Oleh: Prof. Dr. H.M. Norsanie Darlan, MS PH
Guru Besar S-1 dan S-2 Pendidikan Luar
Sekolah (PLS)
Universitas Palangka Raya
Materi ini dipaparkan dalam acara Seminar Pendidikan di hadapan guru dan
Pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Barito Timur, 7 Agustus 2010
Pendahuluan
Figur guru profesional memang dewasa ini sungguh sedang dicari di kalangan
guru, yang akan menjadi sasaran masyarakat, yang menanggapi ada positif dan ada
pula negatif. Secara positif mereka
melihat kehadiran guru sebagai figur karena sejak dulu, seorang guru adalah mengantongi
pendidikan lebih dari kebanyakan orang. Sehingga perilaku guru perlu ditiru
oleh banyak orang. Guru dapat dijadikan sampel pembangunan untuk menciptakan
generasi penerus bangsa dimasa mendatang. Sejak zaman penjajahan, seorang guru
menjadi objek masyarakat yang perilaku guru ditiru oleh banyak orang. Namun ada
kalanyak guru juga mendapat cacian dan hinaan oleh orang tua muridnya sendiri. Kenapa
demikian, karena dari segi kehidupan sehari-hari di pedesaan. Guru terlalu
pasrah dan dimanja keadaan. Pasrah, guru mau tinggal di rumah-rumah dinas yang
kadang kala rumah yang ditempatinya sudah tidak layak huni. Perbuatan seperti
ini, membuat sebagian masyarakat menganggap guru yang hidupnya serba
kekurangan. Padahal tidak demikian. Guru dibanding jumlah penghasilan rata-rata
penduduk di sekitar tinggalnya menduduki penghasilan meenengah ke atas. Guru
memiliki penghasil tetap setiap bulan. Apakah pada masa bulan-bulan mengajar
atau masa libur sekolah, gajinya tetap selalu dibayar. Namun karena menempati rumah
yang terlalu sangat sederhana, membuat murid dan orang tua murid, jadi
menganggap guru, orang miskin. Sehingga guru sering tidak dipercaya oleh
masyarakat. Murid hanya taat dengan guru sebatas di sekolah, setelah mereka
pulang guru kurang dihargai.
Dengan melihat hal-hal di atas, dalam materi ini kita bersama mengupayakan
agar kalangan guru memiliki kepercayaan dari masyarakat. Tingkat kepercayaan
mereka, bahwa guru dapat dijadikan figur orang yang dipercaya masyarakat.
Harapan kita bersama dimasa datang guru menjadi figur di lingkungannya.
Tulisan ini mengambil dari berbagai sumber, apakah dari buku-buku materi
kuliah, hasil-hasil seminar dan dari media internet.
Beberapa
Pengertian
Dalam bagian ini, penulis menguraikan beberapa pandapat ahli bahasa terhadap
judul di atas, yang akan diuraikan secara singkat, sederhana sebagai berikut:
Bicara tentang arti Figur: menurut Hasan Alwy (2002; 316)
adalah:”...suatu bentuk wujud tokoh peran seseorang dan merupakan sentral yang
menjadi pusat perhatian banyak orang...”. Sedangkan Hassan Shadily (1980; 1003)
menyebutkan:”...sosok seseorang, bisa juga dalam bentuk benda yang punya
bentuk, atau seseorang yang dapat mewakili yang lain-lain...”. Dengan demikian figur yang diharapkan pada
seorang guru adalah tidak lain ia harus menjadi contoh bagi orang banyak
sehingga segala sesuatu perbuatannya menjadi panutan bagi orang banyak atau
masyarakat.
Arti Guru: menurut: Hassan Shadily (1980; 1188) adalah: guru (India) orang
yang mengajarkan tentang kelepasan dari Sangsara (biasanya bersifat gaib). Di
pihak lain guru selalu diperlukan; sering kali dipuja sebagai
Dewa...”.Sedangkan pendapat Hasan Alwy (2002; 377) adalah:”... orang yang
pekerjaannya sehari-hari (mata pencahariannya, profesinya mengajar). Guru
terbagi menjadi 2 guru formal tugasnya di sekolah dan tutor (guru) non formal
yang tugasnya dalam proses belajar mengajar di PKBM, kursus dan berbagai
pelatihan lainnya. Masih ada istilah selain tutor, seperti inspektur,
fasilitator dll.
Arti Profesional: Hasan Alwy (2002; 897) adalah:”...bidang pekerjaan yang
dimiliki seseorang, dalam sudut pandang lain merupakan kepandaian (keterampilan)
khusus seseorang dalam menjalankan tugasnya....”. Pendapat lain tentang profesional seperti:
Hassan Shadily (1984; 2774) adalah:”...orang yang mengerjakan sesuatu karena
jabatan atau profesinya, bukan hanya untuk kesenangan saja, tetapi merupakan
suatu mata pencaharian dalam mencari nafkah...”. Termasuk juga mereka yang mengemban
jabatan fungsional guru, PPL, PLKB, Tutor, Instruktur, dll.
Tanggapan Masyarakat Terhadap
PNS
Sungguh memerlukan perhatian yang
sangat serius, bahwa masyarakat sejak lama sudah melirik secara satu persatu,
terhadap setiap PNS di mana-mana di tanah air kita kita tercinta ini. Mereka
melihat senangnya seseorang penjadi PNS. Walau juga mereka maklumi dewasa ini,
bahwa menjadi PNS sungguh memerlukan pengorbanan dengan memperoleh dan menempuh
pendidikan bertahun-tahun sekolah. Tentu tidak semua warga masyarakat
mendapatkannya. Dipihak lain seleksinyapun semakin tahun semakin ketat dan
KKN-nya walau masih ada, hanya karena tidak diketahui wartawan. Atau memang
para pengambil kebijakan bertahan dengan mempertahakan nepotesmenya.
Warga masyarakat melihat PNS setiap
tanggal 1 ia mendapatkan gaji. Tidak masalah apakah ia bekerja atau tidak. Atau
datang ke kantor tapi, tidak kerja. Ini sering menjadi cemoohan masyarakat yang
mengatakan: ”... mangat ih jadi PNS setiap tanggal 1 dinun gajih. sedangkan
ikey amun dia bagawi, kuman narai...”.
Tanggapan masyarakat itu, mari kita
perbaiki kinerja kita, jika ternyata benar. Agar PNS secara keseluruhan tidak
terkena getahnya. Sebab tidak semua PNS yang kinerjanya rendah. Tapi yang
muncul ke permukaan di kalangan masyarakat tentu yang sering nongkorong di
warung kopi disaat jam kerja. Sering ikut melakukan moelimoe. Namun tidak
sedikit setiap tahun PNS yang mendapatkan penghargaan dari pemerintah karena
prestasi kerjanya.
Figur publik
Dalam kasus figur publik penting, akan tersedia banyak sumber publikasi pihak ketiga terpercaya yang dapat dijadikan sumber informasi, dan karenanya biografi Wikipedia (2010) seharunya hanya mendokumentasikan apa yang dikatakan oleh sumber-sumber tersebut. Jika suatu isu atau kejadian layak, relevan, dan terdokumentasi dengan baik oleh sumber terpercaya, informasi tersebut dapat dicantumkan — bahkan jika bersifat negatif dan subyek bersangkutan tidak menyukainya.
Contoh: "Joko S. dan Rini S. (2010) bercerai dengan tidak baik-baik". Apakah pernyataan itu layak, dapat diverifikasi dan penting untuk dicantumkan dalam artikel? Jika tidak, jangan cantumkan. Artinya harus betul dan tidak cerita bohong belaka.
Contoh
lain: Seorang politisi diisukan berselingkuh. Ia membantah, tapi Kompas
mempublikasikan hal tesebut dan menjadikannya skandal publik. Isu tersebut
dapat dimasukkan dalam artikel dengan mengutip Kompas sebagai sumbernya.
Politisi ini, adalah publik figur di masyarakat. Sehingga ia menjadi masalah.
Materi
dari sumber primer harus digunakan dengan hati-hati. Sebagai contoh, catatan
publik yang menyertakan detil pribadi seperti harga rumah, registrasi
kendaraan, dan alamat rumah atau kantor secara umum sebaiknya tidak digunakan.
Jika suatu fakta pertama kali telah dipublikasikan oleh sumber sekunder yang
dapat diverifikasi, dapat diterima untuk menggunakan sumber primer untuk
mendukung sumber sekunder tersebut. Materi yang berhubungan dengan
kelayakannya, seperti catatan pengadilan untuk tokoh yang terlibat dalam
perselisihan hukum, diizinkan, sebagaimana halnya tanggal kelulusan, tanggal
pernikahan, dan semacamnya, dimana
informasi-informasi ini tersedia untuk umum dan informasi tersebut pertama kali
dilaporkan oleh sumber sekunder yang dapat dibuktikan.
Publik
figur saat tulisan ini diturunkan sedang hangat pembicaraan di media cetak dan
elektronik tentang Aril dan Luna Maya. Mereka adalah orang yang
disanjung-sanjung kalangan muda. Tiba-tiba beredar rekaman pornografi yang
sebetulnya bertentangan dengan budaya dan agama di publikasikan oleh orang yang
tidak bertanggung jawab. Membuat nasib mereka ini jadi turun ke titik 0. Hal
seperti ini figur guru pun akan terjadi jika hal-hal itu ia lakukan dengan
berbagai bentuk. Termasuk masalah moelino.
Figur non-publik
Wikipedia
(2010) juga memuat biografi tokoh yang walaupun cukup layak sebagai isi tulisan
artikel, berhak dihargai privasinya sebagai figur non-publik. Pada kasus
semacam ini, kontributor harus membatasi diri dan hanya mencantumkan informasi
yang relevan bagi kelayakannya. Materi dari sumber primer secara umum sebaiknya
tidak digunakan kecuali jika sebelumnya telah dicantumkan pada sumber sekunder
yang dapat diverifikasi.
Pada
kasus abu-abu, pedoman utama adalah "tidak merugikan". Wikipedia
(2010) adalah:”...suatu ensiklopedia, bukan tabloid. Bukanlah tugas kita untuk
menimbulkan sensasi, atau menjadi kendaraan utama untuk menyebarkan isu
mengenai kehidupan seseorang...”.
Guru jangan
Gaptek
Sudah
tidak waktunya lagi bila sebagai guru, yang kurang memanfaatkan kemajuan tekhnologi.
Tahun 1991 penulis pernah diundang oleh seorang kepala sekolah menengah atas di
salah satu kabupaten induk dewasa ini di kalimantan tengah. Dalam menjawab
kesediaan memberikan materi, penulis meminta dan bertanya apa ada di sekolah
yang sdr pimpin itu media belajar bernama OHP. Sang kepala sekolah menjawab ada,
lengkap.
Dengan
demikian, maka materi sajian dipersiapkan dari Palangka Raya selain bahan
tertulis, juga kertas transfaran. Namun sangat disayangkan sudah 45 menit waktu
terlalui, kok belum tersedia alat media belajar seperti OHP yang diharapkan.
Ternyata guru-guru SLTA saat itu masih belum banyak yang mengenal OHP. Kepala
sekolahpun meminta maaf bahwa OHP yang ia katakan itu sudah tiada. Dipihak lain,
penulis bertanya kepada TU penjaga gudang mengatakan ada, ia segera mengambil.
Namun OHP tersebut sejak diterima sekolah sampai hari itu, baru pernah dibuka.
Walau sudah sarang laba-laba disertai debu yang tebal menempati OHP tersebut,
ternyata tidak semua guru juga tahu bahwa di sekolah mereka tersedia 3 OHP yang
nongkrong, karena mareka tidak bisa menggunakannya.
Dengan
kemajuan IPTEK dewasa ini, guru harus lebih dahulu tahu media belajar terkini
di banding masyarakat dalam penerapan bahan belajar siswa. Agar teknologi
pembelajaran tidak terkesan tadisional, maka para guru diharapkan membuat bahan
ajar yang sesuai dengan zamannya. Hal
senada dikemukakan oleh Fathurraji dan Sagitaria Ningrum, (2010) yang
menekankan agar guru tidak gagap teknologi (gaptek) di kelas.
Standar
Pelayanan Publlik
Kepuasan
masyarakat/pelanggan adalah terpenuhinya keinginan dan kebutuhan pelanggan.
Jika hal ini guru sebagai sasaran, berarti orang tua dan murid. Suatu pelayanan
dinilai menuaskan, bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dari harapan
pelanggan. Apabila pelanggan merasa tidak puas, terhadap suatu pelayanan yang
disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak
efesien.
Bila
kita memperhatikan standar pelayanan adalah suatu tolok ukur yang dipergunakan
untuk acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kometmen atau janji dari pihak
penyedia pelayanan kepada pelanggan untuk memberikan pelayanan yang
berkualitas. Sedangkan pelayanan berkualitas adalah pelayanan yang cepat,
menyenangkan, tidak mengandung kesalahan, serta mengikuti proses dan prosedur
yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Jadi pelayanan yang berkualitas tidak
hanya ditentukan oleh pihak yang melayani, tetapi juga pihak yang ingin dipuaskan
ataupun dipenuhi kebutuhannya. Kebutuhan orang tua, anak, terhadap anaknya agar
naik kelas dan berprestasi.
Standar
pelayanan dapat juga bermanfaat untuk melakukan perbaikan kinerja pelayangan
publik. Perbaikan kinerja pelayanan publik mutlak harus dilakukan, dikarenakan
dalam kehidupan bernegara pelayanan publik menyangkut aspek kehidupan yang
sangat luas. Hal ini disebabkan tugas dan fungsi utama pemerintah adalah
memberikan dan menfasilitasi berbagai pelayanan publik yang perlukan oleh
masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun
pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masysrakat dalam
bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan
lainnya.
Undang-Undang
Guru dan Dosen
Bila
kita melirik terhadap Undang-Undang Guru dan Dosen. Pasti memberikan harapan
besar terhadap masa depan guru dan dosen yang sungguh menggembirakan. Kita
pastri pernah mendengar keluhan orang terhadap istilah: ”Oemar Bhakri”, yang
dalam hampir setengah abad silam, pekerjaan guru adalah pilihan paling akhir
orang dalam mencari kerja. Syukur kalau dosen, mahasiswa berprestasi terlebih
dahulu dirangkul untuk dijadikan dosen. Yang nilai dibawahnya biarlah mereka
cari kerja ke non dosen.
Bila
kita melirik terhadap UU RI 14 /2005, dewasa ini lapangan kerja diperebutkan
cenderung ke guru dan dosen. Mereka yang tidak pernah kuliah jadi calon guru
sekalipun cara sertifikat akta dari mana agar bisa jadi guru. Hal ini dilatar
belakangi masa depan guru sungguh menggembirakan. Karena akan mendapatkan
tunjangan fungsional sangat menjanjikan. Untuk guru 1 x juga pokok dan dosen 2
x gaji pokok. Dan khusus untuk Profesor mendapatkan 3 x gaji pokok, ditambah
tunjangan kehormatan dan profesi.
Dipihak
lain ada pula kendala, tidak semua guru dan dosen dapat meraih hal-hal di atas.
Sebab guru kesulitan kalau tidak
memiliki ijazah sarjana. Dosen dituntut minimal S2 yang sebaiknya linier.
Artinya guru masa berijazah sarjana ekonomi tentunya harus S.Pd. S2 harusnya
M.Pd bukan gelar-gelaran. Tanpa hal-hal di atas, tentu kesulitan meraih
tunjangan yang kita harapkan. Dan ada pertanyaan bagaimana yang
sarjana lain? Tentu harus dipikirkan dahulu.
Menjadi
celaan
Adalah sangat disesalkan, jika seorang guru terlibat dalam kegiatan minum
minuman keras, perjudian dan lain seagainya. Disadari atau tidak, jika seorang
guru yang bakal dijadikan publik figur di masyarakat, melakukan perbuatan
seperti berjudi. Telepas apakah faktor pengsaruh budaya ataukah memang
disengaja. Tentu saja hal ini, menjadi sebuah perbuatan yang kurang menyenangkan
di masyarakat. Kenapa ?, karena masyarakat berharap anak mereka bersekolah
diharapkan masa depannya lebih baik dari orang tua mereka. Namun kalau warga
masyarakat melihat guru anaknya melakukan perbuatan seperti minum baram, bir
dsb dan ternyata mabuk. Maka lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap guru dan
sekolah itu. Demikian juga jika seorang guru melakukan perjudian apakah factor budaya ataukah hal-hal lain,
maka perbuatan itu dapat menjadikan anggta PGRI ini, tercemar di mata
masyarakat.
Guru Baru Ditentang
Kalangan Guru
Tahun 2005,
penulis saat itu selain sebagai guru besar PLS, juga dipercayakan gubernur
sebagai kepala Badan Diklat Provinsi Kalimantan Tengah. Saat memberikan
pembekalan kepada para calon pegawai negeri sipil (CPNS) di kabupaten Kotawaringin
Barat, kepala Dinas pendidikan dan pengajaran memohon kepada penulis untuk
menyediakan waktu guna bertatap muka dengan para guru dan Kepala-kepala
sekolah.
Pertemuan
ini, ternyata terjadi keberatan bagi berbagai lapisan kaum guru dan kepala sekolah
terhadap para sarjana lain (berpendidikan non guru) yang memiliki setifikat akta IV menjadi guru. Para
guru merasakan mengikuti kuliah 4 – 5 tahun kuliah di IKIP ataupun FKIP mereka yang
dididik menjadi guru. Sementara sarjana lain non guru memiliki akta IV ikut tes
ternyata dapat masuk jadi guru. Dan tidak menutup kemungkinan membuat kalangan
tertentu kaget melihatnya. Dipihak lain, mereka tidak punya keterampilan
mengajar di depan kelas. Sehingga membuat pertanyaan besar mengapa mereka bisa
masuk dan lulus. Sementara yang kuliah 4 – 5 tahun ada yang gagal masuk karena:
“… fator ex…”.
Para guru juga direpotkan oleh mereka yang tidak punya bekal
jadi guru, karena guru-guru seneor direpotkan dari guru non IKIP/FKIP ini,
karena mereka tidak terbiasa membuat satuan acara pelajaran (SAP) atau istilah
lain sekarang rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Dari berbagai
hal itu, para mereka ini walau kelompoknya sangat kecil, mendapat tantangan
besar dari anggota PGRI.
Profesional
Ketika menghadapi tuntutan-tuntutan pembelajaran demokratis, profesionalisme menjadi taruhan. Sebab, menurut: Eko Prasetyo (2008) bawah tuntutan itu merefleksikan suatu kebutuhan yang kian kompleks dari siswa, tidak sekadar kemampuan guru menguasai pelajaran semata, tapi juga kemampuan lainnya yang bersifat psikis, strategis, dan produktif. Tuntutan demikian hanya bisa dijawab oleh guru yang profesional.
Ketika menghadapi tuntutan-tuntutan pembelajaran demokratis, profesionalisme menjadi taruhan. Sebab, menurut: Eko Prasetyo (2008) bawah tuntutan itu merefleksikan suatu kebutuhan yang kian kompleks dari siswa, tidak sekadar kemampuan guru menguasai pelajaran semata, tapi juga kemampuan lainnya yang bersifat psikis, strategis, dan produktif. Tuntutan demikian hanya bisa dijawab oleh guru yang profesional.
Karena itu,
Sudarwan (2003) menegaskan bahwa tuntutan kehadiran guru yang profesional tidak
pernah surut. Sebab, dalam latar proses kemanusiaan dan pemanusiaan, dia hadir
sebagai subjek yang paling diandalkan. Istilah profesional berasal dari
profession yang artinya sama dengan pekerjaan yang memerlukan keahlian yang
diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus. Maka, para profesional adalah
para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoleh pendidikan atau pelatihan
khusus untuk pekerjaan itu.
Salah satu
tuntutan guru profesional adalah menciptakan suasana belajar yang menyenangkan
bagi siswa. Karena itu, guru profesional perlu menciptakan situasi pembelajaran
yang bisa menumbuhkan kesan hiburan. Mungkin, banyak siswa yang menyukai
hiburan. Namun, mayoritas mereka jenuh dengan belajar. Bagi kebanyakan siswa,
belajar adalah membosankan atau menjenuhkan. Mereka merasa bahwa kelas seperti
penjara. Berdasar evaluasi tentang hal tersebut, sangat dibutuhkan adanya
proses pembelajaran yang bernuansa menghibur. Nuansa pembelajaran ini menjadi
”pekerjaan rumah” bagi para guru, khususnya guru profesional.
Pelayanan Prima
Masyarakat
dewasa ini, sangat menantikan adanya pelayanan prima di berbagai bidang.
Kalangan guru tentu ditunggu-tunggu oleh masyarakat bagaimana mereka memberikan
pelayanan prima terhadap orang tua murid yang selalu mendambakannya.
Pertanyaan
yang muncul adalah bagaimana bentuk pelayanan prima guru terhadap masyarakat,
termasuk para orang tua murid. Pelayanan prima yang dinantikan masyarakat,
tentu tidaklah dapat secara spontan dapat kita laksanakan. Namun pelayanan
perima akan kita nantikan tidaklah sebenarnya terlalu sulit. Misalnya dalam hal
pemberian bimbingan pada anak, sehingga anak yang kurang mencerna dalam proses
belajar, terjadi perubahan pada anak
dari sebelumnya, sebagai akibat merdapat pelayanan dari guru. Cara
lain dengan memberikan bimbingan belajar anak dalam mata pelajaran tertentu.
Pertanyaan lain, bagaimana kalau anak yang membangkan terhadap proses belajar
mengajar di sekolah ?
Terima
TPP
Banyak masalah di kalangan guru dalam hal menerima tunjangan Profesi
Pendidikan. Hal ini terjadi karena dengan banyaknya tenaga guru, dan tidak
semua tenaga guru yang mau mengikuti proses seperti yang diharapkan.
Dalam makalah ini penulis mengangkat kasus kota Surabaya Yusuf Masruh
(2010) yang jumlah guru berkisar 4000 orang
seribu orang lainnya bermasalah karena tidak mau menyerahkan nomor
rekening Bank yang ia miliki. Selain hal itu ada 3000 guru non PNS. Kalau
dijumlah guru di Jawa timur sebanyak 10.032 orang.
Mereka yang punya hak untuk menerima tunjangan profesi pendidikan ini, tentu
saja melalui proses yang panjang. Seperti sertifikasi dan berbagai persyaratan
lainnya. Termasuk kita di Kalimantan Tengah.
Dengan adanya tunjangan profesi pendidikan ini, diharapkan guru tidak lagi
dipandang sebelah mata oleh kalangan tertentu. Masa kurun waktu setengah abad
berlalu, guru memang pilihan paling akhir bagi sebagian orang. Mereka yang memilih jadi guru banyak karena
keterpaksaan. Hanya sebagian kecil yang karena tuntutan emosional dari dalam
dirinya. Selebihnya karena tidak dapat kerja di tempat lain, maka memilih jadi
guru.
Bagaimana di Kalimantan Tengah, saat tulisan ini naik cetak, kasus yang
hampir sama juga terjadi. Informasi yang menyejukkan dari Kalimantan Tengah
bahwa guru tunjangan tunjangan profesi pendidikan dibayarkan bulan agustus
2010. Semoga hal itu benar. Alasannya memang keterlambatan anggaran dari pusat,
sehingga membuat harap-harap cemas kepada setiap guru di tanah air tercinta
ini.
Dewasa ini pekerjaan profesi guru dalam 5 – 10 tahun mendatang akan terjadi perubahan besar. Guru diharapkan
bagaikan ”Oemar Bakri”, mulai terabaikan. Hal ini perlu perbaikan dan masalah
itu lambat laun akan hilang sendiri.
Profesionalisme
Guru Dalam Mennghadapi Globalisasi
Pendidikan nasional dewasa ini dihadapkan pada empat krisis pokok, yakni
kuantitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme, dan manajemen. Lebih
rinci Tilaar menyatakan bahwa ada tujuh masalah pokok dalam sistem pendidikan
nasional, yaitu:
(1) menurunnya akhlak dan moral peserta didik;
(2) pemerataan kesempatan belajar;
(3) masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan;
(4) status kelembagaan;
(5) manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan
pembangunan nasional;
(6) sumber daya manusia yang belum profesional.
Beberapa permasalahan yang dari dulu sampai saat ini dihadapi sektor
pendidikan, antara lain: pertama, pemerataan dan perluasan pendidikan
dasar dan menengah; kedua, rendahnya mutu pendidikan; ketiga,
relevansi pendidikan yang belum maksimal; keempat, manajemen pendidikan
yang masih rendah; dan kelima, pembiayaan pendidikan yang belum memadai.
Pendidikan nasional juga dihadapkan pada beberapa masalah:
Pendidikan nasional juga dihadapkan pada beberapa masalah:
(1) pendidikan belum secara terencana dan sistematik deber-dayakan untuk
berfungsi dan mencapai tujuan pendidikan nasional secara optimal;
(2) pendidikan nasional sebagai wahana sosialisasi dan pembudayaan berbagai
warisan budaya bangsa, nilai-nilai kebudayaan nasional, dan nilai-nilai yang
dituntut oleh masyarakat global yang dikuasai oleh iptek dan persaingan global,
belum sepenuhnya terlaksana;
(3) pendidikan nasional yang sudah dilaksanakan secara merata belum
berhasil mengembangkan insan pembangunan yang mampu mengolah dan mengelola
sumber daya alam, mengelola modal, mengembangkan teknologi, menghasilkan
komoditas yang mutunya mampu bersaing dan mampu mengembangkan sistem
perdagangan;
(4) pendidikan nasional belum sepenuhnya mampu mengem-bangkan manusia
Indonesia yang religius, berakhlak, berwatak ksatria, dan patriotik.
Pada persaingan globalisasi saat ini, ada beberapa problematika pendidikan
nasional yang dihadapi oleh bangsa kita, antara lain adalah sebagai berikut:
1.Dalam rumusan kebijakan dinyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai alat
pembangunan nasional, namun dalam realitas terlihat bahwa kebijakan pendidikan
masih cenderung sebagai alat kekuasaan yang belum menjadi prioritas
pembangunan.
2. Paradigma pendidikan baru dapat dikatakan berhasil jika dapat memenuhi
kepentingan dan harapan kekuasaan, bukan pada tuntutan perubahan dan
pengembangan ilmu pengetahuan serta kebutuhan masyarakat yang kompetitif.
3.Tugas utama pendidikan dirumuskan bukan sebagai perintis masa depan yang
mengacu pada prinsip-prinsip profesionalitas, tetapi sebagai usaha mewariskan
masa lalu (status quo) dan berada pada ruang kegiatan rutinitas belaka.
4.Anggaran pendidikan khususnya untuk kebutuhan kegiatan pembelajaran di
sekolah yang bersumber dari APBD kabupaten/kota dan provinsi maupun yang
bersumber dari APBN relatif masih kecil, meskipun dalam UUD 1945 yang telah
diamandemen ditentukan anggaran pendidikan minimal 20% dari keseluruhan APBN.
5. Kebijakan perubahan kurikulum tidak diuji atas dasar kebutuhan (need
assessment) di lapangan, tetapi atas dasar kajian, perkiraan, dan kemauan
birokrasi dengan mendapat pembenaran oleh para pakar yang ditunjuk oleh
birokrasi tersebut.
6.Pasar kerja bagi lulusan sekolah labil, khususnya sekolah Menengah dan
Kejuruan, sehingga setiap tahun angka pengangguran lulusan sekolah menengah
terus bertambah.
Terlepas dari semua permasalahan pendidikan nasional tersebut tentunya kita
sama-sama setuju bahwa guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses
pendidikan. Proses pendidikan merupakan kegiatan memobilisasi segenap
komponen pendidikan oleh pendidik (guru) terarah kepada pencapaian tujuan
pendidikan. Proses pendidikan melibatkan banyak hal, yaitu :
1) Subjek yang dibimbing (peserta didik). Peserta didik berstatus sebagai
subjek didik. Pandangan modern cenderung
menyebut demikian oleh karena peserta didik
(tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui
keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan
diri (mendidik diri) secara terus menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup
yang dijumpai sepanjang hidupnya.
2) Orang yang membimbing (pendidik).
Pendidik ialah orang yang bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik
mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab
terhadap pendidikan yaitu orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran,
pelatihan, danmasyarakat/organisasi.
3) Interaksi antara peserta didik dengan
pendidik (interaksi edukatif).
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah
komunikasi timbal balik antar peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada
tujuan pendidikan. Pencapaiantujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui
proses berkomunikasi intensif dengan memanipulasikan isi, metod, serta
alat-alat pendidikan.
4) Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan
pendidikan).
Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena
memuat nilai-nilai yang sifatnya abstrak. Tujuan demikian bersifat umum, ideal,
dan kandungannya sangat luas sehingga sulit untuk dilaksanakan di dalam praktek.
Sedangkan pendidikan harus berupa tindakan yang ditujukan kepada peserta didik
dalam kondisi tertentu, tempat tertentu, dan waktu tertentu dengan menggunakan
alat tertentu.
5) Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pen-didikan).
Dalam
sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam kurikulum yang akan
disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini meliputi materi inti
maupun muatan lokal. Materi inti bersifat nasional yang mengandung misi
pengendalian dan persatuan bangsa. Sedangkan muatan lokalmisinya mengembangkan
kebhinekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi lingkungan.
6) Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode).
Alat
dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Alatmelihat
jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektivitasnya. Alat dan metode
diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja
untuk mencapai tujuan pendidikan.
7) Tempat peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan).
Lingkungan pendidikan biasa
disebut tri-pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
(Makagiansar, 1992) Profesionalisme guru, tentu harus terkait dan dibangun
melalui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata dalam menjalankan
dan menyelesaikan tugas-tugas dan pekerjaannya sebagai guru, dengan demikian
guru dapat menghadapi globalisasi. Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru
tersebut adalah : Kompotensi profesional, yaitu kompetensi pada bidang
substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, metode
pembelajaran, sistem penilaian, pendidikan nilai dan bimbingan. Kompetensi
sosial, yaitu kompetensi pada bidang hubungan dan pelayanan, pengabdian
masyarakat. Kompetensi personal, yaitu kompetensi nilai yang dibangun melalui
perilaku yang dilakukan guru, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik,
mengesankan serta guru yang gaul dan ”funky” sehingga menjadi dambaan setiap
orang, sosok guru yang menjadi tauladan bagi siswa dan panutan masyarakat.
Penilaia terhadap profesi guru tidak hanya sekedar pada aspek kualitas,
administrasi dan manajemen saja, tetapi masalah guru lebih luas dan kompleks,
menyangkut kemampuan profesional, personal, sosial termasuk perilaku dan
kurangnya penghargaan yang layak terhadap profesi guru. Penilaian harus
dilakukan oleh mereka yang memiliki kemampuan dan kompetensi pada bidang
kependidikan. Efektivitas dan efisien belajar individu di sekolah sangat
bergantung kepada peran guru.
Dalam era Globalisasi, profesionalisme guru dalam pengertian pendidikan
secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai berikut:
1.Konservator
(pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
2.Inovator
(pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
3.Transmitor
(penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada
peserta didik;
4.Transformator
(penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut
melalui penjelmaan dalam pribadinya dan
perilakunya, dalam
proses interaksi dengan sasaran didik;
5.Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan
menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang
mencipta-kannya).
Sedangkan
dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip
pemikiran Gagne dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran
peserta didik, yang mencakup:
1. Guru
sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di
dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
2. Guru
sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin,
merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai
dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai seorang sumber (resource person),
konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik
(manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
3. Guru
sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan
dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat
keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik
mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk dapat bersaing dalam era reformasi sehingga pendidikan di Indonesia mampu bersaing dengan negara lain. Kemampuan seorang guru dalam melakukan proses pembelajaran antara lain adalah mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).
Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk dapat bersaing dalam era reformasi sehingga pendidikan di Indonesia mampu bersaing dengan negara lain. Kemampuan seorang guru dalam melakukan proses pembelajaran antara lain adalah mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).
Menghadapi pesatnya persaingan pendidikan di era global ini, semua pihak
perlu menyamakan pemikiran dan sikap untuk mengedepankan peningkatan mutu
pendidikan. Pihak-pihak yang ikut meningkatkan mutu pendidikan adalah
pemerintah, masyarakat, stakeholder, kalangan pendidik serta semua subsistem
bidang pendidikan yang harus berpartisipasi mengejar ketertinggalan maupun
meningkatkan prestasi yang telah diraih. Dari pihak yang disebutkan di atas,
dalam pembahasan tulisan ini yang disoroti hanya masalah “guru”, sebab ”guru
menjadi fokus utama dari kritik-kritik atas ketidakberesan sistem pendidikan”.
Namun tidak dapat dimungkiri bahwa, “pada sisi lain guru juga menjadi sosok
yang paling diharapkan dapat mereformasi tataran pendidikan. Guru menjadi mata
rantai terpenting yang menghubungkan antara pengajaran dengan harapan akan masa
depan pendidikan di sekolah yang lebih baik” [Naniek Setijadi, From:
http://tpj. bpk penabur. or.id/..., , akses, selasa, 26 April 2005, jam 10.15].
Di lain pihak, Moh. Surya
(1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat.
Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola
pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran
dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai
pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru
berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat
(social inovator), dan agen masyarakat (social agent). Lebih jauh, dikemukakan
pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan
administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang
psikologis. Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi
pendidikan, guru berperan sebagai :
1.Pengambil
inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;
2.Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa
suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan;
3.Seorang
pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang
harus
diajarkannya;
4.Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik
melaksanakan disiplin;
5.Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar
pendidikan dapat berlangsung dengan baik;
6.Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk
mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi
pewaris masa depan; dan
7.Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan
berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.
Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan
sebagai:
1.Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan
pelayanan kepada masyarakat;
2.Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara
terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya;
3.Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap
peserta didik di sekolah;
4.Model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh
oleh para peserta didik;
5.Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik
diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.
Rendahnya kualitas tenaga
kependidikan, khususnya guru pada era globalisasi saat ini merupakan masalaah
pokok yang dihadapi pendidikan di Indonesia. Katakan saja sebagai contoh,
motivasi menjadi tenaga pendidik [guru] di kebanyakan sekolah-sekolah selama
ini dikarenakan dan hanya dilandasi oleh faktor pengabdian dan keikhlasan,
sedangkan dari sisi kemampuan, kecakapan dan disiplin ilmu dikatakan masih
rendah [baca, Hujair, 2003: 226]. Hal ini, menyebabkan rendahnya kualitas
pendidikan dan tentu mengalami kesulitan untuk memiliki keunggulan kompetitif.
Maka, masalah pokok dalam pendidikan di Indonesia pada dasarnya adalah masalah
yang terkait dengan faktor kualitas tenaga guru [Asep Saeful Mimbar dan Agus
Sulthonie, 25 Juli 2001]. Fazlur Rahman, menyatakan Indonesia, seperti halnya
negera-negara berkembang lainnya, juga menghadapi masalah pokok dalam menghadapai
globalisasi saat ini : yaitu masalah kelangkaan tenaga yang memadai untuk
mengajar dan melakukan riset. Lanjut Fazlur Rahman, bagaimana memproduksi
tenaga seperti itu [Fazlur Rahman,1985:151]. Pandangan ini, menjadi tantang dan
persolan bagi pendidikan di Indonesia untuk berusaha membangun kualitas sumber
dayanya.
Tuntutan sumber daya pendidikan yang berkualitas dan profesional menjadi
suatu keharusan pada era global,
informasi dan reformasi pendidikan. Indikator perubahan sekarang yang dapat
diamati adalah sebagian guru mulai melanjutkan pendidikannya kejenjang S-2,
sekolah-sekolah mulai menerapkan KTSP dan sudah berbenah menuju ”manajemen
berbasis sekolah” [MBS] yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah.
Dengan demikian, ”sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan
mengalokasikannya sesuai dengan perioritas kebutuhan, serta lebih tanggap
terhadap kebutuhan setempat” [E. Mulyasa, 2002:24]. Maka, dalam pelaksanaan
manajemen berbasis sekolah, menuntut sumber daya [pimpinan, guru, dan tenaga
administrasi] yang memiliki kemampuan profesional dan integritas dalam
mengelola pendidikan. Pelaksanaan program-program pendidikan didukung dengan
kepemimpinan yang demokratis dan profesional, guru-guru yang profesional dan
memiliki kompetensi dalam bidangnya masing-masing, serta tenaga administrasi
profesional dalam pengelolaan administrasi pendidikan [Hujair, 2003: 226].
Laporan Bank Dunia [1999], bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu
pendidikan [persekolahan] di Indonesia adalah “kurang profesionalnya” para
kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan [dalam Hujair,
2003:226].
Program peningkatan kemampuan sumber daya pendidikan berupa training for
trainers atau kemampuan untuk belajar terus menurut untuk meningkatkan kualitas
bagi para pendidik [guru] merupakan suatu fokus dan tuntutan yang perlu
diperhatikan. Dengan kata lain, lembaga-lembaga pendidikan harus melakukan
investasi secara periodik bagi para guru jika ingin tetap memimpin di dunia
pendidikan, karena apabila gagal dalam investasi guru akan berakibat patal
[Hujair, 2003: 227] dalam persaingan merebut animo pengguna pendidikan sebagai
pengakuan terhadap kualitas lembaga pendidikan tersebut. Sebagai contoh,
indikator pengakuan terhadap kualitas dan kemampuan guru, bukan hanya datang
dari jalur struktural/jabatan dan bukan juga dari jenjang karir fungsional
seperti asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar yang rigid, tetapi
reward dan penghargaan yang lebih besar akan lebih banyak diperoleh dari pengakuan
dan penghargaan yang diberikan langsung oleh masyarakat, karena kemampuan
akademik dan profesionalisme guru [Onno W. Purbo,16 Mei 2002] itu sendiri.
Untuk itu, semuanya akan dikembali kepada masyarakat profesional yang memiliki
kompetensi serta kapasitas yang akan menilai kualitas dan kompetensi guru. Jika
dilihat dari segi psikologis guru yang merasa dirinya mempunyai kompetensi yang
tinggi akan merasa percaya diri menghadapi masyarakat.
Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai:
1.Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami
psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya
sebagai pendidik;
2.Seniman dalam hubungan
antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang
memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan
para peserta didik, sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;
3.Pembentuk kelompok (group
builder), yaitu mampu membentuk, menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai
cara untuk mencapai tujuan pendidikan;
4.Catalyc agent atau
inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu menciptakan suatu
pembaharuan untuk membuat suatu hal yang baik; dan
5.Petugas kesehatan mental
(mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya
kesehatan mental para peserta didik.
Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip
oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan dua peran utama guru dalam pembelajaran
yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses
belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup
hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran,
seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi
peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk
dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar,
pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses
pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Sejalan dengan tantangan
kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan
semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai
peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus lebih dinamis
dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa
mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed
terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang,
berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan
satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Dalam era global saat ini, jika guru tidak memahami mekanisme dan pola
penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk, sehingga dia tidak
mampu bersaing secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan
kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk
menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara
antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan
pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa
depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang
dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak
pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum
kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga,
dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk
melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan
konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung,
sehingga diharapkan guru akan berperan lebih profesional sesuai dengan tugas
dan kewajibannya sebagai salah satu penentu kehidupan bangsa yang akan datang
dalam menghadapi globalisasi saat ini.
Bagaimana
Menjadi Guru yang Bermutu
[1]Dalam proses pendidikan di
sebuah sekolah, misalnya sekolah Islam, guru memegang tugas ganda yaitu sebagai
pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan sejumlah bahan
pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas
membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap,
aktif, kreatif, mandiri, dan berakhlak mulia. Syaiful Bahri Djamarah dalam Psikologi
Belajar berpendapat bahwa baik mengajar maupun mendidik merupakan tugas dan
tanggung jawab guru sebagai tenaga profesional.
[2] Oleh sebab itu, tugas yang berat dari seorang guru ini
pada dasarnya hanya dapat dilaksanakan oleh guru yang memiliki kompetensi
profesional yang tinggi.
Guru memegang peranan sentral dalam
proses belajar mengajar, untuk itu mutu pendidikan di suatu lembaga pendidikan
sangat ditentukan oleh kemampuan yang dimiliki seorang guru dalam menjalankan
tugasnya. Menurut Zainal Aqib, guru merupakan faktor penentu bagi keberhasilan
pendidikan di lembaga pendidikan Islam, karena guru merupakan sentral serta
sumber kegiatan belajar mengajar.
[3] Lebih lanjut dia menyatakan bahwa guru merupakan komponen
yang berpengaruh dalam peningkatan mutu suatu proses pendidikan di lembaga
pendidikan.
[4] Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan atau kompetensi
profesional dari seorang guru sangat menentukan mutu pendidikan. Kompetensi
profesional guru dalam hal ini guru lembaga pendidikan SDN, termasuk Madrasah
Ibtidaiyah negeri maupun swasta di wilayah Jakarta masih relatif rendah.
Berdasarkan hasil Tes Kompetensi Guru yang dilakukan Depertemen Pendidikan
Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat
Pendidikan Lanjutan Pertama yang bekerja sama dengan Pusat Penilaian Pendidikan
pada Tahun 2003, menunjukkan bahwa rata-rata nilai kompetensi guru di wilayah
Jakarta hanya mencapai 42,25 %. Angka ini masih relatif jauh di bawah standar
nilai kompetensi minimal yang diharapkan yaitu 75 %.
Profesional
Ketika menghadapi tuntutan-tuntutan pembelajaran demokratis, profesionalisme menjadi taruhan. Sebab, menurut: Eko Prasetyo (2008) bawah tuntutan itu merefleksikan suatu kebutuhan yang kian kompleks dari siswa, tidak sekadar kemampuan guru menguasai pelajaran semata, tapi juga kemampuan lainnya yang bersifat psikis, strategis, dan produktif. Tuntutan demikian hanya bisa dijawab oleh guru yang profesional.
Ketika menghadapi tuntutan-tuntutan pembelajaran demokratis, profesionalisme menjadi taruhan. Sebab, menurut: Eko Prasetyo (2008) bawah tuntutan itu merefleksikan suatu kebutuhan yang kian kompleks dari siswa, tidak sekadar kemampuan guru menguasai pelajaran semata, tapi juga kemampuan lainnya yang bersifat psikis, strategis, dan produktif. Tuntutan demikian hanya bisa dijawab oleh guru yang profesional.
Karena itu,
Sudarwan (2003) menegaskan bahwa tuntutan kehadiran guru yang profesional tidak
pernah surut. Sebab, dalam latar proses kemanusiaan dan pemanusiaan, dia hadir
sebagai subjek yang paling diandalkan. Istilah profesional berasal dari
profession yang artinya sama dengan occupation atau pekerjaan yang memerlukan
keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus. Maka, para
profesional adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoleh pendidikan
atau pelatihan khusus untuk pekerjaan itu.
Salah satu tuntutan guru profesional
adalah menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi siswa. Karena itu,
guru profesional perlu menciptakan situasi pembelajaran yang bisa menumbuhkan kesan
hiburan. Mungkin, banyak siswa yang menyukai hiburan. Namun, mayoritas mereka
jenuh dengan belajar. Bagi kebanyakan siswa, belajar adalah membosankan atau
menjenuhkan. Mereka merasa bahwa kelas seperti penjara. Berdasar evaluasi
tentang hal tersebut, sangat dibutuhkan adanya proses pembelajaran yang
bernuansa menghibur. Nuansa pembelajaran ini menjadi ”pekerjaan rumah” bagi
para guru, khususnya guru profesional.
Tunjukkan Komitmen pada Pendidikan
Pemerintah telah menaikkan gaji guru secara signifikan. Kini, sudah
seharusnya guru menunjukkan komitmen dalam dunia pendidikan. Karena banyak guru
yang mencoreng profesi itu, sudah selayaknya pemerintah mengawasi kinerja guru
dan meningkatkan profesionalisme guru dengan melakukan berbagai pembinaan dan
pelatihan. Artinya, kualitas guru harus meningkat.
Jika tidak, mereka harus dikenai sanksi, terdegradasi menjadi pegawai
biasa, atau bagian administrasi karena tidak pantas menjadi seorang guru.
Jangan sampai predikat terhormat sebagai pahlawan tanpa tanda jasa tercoreng
menjadi ”pahlawan” tanpa jasa.
Kenaikan gaji guru juga harus diakui menimbulkan kecemburuan sosial bagi abdi negara lain, yang sama-sama PNS tapi gajinya berbeda. Di antaranya, paramedis. Mereka jarang sekali punya kesempatan berunjuk rasa menuntut kenaikan gaji. Waktu mereka habis untuk bekerja dan sisanya untuk beristirahat.
Kenaikan gaji guru juga harus diakui menimbulkan kecemburuan sosial bagi abdi negara lain, yang sama-sama PNS tapi gajinya berbeda. Di antaranya, paramedis. Mereka jarang sekali punya kesempatan berunjuk rasa menuntut kenaikan gaji. Waktu mereka habis untuk bekerja dan sisanya untuk beristirahat.
Wajar jika mereka cemburu karena siang malam harus bekerja mengurusi warga yang sakit, bahkan termasuk saat Lebaran atau PNS lain libur. Sementara itu, guru cukup mengajar di siang hari masih ditambah libur-libur lain yang melebihi PNS lain.
Di sisi lain, untuk menghilangkan kecemburuan sosial bagi PNS nonguru,
perlu ada keseragaman penggajian di antara PNS, baik yang bertugas di desa
maupun di kota, termasuk anggota TNI. Sebab, semua profesi juga layak
menyandang predikat pahlawan, tentunya jika bekerja secara profesional, tidak
hanya guru.
Sikap, Mutu, dan
Profesionalisme Guru
Pada dasarnya
tingkat kompetensi profesional guru dipengaruhi oleh faktor dari dalam guru itu
sendiri, yakni bagaimana guru bersikap terhadap pekerjaan yang diemban.
Sedangkan faktor luar yang diprediksi berpengaruh terhadap kompetensi
profesional seorang guru, yaitu kepemimpinan kepala sekolah, karena kepala
sekolah merupakan pemimpin guru di lembaga pendidikan.
Sikap guru
terhadap pekerjaan merupakan keyakinan seorang guru mengenai pekerjaan yang
diembannya, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada
guru tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu sesuai
pilihannya. Sikap guru terhadap pekerjaan mempengaruhi tindakan guru tersebut
dalam menjalankan aktivitas kerjanya. Bilamana seorang guru memiliki sikap
positif terhadap pekerjaannya, maka sudah barang tentu guru akan menjalankan
fungsi dan kedudukannya sebagai tenaga pengajar dan pendidik di lembaga
pendidikan Islam dengan penuh rasa tanggung jawab.
Demikian pula
sebaliknya seorang guru yang memiliki sikap negatif terhadap pekerjaannya,
pastilah dia hanya menjalankan fungsi dan kedudukannya sebatas rutinitas
belaka. Untuk itu, amatlah perlu kiranya ditanamkan sikap positif dan
profesionalisme guru terhadap pekerjaan, mengingat peran guru dalam lingkungan
pendidikan dalam hal ini lembaga pendidikan amatlah sentral.
Sikap guru
terhadap pekerjaan dapat dilihat dalam bentuk persepsi dan kepuasaannya
terhadap pekerjaan maupun dalam bentuk motivasi kerja yang ditampilkan. Guru
yang memiliki sikap positif terhadap pekerjaan, sudah barang tentu akan
menampilkan persepsi dan kepuasan yang baik terhadap pekerjaan-nya maupun
motivasi kerja yang tinggi, yang pada akhirnya akan mencerminkan seorang guru
yang mampu bekerja secara profesional dan memiliki kompetensi profesionalisme
yang tinggi.
Sikap positif
maupun negatif seorang guru terhadap pekerjaan tergantung dari guru
bersangkutan maupun kondisi lingkungan. Menurut Walgito (2010), sikap yang ada
pada diri seseorang dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis
dan psikologis, serta faktor eksternal, yaitu berupa situasi yang dihadapi
individu, norma-norma, dan berbagai hambatan maupun dorongan yang ada dalam
masyarakat.
Lembaga
pendidikan sebagai organisasi, di dalamnya terhimpun unsur-unsur yang
masing-masing baik secara perseorangan maupun kelompok melakukan hubungan keja
sama untuk mencapai tujuan. Unsur-unsur yang dimaksud, tidak lain adalah sumber
daya manusia yang terdiri dari kepala sekolah, guru-guru, staf, peserta didik
atau siswa, dan orang tua siswa. Tanpa mengenyampingkan peran dari unsur-unsur
lain dari lembaga pendidikan Islam, kepala sekolah dan guru merupakan personil
intern yang sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan di
sebuah lembaga pendidikan Islam. Keberhasilan suatu lembaga pendidikan pada
hakikatnya terletak pada efisiensi dan efektivitas penampilan seorang kepala
sekolah dan profesionalisme gurunya.
Konsep Peradaban
Achmad Mubarok, (2010) Kebudayaan yang bersifat kota disebut peradaban. Kota mengandung arti modern, praktis, dan efektip, sementara desa mengandung konotasi tradisionil,berliku yang oleh karena itu lambat. Dalam membangun peradaban manusia dengan konsep al Madinah al Munawwarah, dari kata tamaddun dan nur. Madinah artinya kota yang penghuninya memiliki kebudayaan yang tinggi. Al munawwarah artinya yang disinari. Jadi konsep al madinah al munawwarah adalah masyarakat yang berkebudayaan tinggi yang disinari oleh wahyu.
Setiaphari dalam semua aspek kehidupannya adalah guru, bukan hanya pengajar. Pengajar mengajarkan ilmu pengetahuan. Ukuran keberhasilan pengajar adalah jika murid yang diajar mengerti akan ilmu yang diajarkan. Tingkatan pengertian murid dapat diukur dengan nilai ujian . Guru mentrasfer perilaku kepada murid. Ukuran keberhasilan seorang guru adalah jika muridnya berperilaku seperti yang dicontohkan oleh guru.oleh karena itu guru yang berkualitas adalah yang bisa di guru dan bisa ditiru oleh muridnya.
Artikel
yang ditulis Muhammad Agus Safii (2010) Sebagai seorang guru yang sudah lebih
dari 15 tahun mengabdi di dunia pendidikan, saya merasakan benar kalau banyak teman-teman
seprofesi yang belum memahami profesinya sebagai guru. Belum merasakan betapa
mulianya menjadi seorang guru. Namun sangat disayangkan, bila kemuliaan itu
menjadi hina karena banyak teman-teman guru yang tak segera meng-updateilmunya.
Tak pernah puas dengan apa yang telah dikuasainya. Terus belajar sepanjang
hayat.
Komentar
Tentang Guru
Belajar dari guru yang terus membaca, rasanya seperti minum
air segar. Namun, belajar dari guru yang tak lagi membaca, seperti minum air
comberan.
Tulisan
ini serasa menohok ke ulu hati. Membuat saya harus senantiasa membaca dan tidak dihujat
sebagai guru yang meminum air comberan. Dan
kita harus memberikan minuman segar kepada peserta didik saya dengan
banyak membaca. Membaca hal-hal yang terus berkembang baik lewat buku, maupun
media lainnya.
Memegang amanah menjadi guru
profesional serasa berat. Sebab guru dituntut untuk terus menerus melakukan
kreasi dan inovasi dalam pembelajarannya. Membuat para peserta didik senang
dengan apa yang dipelajarinya sehingga bermakna dalam kehidupan nyata.
Harus diakui, telah terjadi
kesalahan pengelolaan pembe-lajaran dari beberapa teman guru yang masih
memiliki paradigma lama. Selalu menganggap lebih super daripada peserta
didiknya. tak mengenal kata dialog, yang ada hanyalah monolog. Guru mengajar,
murid diajar. Tak lebih dari proses kegiatan itu. Padahal, di dalam
pembelajaran yang benar, guru dan murid sama-sama belajar, sama-sama melakukan
proses interaksi dalam pembelajaran yang menantang. Pembelajatan yang
mengundang para peserta didiknya untuk aktif dalam memahami materi
pelajaran.
Tidak Plagiatisme
Seorang guru
baru dapat disebut ”guru profesional” kalau dia memiliki learning capability,
yaitu kemampuan mempelajari hal-hal yang harus dipelajarinya, hal-hal yang
perlu dipelajarinya, dan hal-hal yang tidak perlu dan tidak dapat
dipelajarinya. Kemampuan-kemampuan tumbuh dari pengetahuan tentang dirinya
sendiri, siapa dirinya sebenarnya, dan mengetahui pula pribadi-pribadi
bagaimana yang tidak mungkin dicapainya. Ditirunya, ya, tetapi dicapainya
(verpersoonlijkt), tidak! Singkatnya, guru profesional adalah orang yang tahu
diri. Orang yang tahu diri tidak akan melakukan plagiat. Karena plagiat adalah
“…melanggar etika ilmiah…”.
Mendapatkan
kesan bahwa esensi profesionalitas guru ini tidak pernah dijelaskan kepada
guru-guru yang ingin maju, guru-guru yang benar-benar ingin memahami tugasnya
dan memperbaiki kinerjanya. Kesan saya lagi, yang ditekankan dalam usaha-usaha
peningkatan kemampuan (upgrading) adalah pengetahuan tentang kementerengan guru
profesional. Hal-hal yang berhubungan dengan kosmetik keguruan profesional.
Guru-guru muda yang baru selesai ditatar jadi guru profesional tampak ganteng
(handsome) atau cantik, tetapi tidak memancarkan kesan keprofesionalan yang
mengandung wibawa.
Malu rasanya mendapatkan kritikan
tajam seperti ini, tetapi ini real terjadi dalam dunia pendidikan
kita. Tulisan Mochtar Buchari (2010)
Sedikit sekali guru yang tahu diri. Guru yang senantiasa memperbaiki kinerjanya
sebagai guru dengan melakukan penelitian Tindakan kelas (PTK). Berusaha
memperbaikinya dengan berbagai tindakan perbaikan, yang dimulai dari sebuah
perencanaan yang matang melalui RPP (Rencana pelaksanaan pembelajaran) yang
dibuat sendiri, melakukan tindakan yang menantang melalui berbagai metode
pembelajaran lalu mengamati prosesnya dengan melakukan kolaborasi dengan teman
sejawat. Dari kolaborasi itulah guru melakukan refleksi diri dan mengatakan
kepada dirinya sendiri, ”benarkah apa yang telah saya lakukan?”. Bila itu
terus dilakukan oleh guru, dan berujung kepada keberhasilan guru menemukan
potensi unik anak didiknya, maka didapatkanlah keberhasilan guru dalam
pembelajaran.
Sayangnya, masih sangat jarang guru
yang melakukan PTK ini, sehingga terjadi plagiat di sana-sini. “Copas” dari
satu guru ke guru lain tanpa melakukan penelitian langsung dan tak melalui
proses membaca dan meneliti. Padahal proses yang benar dari sebuah penelitian
adalah dimulai dari melihat, membaca, meneliti, menulis, dan melaporkan.
Sayangnya, banyak guru yang
melakukan plagiarisme. Di sanalah pada akhirnya, penelitian guru yang dilakukan
hanya masuk almari perpustakaan, tak berkembang dan tak tersebarluaskan karena
budaya meneliti belum terjadi. Khasanah ilmu pendidikan baru seperti
mati suri karena miskinnya inovasi.
Diskusi
ilmiah guru masih sangat jarang dilakukan. Padahal ini adalah pintu gerbang
kesuksesan guru dalam melaporkan hasil penelitiannya. Berusaha saling
bersinergi antara guru satu dengan yang lainnya. Saling melengkapi dan tidak
merasa bahwa pelajarannyalah yang paling penting dipelajari. Maklum pelajaranya
itu selalu masuk dalam ujian nasional. Pelajaran primadona yang membuat siswa
menghabiskan waktunya hanya untuk pelajaran primadona itu. Pendidikan karakter
terlupakan, apalagi pendidikan kewirausahaan.
Membaca
judul artikel Guru profesional dan Plagiarisme di koran kompas hari ini,
membuat saya tersadarkan akan pentingnya inovasi guru di dalam pembelajaran.
Melakukan penelitian di kelasnya sendiri dan melaporkannya dalam bentuk PTK.
Bila itu dilakukan dengan jalan yang benar, maka tak akan mungkin plagiarsme
terjadi dalam karya tulis guru. Sebab apa yang melatar belakangi penelitian dan
masalah penelitian yang dihadapinya akan terpecahkan bila guru banyak
membaca. Lalu mencobanya dengan melakukan PTK.
Guru profesional memang enak terdengar di telinga, tetapi serasa berat
untuk dijalankan karena beban moral yang harus dijaga. Mohon doa dari para
pembaca agar saya bisa menjadi guru profesional sesuai harapan masyarakat, dan
pemerintah.
Daftar Pustaka
Alwy, Hasan, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke tiga, Departemen
pendidikan Nasional , Balai Pustaka, Jakarta.
Buchori,
Mochtar, 2010. Plagiatisme di karya tulis ia haram, (Internet)
Eko Prasetyo (2009) Menyoal tentang Guru, tentang
Profesionalnis, artikel , Jakarta.
Farurraji
dan Ningrum, Sagitaria, (2010) Menyusun Rencana Pelajaran, di Sekolah, KalTeng
Post, 24 Juli 2010, Pangkalan Bun.
Haryati
,Arni, 2010. 2010 GURU BERMUTU PENDIDIKAN JUGA BERMUTU Sebuah Harapan Sekaligus Tantangan
bagi Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta.
Masruh, Yusuf, 2010. Banyak guru belum setor rekening, Kabid Kenenagaan
Kota Surabaya.
Moeliono, Anthon, dkk, 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kementrian
Pendidikan Nasional, Jakarta;
Mubarok, Achmad, 2010 Disampaikan dalam Seminar Pendidikan yang diselenggarakan oleh Kelompok KerjaPengawasPendidikan Kandepag Jakarta.
M Guru Profesional dan Plagiarisme, sebuah kajian yakarta.
Prasetyo, Eko, 2008. Menyoal Profesionalisme Guru, Internet pigur guru
professional;
Poerwadarminta, WJS, 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustakan,
Jakarta;
Wikipedia (2010).
Sjadzili , Ahmad Fawaid 2010. Figur penomena pembangunan, sebagai intektual
Arab, Jakarta.
Sudarwan, 2003. Menyoal Profesionalisme Guru, Internet pigur guru
professional;
Safii, M. Agus, 2010. Mengabdi dalam dunia pendidikan, (internet)
Supriadi, Anwar, 2003. Standar Pelayanan Publik, Lembaga Administrasi
Negara, Jakarta.
Surya, Muhamamad, 1997. Peran Guru di sekolah, UPI Bandung, (Internet).
Shadily, Hassan, 1980. Ensiklopedi Indonesia, jilid 2, Ichtiar Baru,
Jakarta.
------------, 1984, Ensiklopedi Indonesia, jilid 5, Ichtiar Baru, Jakarta.
S. joko Dan
S. Rini (2010). Guru Sebagai Publik
Pigur di Tanah Air, Internet, Kompas, Jakarta.
Undang-Undang RI, 2005. Nomor 14, tentang Guru dan Dosen, Balai Penerbit
Dharma Bhakti, Jakarta..
Walgito, 2010. Kondisi Pendidikan guru perlu diperhatikan, (Internet)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar