Oleh
:
H. M. Norsanie Darlan
Guru Besar S-1 dan S-2 PLS Universitas Palangka Raya
Pendahuluan
Makalah ini
disusun setelah mendapat surat permintaan panitia Seminar di Sampit Kabupaten
Kotawaringin Timur, dengan nomor: 02 / Pan-Hardiknas/ SS, tertanggal 19 April
2003 dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun ini.
Kita
sama maklumi dewasa bahwa, salah satu pihak merasa selalu mempunyai ide yang
benar. Di pihak yang lain dengan rasa kebenaran pada pihak tertentu itu,
ternyata hanya buat sekelompok kecil masyarakat. Akibatnya bermunculan ketidak
puasan dan saling menuding pada orang lain. Padahal masalah itu, tidak dapat
kita jadikan sebuah wacana. Namun karena kebanyakan di mana-mana kelompok ini
selalu bicara akan dapat mempengaruhi stabilitas bangsa. Padahal masalah
seperti itu tidak perlu terjadi. Karena akan bermunculan ide – ide apakah itu
benar ataukah salah. Namun jika orang yang melempar ide – ide tersebut disuruh
mengerjakan idenya ternyata tidak seluruhnya dapat sehingga ide yang kadung
terlempar ke masyarakat luas menjadi bahan perpecahan bagi nasib bangsa dimasa
depan.
Upaya
Meningkatkan Mutu Pendidikan
Pengertian upaya menurut
Poerwadarminta (1986) dan Moeliono (1989;995) adalah: “…suatu usaha, akal,
ikhtiar untuk mencapat suatu maksud
dalam memecahkan suatu persoalan…”. Sehingga dalam bentuk positif para pendidik
ataukah ia seorang guru, keluarga ataukah pemerintah dan tokoh masyarakat yang
pikirannya selalu muncul kearah kualitas generasi baik masa sekarang maupun
akan datang.
Bila kita menengok terhadap konsep
secara luas apa itu pendidikan menurut, Hassan Shadely (1984; 2627) adalah
sebuah proses membimbing manusia dari masa kegelapan (kebodohan) ke arah
kecerahan suatu pengetahuan. Dalam arti luas, juga pendidikan baik yang
bersifat formal maupun yang informal atau pendidikan luar sekolah (PLS) yang
meliputi segala hal memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri, dan
tentang dunia dimana mereka itu hidup. Sedangkan menurut caranya, pendidikan
terbagi menjadi 3 macam: 1) dresur, yakni pendidikan yang berdasarkan paksaan;
dilakukan pada anak-anak yang umurnya belum 1 tahun; 2) latihan, dimaksudkan
untuk membentuk kebiasaan; dilakukan sedapat-dapatnya secara sadar oleh anak
didik; 3) pendidikan, dimaksud untuk membentuk kata hati; anak didik yang
diajar berbuat menurut kesanggupan sendiri, dan menentukan kelakuan sendiri
atas tanggung jawab sendiri pula.
Pendidikan dilakukan sampai saat anak
didik sanggup bertanggung jawab sendiri akan segala yang dilakukannya. Pada saat itulah pendidikan dianggap selesai. Hakikat dan
tujuan pendidikan erat hubungannya dengan tanggapan hidup pendidik, demikian
juga cara-cara mereka melakukan pendidikan dalam praktek. Tanggapan hidup pendidikan
menjadi dasar bagi cara dan tujuan pendidikan yang diberikannya. Yang
pertama-tama bertanggungjawab tentang pendidikan bagi seorang anak ialah orang
tuanya, kemudian keluarga, masyarakat, dan akhirnya negara. Dalam hubungan ini
sangat penting artinya bagi pendidikan, ialah: keterlibatan organisasi,
wartawan melalui surat kabar dan media massa lainnya, buku bacaan, perpustakaan
dll.
Beberapa
segi yang terdapat dalam dunia pendidikan: 1) Pendidikan intelektual, meliputi
pengajaran pelbagai pengetahuan dan kepandaian serta keterampilan yang perlu
bagi perkembangan akal; 2) pendidikan
jasmani, agar badan tumbuh secara sehat dan menjadi kuat; 3) Pendidikan
kesusilaan, mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk, dan agar berbuat
menurut norma-norma baik-buruk tersebut; 4) pendidikan keindahan, agar dapat
menghargai nilai-nilai keindahan yang terdapat dalam dan kehidupan, khususnya
kesenian; 5) pendidikan sosial, agar dapat menghargai dan menerima nilai-nilai
hidup bersama orang lain. Dalam prakteknya pendidikan, segi-segi tersebut tidak
dapat dipisahkan yang satu dari yang lain, sehingga dengan demikian jiwa anak
didik berkembang dalam keselarasan. Pendidikan dapat diwujudkan dalam berbagai
cara; yang bersifat positif antara lain:
a) Memberi
teladan baik,
b) Latihan untuk
membentuk kebiasaan,
c)
Memberi perintah,
d) Memberi pujian
dan hadiah,
e)
Menyalurkan hasrat
berbuat sehingga menjadi kreativitas.
Sedangkan
dalam cara-cara negatif antara lain:
a) Mengadakan
pelbagai larangan,
b) Celaan dan
teguran,
c)
Hukuman.
Dari 2 hal dalam uraian di atas, kita
sama maklumi bahwa maka yang dirasa tepat, jika kita hubungkan dengan seseorang
yang mendapat tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin proyek di sebuah
Dinas/Badan dan Unit instansi tentu. Tinggal kita sendiri yang memilahnya.
Sebab seorang pemimpin proyek tidak akan muncul begitu saja, tanpa ada orang
lain yang mengusulkannya. Kemudian sebagai pemimpin proyek, sulit dibayangkan
jika ia mau berlama-lama. Sebab ada aturan yang mengatur. Artinya sewaktu-waktu
ia akan sadar bahwa pasti berhenti karena diikat oleh sebuah peraturan. Dipihak
lain tentu membenrikan kesempatan kepada orang lain agar sama-sama merasakan
bagai mana memimpin seorang proyek. Terlepas besar kecilnya anggaran yang
diberikan. Baik dalam bentuk fisik maupun non fisik.
Profesional
Guru
Dalam
menjadikan seseorang yang disebut profesional, banyak hal yang perlu kita pelajari. Sebelum mengetahui apa arti profesional tentu
kita harus tahun persis akar rumput
keprofesional itu sendiri. Dari berbagai pendapat penulis menguraikan
arti profesional ini menurut: Poerwadarmintan (1986) dan Anton M. Moeliono
(1989;702) adalah:”…seseorang yang memerlukan kepandaian khusus untuk
menjalankan …”. Sedangkan Hassan Shadily (1984; 2774) adalah:”…orang yang mengerjakan sesuatu
karena jabatan atau profesinya, bukan hanya untuk kesenangan saja, tetapi
merupakan mata pencaharian…”.
Semi-profesional atau part time
profesional (ingg.) pemait atau atlet
yang dibolehkan mendapatkan penghasilan dari olahraga.
Dengan
melihat apa yang diuraikan di atas, arti profesiolan guru, wartawan, atlet dan
sebagainya adalah sebuah pekerjaan yang tidak semua orang mampu melakukannya.
Sebab seperti seorang guru yang profesional ia memiliki kecakapan, dan dari
kecakapannya itulah ia dapat menjalankan
tugasnya dengan baik.
Ada
perbedaan yang sangat bermakna antara guru dan pendidikan. Seorang guru bekerja
dalam menjalankan profesinya atas dasar surat keputusan (SK) yang ia terima.
Misalnya guru bahasa, guru matematika, guru IPA. Sedangkan pendidik dapat
berlaku kepada setiap orang. Umumnya ia menjalankan tugasnya sebagai pendidik
dengan jalan kesadaran yang tinggi mendidik orang lain dengan tanpa mengharap
balas jasa. Misal sang ayah sebagai seorang nelayan mendidik anak turun ke laut
atau ke danau dengan menunjukkan cara-cara menangkap ikan dengan baik dan
benar. Orang tua sebagai petani,
mendidikan anaknya agar sawah, ladang yang mereka garap tidak diserang hama
tanaman dsb. Pekerjaan itu dilaksanakan dalam keadaan sadar, namun tidak nampak
secara jelas saat kapan diantara ke dua belah pihak berinteraksi saling meminta. Namun ke dua
belah pihak saling membutuhkan dengan proses tranfarasi ada yang dalam kurun
waktu cepat dan ada pula yang lebih lama.
Mutu Pendidikan
Jika
kita ingin meningkatkan mutu pendidikan, maka banyak hal yang harus dibenahi.
Misalnya tenaga guru, dari sebuah artikel yang ditulis Kenneth D. Benne (1985;
155). Ia mempredeksi dalam dasawarsa
yang baru lalu, pengalaman bidang pendidikan sebagai perundingan dunia kognitif
yang berbeda. Sebab batas antara sekolah, perguruan tinggi atau universitas
serta lembaga-lembaga bukan-sekolah dalam lingkungannya menjadi lebih dapat
ditembus. Salah satu bukti dari perubahan ini adalah meningkatnya penggunaan
pendidikan pengalaman lapangan mahasiswa sebagai pelengkap, tambahan atau
kadang-kadang sebagai partner yang sama kedudukannya untuk pengajaran akademik.
Tentu saja pengalaman lapangan merupakan bagian yang tetap dari banyak
pendidikan kejuruan dan profesional selama satu generasi atau lebih dalam
bidang kedokteran, perawatan, pekerjaan sosial, perekayasaan, pengajaran, dan
bermacam-macam pendidikan kejuruan. Namun, dalam dasawarsa yang lalu,
pengalaman lapangan telah menemukan jalan untuk memasuki program pendidikan
umum dan pengetahuan budaya. Upaya untuk memasukkan pengalaman non-akademik
bagi mahasiswa ke dalam kursus yang di sponsori secara akademik dan program
pengajaran, barangkali paling sering terjadi pada jurusan-jurusan yang
memusatkan perhatian pada studi perilaku manusia dan sistem manusia – misalnya
psikologi, sosiologi, ilmu politik, dan anthropologi. Bagaimanapun juga,
penggunaan pengalaman inilah yang menjadi pokok bahasan makalah ini.
Para
mahasiswa yang terlibat dalam suatu paduan pelajaran akademik dengan pengalaman
lapangan dapat dilihat sebagai menyelesaikan
suatu proses pemanfaatan pengetahuan. Mereka mempertahankan keanggotaan bersama
dalam sebuah lembaga skolastik, yang diakui setia pada produksi dan/atau
lingkungan tindakan tempat pengetahuan dan keterampilan itu digunkan untuk
melaksanakan fungsi sosial atau memperbaiki kondisi manusiawi. Mahasiswa
ditempatkan sebagai agen yang menghubungkan dan menjembatani dua sistem sosial
yang berbeda di dalam rangkaian penggunaan pengetahuan. Kualitas pengetahuan yang
dicapai mahasiswa akan tergantung pada seberapa memadai dia memahami dan
mengelola keanggotaannya yang rangkap dua, seberapa baik dia menyatukan
tuntutan-tuntutan yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan dari dua
lingkungan sosial terhadap gagasan, tingkah laku, dan pengeluaran energi.
Pengalaman
lapangan bagi mahasiswa dalam pendidikan profesional dan kejuruan sering
ditandai oleh konflik antara penyelia akademik dan supervisor lapangan. Bagi
penyelia akademik, mahasiswa berada di lapangan untuk menambah, memperluas dan
memperdalam proses belajar pengetahuan dan keterampilannya. Bagi penyelia
lapangan, proses belajar mahasiswa ditangguhkan demi pemeliharaan pelayanan
kualitas bagi klien (pasien bagi perawat-mahasiswa, terapis okupasional, dan
terapis fisis di rumah sakit, murid bagi guru mahasiswa di sekolah, jemaat bagi
pengkhotbah di gereja, dan lain sebaginya).Mahasiswa berada antara satu titik
konflik antara sasaran-sasaran prioritas pada dua lembaga tempat dia terlibat
dalam pengalaman lapangannya. Misalnya, penyelia akademik menginginkan
tanggungjawab yang lebih besar dalam bekerja bersama murid bagi guru-mahasiswa
daripada yang dapat diizinkan menyelia lapangan, jika ditilik dari sudut resiko
untuk proses belajar murid dan untuk hubungan masyarakat sekolah yang mungkin
diakibatkan oleh ”kekeliruan” seseorang guru-mahasiswa, meskipun “kekeliruan”
tersebut dapat menjadi kesempatan yang sangat bagus untuk proses belajar
profesional. Atau, jikalau penyelia lapangan menuntun guru-mahasiswa ke dalam
tugas yang “aman” dan rutin di sekolah, supervisor akademik mungkin merasa
bahwa gurumahasiswa yang bersangkutan diekspolatasi karena diharuskan bekerja
bagi sekolah dengan sedikit kemungkinan atau bahkan tidak ada kemungkinan untuk
belajar dari pekerjaan tersebut.
Konflik-konflik
tersebut memang terjadi dalam pengalaman lapangan profesional, apabila penyelia
akademik dan penyelia lapangan berada dalam profesi yang sama dan apabila kedua
lembaga tersebut mempunyai taruhan dalam lembaga pendidikan yang “baik” untuk para anggota profesional yang
prospektif. Kemungkinan konflik tersebut, dan juga aktualitasnya, lebih besar
apabila mahasiswa menjalankan pengalamanlapangan agar belajar psikologi,
sosiologi, antropologi, atau ilmu politik dengan “lebih baik”. Sebab disini
ikatan profesional yang yang lazim antara penyelia akademik dan penyelia
lapangan, dan juga mahasiswa, hilang. Lagipula diskrepansi anatara norma-norma
dua sistem sosial, misalnya sebuah, sebuah jurusan universitas dan kesatuan
polisi perkotaan, sehubungan dengan kebiasaan berpikir dan kebiasaan
berperilaku bagi “anggota-anggotanya” jauh lebih luas.
Ada
kebiasaan, di dalam lingkungan akademik, untuk mengaitkan konflik yang dijumpai
mahasiswa dalam pengalaman lapangan dengan perbedaan diantara norma dan sikap
yang beroperasi dalam lingkungan praktek dan lingkungan lapangan serta norma
dan sikap yang merupakan karakteristik dari lingkungan akademik, dengan akibat
harapan yang bertentangan sehubungan dengan bagaimana mahasiswa harus
menginvestasi waktu dan tenaganya dalam bekerja dan belajar. Fakta bahwa
konflik benar-benar terjadi bagi mahasiswa pada pengalaman lapangan profesional
dan kejuruannya, sebagaimana disinggung diatas, menunjukkan bahwa penjelasan
mengenai konflik seperti itu sebagian betul. Sebab dalam hal ini, penyelia
akademik maupun penyelia lapangan, dan mahasiswa juga, pada umumnya mempunyai
pandangan yang lazim tentang pengetahuan dan keterampilan yang harus diperoleh
oleh calon untuk status profesional. Konflik tersebut dapat dijelaskan sebagian
besar oleh faktor-faktor nonkognitif
yang beroperasi di dalam dan diantara sistem-sistem akademik dan non-akademik
yang terlibat.
Sungguhpun
demikian, menurut: Bennis, Benne dan Chin (1990;157) adalah dalam pengalaman
lapangan yang dugunakan untuk maksud pendidikan umum mahsiswa ilmu-ilmu
pengetahuan behavioral, kita harus memperbaiki dimensi penting lainnya dalam
konflik tersebut. Konflik ini berpusat pada bidang kognitif itu sendiri.
Mahasiswa mengahadapi gagasan berbeda sehubungan dengan sifat pengetahuan dan
cara-cara pengethuan itu diklaim akan diuji dan diabsahkan. Konflik yang
dijumpai mahasiswa berurat-akar pada perbedaan epistemologis, normatif, dan sikap yang ada dalam sistem-sistem
sosial yang diharapkan mahasiswa akan menjembatani dan menghubungkannya.
Mutu Guru
Sebagai
titik awal keberhasilan dalam dunia pendidikan tentu tidak terlepas dengan mutu
guru. Walau istilah itu tidak seluruhnya sebenar. Komponen yang tak dapat
dipisahkan adalah peran orang tua masyarakat sangat turut mewarnai keberhasilan
setiap sekolah untuk mengantar siswanya dalam meraih keberhasilan. Sebab ada
kalanya seorang tempat anak itu belajar biasa-biasa saja. Tapi orang tua anak
sangat tinggi mendorong untuk belajar disertai warga masyarakat sehingga anak
tadi jadi berhasil dengan baik. Dipihak lain anak yang motivasi tinggi, walau
sekolah sebagai institusi hanya dengan pas-pasan juga diiringi oleh nasib si
anak memang garis tangan yang baik sehingga pendidikan dan kedudukan anak di
starata tertentu menjol, orang selalu mengatakan itu adalah hasil produk di
sekolah tertentu. Walau tidak seluruhnya hal itu benar.
Tulisan
ini menampilkan mutu guru lebih cenderung adanya dorongan yang seimbang antara
motivasi guru, orang tua, masyarakat dan anak itu sendiri sangat memberikan
kemudahan dalam mencapai suatu keberhasilan.
Sebenarnya
mutu guru didasari atas beberapa hal seperti: (1) pendidikan formal guru itu
sendiri, (2) masa kerja yang cukup, (3)
kemampuan guru dalam menjadi agen pendidikan serta (4) menegerial yang handal.
Jika
ke empat hal di atas, telah dipenuhi maka mutu yang diharapkan akan mendekati
kenyataan. Hal ini kenyataan di lapangan yang banyak kita hadapi sekarang
adalah pekerjaan guru sebagai “Oemar Bakri” ini, masih sebagai pilihan paling
akhir, kita sulit mencapai apa yang kita inginkan. Sebab guru selama sebagai
pilihan terakhir ini merupakan pilihan dari sekian alternatif dan yang paling
rendah ternyata menjadi lapangan kerja. Sehingga tentu saja pekerjaan guru ini
menjadi sebuah pekerjaan yang kurang diminati oleh si guru itu sendiri,
tentunya.
Mutu pendidikan di Malaysia
Mungkin
sebagian besar masih belum hilang dari ingatan kita, bahwa negeri jiran kita
Malaysia sejak tahun 60-an mengekspor tenaga guru dari Indonesia. Tahun 80-an
seangkatan penulis di IKIP Malang saudara kita bernama: Nursamid dan sering
tertukar bila dosen mencari nama diantara kami berdua. Artinya orsang Malaysia
tahun 1982 ada yang input Sarjana Muda kuliah di Malang. Tahun 1986-1988
penulis di Fakultas Kedokteran Gadjah Maha sempat memberikan kuliah diantaranya
ada mahasiswa Malaysia.
Pertengan
tahun 90-an Malaysia sudah menawarkan Program Tertinggi seperti Magister (MA)
dan Ph.D untuk pemuda/pemudi Indonesia untuk belajar di negeri jiran ini. Jadi
mereka tidak tanggung-tanggung tahun 1997 mahasiswa tugas belajar di Malaya
University setiap bulan mendapatkan imbalan 1200 ringgit. Dirupiahkan saat itu
Rp 1.200.000,- Sehingga banyak pemuda kita yang pergi belajar ke Malaysia untuk
meraih berbagai gelar.
Untuk
diketahui juga dalam jurnal yang resmi dari kedutaan mereka biaya pendidikan
tahun anggaran 2003 ini sebesar 37 % dari dana anggaran negaranya. Sementara di
negeri kita tercinta ini pernah terjadi anggaran pendidikan hanya 4 % dari
anggaran pembangunan. Kenapa demikian, karena pihak pengambil kebijakan kita
kurang memberikan perhatian terhadap dunia pendidikan ini. Sehingga iklim
pendidikan jadi terpuruk hingga tingkat yang paling rendah di tanah air kita.
Penulis saat
itu sebagai mahasiswa program Doktor di Indonesia merasa berkewajiban membuat
konsep didahului oleh sebuah seminar nasional mahasiswa program doktor yang ada
di Indonesia. Hasil seminar diserahkan kepada Bapak Mendiknas RI saat itu Prof.
Dr. Yahya Muhaimin di ruang kerja beliau
yang disampingi oleh Dirjen Pendidikan Tinggi. Dan Komisi VI DPR-RI serta
pengurus besar PGRI. Salah satu konsep
yang cukup dikenang oleh para mahasiswa program Doktor dalam sidang Umum MPR
ternyata menerima konsep kita minimal 17% dari anggaran negara untuk
pendidikan. Sekarang dalan tahun anggaran 2003 kita menikmati 20 % anggran
negara untuk pendidikan. Mudah-mudahan konsep itu dapat berjalan dengan baik,
agar istilah guru sebagai “Oemar
Bakri” lambat laun menjadi impian bagi
setiap orang.
Menilik Peran PLS
Jepang
sebuah negara maju yang runtuh berantakan dipertengahan abad silam karena ingin
menggapai cita-cita untuk menaklukkan berbagai negara termasuk Indonesia.
Negara yang berlokasi di Asia Timur Raya ini akhirnya menghentikan cita-cita
menjadi negara besar di Asia ini, akibat jatuhnya bom atom di Hirosima dan
Nagasaki. Rakyatnya jadi menderita
selama puluhan tahun. Namun siraja akal ini merubah strategi perang menjadi
“industri pendidikan”. Ternyata setiap bangsa Jepang yang berangkat ke luar
negeri ia harus membawa sesuatu yang tidak ada di negerinya untuk dimodifikasi dan diproduksi secara
besar kemudian dijual kenegara lain. Misalnya: gasing dari Indonesia, Jam
tangan dari erofa dll.
Namun hal
itu satu konsep baru dalam negeri Sakura ini yang belum kita pikirkan. Misalnya
seorang sarjana baru lulus sarjana. Katakan sarjana electronica. Ia diterima
bekerja pada “pabrik radio” umpamanya. Walau sebagai sarjana teknik electro dan
mengerti betul tentang teori arus pendek listrik. Namun negara besar bidang
industri itu, tidak membolehkan sarjana baru masuk kerja ini langsung bekerja
di pabrik. Ia harus diantar ke pelayanan pendidikan luar sekolah (PLS) untuk
mengikuti kursus tertentu agar tidak terjadi kecelakaan kerja.
Hal seperti
di atas, juga di negara-negara maju yang lain seperti Jerman, Polandia, Belanda
dan berapa negara di erofa menerapkan cara Jepang. Termasuk Kanada dan Amerika.
Bagaimana di
Indonesia, penulis mengambil pegawai negeri yang mudah kita pelajari. Seorang
calon pegawai negeri sipil bekerja di kantor Bupati. Ia sarjana pemerintahan,
pada tanggal diumumkan masuk kerja. Ia langsung disuruh mengerjakan tugas
barunya. Tanpa ada kursus-kursus (pelayanan Pendidikan Luar Sekolah) pada
bidang kerja bagi pegawai baru ini. Setelah ia ingin menjadi calon pegawai
negeri, maka diserahkan ke Diklat untuk mengikuti kursus Pra Jabatan. Sebagai salah satu syarat penghapusan calon
pegawainya. Pertanyaan penulis apakah hal itu benar demikian?
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Moral
Dewasa ini
sedang berkembang suatu pemikiran baru diantaranya para ilmuan sendiri, yaitu
kebudayaan ketiga (the Third culture) bahkan mungkin kebudayaan keempat (the
fourth culture). Kini mungkin umat manusia mempunyai kesempatan yang lebih luas
dalam memikirkan eksistensinya. Sesudah dunia memasuki era perdamaian menurut:
H.A.R. Tilaar (1997;109) pasca prang
dingin, mungkin umat manusia mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam
memikirkan eksistensinya. Sesudah dunia memasuki era perdamaian pascaperang
dingin, mungkin umat manusia akan datang pada suatu renungan kembali bahwa
kemajuan iptek adalah segala-galanya. Iptek akan berkembang pesat dan pasti
akan mengubah kehidupan manusia ke arah kebaikan, namun iptek tidak dapat
memberikan penjelasan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan.
Diantara optimisme ilmu pengetahuan dan teknologi, ditengah-tengah kekayaan
rohaniah manusia yang diekspresikan ke dalam kesusastraan dan falsafah, manusia
menyadari bahwa ilmu pengetahuan akan membawa manusia ke segala arah, ke arah
yang baik juga ke arah yang buruk. Disinilah letaknya peranan moral dan agama
yang akan mengerahkan ilmu pengetahuan dan teknologi ke arah yang benar. Iptek
dan moral bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi saling mengisi satu dengan
yang lain. Ilmu pengetahuan perlu untuk mencerahkan akal manusia mencari dan
menggali berbagai kemungkinan yang dianugerahkan oleh sang Pencipta kepada umat
manusia dia atas bumi. Dengan akalnya manusia dapat mengeksplorasi berbagai
kemungkinan yang tersembunyi. Eksplorasi dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi bukan hanya memberikan kehidupan yang lebih baik, tetapi juga
mendekatkan manusia itu kepada sang Pencipta akan kebesaran Khalik langit dan
bumi.
Di
tengah-tengah arus modernisasi, globalisasi, dan kemajuan iptek ada
kecenderungan untuk menjauhi moral dan etika. Di dalam suatu seminar nasional
“Iptek Berwawasan Moral” yang diadakan dalam bulan Agustus 19996, Prof. Quraish
Shihab mengemukakan pendapatnya mengenai model pemikiran: Pertama, model dan
pemikiran yang bersifat dogmatis atau apologetik yang menutup segala pemikiran
rasional terhadap moral. Bagi model ini satu-satunya akar moral adalah agama
dan menutup berbagai penafsiran yang rasional. Di dalam model ini tampak adanya
suatu penolakan terhadap refleksi dan ketidakberdayaan intelektual yang
memahami iptek secara kritisdan rasional.
Model pemikiran yang kedua beranggapan bahwa yang merupakan sumber
satu-satunya nilai adalah agama. Model ini bersifat pre-problematik dan
deterministik. Model yang ketiga bertolak dari watak iptek itu sendiri yang
sifatnya menerjang sukar dibendung, sedangkan kewajiban moral dan etika adalah
untuk meletakkan rambu-rambu agar terjangan iptek dapat terkendali dan tidak
melenceng sehingga menjadi alat penghancur kehidupan manusia. Lihat saja
misalnya yang terjadi di dalam era perlombaan persenjataan pada waktu
pascaperang dunia kedua, yaitu pada masa perang dingin. Sejumlah besar dana
milyaran bahkan triliun dolar dihambur-hamburkan untuk perlombaan persenjataan,
sedangkan di banyak penjuru dunia kemiskinan sangat merajalela. Model pemikiran
yang ketiga ini merupakan model yang berpeluang untuk mengapresiasi watak
ilmiah dari iptek tanpa kehilangan arah ke mana seharusnya iptek itu
dikembangkan. Dengan demikian iptek tidak perlu mempunyai posisi yang antagonis
terhadap nilai-nilai moral, etika, dan agama. Keduanya saling berdialog yang
pada akhirnya memperkokoh penghayatan manusia baik terhadap iptek sebagai
sarana bagi perbaikan peningkatan taraf hidup manusia maupun agama sebagai
sumber-sumber nilai moral dan etika. Inilah yang disebut model yang hidup di
dalam Kebudayaan Keempat (The Fourth
Culture) dimana hidup dan berkembang suatu tanggungjawab moral pada
intelektual, yaitu manusia yang menguasai iptek dan yang juga yang taqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan manusia dalam milenium III adalah
kehidupan di masa Kebudayaan Keempat karena nilai-nilai ilmu pengetahuan,
teknologi, moral, dan agama seluruhnya merupakan kekayaan umat manusia dalam
rangka menciptakan suatu dunia yang lebih baik, aman, dan lebih sejahtera. Di
dalam upaya kita untuk lebih memacu pembangunan nasional di tengah era
globalisasi, Bur Rasuanto dan Gatra (1996; 111) mengingatkan lagi perlu adanya
“gerakan moral” dengan mengatakan: “…Sasaran perjuangan moral adalah kesadaran
moral itu sendiri. Kekuatan bersenjata
mampu merebut wilayah, kekuatan politik mampu merebut penduduk, kekuatan
ekonomi mampu menguasai tentara dan politik; tapi hanya kekuatan moral yang
mampu merebut hati nurani….”.
Moral Dalam Dunia Abad XXI
Tilaar
(1997) dalam bukunya Pengembangan SDM dalam era Globalisasi yang sangat
menantang Bold New World. Dan William
Knoke juga menggambarkan perkembangan kebudayaan manusiayang disebutnya dalam
empat dimensi, yaitu The First Dimention
Society yang terjadi selama sekitar lima ribu tahun telah melahirkan umat
manusia sejak dia hidup di gua-gua
sampai manusia merintis perdagangan dunia seperti usaha manusia Barat
untuk mencari kepulauan rempah-rempah di Indonesia, perdagangan sutera dan
pedalaman Cina mencapai Eropa, dan sebagainya.
The Second Dimenton Society, yaitu selama kurun waktu selama lima ratus tahun dengan minculnya
kerajaan-kerajaan besar yang pada akhirnya telah menciptakan daerah-daerah
koloni (zaman imperialismedan kekuasaan yang besar). Pada masa itu pula telah
lahir kembali ilmu pengetahuan yang telah mendorong suatu bentuk masyarakat
baru, yaitu masyarakat industri.
The Third Dimention Society yang terjadi hanya sekitar lima
puluh tahun terutama ditandai oleh komersialisasi penerbangan, lahirnya
multinasional korporasi, dan manufaktur barang-barang perdagangan di seluruh
dunia yang ditopang oleh aplikasi teknologi telah melahirkan berbagai barang
dalam menyenangkan kehidupan manusia.
The Fourth Dimention Society adalah kehidupan manusia abad XXI yang masih merupakan suatu tanda tanya,
dimana teknologi beserta hasil-hasilnya akan memberikan wajah baru di dalam
struktur kehidupan manusia dan segala bentuk tata cara hidup umat manusia.
Di dalam The Fourth Dimention ini muncul
masalah-masalah pengaturan kehidupan umat manusia yang menurut William Knoke
akan berubah dan berlainan sama sekali dengan yang dikenal oleh manusia abad
XX. Sebagai
ilustrasi apakah pada abad XX akan muncul suatu global governance? Hal ini tidak mudah untuk dilkasanakan karena
kenyataan menunjukkan adanya bermacam-macam negara-bangsa, berjenis-jenis
kebudayaan, dan berjenis-jenis keyakinan. Menurut Knoke masalah ini mungkin dapat saja diatsi oleh PBB dalam
bentuknya yang sekarang. Namun demikian, suatu tata cara kehidupan baru jelas
diperlukan umat manusia di dalam masa itu yang perlu diatur di dalam berbagai
bentuk kesepakatan atau undang-undang. Sangat menarik apa yang diutarakan oleh
Knoke bahwa civil law (undang-undang
sipil) tidak dapat mengatur kehidupan manusia global atau yang beraneka ragam
tersebut. Civil law tersebut sifatnya
sangat mekanikal, birokratik, dan harus dapat dibuktikan, namun kadang-kadang
sifatnya tidak adil. Oleh karena itu, manusia pada abad XXI masih tetap
memerlukan apa yang disebutnya ethical
dengan integralitas, reputasi, dan tugas manusia yang kadang-kadang sulit untuk
dapat dibuktikan seperti adanya civil law.
Dengan kata lain ethnical law tidak
dapat digantikan oleh civil law.
William Knoke menyatakan di dalam bukunya tersebut tentang lahirnya suatu
masyarakat baru yang disebutnya placeless
society atau masyarakat-tanpa-ruang. Maksudnya ada;lah suatu masyarakat
tanpa di dominasi oleh komunikasi super modern seakan-akan manusia ada di
mana-mana, dapat berhubungan dengan siapa saja. Di dalam masyarakat yang
tampaknya sangat unik tersebut William Knoke menjadi seorang pesimis yang
melihat bahwa the fourth dimention
society mungkin merupakan akhir sejarah dari umat manusia. Akan tetapi,
apakah mengakhiri keberadaannya sendiri karena dia tidak mempunyai pegangan
yang pasti? Seperti yang telah diuraikan penulis sebelumnya, kehidupan umat
manusia di bumi inj kiranya masih mempunyai kehidupan masa depan apabila
manusia itu menyadari bahwa manusia merupakan makhluk Tuhan yang tertinggi yang
diberikan suatu tanggungjawab untuk memelihara bumi ini. Dalam keadaan
yang pesimistik mengenai The Fourth
Dimention Society, William Knoke dengan indahnya menyampaikan kepada kita
suatu ungkapan yang sangat mendalam, “The
Fourth Dimention has transformed us back to where we started: a single dot
in space.”
Titik
Perhatian
Kondisi pendidikan di Kalimantan Tengah
dari hasil penelitian di 9 Propinsi tahun-tahun dsebelumnya, ternyata
Kalimantan Tengah masih jauh dibanding propinsi-propinsi lain di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai aspek seperti tenaga
guru, fasilitas belajar dan lokasi sekolah. Untuk tenaga guru ada kalanya satu
sekolah jumlahnya menumpuk tenaga guru tapi ini di perkotaan. Sementara di
pedesaan dirasakan kurang. Hal ini merupakan hasil masuk sebagai calon guru
adalah sebagai sarana memenuhi lapangan kerja jadi guru sebagai bagian
prioritas paling akhir. Tidak berdasarkan motivasi dari dalam oleh sebagian
orang. Itulah sebabnya jadi guru asal jadi. Lihat calon-calon peserta seleksi
PGSD. Dicari 100 mendaftar 1000 peserta. Tidak menutup mata jika berdatangan
pula yang mengaku anaknya, adiknya dsb untuk tujuan minta di luluskan. Sehingga
produk yang dihasilkan sudah sejak dari
mulai terkontimanasi oleh hal-hal yang motivasinya external. Walau penulis
sadari hal ini tidak seluruhnya demikian H. M. Norsanie Darlan (2002).
Bila
berbicara fasilitas belajar, maka bahan acuan kita gedung, media pendidikan dan
materi belajar yang dinantikan oleh murid terkadang masih terjadi berbagai
hal. Kendalanya jarak sekolah dengan
tempat tinggal anak terkadang cukup jauh, media dan materi kurang dimanfaatkan
secara maksimal. Sementara tuntutan pendidikan itu sama antara di kota dengan
di pedesaan. Yang menjadi permasalahan nanti kalau AFTA bidang pendidikan suatu
saat tiba, lapangan kerja harus di test dengan standar tertentu, maka yang
dapat lulus dalam mencari kerja adalah mereka yang tingkat pendidikan yang sama
namun pemanfaatan fasilitas belajar mereka lebih unggul, maka yang pasti lulus
adalah mereka yang betul-betul memanfaatkan materi belajar yang penuh, ditambah
pengayaan yang banyak akan memonopoli
lapangan kerja. Kita tidak perlu mengeluh karena hal itu kelemahan tenaga
pendidik kita sendiri yang kurang memberikan fasilitas bahan belajar terhadap
muridnya. Sementara di pihak lain jarak sekolah disertai alat transportasi yang
belum memadai menyita waktu belajar anak. Apa lagi setelah mereka datang ke
sekolah gurunya tidak ada di tempat.
Keluhan –
keluhan di atas, merupakan suatu masalah klasik. Namun memerlukan pemikiran kita
bersama. Sebab ocehan seperti ini tidak akan habis bila kita tidak ada upaya
merubahnya. Artinya
Salah Jub
Negara
sedang berkembang seperti Indonesia yang walau berusia setengah abad.
Sebetulnya tidak waktunya lagi salah jub para sarjana telah banyak dari
berbagai bidang di tanah air ini. Namun ada istilah ganti pimpinan ganti pula
staf dan para ahlinya.
Pergantian
seperti ini, cenderung membuat organisasi yang dipimpinnya goyang. Sebab ia
dapat merubah situasi dan kondisi pemerintahan. Termasuk kebijakan. Apa lagi
kebijakan yang diambil dilarbelakangi oleh ketidak cocokan latar belakang staf
dan ahlinya. Maka organisasi ini akan kacau dan akan terjadi goncangan
hebat sehingga pemerintahan yang
dipmpinnya tidak akan menemukan tujuan yang jelas.
Secara
realita seorang guru sarjana matematika
umpamanya, ditugaskan di sekolah untuk mengajar bahasa Indonesia. Atau sarjana
Fisipol mengajar IPA. Walau ia dapat mengurai dengan baik tentang IPA . Tapi
bagaimana membuat SAP bagi sarjana alumnus Fisipol tentu kesulitan. Demikisn
juga media pengajaran, metoda belajar mengajar. Karena yang bersangkutan belum
pernah kuliah di FKIP. Contoh lain pada Dikluspora kasi PLS.
Kredit Guru
Istilah
kredit guru dalam sub judul di atas, bukanlah yang disebut dengan kredit Bank.
Tapi bagaimana seorang guru yang upaya kenaikan pangkatnya dengan angka kredit.
Penulis sejak agustus 2002 di pesan oleh Depdagri Jakarta untuk menulis buku
sebanyak 10 judul tentang angka kredit pengembangan profesional guru. Sampai saat
buku-buku yang telah diselesaikan:
1.
Penyusunan karya tulis Ilmiah
2.
Menulis buku ajar
dalam bidang pendidikan
3.
Penulisan karya
ilmiah sbg salah satu cara pengembangan profesi bagi jabatan fungsional
4.
Menyusun karya tulis dalam jurnal
5.
Membuat karya
tulis dalam bentuk artikel di koran
6.
Karya tulis dalam bentuk makalah
7.
Karya tulis yang
dapat dinilai dengan angka kredit
8.
Menulis karya penelitian
9.
Menulis
10. Pedoman
pelaksanaan
Diharapkan
jika 10 buku ini rampung, akan dapat
membantu para tenaga yang menduduki jabatan fungsional. Apakah ia guru,
penyuluh, pengawas, widyaiswara, dan
berbagai jabatan fungsional lainnya sekarang mereka banyak terhambat upaya naik
pangkat. Walau dalam juklak tenaga fungsional dapat naik pangkat lebih cepat
dibanding tenaga struktural, namun ternyata tidak seluruhnya berjalan mulus.
Sebab seperti guru dari golongan IV/a ke IV/b ia harus menulis karya ilmiah
sesuai dengan peraturan yang telah di tetapkan.
Diharapkan
pula dengan terbitnya buku ini nanti saya sebagai penulis meminta kepada semua
kalangan agar dapat menjaga etika tulisan ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Bennis, Warren
G., Benne Kennth D., dan Chin, Robert , 1990. Perencanaan & Perubahan, Intermedia, Jakarta.
Benner, Kennet D.
Perencanaan & Perubahan, Intermedia, Jakarta.
Darlan, H. M. Norsanie 2002. Analisis Lingkungan Mahasiswa dan Alternatif Sumber Belajar Masyarakat,
Senat Mahasiswa Unpar, Palangka Raya.
Hassan Shadely , 1980. Ensiklopedi Indonesia, Ictiar Baru,
Jakarta.
Lauer, Robert H. 1993. perspektif perubahan sosial. PT. Reneka Cipta, Jakarta.
Moliono, Anton M. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia¸Depdiknas RI, Jakarta.
Poerwadarminta, WJS. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Rasuanto, Bur dan Gatra, 1996. Dalam Pengembangan Sumber
Daya Manusia dalam Era Glonalisasi, Vini, Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan
Pelatihan Menuju 2020. Rasindo Gramedia, Jakarta.
Soedomo 1982. Mencari
Sumber Belajar Tertulis, dalam pengembangan masyarakat di pedesaan, IKIP
Malang.
Shadily,
Hassan 1984. Ensiklopedia Indonesia, Ictiar Baru, Jakarta.
Tilaar, H.A.R, 1997.
Pengembangan SDM Dalam Era
Globalisasi, PT. Dramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar