oleh :
H.M. Norsanie Darlan
Guru Besar S-1 dan S-2 PLS FKIP Universitas
Palangka Raya
Pendahuluan
Dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa di negeri
tercinta ini, guna mengantisipasi tantangan dunia pendidikan yang semakin hari
ternyata semakin sulit. Terlebih dalam jalur pendidikan luar sekolah. Dipihak
lain, angka tuna aksara tak kunjung henti dalam arti Kuantitas, bahkan ada
kalanya jumlahnya semakin meningkat. Apakah betul jumlahnya semakin bertambah,
ataukah cara pengelolaannya yang kurang relevan. Karena tugas-tugas PLS lebih
banyak dikerjakan oleh orang-orang bukan PLS. Sebetulnya hal itu warga PLS
sangat bersyukur, asal harapan yang kita inginkan dalam upaya mencerdaskan
keghidupan bangsa dapat terwujud. Selain itu tokoh PLS di sektor formal yang
menangani Pendidikan Luar Sekolah dengan melihat jumlah angka tuna aksarana
yang semakin membengkak menyatakan bahwa hal ini adalah kegagalan pendidikan
formal. Sehingga setelah mereka putus sekolah, maka kasus ini menjadi pekerjaan
bagi mereka yang peduli pada pekerja PLS.
PKBM dalam memberikan
sumbangannya pada negara di negeri tercinta ini cukup besar bagi kita yang
menilik hal itu dari sudut pandang luar sekolah. Namun dipihak lain mereka
melihat dalam sudut pandang pendidikan formal, apalah artinya PKBM itu. Bahkan
mereka menganggap PKBM hanya sekedar pekerjaan orang-orang PLS yang akal-akalan
untuk menambah penghasilan. Bicara tentang kualitasnya? Dan mana hasilnya mereka
pasti belum seluruhnya tahu. Walaupun dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003,
secara jelas dalam pasal 13 butir (1) menurut Hamid, (2003) bahwa :”...jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat
saling melengkapi dan meperkaya...”. Dalam sudut lain, dalam pasal 28 bahwa
pendidikan nonformal berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap
pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Hal inilah
yang perlu kita bicarakan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa di negeri
tercinta ini.
Beberapa Pengertian
Dalam bagian ini, penulis
menguraikan secara sederhana minimal 4 hal dalam pengertian istilah PKBM secara
rinci dan sederhana masing-masing sebagai berikut:
1. Optimal menurut Echols dan Shadily (1982; 407)
adalah:”...suatu pekerjaan ataupun perbuatan yang paling bagus...”. Sehinga
menghasilkan sesuai dengan yang diharapkan;
2. Adapun fungsi menurut
Poerwadarminta (1986) yaitu: ”...kegunaan sesuatu lembaga....”. Termasuk
lembaga PKBM dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, yang semakin hari
semakin bertambah. Namun beragam pula klasifikasinya;
3. Peran menurut Moeliono (1989;
667) adalah: ”...seperangkat peralatan yang diharapkan dimiliki oleh suatu
lembaga atau orang tertentu yang berkedudukan di masyarakat.... Peran di sini
tidak laih sebuah usaha individu ataupun sekelompok orang yang berperan pada
PKBM dalam jalur pendidikan luar sekolah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa;
4. Pusat adalah menurut ahli
bahasa Moeliono (1989; 712) dan Poerwadarminta (1986) adalah :...suatu pokok
pangkal berbagai-bagai urusan...”. Sehingga dapat membantu seseorang atau
sekelompok orang dalam proses belajar membelajarkan dalam jalur pendidikan
nonformal untuk menyelesaikan studinya yang karena faktor usia, ia harus turut serta belajar pada PKBM;
5. Kegiatan menurut
Poerwadarminta (1986; 322) adalah: ”...suatu kekuatan dan ketangkasan dalam
berusaha dengan penuh kearifan pada program tertentu...”. Termasuk dalam kegiatan proses belajar
pendidikan luar sekolah;
6. Belajar menurut Moeliono
(1989; 13) yaitu:”...berusaha untuk memperoleh kepandaian atau suatu ilmu
tertentu....”. Ahli lain, seperti Shadily (1980; 434) adalah:”...seseorang
dapat mempelajari sesuatu, sehingga ia dapat memperoleh pengetahuan tentang
sesuatu yang baru yang memungkinkan yang bersangkutan untuk
berprestasi...”. Sehingga di tempat ini
seperti PKBM akan dapat membantu kepada mereka yang karena sesuatu dan lain hal
tidak sempat mengikuti pendidikan formal. Dengan adanya PKBM ini, warga
masyarakat dapat belajar dalam menuntaskan wajar 9 tahun untuk mempu calistung
seperti kebanyakan orang;
7. Masyarakat menurut
Poerwadarminta (1986; 636) adalah:”...sekumpulan orang yang hidup bersama dalam
sesuatu tempat dengan dengan ikatan-ikatan aturan tertentu. Sedangkan moeliono
(1989; 564) adalah: ”...sejumlah manusia diartikan seluas-luasnya dan terikat
oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama...”. Dan mereka ini,
berminat dalam jalur pendidikan luar
sekolah;
8. Pengembangan menurut Moeliono
(1989; 414) dan Poerwadarminta (1986) adalah:”...suatu proses, cara, perbuatan
mengembangkan secara bertahap...”. Termasuk dalam dunia pendidikan luar sekolah
tidak serta merta mendaftarkan diri ia dapat ijazah. Tapi mereka harus belajar
dalam kurun waktu tertentu. Dan hal seperti ini harus dipertahankan.
9. Sumberdaya lebih cenderung
pada manusia, menurut Zein (1982; 4) menegaskan adalah :’’...tidak sekedar
terbatas pada barang (termasuk manusia) atau substansi yang digunakan dalam
upaya untuk mencapai sesuatu tujuan, tetapi yang terpenting adalah peran benda
atau substansi tersebut dalam proses atau operasi, yakni fungsinya secara
operasional di dalam proses tercapainya tujuan...”.
Fungsi PKBM
Adapun fungsi sebetulnya tidak
sekedar memanfaatkan kegunaan sesuatu lembaga saja. Tapi juga termasuk lembaga
PKBM ini, dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, yang semakin hari semakin
bertambah jumlahnya. Namun beragam pula klasifikasinya. Dengan demikian fungsi
PKBM dimasa datang setelah dialkukan sertifikasi dan akreditasi akan terlihat
mana yang benar-benar menjalankan tugas PLS dan mana yang tidak.
Dalam rangka sosialisasi Forum
Komunikasi Pendidikan Keaksaraan (FKPK) di tanah air. Terdapat keluhan tokoh formal Ichwanuddin
(2006) bahwa:”... pernah menyulitkan pihak Diknas (Dikjar) bila bakal terjadi
Pemilu dan Pilkada, ada orang-orang tertentu, yang mendesak agar ikut serta
dalam program paket C. Tidak itu saja, kepala Dikjar (Dinas pendidikan dan
pengajaran) agar diikutsertakan ujian paket C. Hal tersebuat ia pernah juga diperiksa oleh pihak
kejaksaan, karena ada indikasi bahwa lulusan paket C diperoleh tanpa melalui
kegiatan pendidikan luar sekolah yang wajar...”. Hal seperti ini, fungsi PKBM
perlu dijaga, bukan hanya sekedar kasihan. Tapi dengan terbitnya Undang-Undang
nomor: 20/2003 dalam Bab XX ada pula sanksinya.
Kebanggaan kita semua memang
lulusan paket C sudah ada yang jadi Bupati. Tidak terhitung yang menjadi
anggota DPR. Dalam kegagalan pendidikan formal tahun 2006 lalu, bisa kita ingat
15-20 tahun mendatang, lulusan paket C akan bermunculan menjadi pejabat di
negeri ini. Dengan demikian fungsi PKBM setara juga dengan pendidikan formal.
Hanya yang kita jaga kualitasnya.
Peran PKBM
Berbicara tentang peran PKBM
dalam upaya mencerdasken kehidupan bangsa di tanah air tercinta ini, masih
belum maksimal. Ketidak maksimalan ini didasari oleh :
1. Kesiapan tenaga terdidik;
2. Fasilitas yang memadai;
3. Keragaman program;
4. Uluran tangan pemerintah.
Kesiapan tenaga terdidik, masih
kurang, dari hasil observasi dan evaluasi selama beberapa tahun terakhir, Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) ini baik di dalam maupun di luar daerah Kalimantan Tengah tenaga yang mengelola
mayoritas mereka yang bukan berpendidikan luar sekolah. Sehingga pengelola
pemula tentu akan mendapat kesulitan dalam hal-hal tertentu. Sementara tenaga
berpendidikan PLS yang mendapatkan pekerjaan sebagai PNS diterima pada jalur
pendidikan formal, sehingga kurang memperhatikan ciri kesarjanaannya.
Bila kita mempelajari teori PLS
tentu saja sangat sederhana, sebab fasilitas untuk belajar membelajarkan ini,
dapat di rumah penduduk, balai desa, atau di mana saja. Yang proses belajar
membelajarkan ini sebelumnya terjadi kesepakatan antara warga belajar dengan
tutor. Sehingga fasilitas yang ada dewasa ini, masih belum seluruhnya memadai
sebagai tempat (ruang) belajar mengajar. Akibatnya kurang menciptakan
kenyamanan dan sudut pandang orang luar PLS menjadi kurang tertarik untuk
memilih jalur PLS.
PAUD PKBM Tilung Raya
Palangka Raya
|
Dan PKBM jadi dikenal oleh
masyarakat banyak. Seperti di kota Solo, PKBM banyak berperan. Termasuk merias
pengantin.
PKBM Mendawai Palangka Raya
Uluran tangan pemerintah yang
mulai terlihat setelah angka buta aksara latin dan angka ternyata tak kunjung
hilang. Walau kita merdeka sudah setengah abad lebih. Karena si warga tuna
aksara ada perasaan segan untuk ikut belajar di tempat tersebut. Mengapa?
karena tempatnya terkadang sungguh menyedihkan. Sehingga walau ada kesadaran
mereka bahwa belajar itu penting bagi dirinya. Tapi kalau buku bacaan, tempat
belajar, tenaga tutor belum memadai dan tidak mendapatkan uluran tangan
pemerintah, baik berupa perbaikan fasilitas belajar, maupun keperluan tenaga
tutor belum memadai. Membuat para peminat untuk bergabung pada jalur PLS
ini, menjadi rendah. Oleh sebab itu,
perlu perhatian kita semua. Terlebih bagi mereka yang bertugas dan berkecimpung
sehari-hari di Dirjen, Dinas, Subdin PLS, Kasi PLS menjadi kurang perhatian.
Kurangnya perhatian di atas, menurut hasil pengamatan sementara ini, ada
hubungannya dengan tenaga kerja yang ditempatkan menangani PLS tidak seluruhnya
berlatar belakang pendidikan luar serkolah. Namun Pendidikan
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan
pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesataraan, serta
pendidikan lain yang ditunjuk untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Dengan demikian PKBM akan dapat memilah mana
yang dapat kita lakukan.
Taman Bermain Shalahuddin
Palangka Raya
|
Kibijakan
Strategis
Pemerataan
dan Perluasan
Dalam upaya menetapkan kebijakan strategi pemerataan dan
perluasan, mutu dan relevasi serta governance dan akuntabelitas menurut Ace
Suryadi (2005) adalah sebagai berikut:
a. Penanganan program pemberantasan buta akasara di prioritaskan pada
kantong-kantong daerah pemukiman penduduk yang jumlah buta aksaranya tinggi.
b. Berusaha mengerahkan dan bekerja sama dengan berbagai organisasi
sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga pendidikan formal
pada semua tingkatan.
Mutu
dan Relevansi
Untuk melihat bagai mana muti dan
relevansi menurut pejabat formal di atas adalah:
a. Melakukan hasil pengujian
terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan standar yang telah dibakukan
sehingga program pembelajaran yang telah dilaksanakan selama ini dapat
diketahui sejauh mana tingkat penguasaan peserta didik.
b. Berusaha melakukan peningkatan
pelayanan pendidikan keaksaraan melalui kegiatan pembelajaran yang
berkelanjutan dan relevan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam
mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya melalui program life skills.
Governance
dan Akuntabilitas
Berusaha mewujudkan
pengelolaan pendidikan keaksaraan secara intensif melalui sistem pengendalian
mutu secara internal baik dari masyarakat maupun pemerintah secara menyeluruh
dan berkelanjutan.
Ada
Kesepakatan
Untuk kalangan tenaga
pendidikan khususnya alumnus PLS yang berkiprah pada pendidikan tinggi,
sebaiknya ada kesepakatan dalam mempersiapkan untuk melatih mahasiswa agar
tidak terlalu berharap dalam pekerjaan dunia formal. Mereka sejak awal kita
untuk turun ke masyarakat dalam menekuni jalur pendidikan luar sekolah.
Sehingga sekembalinya mereka di masyarakat alumnus kita tidak terlalu kaget
dalam berhadapan dengan PKBM, Kursus-kursus dan sebagainya.
Data
Peringkat
Dari data lain yang disajikan
pada Sosialisasi Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Aksara Intensif menurut:
Ace Suryadi, (2005) di Hotel Sahid Raya Solo Tanggal 18 Desember 2005 itu, dengan mengutip dari laporan UNDP
tahun 2004, peringkat HDI Indonesia berada pada posisi 111 dari 177 negara. Sementara
peringkat HDI Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia pada
tahun-tahun sebelumnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel
Perbandingan HDI Indonesia dengan Negara lain
Negara |
Tahun |
||||
1995
|
2000
|
2002
|
2003
|
2004
|
|
Thailand
|
58
|
76
|
70
|
74
|
76
|
Malaysia
|
59
|
61
|
59
|
58
|
59
|
Philipina
|
100
|
77
|
77
|
85
|
83
|
Indonesia
|
104
|
109
|
110
|
112
|
111
|
China
|
111
|
99
|
96
|
104
|
94
|
Vietnam
|
120
|
108
|
109
|
109
|
112
|
Sumber: UNDP HDI Rank (1995, 2000, 2002, 2003, dan 2004)
Dari
tabel di atas, dapat terlihat betapa posisi Indonesia tidak jauh berubah sejak
tahun 1995, bahkan antara tahun 2003 dan 2004 tidak mengalami perubahan
peringkat, bila dilihat dari jumlah negara yang di survei. Indonesia berada
diperingkat 112 dari 175 negara (2003) dan 111 dari 177 negara (2004).
Berdasarkan
data BPS tahun 2005 posisi kebutaaksaraan penduduk Indonesia dapat digambarkan
sebagai berikut:
1. Untuk kelompok usia 10 tahun ke atas masih 15.04 juta orang;
2. Usia 15-44
tahun sebesar 3.519.970
orang; dan
3. Usia 45 tahun
ke atas 11.075.118 juta.
Sedangkan
kemampuan pemerintah melalui APBN setiap tahun hanya mampu membelajarkan
sekitar 150.000 orang dan diperkirakan untuk tahun 2006 sekitar 420.000 orang. Dengan
demikian bila hanya mengandalkan pada kemampuan pemerintah, target
penyelesaian rencana pembangunan jangka
menengah sebanyak 1.500.000 orang pertahun pesimis bisa tercapai.
Rendahnya
penurunan angka di atas, menurut penulis diantaranya adalah karena besarnya
jumlah penduduk, luasnya wilayah negeri ini, tenaga pengelolanya yang sangat
beragam.
Penyebab Terjadinya BUTA AKSARA INDONESIA
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya buta aksara di
Indonesia adalah :
1. Putus Sekolah Dasar (SD)
Masih banyak anak Indonesia,
yang belum memiliki kesempatan untuk masuk sekolah dikarenakan berbagai hal.
Pertama: karena orang tua atau keluarganya tidak mampu. Kondisi
ini memaksa orang tua untuk mempekerjakan anak-anak mereka, terutama dimusim
pertanian yaitu waktu mengolah sawah, menanam, mengetam dan lain lain.
Kedua: kondisi daerah yang terisolasi atau daerah transmigrasi
yang jauh dari sekolah, daerah yang terkena bencana alam atau konflik, seperti
Aceh, Nabire, Poso, Atambua, dan sebagainya.
Kedua penyebab ini, tidak menutup
kemungkinan akan menambah buta aksara
jumlah buta aksara di Indonesia.
Salah satu faktor lagi,
yang kurang diperhatikan penyebab buta aksara di Indonesia adalah DO program-program pendidikan luar
sekolah (PLS) baik yang dilakukan melalui pendidikan keaksaraan maupun
kesetaraan. Angka putus belajar, terutama dalam program pemberantasan buta
aksara, cukup tinggi karena kurangnya motivasi dan warga belajar tidak
merasakan manfaat yang segera dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Termasuk juga seperti dalam uraian peran PKBM terdahulu, bahwa pendidikan keterampilanpun tidak akan menarik
minat masyarakat buta aksara. Apabila mereka tidak merasakan akibat langsung
untuk meningkatkan pendapatan, memperoleh lapangan kerja, dan memperbaiki
status sosial-ekonomi mereka. Hal ini menjadi tantangan bagi kita dalam
pengelolan PKBM yang dapat dimaksimalkan.
Berdasarkan pengamatan
UNESCO kompetensi keaksaraan lulusan pendidikan dasar masih belum memadai.
Padahal menurut Direktur Jendral UNESCO Koichi Matsura pendidikan keaksaraan
merupakan sarana pembangunan berkelanjutan. Kemampuan keaksaraan begitu penting
bagi setiap orang, kelompok dan masyarakat. Kemampuan
keaksaraan memiliki kontribusi terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan
kelestarian lingkungan (Suryadi, 2005).
2.Demografis dan Geografis
Dilihat dari segi demografi dan geografis bagian terbesar dari jumlah
penduduk tinggal di pedesaan, sekitar 70-80% penduduk dunia terutama di
negara-negara miskin dan yang sedang berkembang termasuk Indonesia bermukim di
pedesaan. Tenaga terdidik masih sangat kurang karena sebagian penduduk
menempati kawasan pedesaan dengan tingkat pendidikan relatif rendah.
Data yang dapat dipercaya bahwa 1/5 atau 20% dari penduduk dunia, masih
buta aksara dan sebagian besar mereka tinggal di daerah pedesaan. Begitupun
yang terjadi di Indonesia yang berpenduduk 206 juta yang sebagian besar tinggal
di pedesaan di hampir 17.000 pulau yang semua itu perlu ditangani.
Diproyeksikan pada tahun 2004, angka penyerapan murni SD hanya sekitar 94,13%
dari populasi anak SD yang masuk sekolah. Hal ini berarti masih ada sekitar
5,87% anak-anak yang perlu dicarikan alternatif pendidikannya agar dapat
memperoleh pendidikan minimal setingkat SD. Sebagaimana kita tahu daya tampung
SD tidak dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia, untuk itu perlu dicarikan
alternatif untuk menangani mereka. Jika hal ini tidak tertangani
tidak menutup kemungkinan mereka akan menjadi buta aksara dikemudian hari.
Masalah geografi dan demografi ini merupakan masalah krusial dan perlu
segera diatasi. Berdasarkan data BP3 (2003) penyebaran buta aksara berdasarkan
geografi dapat dilihat pada gambar berikut:
3.Aspek Sosiologis
Ditinjau
dari segi sosiologis, sebagian besar masyarakat kita beranggapan bahwa harkat
dan martabat seseorang akan meningkat apabila memiliki “Ijazah” yang diperoleh
melalui jalur persekolahan, dengan orientasi ingin menjadi pegawai negeri atau
bekerja di perusahaan-perusahaan atau bekerja pada sektor-sektor formal. Pada
sisi lain, program pemberantasan buta aksara yang meskipun diintegrasikan
dengan berbagai pendidikan keterampilan tidak memberikan “Ijazah” sebagai
jawaban atas anggapan tersebut di atas. Sehingga program pemberantasan buta
aksara kurang diminati oleh masyarakat yang tergolong miskin, dalam arti tidak
mampu menyekolahkan anak pada jalur pendidikan persekolahan. Hasil penelitian
juga memberi petunjuk bahwa sebagian besar masyarakat kita lebih menginginkan
pendidikan sekolah bagi anak-anaknya, karena program pemberantasan buta aksara
sendiri tidak memberikan ijazah yang diperlukan oleh mereka untuk meningkatkan
status sosial ekonominya.
Selain itu yang menjadi
penyebab warga masyarakat buta aksara dari aspek sosiologis, adalah karena
mereka hidup dalam keluarga yang berpendidikan rendah dan miskin, sehingga
tidak mampu untuk membiayai pendidikanya. Sementara pada sisi lain, tidak ada
kepedulian orang-orang terdidik disekitarnya untuk mendidik mereka. Begitu pula
banyak perusahaan-perusahaan swasta yang tidak mensyaratkan latar belakang
pendidikan bagi pekerjanya dengan alasan bahwa mereka membutuhkan
pekerja-pekerja yang ber-upah rendah.
Peranan keaksaraan dalam
pengembangan sosiologis suatu masyarakat sebenarnya telah diakui oleh banyak
pihak. Diakui pula, meskipun keaksaraan bukanlah satu-satunya program yang
disiapkan untuk pengembangan sosial masyarakat, namun banyak keuntungan yang
akan diperoleh apabila suatu masyarakat memiliki tingkat keaksaraan yang
memadai. Keterampilan-keterampilan keaksaraan merupakan kondisi yang diperlukan
sebagai alat yang efektif dalam pendekatan-pendekatan yang berurusan dengan
kemiskinan. Hasil penelitian UNESCO juga menyatakan bahwa program Keaksaraan
ternyata mempunyai implikasi langsung terhadap:
(1) peningkatan pendapatan
masyarakat;
(2) peningkatan
partisipasi masyarakat terhadap program pembangunan;
(3) peningkatan gizi
masyarakat;
(4)peningkatan kesadaran
masyarakat untuk menyekolahkan anaknya;
(5) penurunan angka
kematian bayi dan ibu melahirkan;
(6) keberhasilan
pelaksanaan program keluarga berencana;
(7) peningkatan usia harapan hidup masyarakat; dan
(8) menjadikan masyarakat semakin demokratis.
4. Issue Gender
Mengamati kenyataan dalam masyarakat, bahwa peranan antara perempuan dan
laki-laki dalam berbagai bidang kegiatan, terdapat banyak
ketimpangan-ketimpangan yang cenderung merugikan dan atau membatasi ruang gerak
kaum perempuan. Sebagai contoh, misalnya
ketimpangan dalam hal mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan
turut menentukan keputusan dalam rumah tangga, dan dalam urusan-urusan yang
berkaitan dengan kemajuan masyarakat, termasuk pendidikan yang diperlukan oleh
dirinya. Banyak dari anak-anak perempuan yang kurang memiliki kesempatan
untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Ada anggapan
di masyarakat, bahwa sepandai-pandainya perempuan kembalinya ke dapur juga.
Anggapan lain berdasarkan issue gender ini misalnya, bahwa perempuan itu tidak
perlu sekolah yang penting bisa mengurus suami dan keluarga. Anggapan-anggapan
yang tidak membangun seperti ini, yang menyebabkan kaum perempuan tertinggal
dibanding laki-laki.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sasaran program keaksaraan
fungsional (KF) adalah perempuan (67,74%). Hal ini apabila program KF akan
disosialisasikan dan diimplementasikan maka perlu memperhatikan isu gender ini,
baik dalam strategi maupun pendekatannya. Rumusan yang biasa dipakai dalam analisis
situasi kondisi jender dalam program keaksaraan fungsional adalah Index Paritas
atau keseimbangan (Parity Index) angka buta aksara (IPBA) yaitu rasio angka
buta aksara perempuan terhadap buta aksara laki-laki. Rendahnya tingkat
keaksaraan perempuan semakin memarginalkan kedudukan mereka yang sebelumnya
telah dipandang berbeda dan merupakan
subordinasi dari laki-laki.
Selain penyebab-penyebab tersebut di atas, kita juga harus memahami
penyebab struktural mengapa di Indonesia lebih banyak perempuan buta aksara dibanding
laki-laki. Hal ini dapat dijelaskan dari dua dimensi:
Skala Makro: secara struktural pengambilan kebijakan
diberbagai level dan bidang, termasuk bidang pendidikan didominasi oleh
laki-laki dibanding perempuan, sehingga keputusan yang dihasilkanpun adalah
berdasarkan kacamata (kepentingan) laki-laki.
Skala Mikro: dalam skala keluarga misalnya, hampir
semua keputusan yang berkaitan dengan keuangan, akan didominasi oleh figur
laki-laki (Ayah), termasuk keputusan pembiayaan pendidikan bagi anak-anaknya.
Dalam satu keluarga miskin, yang tidak semua anak tercukupi biaya sekolahnya,
orang tua harus memilih (menentukan prioritas) yang mana diantara anak-anaknya
yang akan di sekolahkan ke jenjang lebih tinggi. Dalam
kaitan ini, biasanya pilihan jatuh pada anak laki-laki. Kenapa jatuh pada anak
laki-laki? Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor budaya atau pandangan stereotip,
bahwa:
(a) anak laki-laki adalah penerus
keturunan;
(b) laki-laki adalah calon kepala rumah
tangga yang akan bertanggung jawab terhadap keluarga, khususnya berkaitan dengan persoalan pengambilan keputusan, sehingga
laki-laki yang harus pintar dan harus memperoleh pendidikan lebih baik
dibanding perempuan.
Di samping itu, mengapa lebih banyak orang miskin
yang buta aksara daripada orang kaya?.
Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1)
orang kaya lebih mudah memperoleh akses untuk belajar diberbagai lembaga yang
tersedia;
(2)
lebih mampu membeli bahan belajar yang diperlukan untuk menunjang pendidikan;
(3) lebih mudah mendapatkan fasilitas belajar yang dibutuhkan;
(4) lebih mudah mendapatkan informasi-informasi yang diperlukan, karena
tersedianya berbagai fasilitas di rumahnya, dan sebagainya. Sementara untuk
masyarakat miskin, hal-hal yang disebutkan di atas, akan terjadi sebaliknya.
Kegagalan Sekolah Formal
Berbicara tentang kegagalan sekolah formal selama
ini, menurut Kepala Sub Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan
Nasional RI, Ella Yulaelawati (2006)
bahwa :“…perlu dilakukan pengkajian yang sangat mendasar tentang kegagalan
sekolah formal yang selama ini…”. Karena sekolah formal sebagai jalur pertama
ternyata tidak seluruhnya menemukan cara efektif dalam penyelenggaraan
pendidikan formalnya. Padahal pendidikan formal ini telah disiapkan dengan segala fasiltas, guru dan materi
belajar yang cukup. Tapi kenapa setelah diserahkan tugas lewat pendidikan
formal selalu kandas dalam penuntasan pendidikan dasar 9 tahun.
Sementara kegagalan dalam menekan angka tuna
aksara ini menurut: Singarasa (2006) adalah: ”…masa lalu, pihak pemerintah
betul-betul membina masyarakat yang diikuti dengan kesadaran dan ketaatan
masyarakat terhadap program yang dilancarkan pemerintah. Dan turut mendukung
upaya menurunkan angka tuna aksara. Namun sekarang kita sadari bersama dengan
kurangnya partisipasi masyarakat akan turut meninggikan angka buta huruf….”.
Menurut Darlan, 2006. Bahwa:”... dalam wajar 9
tahun, bangsa kita di era pembangunan sekarang terjadi peningkatan angka tuna
aksara selalu tinggi. Walau pemerintah sudah secara gencar melakukannya. Namun
angka tuna aksara makin tahun masih bertambah. Hal ini perlu kita cari sebab
akibatnya...”.
Seorang dosen pendidikan luar sekolah (PLS)
Universitas Palangka Raya: Ringkin
(2006) bahwa ia: “…mengkritisi rumusan hasil pertemuan sarjana di Palangka Raya
beberapa waktu lalu bahwa kalangan pendidikan sendiri yang duduk dalam
komisinya masih terlupakan tentang pendidikan luar sekolah. Padahal jika
menguasai terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor: 20/2003
secara jelas ada 3 jalur pendidikan yakni: (a) Pendidikan Formal, (b)
Pendidikan non formal dan (c) Pendidikan informal…”. PLS berada pada pendidikan
non formal. Sementara dalam butir 2 Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan
perempuan, pendidikan keaksaraan pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesataraan, serta pendidikan lain yang ditunjuk untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik. Ini juga memasuki pada jalur pendidikan informal kita.
Kegagalan yang dikritik dosen senior
PLS FKIP Unpar itu, tidak lain karena ketidak mengertian banyak orang tentang
jalur pendidikan kita, baik dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 maupun
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
berlaku dan ada di negeri kita cintai ini.
Angka Tuna Aksara
Membubungnya Angka Tuna Aksara memang terjadi di
mana-mana. Apakah di perkotaan ataukah di pedesaan. Hal ini sebagai salah satu
sebab tertutupnya kran PLS yang selama ini. Kita ketahui bersama para sarjana
PLS hanya tersalurkan lewat Kran pendidikan formal. Artinya banyak sarjana PLS
yang diluluskan oleh IKIP/FKIP selama ini, namun Kran untuk masuk diknas baik
di kecamatan, Kabupaten/Kota dan Provinsi sepertinya masih terabaikan. Karena mereka tidak mendapat tempat untuk
masuk ke Dikmas, Subdin PLS maka Kran yang ada hanya lewat pendidikan formal.
Alias jadi guru. Sehingga kerja pekerjaan yang ia rencanakan selama 4 – 5 tahun
di bangku kuliah, untuk membantu pemerintah supaya dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa. Dengan berbagai teori pendidikan orang dewasa yang mereka
pelajari. Setelah masuk kerja menjadi guru formal maka teori yang ia bangun
bertahun-tahun terpaksa harus sirna atau patah, karena lapangan kerja yang
mereka geluti dalam penerapan pendidikan biasa. Sementara pendidikan non formal
digeluti bagi mereka yang tidak mendapatkan kesempatan pada bidang keahliannya.
Apa boleh buat, dengan ilmu seadanya. Sehingga kegagalan pendidikan nonformal-pun
mulai dirasakan, dengan membubungnya angka tuna aksara di mana-mana.
Mewujudkan Wajar 9 Tahun
Mewujudkan Wajar 9 Tahun memang tidak semudah
membalik telapak tangan. Secara teori memang mengajak mereka yang karena
sesuatu dan lain hal tidak sempat menikmati pendidikan formal atau istilah lama
belajar pada sistem persekolahan. Sementara mereka usianya tidak lagi pada usia
sekolah. Namun tuntutan pasal 31 UUD’45 harus diwujudkan, untuk itu setiap warga menagar harus kita ajak agar
mereka mau belajar Baca Tulis dan Berhitung (Balistung) seperti kebanyakan
orang. Supaya mereka tidak bergulat dengan kebodohan. Namun Dipihak lain,
terjadi pula suatu upaya sadar para ibu dan bapak-bapak yang telah berusia,
meminta agar mereka diberikan pendidikan di luar sekolah (pendidikan nonformal)
kepada para mahasiswa PLS agar mereka dapat Balistung sebagaimana kebanyakan
orang di sekitarnya. Untuk kegiatan seperti ini, adalah tugas kita semua untuk
membantu mereka agar mereka tidak terjadi kesulitan dalam menghadapi masa depannya.
Kalau kita cermati nasib warga masyarakat kita baik di perkotaan maupun di
pedesaan, mereka ini karena tingkat pendidikannya tertinggal, maka selalu
termarginalkan sebagai akibat bagi sekelompok kecil warga masyatakat kita yang
belum berkesempatan mengikuti pendidikan formal dimasa mudanya.
INSTRUKSI PRESIDEN RI
Kegiatan Dalam Bulan Oktober-Desember 2006, penulis
terlibat langsung sebagai pendampingan menerealisasi Instruksi Presiden RI
nomor 5 tahun 2006, Tanggal 9 Juni 2006,
tentang: Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Kondisi Penduduk Buta Aksara
Terdiri dari :
1.Buta aksara murni, yang
lahir tidak pernah sekolah yang disebabkan oleh hambatan faktor geografis dan
ekonomi;
2.Drop-uot Sekolah Dasar
kelas 1-3 yang pertambahan setiap tahunnya mencapai 334.000 orang (Sensus
2003).
3.Buta aksara kembali yang
diperkirakan mencapai 30%. Jumlah buta aksara keseluruhan berdasarkan data
BPS yaitu:
10 th ke atas : 15.04 Juta
15 th ke atas : 14.59 Juta
10-44 tahun : 3.96 Juta
15-44 tahun : 3.5 Juta
45 th ke atas : 11.07 Juta
Untuk kita ketahui bersama bahwa Departemen mana yang
terlibat dalam kegiatan ini, secara rinci diuraikan berikut:
1.
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;
a.Mengkoordinasikan
pelaksanaan Gerakan Nasonal Percepatan
Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sem-bilan Tahun dan
Pemberatasan Buta Aksara;
b.Membentuk
Tim Koordinasi untuk pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara yang diketahui
oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan ketua harian Menteri
Pendidikan Nasional, serta beranggotakan pimpinan instansi lain yang terkait.
2. Menteri Pendidikan Nasional:
a.Menetapkan
Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara;
b.Melaksanakan,mengendalikan,
meman-tau dan mengevaluasi Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
3. Menteri Dalam Negeri:
Menfasilitasi pelaksanaan Gerakan Nasio-nal
Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan
Pemberantasan Buta Aksara;
4. Menteri
Agama:
Menfasilitasi pelaksanaan Gerakan Nasio-nal
Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan
Pemberantasan Buta Aksara di madrasah, pondok pesantren dan lemabaga keaga-maan
yang menjadi binaannya.
5.
Kepala Badan Pusat Statistik:
Melakukan kerjasama dengan Menteri Pendidikan
Nasional dalam pemutakhiran data nasional untuk mendukung Gerakan Nasional
Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan
Pemberantasan Buta Aksara.
6.
Gubernur, Bupati dan Walikota:
Melaksanakan Gerakan Nasional Perce-patan
Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta
Aksara berdasarkan pedoman pelak-sanaan Gerakan Nasional Percepatan Pe-nuntasan
Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
Dengan demikian ke 6 lembaga Pemerintah di atas,
merupakan suatu Instruksi yang harus dilaksanakan oleh kita semua. Dengan
menggunakan 2 jalur pendidikan masing-masing pendidikan formal maupun
pendidikan luar sekolah (Pendidikan Nonformal). Di Kalimantan Tengah yang
berlangsung sejak bulan oktober bagian pertama kami lakukan bersama Forum yang
tergabung di Subdin PLS. Apakah Forum: Keaksaraan, Fongsional, Tutur, TLD,
Pengawas, PKBM, Kursus, dan Paud.
Sedangkan
kegiatan penulis sampai tanggal 7 Desember 2006 melaksanakan
pemdampingan di Kabupaten Kotawaringin Timur dalam pendidikan dasar 9 tahun
pada jalur pendidikan formal. Yakni mengunjungi daerah-daerah terpencil yang
ternyata tidak ada fasilitas pendidikan menengah pertama. Seperti SMP,
sementara murid sekolah dasar yang lulus menganggur karena faktor:
1.
Jarah
rumah ke SMP jauh;
2.
Alat
transfortasi belum tersedia;
3.
Orang
tua murid tidak punya biaya kalau anaknya sekolah ke kota kecamatan.
Sehingga perlu diusulkan pendirian SD/SMP terpadu
di daerah itu. Untuk Kalimantan Tengah baru 2 Kabupaten yang dilakukan
pendataan yakni Kabupaten Kota Waringin Timur (Kotim) dan Barito Selatan
(Darlan, 2006).
Ciri PLS
Bila mengkaji berbagai literatur menyebutkan bahwa
Pendidikan Luar sekolah (PLS) yang berdasarkan dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 seperti sekarang ini, jelas bahwa PLS
atau pendidikan nonformal itu tidak dijelaskan secara rinci disebutkan. Penulis mencoba mengurai tentang PLS atau pendidikan
nonformal ini adalah:
(1) waktunya pendek;
(2) materinya beragam;
(3) siswanya bervariasi dan;
(4) tempatnya menyesuaikan serta
(5) dll.
Untuk lebih jelasnya yaitu: waktunya pendek,
artinya pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal ini, tidak lebih dari
12 bulan. Bahkan ada yang hanya satu hari. Demikian juga jam belajarnya. Apakah
pagi, sore atau malam hari. Sehingga tidak mengganggu jam kerja warga belajar.
Dalam perkembangannya, pada pendidikan dasar dan menengah
dewasa ini tentu ada yang lebih dari setahun. Misalnya dalam program paket A,B
dan C. Guna meningkatkan kualitas disertai
fungsi dan peran yang makin diperbaiki. Maka warga belajar paket A, B dan C
tidak mungikin dalam waktu 3 – 4 bulan sudah terima ijazah. Mereka harus belajar dengan kesungguhan, disertai
mengikuti ujian untuk menentukan kelulusan.
Adapun materi pembelajaran pendidikan orang dewasa
ini, beragam. Artinya menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat (belajar
berdasarkan bebutuhan masyarakat). Beda dengan pendidikan persekolahan atau
pendidikan formal. Dalam pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal ini,
materi dibuat berdasarkan kesepakatan. Para mahasiswa yang mengambil program
studi / jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) tahu persis cara rancang bangun
dan rekayasa dalam materi belajar yang berdasar kesepakatan itu. Kalau tidak
maka kelompok belajarnya akan bubar.
Siswanya atau istilah di PLS Warga belajarnya bervariasi,
dengan berdasar konsep pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal ini,
kepada mereka yang karena sesuatu dan lain hal dalam pendidikan formal belum
sempat menikmati dunia pendidikan. Namun telah berusia 35 tahun baru ia sadar
akan pentingnya sekolah dasar. Padahal pada usia itu tidak akan ada lagi murid
SD. Maka ia harus mengikuti jalur ke 2 yaitu pendidikan luar sekolah atau
pendidikan nonformal ini, dengan belajar paket A. Sehingga ia harus mengikuti
paket A-1 sampai A-100. Atau pendidikan
keaksaraan lainnya. Selain itu tutor harus mengerti betul yang didik ini orang
dewasa. Materi selingan perlu ada agar warga belajar tidak bosan, maka ia harus
merancang bangun dan rekayasa materi belajar lain yang sesuai kebutuhan warga
belajar (WB)-nya. Yang dimaksud bervariasi di
atas tidak lain usia peserta beragam. Ada yang usia 25 tahun ada pula 35 tahun dan sebagainya. Bahkan pengalam
penulis ada warga belajar (siswanya) lebih tua dari itu, dan motivasi ingin
tahunya sangat tinggi.
Bicara tentang tempat tidak seperti dunia
persekolahan atau pendidikan formal. Melainkan pendidikan luar sekolah atau
pendidikan nonformal ini, berdasarkesepakatan bersama. Terkadang di ruang kelas
sekolah, di rumah ketua RT, RK/RW, di rumah warga belajar sendiri atau di balai
desa. Yang penting ada kesepakatan.
Dengan demikian dalam memperhatikan pendidikan luar
sekolah atau pendidikan nonformal ini, tentang: waktu, materi, wb bervariasi
dan tempat tentu beda dengan sistem persekolahan atau pendidikan formal. Dan kalau kita terpaku pada salah satu jalur saja di
dunia pendidikan ini, maka kapan lagi kepincangan pendidikan itu dapat kita luruskan.
Belajar Dari Sebuah Pengalaman
Dalam mengakhiri tahun 2006, ada sebuah pekerjaan yang
ditugasi oleh LPPM Universitas Palangka Raya untuk asistensi Wajib bejalar 9
tahun di Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, mendampingi para
Camat, Diknas Kecamatan, Depag Kecamatan dan Kepala Desa serta tokoh masyarakat
dalam membicarakan SD/SMP satu atap.
Sebuah desa di tepi Laut Jawa tepatnya Desa Satiruk,
kecamatan Pulau Hanaut ada 3 gedung sekolah dasar yang berdekatan setiap tahun
meluluskan antara 18-20 orang/sekolah. Namun tidak ada SMP/MTs baik negeri
maupun swasta. sehingga kepala desanya berinisiatif membentuk kelompok belajar
paket B. Namun dalam segi usia 12-14 tahun. Sementara yang berusia 18 – 40
tahun tak pernah dapat sentuhan pendidikan baik formal SMP/MTs maupun nonformal
paket B. Padahal negara kita sedang gigihnya menuntaskan wajar 9 tahun.
Termasuk merealisasikan Instruksi Presiden nomor: 5 tahun 2006 tertenggal 9
Juni 2006. Tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajar pendidikan
dasar 9 tahun dan pemberantasan buta
aksara.
Pengalaman lain tahun 1992 penulis penelitian di kawasan
pantai, menemui sebuah bangunan beratapkan daun nipah, dinding daun nipah
ukuran 6 x 4 m dengan 10 orang muris 4 duduk di kelas 2.
Saat bertemu dengan penulis penduduk di kecamatan Kumai
Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah ini, diajak membaca huruf latin
dan angka belum sempurna. Tapi dituliskan huruf Arab mereka lancar membaca.
Berarti penduduk pesisir tidak seluruhnya buta aksara, kecuali latin. Sedangkan
huruf Arab mereka sudah bisa, karena setiap orang tua melatih anaknya untuk
membaca Al-Qur’an. Kasus ini berada di kawasan selatan Kalimantan Tengah.
Tepatnya di utara Laut Jawa.
Perlu Perubahan
Perlu
merubah konsep yang selama ini, ternyata terjadi kesalahan dalam dunia
pendidikan luar sekolah. Memang selama ini, pendidikan luar sekolah terlupakan.
Bahkan jika pendidikan luar sekolah bagi pekerjanya seperti tutor misalnya
mendapat imbalan lebih banyak dengan ucapan terima kasih. Sementara jika
tersedia dana, untuk tenaga tutor hanya dengan imbalan yang jauh dari cukup.
Padahal, petugas PLS jauh lebih sulit dibanding mereka yang bekerja di jalur
pendidikan formal. Misal dalam pendidikan formal gedung sekolah, guru dan murid
serta buku bacaan tersedia, semuanya serba ada. Sementara dalam jalur
pendidikan luar sekolah terjadi sebaliknya. Ruang belajar terkadang di rumah
penduduk, di balai desa dll. Murid dirayu agar mau belajar. Karena mereka dalam
kondisi belajar tidak penting baginya. Hal itu perlu diberikan penyadaran diri
individu yang masih belum tuntas wajar 9 tahun. Materinya elastisitas yang
diberikan berdasarkan kesepakatan bersama.
Dengan
melihat hal di atas, saran dari penulis agar mulai sekarang kita adakan
perubahan. Artinya dalam hal pendanaan, tidak selalu pada pendidikan formal
yang besar. Tapi bagaimana jika kalau PKBM, yang tak punya gedung yang memadai.
Pihak Diknas turut membantu mereka yang mendirikan pusat kegiatan belajar
masyarakat ini, pada gedung mereka, buku bacaan dan honor tutor yang cukup.
Jika
hal ini direalisasikan, Insyaa Allah kegairahan belajar mesyarakat akan
meningkat. Dan angka tuna aksara akan dapat ditekan.
DAFTAR
PUSTAKA
Darlan, H. M. Norsanie, 2006. Pendidikan Luar Sekolah di Kalimantan
Tengah, Makalah, Palangka Raya.
-----------, 2006. Sulitnya Pemerataan Wajar Sembilan Tahun di
Kalimantan Tengah, Universitas Mulawarman, Samarinda.
Echols,
Jonh M dan Shadily Hassan, 1982. Kamus Inggris Indonesia
(An English-Indonesian Dictionary), PT. Gramaedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hamid, H. Dedi, 2003. Uuno
20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Asokadikta, Jakarta.
Ichwanuddin, 2006.
Keberatan Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Kotawaringin Barat
Kalimantan Tengah, Pangkalan Bun.
Moliono, Anton M. 1989. Kamus
Besar Bahasa Indonesia¸ Depdiknas RI, Jakarta.
Poerwadarminta, WJS. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Ringkin, Don F, 2005. Kritik
Pendidikan Luar Sekolah hanya dipandang dengan sebelah mata oleh banyak kalangan,
Kal-Teng Pos Opini, Palangka Raya.
Singarasa, Henry 2006. Diskusi Pendidikan Keaksaraan dengan
Berbagai Latar Belakang Bidang Keilmuan, Rektor Universitas Palangka Raya,
Palangka Raya.
Suryadi, Ace, 2005. Kebijakan dan Strategi Gerakan Pemberantasan
Buta Aksara Intensif, Hotel Sahid Raya Solo.
Shadily , 1980. Ensiklopedi
Indonesia, Jilid
1, Ictiar Baru, Jakarta.
------------, 1984.
Ensiklopedia Indonesia, Jilid 5, Ictiar Baru, Jakarta.
Yulaelawati, Ella, 2006. Kegagalan Sekolah Formal Dalam Melaksanakan
Pendidikan, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas RI, RRI, Jayapura.
Zein, MT, 1982. Sumber daya konsep yang berubah sepanjang
sejarah, Prisma Volume 11, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar