Oleh:
H.M.Norsanie Darlan
Guru Besar S-1 dan S-2 Pendidikan
Luar Sekolah (PLS)
Universitas Palangka Raya
Pendahuluan
Penulisan materi ini, adalah atas tuntutan hati penulis mencoba dalam penulisan
ini menspekasi penulisan khusus untuk guru formal. Karena UU no 14/2005 adalah
membahas Guru dan Dosen.
Dalam tulisan ini, ditampilkan berbagai hal, diantaranya: pengertian guru,
kedudukan fungsi dan tujuan guru, profesi guru, guru di pedesaan, SDM, fungsi
ilmuan, apa guru wajib sarjana, guru dan tuntutan profesi, sertifikasi dan
tunjangan profesi guru, mutu pendidikan di Malaysia.
Untuk lebih jelasnya berbagai hal di atas, secara rinci dan sederhana akan
diuraikan berikut:
Pengertian Guru
Bila kita mencari pengertian guru maka menurut ahli bahasa Poerwadarminta
(1986) dan Anthon M. Moeliono (1989; 288) adalah:”… orang yang pekerjaannya
(mata pencahariannya, profesinal) mengajar. Guru selalu menjadi contoh bagi
muridnya…”. Sedangkan guru menurut Shadily (1980; 1188) adalah:”… orang yang
mengajarkan sesuatu kepada muridnya…”. Dengan demikian, guru adalah orang yang
pekerjaannya mengajar baik dalam jalur formal maupun non formal. Untuk jalur
non formal guru juga disebut dengan tutor.
Kedudukan Fungsi dan Tujuan Guru
Dalam UU No 14/2005 Bab II Pasal 2
secara jelas disebutkan bahwa:”… (1) guru
mempunyai kedudukan sebagai tenaga professional pada jenjang pendidikan
dasar, pendidikan menengah dan pendidikan anak usia dini (PAUD) pada jalur pendidikan
formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (2) pengakuan
kedudukan guru sebagai tenaga professional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan sertifikasi pendidik…”.
Selain itu, kedudukan guru sebagai
tenaga professional sebagai mana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) berfungsi
untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi
untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional.
Dalam pasal 6 Kedudukan guru sebagai tenaga professional
bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan
pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia,
sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang
demokratis dan tertanggung jawab.
Profesional Guru
Ada 9 profesi guru yang merupakan bidang pekerjaan
khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai:
!. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan
idealisme;
2.Memiliki komitmen untuk
meningkatkan mutu pendidikan, keilmanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia;
3.Memiliki kualifikasi akademik
dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
4.Memiliki kompetensi yang
diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
5.Memiliki tanggung jawab atas
pelaksanaan tugas keprofesionalan;
6.Memperoleh penghasilan yang
ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
7.Memiliki kesempatan untuk
mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang
hayat;
8.Memiliki jaminan perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya;
9.Memiliki organisasi profesi
yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan dengan tugas
keprofesionalan guru.
Selain hal-hal di atas, pemberdayaan profesi guru
diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis,
berkeadilan, tidak deskrimitatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi
hak azasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural, kemajemukan bangsa, dan
kode etik profesi guru.
Perhatikan Guru di Pedesaan
Sebelumnya
apa arti pedesaan, tentu kita perlu mengingat kembali sebuat tulisan Faisal
(1982). Ia menyebutkan : “…kelompok masyarakat berada dalam 3 tempat, yakni
masyarakat kota, pinggiran kota dan desa pedesaan…”. Dari ke 3 hal di atas, penulis pengambil
pendapat ahli ini masyarakat yang berada di desa pedesaan. Mereka yang hidup
dalam serba kesederhanaan, tidak banyak mendapatkan informasi luar dan mudah
menerima pesan-pesan pembangunan. Karena pengetahuan mereka yang masih serba
keterbukaan, tidak / belum terkontaminasi terhadap berbagai hal yang sering
menyulitkan baik bagi kelompok masyarakatnya maupun yang lain.
Namun
dengan seringnya pelaksanaan pemilu, pilkada yang terjadi masing-masing 5
tahunan, membuat masyarakat mulai terjadi pergeseran budaya dalam hal menerima
informasi dimaksud.
Bila
kita mengkaji lebih jauh tentang desa, maka Shadily (1980; 794) menjelaskan
sebagai berikut: 1) desa adalah bentuk masyarakat yang bersifat komuniti kecil
dengan jumlah penduduk yang biasanya kurang dari jumlah peenduduk kota. Profesi
penduduk desa hidupnya dari berburu, meramu, mencari ikan, beternak, berkebun,
berladang, atau bercocok tanam; menetap dan mempunyai sistem masyarakat, sistem
adat istiadat, orientasi nilai budaya dan mentalitas yang biasanya lebih lambat
bergeser dari masyarakat kota. Ekonomi masyarakat pedesaan dapat beraneka
ragam; dari sistem produksi sendiri, hingga ekonomi berdasarkan produk untuk
pasar, tetapi masih dengan pembedaan kerja, organisasi dan volume produksi yang
lebih terbatas daripada hal-hal serupa itu pada sistem ekonomi masyarakat
industri. 2) Daerah Negara Republik Indonesia autonom tingkat rendah, setingkat
dengan kota kecil (Undang-Undang R.I. No. 22/1948). Desa “bentuk baru” ini
berlainan dengan desa “bentuk lama” yang diatur oleh Inlandsche Gemeente
Ordonantie; dengan adanya undang-undang tentang pemerintahan di daerah
No.5/1974, “desa bentuk baru” itu tidak ada lagi; kemungkinan mengadakannya
dengan undang-undang tersendiri tetap ada. Seorang guru yang terjun ke masyarakat
dalam menjalankan profesinya ia harus tahu seluk beluk sebagai orang baru yang
mau bersosialisasi di masyarakat, terhadap apa yang akan ia kerjakan.
Guru di
pedesaan dianggap masyarakat orang pandai, punya ilmu pengetahuan yang luas.
Tugas guru dirasakan berat kalau saat ia mengikuti pendidikan tidak membiasakan
diri menjadi professional. Kalau seorang guru tidak mampu memecahkan masalah
itu, maka guru tersebut menjadi celaan masyarakat. Akibatnya guru tadi tinggal
di tempat tugas jadi gelisah akhirnya minta pindah.
Sumber daya Manusia
Melihat
arti dan pentingnya Sumber Daya Manusia Hasibuan (1997; 269) adalah: “… akan
dapat dilakukan dengan baik dan benar, jika perencanaannya mengetahui apa dan
bagaimana sumber daya manusia itu”. Sumber daya manusia atau man power disingkat SDM merupakan kemampuan yang dimiliki manusia,
termasuk guru. SDM ini terdiri dari daya pikir dan daya fisik oleh setiap
manusia.
Sumber
daya manusia dapat menghasilkan produk bermacam-macam yang dibutuhkan oleh
pihak-pihak lain. Manusia dapat bertindak secara perorangan maupun kelompok.
Menurut Prawiro (1980; 19) adalah: “… kualitas, kuantitas, dan interaksi yang
berlangsung di dalam kelompok manusia itu sangat menentukan nilai penghargaan
sebagai sumber daya manusia…”.
Menurut
Tilaar (1993; 175) bahwa: “… pembinaan profesionalisme guru memerlukan waktu
yang sangat lama dan biaya yang mahal. Status profesional SDM tidak diberikan
oleh siapapun, tetapi harus dicapai oleh kelompok profesi bersangkutan"”
Pada mulanya tentu saja harus dibina melalui penguatan landasan profesi tenaga
yang memadai. Misalnya melalui pendidikan luar sekolah yang sesuai kondisi,
pengembangan pelatihan keterampilan bagi kaum perempuan di masyarakat nelayan
pedesaan Ginsberg (1966) dan Suryadi (1999; 45) serta Darlan (2002) bahwa:
“…Berkeyakinan
bahwa tentang SDM guru dapat dianggap sebagai capital yang mendukung
produktivitas. Pernyataan ini mengungkapkan bahwa kontribusi manusia bukan pada
keterampilan dan kemempuannya saja, tetapi hanya ada pada individu mereka
sendiri…”.
Sedangkan Terry (1978; 26) bahwa:
“… Planning is the selecting an rela ing of facts and the making and using of
asomptions regarding the fature’n the visualization and formulations of
proposed activition selived necessary to active the sired resold…”. Sumber daya
menurut Mardikanto (1997; 39) adalah: “… pada awal mulanya diartikan hanya
sebagai benda atau substansi yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu”.
Akan tetapi, kemudian terbukti menurut Schumacher (1974; 45) bahwa: “… manusia
juga merupakan sumber daya terpenting…”. Di pedesaan termasuk mereka yang
berprofesi guru.
Tentang hal tersebut Zein (1982; 4) dan Darlan (2002; 38)
menegaskan bahwa:
“…Pengertian sumber daya tidak
hanya sekedar terbatas pada barang (termasuk manusia) atau substansi yang
digunakan dalam upaya untuk mencapai suatu tujuan, tetapi yang terpenting
adalah peranan benda atau substansi tersebut dalam proses atau operasi, yakni
fungsinya secara operasional di dalam proses tercapainya tujuan tersebut…”.
Secara makro, pengembangan
kemampuan, keterampilan, dan keahlian menurut Muhadjir (1979) adalah: “… dari
sumber daya manusia mempunyai arah yang memberi proses masa depan yang lebih
cerah…”. Tidaklah salah bila setahap demi setahap mengurangi jumlah tenaga yang
bekerja di sektor premier, dan mengembangkan pendidikan tenaga kerja di sektor
sekunder atau tersier.
Fungsi para
ilmuwan
Dalam membangkitkan apresiasi sains
dan teknologi di masyarakat, para ilmuwan dituntut kemampuan dapat
mempopulerkan sains dan teknologi untuk konsumsi masyarakat awam. Seyogyanya
ilmuwan kita disamping seorang profesional dibidangnya, juga mampu
mempopulerkan keahliannya. Sains dan teknologi populer dapat disampaikan
melalui ceramah-ceramah, media massa,
berkala sains populer dan penerbitan buku-buku, majalah, jurnal, buletin dsb.
Termasuk juga dalam kegiatan seperti pertemuan bermusyawarah kita ini.
Dalam masyarakat yang telah
mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap sains dan teknologi, buku-buku sains
menjadi best-seller misalnya buku-buku
bertema kosmologi modern oleh Hawking (1993), oleh Reeves (1994) buku bertemakan ke arah
paradigma baru sains (tentang, chaos)
oleh James Gleik (1987) (Nur, 1998; 8).
Apa Guru Wajib Sarjana
Penulis
kurang sependapat jika semua guru wajib sarjana. Sebab ada terjadi pemborosan yang juga tidak ekonomis, kalau guru
dipaksakan harus berijazah sarjana. Dalam proses pendidikan yang
diselenggarakan dewasa ini, kualitasnya masih diragukan. Selain itu, waktu,
biaya, tenaga dan kegunaan perlu ditinjau kembali. Berbicara tentang waktu
pendidikan yang hanya beberapa kali pertemuan membuat warga sekitar terkadang
kaget mendengar seorang guru tiba jadi sarjana.
Pertanyaan mereka kapan guru itu kuliah. Sedangkan anaknya kuliah
menggunakan waktu 4-5 tahun.
Dari segi biaya mereka, ada kalanya mencari biaya pendidikan yang sangat
sulit. Sedangkan kegunaan tidak seluruhnya relevan. Karena seorang guru tinggal
di tempat tugasnya di lembah, pinggiran sungai, di puncak bukit/gunung di tepi
danau nan jauh di sana. Di pesisir pantai yang jauh dari keramaian. Sekarang
apa cocok seorang sarjana untuk mengajar di sekolah dasar di sana. Kenapa tidak
cukup pada tingkat Diploma saja.
Sarjana baik buat tenaga pengajar di perkotaan, apakah dia pada SLTP
ataukah SMA/MA maka mereka ini harus wajib sarjana. Terlebih guru SLTP/SLTA
baik di pedesaan maupun perkotaan. Tapi kalau di pedesaan seperti di uraikan di
atas, mungkin terjadi pemborosan waktu, biaya bagi guru sekolah dasar.
Sedangkan mutu yang dinantikan tidak seberapa.
Dari segi tingkatannya kurang menarik, sebab antara guru SD, SMP dengan
SMA/MA harusnya ada beda pendidikannya. Kenapa harus guru SD, SMP dan SMA/MA
dan berbagai pendidikan kejuruan sama-sama sarjana. Kalau guru SD sarjana, guru
SMA/MA dan kejurusan harus S2 atau S3. Bukankah hal itu lucu mengajar SD sama
ijazahnya dengan mengajar di SMA/MA atau sekolah kejuruan. Mungkin juga bisa terjadi guru SD minta
mutasi untuk menjadi guru SMA. Karena ijazah sama-sama sarjana.
Guru dan Tuntutan Profesi
Bila kita membicarakan tentang guru dan tuntutan profesi, tentu kita harus
mencari minimal 3 sumber yang jelas.
Pertama: memang guru
tersebut sejak awal keinginan memilih IKIP, FKIP, STIKIP, atau Tarbiyah sejak
dari awal sebagai pilihan utamanya. Hal ini memang motivasi intrensik seseorang
sebelum menjadi guru, memang ia berminat memang dari dalam dirinya sudah ingin
jadi guru. Hal ini, sebelum ia kuliah bahkan dari masa anak-anak ia sudah rajin
bertindak, berbuat sebagai guru.
Kedua: faktor
ikut-ikutan. Menilih IKIP, FKIP, STIKIP
atau Fakultas Tarbiyah karena tidak lulus test di perguruan tinggi lain. Ini
adalah motivasi karena terpaksa memasuki kuliah itu, karena daripada tidak
kuliah, lebih baik kuliah pada IKIP, FKIP, STIKIP atau Tarbiyah. Sedangkan
yang:
Ketiga: motivasi dari
luar extrensic yaitu karena ingin cepat dapat kerja. Apa lagi setelah
memperoleh kesarjanaan, cari sertifikat akta IV untuk melamar jadi guru.
Perbuatan ini adalah proses yang tidak menyenangkan. Karena mereka yang
betul-betul kuliah dari a – z menggunakan waktu 4 – 5 tahun di IKIP, UPI, FKIP,
STIKIP, Fakultas Tarbiyah. Sementara ada orang tertentu mendapatkan sertifikat
akta IV dengan mudah dan melamar kerjanyapun mudah.
Akta mengajar IV sebetulnya diberikan kepada seorang dokter yang mengajar
di sekolah pengatur rawat. SIM mengajar di sekolah pengatur rawat harus
memiliki akta IV. Dan ada prosedur nya. Misalnya seseorang bisa ikut mengambil
akta IV kalau yang bersangkutan sudah memiliki NIP. Contoh lain, seorang
Insinyur Pertanian. Ia mengajar atau jadi guru pada Sekolah Pertanian. Setelah
mendapat NIP ia harus segera mengikuti akta IV, karena Insinyur Pertanian tidak
boleh mengajar kalau tidak memiliki akta IV.
Sertifikasi dan tunjangan Profesi Guru
Dalam masa sekarang ini, para guru sangat antusias berpikirnya bagaimana
untuk lulus sertifikasi. Karena kalau lulus sertifikasi guru mereka mendapatkan
tunjangan Profesi guru sebagaimana pasal 16 UU no 14 tahun 2005 butir (2)
diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang bersangkutan. Tunjangan profesi tersebut bersumber dari
APBN atau APBD.
Nasib guru bagaikan ”...Oemar Bakri tempoe doeloe...”, mulai terhapus. Apa
lagi bila guru yang bersangkutan telah mendapatkan kelulusan dari tim pemeriksa
sertifikasi. Sehingga kecemburuan sosial bagi PNS lain mungkin bisa terjadi.
Kenapa guru mendapat tunjangan lebih besar dari para PNS umumnya. Khususnya
bagi mereka yang tidak mendapat jabatan struktural. Dipihak lain jabatan
guru dan dosen adalah jabatan fungsional.
Dengan demikian menurut Bab IV pasal 8, guru wajib memiliki kualitifikasi
akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Hal ini sebagai realisasi Bab XIII pasal 49
UUSPN no 20 tahun 2003 (1) dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN) pada pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
Mutu pendidikan di Malaysia
Mungkin
sebagian besar masih belum hilang dari ingatan kita, bahwa negeri jiran kita
Malaysia sejak tahun 60-an mengekspor tenaga guru dari Indonesia. Tahun 80-an
seangkatan penulis di IKIP Malang saudara kita bernama: Nursamid dan sering
tertukar bila dosen mencari nama diantara kami berdua. Artinya orsang Malaysia
tahun 1982 ada yang input Sarjana Muda kuliah di Malang. Tahun 1986-1988
penulis di Fakultas Kedokteran Gadjah Maha sempat memberikan kuliah diantaranya
ada mahasiswa Malaysia. Selain sebagai mahasiswa S2 juga dipercayakan juga
untuk mengajar di Program Kedokteran Komunitas, di sama banyak bertemu
mahasiswa asal Malaysia.
Pertengan
tahun 90-an Malaysia sudah menawarkan Program Tertinggi seperti Magister (MA)
dan Ph.D untuk pemuda/pemudi Indonesia untuk belajar di negeri jiran ini. Jadi
mereka tidak tanggung-tanggung tahun 1997 mahasiswa tugas belajar di Malaya
University setiap bulan mendapatkan imbalan 1200 ringgit. Dirupiahkan saat itu
Rp 1.200.000,- Sehingga banyak pemuda kita yang pergi belajar ke Malaysia untuk
meraih berbagai gelar.
Untuk
diketahui juga dalam jurnal yang resmi dari kedutaan mereka biaya pendidikan
tahun anggaran 2003 ini sebesar 37 % dari dana anggaran negaranya. Sementara di
negeri kita tercinta ini pernah terjadi anggaran pendidikan hanya 4,5 dari APBN
apa demikian, karena pihak pengambil kebijakan kita kurang memberikan perhatian
terhadap dunia pendidikan ini. Sehingga iklim pendidikan jadi terpuruk hingga
tingkat yang paling rendah di tanah air kita.
Penulis
saat itu sebagai mahasiswa program Doktor di Indonesia merasa berkewajiban
membuat konsep didahului oleh sebuah seminar nasional mahasiswa program doktor
yang ada di Indonesia. Hasil seminar diserahkan kepada Bapak Mendiknas RI saat
itu Prof. Dr. Yahya Muhaimin di ruang
kerja beliau yang disampingi oleh Dirjen Pendidikan Tinggi. Dan Komisi VI
DPR-RI serta pengurus besar PGRI. Salah
satu konsep yang cukup dikenang oleh para mahasiswa program Doktor dalam sidang
Umum MPR ternyata menerima konsep kita minimal 17% dari anggaran negara untuk
pendidikan. Sekarang dalan tahun anggaran 2003 kita menikmati 20 % anggran
negara untuk pendidikan. Mudah-mudahan konsep itu dapat berjalan dengan baik,
agar istilah guru sebagai “Oemar
Bakri” lambat laun menjadi impian bagi
setiap orang.
Pustaka
Darlan, H. M. Norsanie, (1998). Strategi Pendidikan Luar
Sekolah, PLS FKIP Universitas Palangka Raya.
-----------, (2001). Kuliah Umum Penerimaan Mahasiswa
STAIN, Palangka Raya.
Faisal, Sanapiah (1982). Sosiologi Masyarakat Kota dan
Desa, Usaha Nasional, Surabaya.
Gubernur, 2000. Persaturan Daerah Propinsi Kalimantan
Tengah nomor 9 tentang : pembentukan organisasi dan tatakerja lembaga teknis
daerah propinsi Kalimantan Tengah
Gleik, James. 1987. “La Teorie du chaos, vers uni
nouvelle scaince”, versi bah. Prancis).,
Fayard, Paris.
Hamid, H.Dedi, 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional, Asokadikta, Jakarta.
Hawking, Stephen. 1993. “Uni Breve Historie du
temps, du big-bang aux Trous Noirs
(versi Bahasa Prancis) Flammarion, Paris.
Mardikanto, T., 1997. Link and Match (Pendidikan Luar
Sekolah) Balai Pustaka, Jakarta.
Muhadjir, N., 1979.
Mencari pola Pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta, Suatu Usaha Studi
Mencari Konsep teoritik dan emperik, Pidato Pengukuhan Guru Besar PLS IKIP Yogyakarta.
Nur Muhammad, 1998. Beberapa Gagasan untuk Menuju pada
Kemandirian Sains dan Teknologi. (Pidato
Dies Natalis dasampaikan pada Rapat Senat Terbuka) Universitas Diponegoro,
Semarang.
Prawiro, 1980. Tentang Kualitas Sumber Daya Manusia
Indonesia, Jakarta.
Reeves, Hubert,
1994. “Derniere nouwelles du cosmas: vers ia premere seconde” (asli bahasa Prancis, diterjemahkan ke
beberapa bahasa) Seuil, Paris.
Santosa, Noegroho Imam, 1995. Sosial Budaya Dasar, Pusat
Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Shadily, Hassan, 1980. Ensiklopedia Indonesia, Edisi ke
2, Ikhtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta.
Sudjana, Djudju, 2000. Partisipasi Penelitian terhadap
kehidupan manusia, Program Pascasaraja Doktor, UPI, Bandung.
Suhady, Idup, 2001. Kebijaksanaan Pendayagunaan Aparatur
Negara, Lembaga Administrasi Negara – Republik Indonesia, Jakarta.
Suryadi, A., 1999. Pendidikan investasi SDM dan
pembangunan, Balai Pustaka, Jakarta.
Tilaar, H.A.R., 1993. Pengembangan SDM dalam era
globalisasi (Misi dan visi dan program aksi pelatihan menuju 2020, PT Gramedia,
Jakara.
UURI, Nomor 14 tahun 2005. Tentang Guru dan Dosen, BP. Dharma Bhakti, Jakarta.
Yogasara. Kusdinar, 1993. Kesehatan Masyarakat,
Universitas Terbuka, Jakarta.
Zein, M.T., 1982.
Sumber Daya Konsep Yang berubah Sepanjang Sejarah, Prisma Volume 11, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar