Oleh: H.M.Norsanie Darlan
Pendahuluan
Sungguh memprihatikankan, masa
sekarang dan masa datang perlu perhatian serius oleh kita semua. Sebab
masa depan bangsa, tidak terlepas dari tangan generasi penerus bangsa. Mereka
saat ini, menghadapi banyak masalah. Karena kita sama maklumi bahwa ledakan
penduduk dimasa lampau, sungguh membuat suramnya nasib generasi penerus kita
sekarang.
Suramnya masa
depan generasi penerus bangsa ini, diantaranya sudah terlihat semakin sempitnya
lapangan kerja. Dari berbagai sektor. Namun syarat utamanya sudah konkrit jika
berdasarkan tingkat pendidikan. Dalam tahun belakangan sekarang ijazah sarjana
sangat diutamakan dari pada yang berpendidikan SLTA. Apa lagi yang dibawahnya.
Ini pertada tidak semua warga negara kita mendapatkan kesempatakan kerja di
pemerintahan. Yang sudah sarjana sekalipun masih sering terjadi kesulitan.
Sebelum
membahas tentang generasi muda, alangkah baiknya kita berikan arti di kalangan Pemuda menurut Hasan Alwy (2000; 847)
dan Poerwadarmita (1986) adalah:”...orang laki-laki, remaja, taruna, yang bakal
menjadi pemimpin....”. Pemuda di sini menurut pemulis tidak sebatas kaum
lelaki. Tapi kalangan pemudi sekalipun juga masuk. Disadari atau tidak bahwa
pemuda berperan sebagai pengganti generasi sebelumnya. Pemuda adalah menjadi
sasaran pemikir agar lebih baik dari masa sebelumnya. Karena di pundak
pemudalah masa depan bangsa.
Generasi Muda
Ada 3 (tiga)
tantangan yang dihadapi para pemuda generasi muda dewasa ini, yang ternyata tidak sebatas pada
kaum muda saja yang merasakannya. Tapi orang tuapun juga merasakan hal itu. Ke
3 hal tersebut di atas menurut Norsanie Darlan (2011) adalah:
1.Tantangan
masuk sekolah;
2.Tantangan
masuk Perguruan Tinggi; dan
3.Tantangan
masuk lapangan kerja.
Untuk lebih
jelasnya ke 3 hal di atas, secara sederhana akan diuraikan satu persatu sebagai
berikut:
Tantangan masuk sekolah
Sejak akhir
tahun 70-an sudah melaui bermunculan satu-persatu di daerah yang
menginformasikan bahwa tahun demi tahun anak usia sekolah dirasakan untuk masuk
sekolah apakah sekolah dasar ataukah SLTP mapun SLTA ternyata jumlah kursi
tidak sebanding dengan jumlah anak yang mau masuk sekolah. Hal ini pasti jauh
berbeda. Dengan kata lain daya tampung
sekolah mulai kurang. Sementara penambahan setiap tahun sepertinya tetap tidak
terbendung. Sekolah-sekolah swasta dengan tampil seadanya pun di daerah
tertentu, juga dengan sangat banyak masih ada yang tak tertampung. Ini sebuah
akibat ledakan penduduk masa lalu.
Dalam istilah
lain adalah, “Sejak lama di negeri ini”, masuk sekolah ”para calon murid” sudah
mendapatkan tantangan yang terkadang di perkotaan terdapat komentar masyarakat
”siapa berduit, ialah yang bakal dapat” dalam meraih pendidikan anaknya yang
lebih baik dan kualitasnyapun tidak diragukan.
Namun kita
sama maklumi bersama bahwa masyarakat pemukimannya tidak menumpuk di perkotaan.
Melainkan mereka sebagian besar penduduk negeri ini, bertempat tinggal di
pedesaan. Kita sama maklumi tidak
seluruh desa terlebih masa lalu terdapat sekolah dasar. Sehingga tidak menutup
kemungkinan ada warga masyarakat kita yang karena sesuatu dan lain hal selama
hidupnya, tidak sempat mengenyam atau menikmati dunia pendidikan formal. Atau
bersekolah.
Fasilitas
pendidikan di atas tidak saja untuk sekolah dasar. Padahal wajib belajar kita
tidak lagi Wajar 6 tahun. Tapi sudah bergeser ke 9 – 12 tahun. Sementara gedung
SMP dan SLTA belum juga tersedia hingga anak mau belajar ke SMP dan SLTA
terkendala. Hal ini menuntut agar kita dapat memikirkan bersama masalah
tersebut. Karena kesempatan pendidikan yang ada di negeri kita disebabkan
fasilitas pndidikan yang masih dirasakan kurang. Dipihak lain menurut M. Saad
Arfani (2011) ia mengungkapkan bahwa:”...jauhnya sekolah jadi penyebab
anak-anak pedesaan tak melanjutkan pendidikan...”. kalimat di
depan sungguh di temukan di mana-mana baik di daerah kita maupun di daerah
lain.
Hal seperti di
atas, tidak saja dirasakan di pedesaan. Tapi di perkotaan sekalipun penduduk
kita yang fasilitas pendidikan sudah dianggap mendekati cukup, namun masih
ditemukan penduduk kota yang belum berkesempatan mecicipi pendidikan formal.
Sehingga pemulis berasumsi tidak tuntas pendidikan ini, kalau hanya dipikirkan
dan di fasilitas Cuma pada pendidikan formal. Peran pendidikan non formal,
ternyata sangat penting, namun karena
ketidak mengertian, ketidak fahaman mereka yang didudukkan pada bidang
pendidikan non formal. Maka hal-hal di atas, tidak bisa dituntaskan. Alasan
yang penulis asumsikan adalah mereka yang ditempatkan pada Subdin/Bidang
pendidikan non formal masih tidak profesional. Penempatan sarjana “...atau
tenaga yang bukan ahlinya, tunggu kehancurannya...”.
Tantangan masuk Perguruan Tinggi
Kalau kita
melihat mulai munculnya istilah: “UMPTN” yang kepanjangannya adalah Ujian masuk
perguruan tinggi negeri ini, digulir juga sejak tahun 80-an juga. Yang
terkadang anak lulusan SLTA yang mau masuk perguruan tinggi tujuan Bandung,
ternyata tes-nya lulus di Palangka Raya. Kenapa demikian seperti uraian ini
masyarakat turut berpartisipasi menyelenggarakan pendidikan tinggi. Ternyata
perguruan tinggi swasata tidak masuk UMPTN sehingga dengan tidak diperkirakan
sebelumnya ia harus kuliah di Unpar-Universitas Palangka Raya. Karena di kota
Bandung juga ada perguruan tinggi diberi nama Unpar. Tapi punya yayasan swasta.
Dengan seleksi
yang relatif ketat disertai beratnya persaingan, 1 berbanding 15 maka tidak
menutup kemungkinan calon mahasiswa yang kapasitasnya bila dibawah standar
dengan sangat menyesal terpaksa harus tidak lulus pada jurusan/program studi
pilihannya. Karena dengan system seleksi sekarang calon dari sumatera utara,
Aceh, Papua, Sulawesi dan berbagai provinsi di Jawa dengan mudah lulus di
Unpar. Sementara putra daerah, hanya gigit jari. Karena ada dugaan standar pendidikan
yang ada di provinsi kita relatif rendah. Mudah-mudahan mulai terjadi perbaikan
masa sekarang dan masa datang. Sehingga standar kita sama dengan kawasan yang
lebih maju.
Kita sama
maklumi bahwa dalam 20 tahun terakhir, sudah dirasakan di tanah air kita bahwa
tes masuk perguruan tinggi negeri sungguh dirasakan betapa sulitnya. Namun
seleksi ini, semakin tahun semakin tambah berat. Sehingga upaya memberikan
berbagai pendidikan luar sekolah atau pendidikan non formal pada lembaga kursus
pada bidangnya oleh orang tua kepada anaknya sungguh memberatkan biaya.
Terlebih biaya yang diperlukan. Ada kalanya sang anak kurang perhatian, tapi
orang tuanya justru sibuk mendaftar anak untuk kursus itu dan ini, dengan
tujuan bahwa anaknya berhasil lulus dalam seleksi masuk perguruan tinggi.
Tantangan masuk
lapangan kerja
Kaum generasi muda dewasa ini
menghadapi masa sulit, sebagai akibat ledakan pendudukan di negeri kita masa
lalu sangat tinggi. Hal itu memberikan efek negatif kepada generasi
mncari kerja dimasa sekarang.
Selain hal di
atas, bergulirnya era reformasi, yang selama ini, kurang mendukung terhadap
kebijakan masa lalu. Ebagai contoh yang sdr boleh perhatikan. Kebijakan masa
lampau, dinas pendidikan yang doeloe disebut Kantor Wilayah Pendidikan. Kepala
Katornya paslu lulusan ”alumnus” IKIP atau FKIP. Dewasa ini ternyata dapat
diduduki oleh bukan kesarjaan itu. Sehingga pastilah ada bagai perahu layar
putus kemudi. Contoh lain dengan kebebasan dewasa ini, bisa terjadi juga kepala
Rumah Sakit dipimpin oleh bukan dokter. Kepala Kejaksaan bisa dipimpin
oleh orang yang bukan Sarjana Hukum. Jika hal itu terjadi, apa yang bakal
terjadi. Ini sebagai bukti derasnya arus reformasi.
Sekarang
bagaimana dengan tantangan pada sarjana sekarang. Ada dugaan kemudahan yang
muncul dari pihak penentu kebijakan, seperti: penerimaan calon pegawai negeri
diusulannya sangat tidak sesuai dengan tenaga kerja pada bidang-bidang yang ada
di instansi yang di pimpinnya. Karena ada indikasi untuk menolong keluarga
terdekat. Sehingga setelah ia masuk, apa yang harus ia kerjakan. Karena KKN-nya
sudah bisa dimunculkan.
Dari dengan berbagai
uraian di atas, generasi muda yang kita bina sekarang harus kita pelihara dan
diciptakan jiwa kewirausahaan mereka. Sebab walau mereka sudah sarjana. Alangkah
indahnya bila pemuda generasi muda kita ini, tidak hanya sekedar mengandalkan
ijazah. Tapi memiliki skill yang lebih dari kebanyak orang. Atau pemuda
lainnya.
DAFAR
PUSTAKA
Alwy,
Hassan, 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Arfani,
M.Saad, 2001. Ketua Komisi C DPRD Provinsi Kalimantan Tengah, Kal-Teng
Post, 4 Feb, Palangka Raya.
Darlan,
H.M.Norsanie, 2011. Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan di Kalangan Pemuda,
Dinas Pemuda dan Olahraga, Provinsi Kalimantan Tengah, Palangka Raya.
Poerwadarminto,
WJS, 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Depdikas RI, Jakarta.
H.M.Norsanie
Darlan Dosen S-1 dan S-2 PLS Universitas Palangka Raya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar