Oleh : H.M.Norsanie Darlan
Guru Besar S-1 dan S-2 PLS Universitas Palangka Raya
Pendahuluan
Dalam dunia
pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal, Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM) merupakan bagian dari pekerjaan para pejuang pendidikan yang
terkadang tidak mendapatkan honorpun mereka bekerjan siang maupun malam,
tugasnya sangat berat. Menuntaskan wajib belajar di tanah air kita yang sudah
60 tahun lbih merdeka, kok belum tuntas-tuntas. Karena ahlinya bidang
pendidikan nonformal ini, masih sangat terbatas. Dan tidak semua perguruan
tinggi memiliki jurusan/program studi PLS. Dipihak lain ada Dinas Pendidikan
yang kurang bersahabat dalam bidang ilmu
ini. Sehingga banyak ahli PLS atau pendidikan nonformal, kok tidak ditempatkan
pada forsinya. Sehingga negeri kita yang berpenduduk 200 juta lebih ini, tetap
saja ada yang tuna aksara. Karena sipengelola bidang pendidikan nonformal ini,
masih ada yang menempatkan tenaga kerjanya yang bukan sarjana PLS.
Upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa di negeri tercinta ini, guna mengantisipasi
tantangan dunia pendidikan yang semakin hari ternyata semakin sulit. Terlebih
dalam jalur pendidikan luar sekolah. Dipihak lain, angka tuna aksara tak
kunjung henti dalam arti Kuantitas, bahkan ada kalanya jumlahnya semakin
meningkat. Apakah betul jumlahnya semakin bertambah, ataukah cara
pengelolaannya yang kurang relevan. Karena tugas-tugas PLS lebih banyak
dikerjakan oleh orang-orang bukan PLS. Sebetulnya hal itu warga PLS sangat
bersyukur, asal harapan yang kita inginkan dalam upaya mencerdaskan keghidupan
bangsa dapat terwujud. Selain itu tokoh PLS di sektor formal yang menangani
Pendidikan Luar Sekolah dengan melihat jumlah angka tuna aksarana yang semakin
membengkak menyatakan bahwa hal ini adalah kegagalan pendidikan formal. Sehingga
setelah mereka putus sekolah, maka kasus ini menjadi pekerjaan bagi mereka yang
peduli pada pekerja PLS.
PKBM dalam
memberikan sumbangannya pada negara di negeri tercinta ini cukup besar bagi
kita yang menilik hal itu dari sudut pandang luar sekolah. Namun dipihak lain
mereka melihat dalam sudut pandang pendidikan formal, apalah artinya PKBM itu.
Bahkan mereka menganggap PKBM hanya sekedar pekerjaan orang-orang PLS yang
akal-akalan untuk menambah penghasilan.
Bicara tentang kualitasnya? Dan
mana hasilnya mereka pasti belum seluruhnya tahu. Walaupun dalam Undang-Undang
nomor 20 tahun 2003, secara jelas dalam pasal 13 butir (1) menurut Hamid,
(2003) bahwa :”...jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal
dan informal yang dapat saling melengkapi dan meperkaya...”. Dalam sudut lain,
dalam pasal 28 bahwa pendidikan nonformal berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung
pendidikan sepanjang hayat. Hal inilah yang perlu kita bicarakan dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa di negeri tercinta ini.
Berbagai
pendapat Ahli
Dalam bagian
ini, penulis menguraikan secara sederhana minimal 4 hal dalam pengertian
istilah PKBM secara rinci dan sederhana masing-masing sebagai berikut:
1. Optimal menurut Echols dan Shadily (1982; 407)
adalah:”...suatu pekerjaan ataupun perbuatan yang paling bagus...”. Sehinga menghasilkan sesuai dengan yang diharapkan;
2. Adapun fungsi menurut Poerwadarminta (1986) yaitu:
”...kegunaan sesuatu lembaga....”. Termasuk lembaga PKBM dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang semakin hari semakin bertambah. Namun
beragam pula klasifikasinya;
3. Peran menurut Moeliono (1989; 667) adalah: ”...seperangkat
peralatan yang diharapkan dimiliki oleh suatu lembaga atau orang tertentu yang
berkedudukan di masyarakat...”. Peran di sini tidak laih sebuah usaha individu
ataupun sekelompok orang yang berperan pada PKBM dalam jalur pendidikan luar
sekolah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa;
4. Pusat adalah menurut ahli bahasa Moeliono (1989; 712) dan Poerwadarminta
(1986) adalah :...suatu pokok pangkal berbagai-bagai urusan...”. Sehingga dapat
membantu seseorang atau sekelompok orang dalam proses belajar membelajarkan
dalam jalur pendidikan nonformal untuk menyelesaikan studinya yang karena
faktor usia, ia harus turut serta
belajar pada PKBM;
5. Kegiatan menurut Poerwadarminta (1986; 322) adalah:
”...suatu kekuatan dan ketangkasan dalam berusaha dengan penuh kearifan pada
program tertentu...”. Termasuk dalam
kegiatan proses belajar pendidikan luar sekolah;
6. Belajar menurut Moeliono (1989; 13) yaitu:”...berusaha
untuk memperoleh kepandaian atau suatu ilmu tertentu....”. Ahli lain, seperti
Shadily (1980; 434) adalah:”...seseorang dapat mempelajari sesuatu, sehingga ia
dapat memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang baru yang memungkinkan yang
bersangkutan untuk berprestasi...”.
Sehingga di tempat ini seperti PKBM akan dapat membantu kepada mereka
yang karena sesuatu dan lain hal tidak sempat mengikuti pendidikan formal.
Dengan adanya PKBM ini, warga masyarakat dapat belajar dalam menuntaskan wajar
9 tahun untuk mempu calistung seperti kebanyakan orang;
7. Masyarakat menurut Poerwadarminta (1986; 636)
adalah:”...sekumpulan orang yang hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan
dengan ikatan-ikatan aturan tertentu. Sedangkan moeliono (1989; 564) adalah:
”...sejumlah manusia diartikan seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan
yang mereka anggap sama...”. Dan mereka ini, berminat dalam jalur pendidikan luar sekolah;
8. Pengembangan menurut Moeliono (1989; 414) dan
Poerwadarminta (1986) adalah:”...suatu proses, cara, perbuatan mengembangkan
secara bertahap...”. Termasuk dalam dunia pendidikan luar sekolah tidak serta
merta mendaftarkan diri ia dapat ijazah. Tapi mereka harus belajar dalam kurun
waktu tertentu. Dan hal seperti ini harus dipertahankan.
9. Sumberdaya lebih cenderung pada manusia, menurut Zein
(1982; 4) menegaskan adalah :’’...tidak sekedar terbatas pada barang (termasuk
manusia) atau substansi yang digunakan dalam upaya untuk mencapai sesuatu
tujuan, tetapi yang terpenting adalah peran benda atau substansi tersebut dalam
proses atau operasi, yakni fungsinya secara operasional di dalam proses
tercapainya tujuan...”.
Pola
Adapun istilah
pola menurut Moeliono (1989; 692) adalah: “… suatu gambaran yang dipakai untuk
contoh batik; Corak batik atau tenun; Potongan kertas yang dipakai sebagai
contoh dalam membuat baju dan sebagainya…”. Pola dalam kegiatan kita sekarang
ini, tidak lain adalah menentukan sebuah bentuk pelatihan yang dapat memberikan
satu konsep baru untuk proses pembelajaran pendidikan luar sekolah atau istilah
sekarang disebut dengan pendidikan nonformal.
Pengembangan
Pengembangan
menurut Poerwadarmintan (1986) Moeliono (1989) adalah “…sutu proses cara
perbuatan mengembangkan: pemerintah selalu berusaha dalam pembangunan secara
bertahap dan teratur yang menjurus kesasaran yang dikehendaki…”. Pengembangan masyarakat adalah proses
kegiatan bersama yang dilakukan oleh penghuni
suatu daerah untuk memenuhi kebutuhannya.
Sedangkan
pengembangan menurut Shadily (1984; 2636) adalah: “…pengembangan daerah
pengaliran. Penyusunan, perencanaan, dan pelaksanaan sumber-sumber tanah dan
air suatu daerah pengaliran, secara teratur untuk tujuan serba guna bagi
peningkatan kemakmuran masyarakat...”. Pengembangan dapat meliputi sebuah
program atau keseluruhan. Hal ini merupakan usaha kegiatan yang menyeluruh
termasuk dalam kegiatan kita sekarang ini.
Kemitraan
Bila kita
berbicara tentang asal kata kemitraan adalah: mitra yang diberi awalan ke dan
akhiran an maka menjadi kemitraan. Mitra secara sederhana menurut: Moeliono
(1989; 588) adalah suatu: “… teman sahabat kawan kerja, pasangan kerja,
rekan…”; Kata lain adalah kemitraan
adalah perihal hubungan (jalinan
kerjasama dan sebagainya) sebagai mitra yang dapat saling menguntungkan.
Sedangkan
menurut Shadily (1983; 2264) secara histiros tentang Mitra adalah:”…sebuah
sebutan dalam bahasa Sanskerta, sama dengsn Mithtras dalam bahasa Yunani dan Latin, Mithra dalam
persia kuno (= teman). Dewa pujaan konu India dan Iran. Dalam agama Zoroaster
mula-mula sebagai dewa bawahan terhadap Ahura Mazda, terang dan kebahagiaan.
Dalam abad ke 5 ia menjadi dewa utama Persia…”.
Dengan
demikian kemitraan yang kita bicarakan di sini tidak lain adalah suatu hubungan
kerja dalam upaya meningkatkan kerjasama kepada berbagai pihak untuk mencari
bentuk kesepakatan yang dapat menghasilkan suatu tujuan yang sama dalam proses
dunia pendidikan luar sekolah.
PKBM
Untuk
mempelajari apa itu PKBM, menurut Darlan (2006) adalah: ”...Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat. PKBM ini hingga tulisan ini diturunkan masih dikelola oleh
masyarakat, untuk masyarakat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa...”.
Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat merupakan salah satu upaya masyarakat dalam menghadapi
tantangan yang selama ini, dirasakan bahwa jalur pendidikan luar sekolah (non
formal) pincang, tidak seimbang dengan jalur pendidikan persekolah
(formal). Namun tidak seluruh
masyarakat yang acuh terhadap jalur ini. Di berbagai daerah ada tokoh-tokoh PLS
murni yang menyediakan sebagian dari tempat tinggalkan sebagai tempat
pendidikan/sarana PLS. Mereka ini tidak menuntut ibalan jasa atau sewa. Namun
diketahui bersama keberadaan pejuang PLS seperti disebutkan di atas, tidak
banyak. Oleh sebab itu PKBM tidak merata seperti pendidikan formal.
Sejarah PKBM
di Indonesia tidak terlepas dengan adanya
hasil perjuangan pendidik tanpa balas jasa. Mereka ini, mendirikan Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat dengan harapan bahwa warga masyarakat di sekitar
lingkungannya dapat membaca, menulis dan berhitung demi masa depan bangsa.
Namun kalau kita memperhatikan hingga dewasa ini. PKBM sudah mulai mendapat
perhatian pemerintah. PKBM baru disadari punya andil besar dalam membangun
bangsa di bidang pendidikan luar sekolah. Tidak sedikit pula lulusan paket C di
PKBM mampu bekerja di pemerintahan, anggota DPRD dan bangkan yang sangat
berkesan bagi penulis, dalam salah Kabupaten
Indonesia ada yang bupatinya mengaku pada media masa bahwa tanpa ikut
paket C di salah satu PKBM ia pasti tidak dapat jadi Bupati. Inilah hasil
perjuangan pendidik luar sekolah yang tidak mengharap balas jasa. Dan di
Kalimantan Tengah ditemukan juga anggota DPRD kita yang menyandang ijazah dari
alumnus paket C entah di PKBM mana.
Fungsi PKBM
Adapun fungsi sebetulnya tidak sekedar memanfaatkan kegunaan sesuatu
lembaga saja. Tapi juga termasuk lembaga PKBM ini, dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya. Namun beragam
pula klasifikasinya. Dengan demikian fungsi PKBM dimasa datang setelah
dialkukan sertifikasi dan akreditasi akan terlihat mana yang benar-benar
menjalankan tugas PLS dan mana yang tidak.
Dalam rangka sosialisasi Forum Komunikasi Pendidikan Keaksaraan (FKPK)
di tanah air. Terdapat keluhan tokoh
formal Ichwanuddin (2006) bahwa:”... pernah menyulitkan pihak Diknas (Dikjar)
bila bakal terjadi Pemilu dan Pilkada, ada orang-orang tertentu, yang mendesak
agar ikut serta dalam program paket C. Tidak itu saja, kepala Dikjar (Dinas
pendidikan dan pengajaran) agar diikutsertakan ujian paket C. Hal tersebuat ia pernah juga diperiksa oleh
pihak kejaksaan, karena ada indikasi bahwa lulusan paket C diperoleh tanpa
melalui kegiatan pendidikan luar sekolah yang wajar...”. Hal seperti ini,
fungsi PKBM perlu dijaga, bukan hanya sekedar kasihan. Tapi dengan terbitnya
Undang-Undang nomor: 20/2003 dalam Bab XX ada pula sanksinya.
Kebanggaan kita semua memang lulusan paket C sudah ada yang jadi
Bupati. Tidak terhitung yang menjadi anggota DPR. Dalam kegagalan pendidikan
formal tahun 2006 lalu, bisa kita ingat 15-20 tahun mendatang, lulusan paket C
akan bermunculan menjadi pejabat di negeri ini. Dengan demikian fungsi PKBM
setara juga dengan pendidikan formal. Hanya yang kita jaga kualitasnya.
Peran PKBM
Berbicara tentang peran PKBM dalam upaya mencerdasken kehidupan bangsa
di tanah air tercinta ini, masih belum maksimal. Ketidak maksimalan ini
didasari oleh :
1. Kesiapan tenaga terdidik;
2. Fasilitas yang memadai;
3. Keragaman program;
4. Uluran tangan pemerintah.
Kesiapan tenaga terdidik, masih kurang, dari hasil observasi dan
evaluasi selama beberapa tahun terakhir, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM) ini baik di dalam maupun di luar daerah
Kalimantan Tengah tenaga yang mengelola mayoritas mereka yang bukan
berpendidikan luar sekolah. Sehingga pengelola pemula tentu akan mendapat
kesulitan dalam hal-hal tertentu. Sementara tenaga berpendidikan PLS yang
mendapatkan pekerjaan sebagai PNS diterima pada jalur pendidikan formal,
sehingga kurang memperhatikan ciri kesarjanaannya.
Bila kita mempelajari teori PLS tentu saja sangat sederhana, sebab
fasilitas untuk belajar membelajarkan ini, dapat di rumah penduduk, balai desa,
atau di mana saja. Yang proses belajar membelajarkan ini sebelumnya terjadi
kesepakatan antara warga belajar dengan tutor. Sehingga fasilitas yang ada
dewasa ini, masih belum seluruhnya memadai sebagai tempat (ruang) belajar
mengajar. Akibatnya kurang menciptakan kenyamanan dan sudut pandang orang luar
PLS menjadi kurang tertarik untuk memilih jalur PLS.
Dalam hal keragaman program, sebaiknya PKBM mengembangkan berbagai hal
selain sesuai dengan upaya wajar 9 tahun, juga ada PAUD, Paket C bahkan
berbagai hal sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat sekitar. Masalnya
dengan mengangkat sumber daya alam yang ada di sekitar dan dapat pula
dipasarkan ke daerah lain. Sehingga materi life skills ini, akan dapat membantu
masyarakat banyak.
Dan PKBM jadi dikenal oleh masyarakat banyak. Seperti di kota Solo, PKBM banyak berperan. Termasuk merias pengantin.
Uluran tangan pemerintah yang mulai terlihat setelah angka buta aksara
latin dan angka ternyata tak kunjung hilang. Walau kita merdeka sudah setengah
abad lebih. Karena si warga tuna aksara ada perasaan segan untuk ikut belajar
di tempat tersebut. Mengapa? karena tempatnya terkadang sungguh menyedihkan.
Sehingga walau ada kesadaran mereka bahwa belajar itu penting bagi dirinya.
Tapi kalau buku bacaan, tempat belajar, tenaga tutor belum memadai dan tidak
mendapatkan uluran tangan pemerintah, baik berupa perbaikan fasilitas belajar,
maupun keperluan tenaga tutor belum memadai. Membuat para peminat untuk
bergabung pada jalur PLS ini, menjadi
rendah. Oleh sebab itu, perlu perhatian kita semua. Terlebih bagi mereka yang
bertugas dan berkecimpung sehari-hari di Dirjen, Dinas, Subdin PLS, Kasi PLS
menjadi kurang perhatian. Kurangnya perhatian di atas, menurut hasil pengamatan
sementara ini, ada hubungannya dengan tenaga kerja yang ditempatkan menangani
PLS tidak seluruhnya berlatar belakang pendidikan luar serkolah. Namun Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan
perempuan, pendidikan keaksaraan pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesataraan, serta pendidikan lain yang ditunjuk untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik. Dengan
demikian PKBM akan dapat memilah mana yang dapat kita lakukan.
Kibijakan
Strategis Pemerataan dan Perluasan
Dalam upaya menetapkan kebijakan strategi pemerataan dan
perluasan, mutu dan relevasi serta governance dan akuntabelitas menurut Ace
Suryadi (2005) adalah sebagai berikut:
a. Penanganan program
pemberantasan buta akasara di prioritaskan pada kantong-kantong daerah
pemukiman penduduk yang jumlah buta aksaranya tinggi.
b. Berusaha mengerahkan dan
bekerja sama dengan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya
masyarakat dan lembaga pendidikan formal pada semua tingkatan.
Mutu dan
Relevansi
Untuk melihat bagai mana
muti dan relevansi menurut pejabat formal di atas adalah:
a. Melakukan hasil pengujian terhadap hasil
belajar peserta didik berdasarkan standar yang telah dibakukan sehingga program
pembelajaran yang telah dilaksanakan selama ini dapat diketahui sejauh mana
tingkat penguasaan peserta didik.
b. Berusaha melakukan
peningkatan pelayanan pendidikan keaksaraan melalui kegiatan pembelajaran yang
berkelanjutan dan relevan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam
mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya melalui program life skills.
Governance dan
Akuntabilitas
Berusaha mewujudkan pengelolaan pendidikan keaksaraan
secara intensif melalui sistem pengendalian mutu secara internal baik dari
masyarakat maupun pemerintah secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Ada
Kesepakatan
Untuk kalangan tenaga pendidikan khususnya alumnus PLS yang
berkiprah pada pendidikan tinggi, sebaiknya ada kesepakatan dalam mempersiapkan
untuk melatih mahasiswa agar tidak terlalu berharap dalam pekerjaan dunia
formal. Mereka sejak awal kita untuk turun ke masyarakat dalam menekuni jalur
pendidikan luar sekolah. Sehingga sekembalinya mereka di masyarakat alumnus
kita tidak terlalu kaget dalam berhadapan dengan PKBM, Kursus-kursus dan
sebagainya.
Penyebab Terjadinya BUTA AKSARA INDONESIA
Ada
beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya buta aksara di Indonesia
adalah :
1.
Putus Sekolah Dasar (SD)
Masih banyak anak Indonesia, yang belum
memiliki kesempatan untuk masuk sekolah dikarenakan berbagai hal.
Pertama:
karena orang tua atau keluarganya tidak mampu. Kondisi ini memaksa orang tua untuk
mempekerjakan anak-anak mereka, terutama dimusim pertanian yaitu waktu mengolah
sawah, menanam, mengetam dan lain lain.
Kedua:
kondisi daerah yang terisolasi atau daerah transmigrasi yang jauh dari sekolah,
daerah yang terkena bencana alam atau konflik, seperti Aceh, Nabire, Poso,
Atambua, dan sebagainya.
Kedua
penyebab ini, tidak menutup kemungkinan
akan menambah buta aksara jumlah buta
aksara di Indonesia.
Salah satu faktor lagi, yang kurang
diperhatikan penyebab buta aksara di Indonesia adalah DO program-program
pendidikan luar sekolah (PLS) baik yang dilakukan melalui pendidikan keaksaraan
maupun kesetaraan. Angka putus belajar, terutama dalam program pemberantasan
buta aksara, cukup tinggi karena kurangnya motivasi dan warga belajar tidak
merasakan manfaat yang segera dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Termasuk juga seperti dalam uraian peran PKBM terdahulu, bahwa pendidikan keterampilanpun tidak akan menarik
minat masyarakat buta aksara. Apabila mereka tidak merasakan akibat langsung
untuk meningkatkan pendapatan, memperoleh lapangan kerja, dan memperbaiki
status sosial-ekonomi mereka. Hal ini menjadi tantangan bagi kita dalam
pengelolan PKBM yang dapat dimaksimalkan.
Berdasarkan pengamatan UNESCO
kompetensi keaksaraan lulusan pendidikan dasar masih belum memadai. Padahal
menurut Direktur Jendral UNESCO Koichi Matsura pendidikan keaksaraan merupakan
sarana pembangunan berkelanjutan. Kemampuan keaksaraan begitu penting bagi
setiap orang, kelompok dan masyarakat. Kemampuan keaksaraan memiliki kontribusi
terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan (Suryadi,
2005).
Perbedaan dengan pendidikan orang dewasa
Istilah pendidikan seumur hidup itu
sendiri sudah jelas tentang pengertiannya. Walaupun demikian penting juga untuk
membedakannya dengan, umpamanya proses yang lebih tradisional pendidikan orang
dewasa. Pengertian pendidikan seumur hidup Lebih luas daripada perluasan
pendidikan orang dewasa untuk audience yang lebih luas, atau alat untuk lebih
meningkatkan kelas pekerja yang terhalang untuk meningkatkan lebih jauh
pekerjaan mereka karena tidak memiliki keterampilan yang memadai.
Eksistensi perbaikan semata-mata
untuk meningkatkan fasilitas pendidikan orang dewasa tidak berarti bahwa
pendidikan seumur hidup sudah tercapai (Farmer, 1974). Contoh, terdapat satu
problem bahwa pendidikan orang dewasa sangat selektif, pada umumnya sebagai
hasil "second creaming" (Bengtsson, 1975) dan Sarjan Kadir (1989).
Mereka sudah mendapatkan pendidikan sebelumnya dan bermaksud untuk memperoleh
pendidikan orang dewasa, dan bukan orang yang diduga betul-betul
membutuhkannya. Lebih jauh lagi, organisasi pendidikan orang dewasa seringkali
tidak berintegrasi dan berkoordinasi dengan pendidikan sebelumnya. Pada waktu
sekarang pendidikan orang dewasa masih dikonsepsikan sebagai rekreasi atau
bentuk lainnya yang harus dilakukan oleh mereka yang membutuhkan kompensasi
keterbatasan pendidikan sebelumnya.
Justru itu, pendidikan orang dewasa
dinodai dengan menjadikannya sebagai sesuatu yang luks atau usaha perbaikan,
bukan menjadikannya sebagai bagian proses pendidikan yang berlangsung sepanjang
kehidupan. Contoh, alasan bahwa orang pergi sekolah pada umumnya untuk
menyiapkan diri mereka memasuki pendidikan orang dewasa nantinya, tampaknya
barangkali tidak masuk akal, bahkan tampaknya tidak masuk akal sebagian besar
pendidik orang dewasa. Pernyataan ini tidak dimaksudkan menghina pendidikan
orang dewasa yang ada sekarang atau tidak pula untuk mengartikan bahwa sistem
pendidikan Yang diorganisir sepanjang garis pendidikan seumur hidup akan
diperlengkapi dengan tenaga yang tidak "qualified."
Bagaimanapun juga, tujuan
pendidikan seumur hidup dapat dipandang lebih luas daripada upgrading kejuruan
atau meningkatkan produktivitas pekerja seperti yang ditekankan pada pendidikan
orang dewasa. Sistem yang berorientasi pada pendidikan seumur hidup dalam
kenyataannya akan memasukkan pendidikan orang dewasa seperti yang ada sekarang.
Dan secara serentak membagi antara pendidikan orang dewasa dengan jenis
pendidikan lainnya. Masalah ini akan lebih luas dalam pembahasan bab berikutnya.
Belajar
Dari Sebuah Pengalaman
Dalam mengakhiri tahun 2006, ada sebuah pekerjaan yang ditugasi oleh LPPM
Universitas Palangka Raya untuk asistensi Wajib bejalar 9 tahun di Kabupaten
Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, mendampingi para Camat, Diknas Kecamatan,
Depag Kecamatan dan Kepala Desa serta tokoh masyarakat dalam membicarakan SD/SMP satu atap.
Sebuah desa di tepi Laut Jawa tepatnya Desa Satiruk, kecamatan Pulau Hanaut
ada 3 gedung sekolah dasar yang berdekatan setiap tahun meluluskan antara 18-20
orang/sekolah. Namun tidak ada SMP/MTs baik negeri maupun swasta. sehingga
kepala desanya berinisiatif membentuk kelompok belajar paket B. Namun dalam
segi usia 12-14 tahun. Sementara yang berusia 18 – 40 tahun tak pernah dapat
sentuhan pendidikan baik formal SMP/MTs maupun nonformal paket B. Padahal
negara kita sedang gigihnya menuntaskan wajar 9 tahun. Termasuk merealisasikan
Instruksi Presiden nomor: 5 tahun 2006 tertenggal 9 Juni 2006. Tentang Gerakan
Nasional Percepatan Penuntasan Wajar pendidikan dasar 9 tahun dan pemberantasan buta aksara.
Pengalaman lain tahun 1992 penulis penelitian di kawasan pantai, menemui
sebuah bangunan beratapkan daun nipah, dinding daun nipah ukuran 6 x 4 m dengan
10 orang muris 4 duduk di kelas 2.
Saat bertemu dengan penulis penduduk di kecamatan Kumai Kabupaten
Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah ini, diajak membaca huruf latin dan angka
belum sempurna. Tapi dituliskan huruf Arab mereka lancar membaca. Berarti
penduduk pesisir tidak seluruhnya buta aksara, kecuali latin. Sedangkan huruf
Arab mereka sudah bisa, karena setiap orang tua melatih anaknya untuk membaca
Al-Qur’an. Kasus ini berada di kawasan selatan Kalimantan Tengah. Tepatnya di
utara Laut Jawa.
Perlu
Perubahan
Perlu merubah konsep yang selama ini, ternyata terjadi kesalahan dalam
dunia pendidikan luar sekolah. Memang selama ini, pendidikan luar sekolah
terlupakan. Bahkan jika pendidikan luar sekolah bagi pekerjanya seperti tutor
misalnya mendapat imbalan lebih banyak dengan ucapan terima kasih. Sementara
jika tersedia dana, untuk tenaga tutor hanya dengan imbalan yang jauh dari
cukup. Padahal, petugas PLS jauh lebih sulit dibanding mereka yang bekerja di
jalur pendidikan formal. Misal dalam pendidikan formal gedung sekolah, guru dan
murid serta buku bacaan tersedia, semuanya serba ada. Sementara dalam jalur
pendidikan luar sekolah terjadi sebaliknya. Ruang belajar terkadang di rumah
penduduk, di balai desa dll. Murid dirayu agar mau belajar. Karena mereka dalam
kondisi belajar tidak penting baginya. Hal itu perlu diberikan penyadaran diri
individu yang masih belum tuntas wajar 9 tahun. Materinya elastisitas yang
diberikan berdasarkan kesepakatan bersama.
Dengan melihat hal di atas, saran dari penulis agar mulai sekarang kita
adakan perubahan. Artinya dalam hal pendanaan, tidak selalu pada pendidikan
formal yang besar. Tapi bagaimana jika kalau PKBM, yang tak punya gedung yang
memadai. Pihak Diknas turut membantu mereka yang mendirikan pusat kegiatan
belajar masyarakat ini, pada gedung mereka, buku bacaan dan honor tutor yang
cukup.
Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi dan Moral
Dewasa
ini sedang berkembang suatu pemikiran baru diantaranya para ilmuan sendiri,
yaitu kebudayaan ketiga (the Third culture) bahkan mungkin kebudayaan keempat
(the fourth culture). Kini mungkin umat manusia mempunyai kesempatan yang lebih
luas dalam memikirkan eksistensinya. Sesudah dunia memasuki era perdamaian
menurut: H.A.R. Tilaar (1997;109) pasca
prang dingin, mungkin umat manusia mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam
memikirkan eksistensinya. Sesudah dunia memasuki era perdamaian pascaperang dingin,
mungkin umat manusia akan datang pada suatu renungan kembali bahwa kemajuan
iptek adalah segala-galanya. Iptek akan berkembang pesat dan pasti akan
mengubah kehidupan manusia ke arah kebaikan, namun iptek tidak dapat memberikan
penjelasan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan. Diantara
optimisme ilmu pengetahuan dan teknologi, ditengah-tengah kekayaan rohaniah
manusia yang diekspresikan ke dalam kesusastraan dan falsafah, manusia
menyadari bahwa ilmu pengetahuan akan membawa manusia ke segala arah, ke arah
yang baik juga ke arah yang buruk. Disinilah letaknya peranan moral dan agama
yang akan mengerahkan ilmu pengetahuan dan teknologi ke arah yang benar. Iptek
dan moral bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi saling mengisi satu dengan
yang lain. Ilmu pengetahuan perlu untuk mencerahkan akal manusia mencari dan
menggali berbagai kemungkinan yang dianugerahkan oleh sang Pencipta kepada umat
manusia dia atas bumi. Dengan akalnya manusia dapat mengeksplorasi berbagai
kemungkinan yang tersembunyi. Eksplorasi dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi bukan hanya memberikan kehidupan yang lebih baik, tetapi juga
mendekatkan manusia itu kepada sang Pencipta akan kebesaran Khalik langit dan
bumi.
Di
tengah-tengah arus modernisasi, globalisasi, dan kemajuan iptek ada
kecenderungan untuk menjauhi moral dan etika. Di dalam suatu seminar nasional
“Iptek Berwawasan Moral” yang diadakan dalam bulan Agustus 19996, Prof. Quraish
Shihab mengemukakan pendapatnya mengenai model pemikiran: Pertama, model dan
pemikiran yang bersifat dogmatis atau apologetik yang menutup segala pemikiran
rasional terhadap moral. Bagi model ini satu-satunya akar moral adalah agama
dan menutup berbagai penafsiran yang rasional. Di dalam model ini tampak adanya
suatu penolakan terhadap refleksi dan ketidakberdayaan intelektual yang
memahami iptek secara kritisdan rasional.
Model pemikiran yang kedua beranggapan bahwa yang merupakan sumber
satu-satunya nilai adalah agama. Model ini bersifat pre-problematik dan
deterministik. Model yang ketiga bertolak dari watak iptek itu sendiri yang
sifatnya menerjang sukar dibendung, sedangkan kewajiban moral dan etika adalah
untuk meletakkan rambu-rambu agar terjangan iptek dapat terkendali dan tidak
melenceng sehingga menjadi alat penghancur kehidupan manusia. Lihat saja
misalnya yang terjadi di dalam era perlombaan persenjataan pada waktu
pascaperang dunia kedua, yaitu pada masa perang dingin. Sejumlah besar dana
milyaran bahkan triliun dolar dihambur-hamburkan untuk perlombaan persenjataan,
sedangkan di banyak penjuru dunia kemiskinan sangat merajalela. Model pemikiran
yang ketiga ini merupakan model yang berpeluang untuk mengapresiasi watak
ilmiah dari iptek tanpa kehilangan arah ke mana seharusnya iptek itu
dikembangkan. Dengan demikian iptek tidak perlu mempunyai posisi yang antagonis
terhadap nilai-nilai moral, etika, dan agama. Keduanya saling berdialog yang
pada akhirnya memperkokoh penghayatan manusia baik terhadap iptek sebagai
sarana bagi perbaikan peningkatan taraf hidup manusia maupun agama sebagai
sumber-sumber nilai moral dan etika. Inilah yang disebut model yang hidup di
dalam Kebudayaan Keempat (The Fourth Culture) dimana hidup dan
berkembang suatu tanggungjawab moral pada intelektual, yaitu manusia yang
menguasai iptek dan yang juga yang taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Kehidupan manusia dalam milenium III adalah kehidupan di masa Kebudayaan
Keempat karena nilai-nilai ilmu pengetahuan, teknologi, moral, dan agama
seluruhnya merupakan kekayaan umat manusia dalam rangka menciptakan suatu dunia
yang lebih baik, aman, dan lebih sejahtera. Di dalam upaya kita untuk lebih
memacu pembangunan nasional di tengah era globalisasi, Bur Rasuanto dan Gatra
(1996; 111) mengingatkan lagi perlu adanya “gerakan moral” dengan mengatakan: “…Sasaran
perjuangan moral adalah kesadaran moral itu sendiri. Kekuatan bersenjata mampu merebut wilayah,
kekuatan politik mampu merebut penduduk, kekuatan ekonomi mampu menguasai
tentara dan politik; tapi hanya kekuatan moral yang mampu merebut hati nurani….”.
Mutu
pendidikan di Malaysia
Mungkin
sebagian besar masih belum hilang dari ingatan kita, bahwa negeri jiran kita
Malaysia sejak tahun 60-an mengekspor tenaga guru dari Indonesia. Tahun 80-an
seangkatan penulis di IKIP Malang saudara kita bernama: Nursamid dan sering
tertukar bila dosen mencari nama diantara kami berdua. Artinya orsang Malaysia
tahun 1982 ada yang input Sarjana Muda kuliah di Malang. Tahun 1986-1988
penulis di Fakultas Kedokteran Gadjah Maha sempat memberikan kuliah diantaranya
ada mahasiswa Malaysia.
Pertengan
tahun 90-an Malaysia sudah menawarkan Program Tertinggi seperti Magister (MA)
dan Ph.D untuk pemuda/pemudi Indonesia untuk belajar di negeri jiran ini. Jadi
mereka tidak tanggung-tanggung tahun 1997 mahasiswa tugas belajar di Malaya
University setiap bulan mendapatkan imbalan 1200 ringgit. Dirupiahkan saat itu
Rp 1.200.000,- Sehingga banyak pemuda kita yang pergi belajar ke Malaysia untuk
meraih berbagai gelar.
Untuk
diketahui juga dalam jurnal yang resmi dari kedutaan mereka biaya pendidikan
tahun anggaran 2003 ini sebesar 37 % dari dana anggaran negaranya. Sementara di
negeri kita tercinta ini pernah terjadi anggaran pendidikan hanya 4 % dari
anggaran pembangunan. Kenapa demikian, karena pihak pengambil kebijakan kita
kurang memberikan perhatian terhadap dunia pendidikan ini. Sehingga iklim
pendidikan jadi terpuruk hingga tingkat yang paling rendah di tanah air kita.
Penulis
saat itu sebagai mahasiswa program Doktor di Indonesia merasa berkewajiban
membuat konsep didahului oleh sebuah seminar nasional mahasiswa program doktor
yang ada di Indonesia. Hasil seminar diserahkan kepada Bapak Mendiknas RI saat
itu Prof. Dr. Yahya Muhaimin di ruang
kerja beliau yang disampingi oleh Dirjen Pendidikan Tinggi. Dan Komisi VI
DPR-RI serta pengurus besar PGRI. Salah
satu konsep yang cukup dikenang oleh para mahasiswa program Doktor dalam sidang
Umum MPR ternyata menerima konsep kita minimal 17% dari anggaran negara untuk
pendidikan. Sekarang dalan tahun anggaran 2003 kita menikmati 20 % anggran
negara untuk pendidikan. Mudah-mudahan konsep itu dapat berjalan dengan baik,
agar istilah guru sebagai “Oemar
Bakri” lambat laun menjadi impian bagi
setiap orang.
PKBM Paling Megah
Sudah
ratusan PKBM yang penulis kunjungi di di berbagai sudut di tanah air, hanya di
Kota Malang Jatim, PKBM yang punya kelebihan dari berbagai PKBM yang ada di
masyarakat tanah air.
Menurut
Norsanie Darlan (2009) PKBM ”Zamzami” ini dikelola oleh 2 orang alumnus PLS
awal tahun 70-an. Yang satu memilih jadi dosen dan istrinya memilih berprofesi
guru. Setelah ke 2 putra bangsa ini pada menikmati masa pensiunnya. Maka
pekerjaan PLS-nya tambah meningkat.sebab di PKBM Zamzam ini, tersedia untuk
mahasiswa PLS UNM Malang untuk berpraktek. Cita-cita suami isteri yang
sama-sama memiliki keahlian PLS ini, ternyata mematahkan teori yang mengatakan
bahwa:”...dosen-dosen PLS tidak ada waktu membuka PKBM, padahal semua dosen PLS
tahu persis onderdil PKBM itu...”. teori ini dipatahkan oleh H. Abdillah Hanafi
dan Isteri mendirikan PKBM di kota Malang yang bagunan itu berlantai 2 lengkap
dengan perhotelannya.
Dalam
PKBM ini, ada PAUD, ada berbagai kursus, ada Paket A,B dan C tidak ketinggalan.
Ada pula pertungan kayu dan Las.
Sehingga
di PKBM ini, banyak juga dimanfaatkan berbagai dinas dan instansi untuk
berbagai pelatihan. Karena peserta hnya 40 orang dapat ditampung di kamar-kamar
yang disediakan memang untuk peserta dan panitia pelatihan. Serta ada aula yang
layak untuk berbagai pelatihan di sana, disediakan pula masjid.
DAFTAR PUSTAKA
Darlan, H. M. Norsanie 2002. Analisis Lingkungan Mahasiswa dan
Alternatif Sumber Belajar Masyarakat, Senat Mahasiswa Unpar, Palangka Raya.
------------, 2005, Upaya
Mengoptimalkan Fungsi dan Peran PKBM Sebagai
Lembaga Pngenbangan Sumber Daya
Manusia, Guru Besar PLS FKIP Universitas Palangka Raya.
-----------, 2006. Sulitnya Pemerataan Wajar Sembilan Tahun di
Kalimantan Tengah, Universitas Mulawarman, Samarinda.
------------, 2006. Pendidikan Luar Sekolah di Kalimantan Tengah, Makalah, Palangka Raya.
------------, 2007. Metoda
belajar dan mengajar orang dewasa, Paparkan Pada Orientasi Pembimbing Calon
Haji Provinsi Kalimantan Tengah Rabu 11 Juli 2007.
-----------, 2009. Pola pengembangan Kemitraan pkbm, BPKB, Palangka Raya.
Echols, Jonh M dan Shadily Hassan, 1982. Kamus
Inggris Indonesia (An English-Indonesian Dictionary),
PT. Gramaedia Pustaka Utama, Jakarta.
Faisal, Sanapiah, 1981. Pendidikan Luar Sekolah,
Di Dalam Sistem Pendidikan dan Pembangunan Nasional, Usana, Surabaya.
Hamid, H. Dedi, 2003. Uuno 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Asokadikta, Jakarta.
Ichwanuddin, 2006. Keberatan Kepala Dinas
Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah,
Pangkalan Bun.
Kadir, M. Sarjan, 1989. Pendidikan Seumur Hidup,
Suatu Tinjauan Analisis Psikologi, Usaha Nasional (Usaha), Surabaya.
Lengrand, Paul, 1984. Pengantar
Pendidikan Sepanjang Hayat, Gunung Agung, Jakarta.
Moeliono, Anthon, 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen
Pendidikan Kebudayaan RI, Jakarta.
Suryadi, Ace, 2005. Kebijakan dan Strategi Gerakan Pemberantasan Buta
Aksara Intensif, Hotel Sahid Raya Solo.
Soetrisno, 1986. Pendidikan Seumur Hidup, Universitas Terbuka,
Karunika, Jakarta.
Srinivasan , Lyra, 1981. Pendidikan Non Formal di Asia Tenggara,
BPKB, Jaya Giri, Bandung.
Tilaar, H.A.R, 1997. Pengembangan SDM Dalam Era Globalisasi, PT.
Dramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Poerwadarminta, WJS, 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta.
Shadily, Hasan, 1982. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, jilid 3,
Jakarta.
------------, 1980. Ensiklopedia Indonesia,
Ichtiar Baru, jilid 2, Jakarta.
------------, 1983. Ensiklopedia Indonesia,
Ichtiar Baru, jilid 4, Jakarta.
------------, 1984. Ensiklopedia Indonesia,
Ichtiar Baru, jilid 6, Jakarta.
Joesoef, Soelaiman dan Santoso, Slamet, 1979. Pendidikan Luar Sekolah,
Usaha Nasional, Surabaya.
Zein,
MT, 1982. Sumber daya konsep yang berubah sepanjang sejarah, Prisma
Volume 11, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar