Karena saling toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.
Toleransi di
sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal
dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. Dan disinilah
salah satu toleransi filosafi ”Huma Betang ” kita.
Rumah kost
mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain di luar provinsi
Kalimantan Tengah, di saat mereka mau melanjutkan pendidikan terutama kuliah.
Sehingga mereka pendatang usia muda dari luar ini, mau tidak mau harus mencari
tempat tinggal antara 4 – 5 tahun ke depan. Akhirnya berdirilah rumah-rumah
kost untuk kaum pendatang.
2.6. Pluralisme dan Multikulturalisme
Pluralisme
menunjuk pada keragaman/kemajemukan yang ada di masyarakat, menurut: Blum,
(2001: 19) dan Ahimsa-Putra, (2009:2) yakni:”...
kondisi dalam suatu masyarakat yang secara faktual berbeda-beda. Sementara itu
multi kultralisme lebih mengacu pada sikap warga masyarakat terhadap
perbedaan-perbedaan baik yang ada dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan
maupun dalam masyarakat lain...”. Sikap itu, dibentuk dengan
melibatkan seperangkat nilai yang didasarkan pada minat untuk mempelajari dan
memahami (understanding) dan
pada penghormatan (respect)
serta penghargaaan (valuation)
kepada kebudayaan masyarakat lain. Walaupun tidak selalu diikuti dengan
kesetujuan dan kesepakatan terhadap apa yang ada dalam kebudayaan lain, tetapi
yang ditekankan dalam multikulturalisme adalah pemahaman, penghormatan, dan
penghargaan yang tinggi.
Selain hal di
atas pruralisme menurut Norsanie Darlan (2004) adalah:”...di masyarakat Dayak
sungguh memberikan kearifan yang sangat tinggi harganya. Karena sejak masa
lampau, tidak pernah ada perselisihan yang berarti dalam kehidupan ”Huma
Betang” walau sudah menelan waktu yang panjang. Kehidupan saling menghargai,
saling menghormati dan saling tolong menolong yang tercipta sejak beberapa abad
silam, membuat suatu cerminan budaya
yang sangat tinggi dan dihormati...”.
Perselisihan
bisa terjadi karena dengan etnis lain dapat dilihat kejadian yang juga terjadi
hal sama seperti: dengan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Lampung dan di
DKI pada etnis yang sama. Hal itu adalah sebuah peristiwa pada titik puncak
sama dengan daerah lain, bahwa etnis yang pernah ada di Kalimantan Tengah ini,
betul-betul tidak bisa hidup bersama dalam ”Huma Betang”. Karena mereka
tidak punya filsafat: “...di mana bumi di injak, di situ langit di junjung....”.
Sementara etnis lain tak ternah terjadi dalam hal yang sama, karena adanya
saling pengertian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar