0leh:
Prof. Dr. H. M. Norsanie Dalan, MS PH
Materi Kuliah Umum S-2 dan S-3 PLS pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung 2010
Abstrak
Penelitian kiprah PLS dalam Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Desa Tertinggal
ini adalah: (1) ingin mengetahui kiprah PLS dalam pemberdayaan masyarakat; (2)
ingin mengetahui potensi apa yang dapat diberdayakan kepada masyarakat; dan (3)
ingin mengetahui tentang pelayanan pendidikan luar sekolah di kawasan pantai.
Metodalogi penelitian in. untuk menggali data dengan menggunakan jenis
penelitian kualitatif. Sedangkan yang dijadikan subjek adalah para tokoh
masyarakat (toma) dan Tokoh Agama (toga) terta tenaga pendidikan kependidikan
(TPK) di kawasan desa tertinggal yang dikhususkan masyarakat pesisir pantai. Alat
penelitian menggunakan pedoman wawancara, observasi dan dokumentasi. Dan waktu
penelitian selama 2 tahun.
Hasil penelitian adalah: (1) kiprah PLS dalam pemberdayaan masyarakat,
adalah: Sungguh menggembirakan, jika digulirkannya konsep dari program
pemberdayaan masyarakat untuk kalangan masyarakat pedesaan. Terlebih bagi
mereka yang secara sengaja ataukah kebetulan terlahir hingga dewasa di kawasan desa tertinggal. Namun karena berbagai keterbatasan, peran tenaga
pendidikan kependidikan (TPK), belum nampak kiprah mereka di pedesaan; (2) berbicara
potensi sumber daya alam yang berlimpah, merupakan banyak hal yang belum pernah
disentuh. Sehingga kalau tidak sumber daya manusia (SDM) yang ada di kawasan desa tertinggal yang harus dapat
diberdayakan kepada masyarakat; dan (3) tentang pelayanan pendidikan luar
sekolah di kawasan pantai, Kehadiran tenaga PLS masih dilihat sebelah mata, dan
Kehadiran tenaga lapangan dikmas (TLD) yang menutup peluang PLS, dan formasi
lapangan kerja masih tertutup. Apa lagi bila kita memperhatikan dampak muratorium
terhadap pencari kerja sektor formal. Sungguh merugikan terhadap dunia
pendidikan luar sekolah. Karena angka tuna aksara tambah sulit penuntasannya.
Kunci: PLS, Toma, Toga, TPK, TLD
1.Pendahuluan
Materi kuliah umum ini, merupakan sejarah hidup bagi penulis dalam
memberikan memaparkan tentang kiprah Pendidikan Luar Dalam Pemberdayaan
Masyarakat Kawasan Desa Tertinggal (antara harpan dan kenyataan) suatu
permintaan pihak Program Studi ini,
sebuah materi yang kurang begitu siap dalam menghadi mahasiswa sekolah
pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Sebab perguruan tinggi Pembina
ini, tidaklah gampang untuk dijadikan objek kuliah umum ini, namun ketua
Program Studi S-2 dan S-3 PLS sekolah
Pascasarjana meminta saya, yang kebetulan ada waktu untuk menyiapkan materi
yang sangat sederhana ini.
Ditinjau dari sisi sejarah, bahwa Universitas Palangka Raya di tahun 1962
lalu berdiri atas kerjasama antara: antara IKIP Bandung cabang Palangka Raya.
Dan Fakultas Ekonomi. Karena di setiap Provinsi kala itu, ada wacana harus
berdiri perguruan tinggi negeri. Maka bergabunglah 2 perguruan ini yaitu: IKIP
Bandung Cabang Palangka Raya dengan Fakultas Ekonomi juga di Palangka Raya,
menjadi Universitas Palangka Raya. Universitas ini, dengan kependekannya di
sebut UNPAR.
Untuk menyingkat waktu dalam pemberian materi ini, maka dalam
penyampaiannya terdapat beberapa sub bangian yaitu: berbagai pendapat ahli,
Melirik Undang-Undang, Mengintai Sistem Sosial, Pemberdayaan Masyarakat,
Masyarakat Kawasan Tertinggal, Program Mehaga lewu, Masyarakat Kawasan
Tertinggal, Kiprah PLS, Kiprah
Mahasiswa PLS Dalam Pemberdayaan, Peran Pendidikan Tenaga Kepdidikan, kualifikasi
pendidik, Perubahan Sosial Alamiah, Harapan
dan Kenyataan. Untuk lebih jelasnya hal-hal di atas, akan diurakan secara
sederhana berikut ini:
2.Berbagai Pendapat Ahli
Mengenali kiprah PLS sebenarnya “kiprah” adalah: suatu perbuatan
baik secara perseorangan ataukah berkelompok dalam melakukan sebuah gerakan
khususnya berupa pendidikan luar sekolah, baik dalam cara spontan dengan proses
yang cepat maupun secara perlahan. Namun
kiprah dalam proses pendidikan luar sekolah ini, suatu kegiatan yang secara
sadar berencana baik akan, sedang maupun telah dilakukan dalam proses
pendidikan luar sekolah.
Bagaimana sebenarnya desa
tertinggal, bila kita mengkaji apa itu desa tertinggal, tidak terlepas pada
istilah desa: menurut: Tim Akar Media (2003; 105) menyebutkan:”…desa
adalah sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan kampung di luar
kota, dusun…”. Sedangkan tertinggal
tidak lain adalah kawasan itu, masih banyak ketertinggalan dari berbagai
program pembangunan sejak masa lalu, hingga sekarang. Dengan demikian desa
tertinggal adalah merupakah suatu desa yang berada di kawasan pedesaan ada
kalanya berlokasi nan jauh di sana dan ada pula yang lokasinya masih dekat
dengan perkotaan. Namun desa tertinggal tinggal ini selalu ketinggalan dari
berbagai program pembangunan, termasuk dalam upaya pemberdayaannya.
3.Melirik Undang-Undang
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) nomor 20 tahun 2003
secara jelas memandu kita, pada pekerjaan sehari-hari di bidang pendidikan.
Untuk itu, penulis dalam kesempatan ini, memberikan sedikit apa yang diketahui
tentang peran pendidik dan tenaga kependidikan dalam masyarakat di tanah air
kita tercinta ini.
Kalau kita memperhatikan dan mengenali pasal 39 dari Undang-undang di atas,
(1) tentang tenaga kependidikan adalah bertugas melaksanakan administrasi,
pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang
berhasilnya proses pendidikan pada satuan pendidikan. Berbicara tentang tenaga
kependidikan ia bertugas menjalankan administrasi pendidikan baik dalam
pengelolaan, pengawasan dengan cara dalam hal-hal menjalankan pengawasan dan
pelayanan teknis di institusi atau lembaga pendidikan. Tentu saja jalur
pendidikan dimaksud baik formal maupun non formal.
Di pihak lain, apa itu tugas tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan
pendidikan, baik ia dalam tugas di pendidikan non formal (pendidikan luar
sekolah) seperti: penilik dan pamong belajar. Demikian juga dalam tugas
pendidikan formal seperti: pengawas, peneliti dan pengembang, pustakawan,
laboran, dan teknisi sumber belajar. Namun demikian untuk diketahui bersama
bahwa pada jalur pendidikan luar sekolahpun juga, ada tenaga seperti peneliti,
pengembang media belajar dan teknisi sumber belajar masyarakat.
Dipihak lain bila kita mencermati apa sebenarnya pendidik itu berdasar
pasal 39 ayat (2) maka hal ini ia merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembim-bingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik dan perguruan tinggi.
4.Mengintai Sistem Sosial
Memang tidak difungkiri lagi, sistem sosial di masyarakat kawasan desa
tertinggal punya arti tersendiri dari hasil pengamatan penulis selama ini.
Karena sistem sosial pada dasarnya dirumuskan dengan hati-hati. Sistem sosial
menurut: M. Tatang, Amirin (1980), Suleman B. Taneko (1986; 2)
bahwa:”...mengandung arti sehimpunan, sebagian atau komponen masyarakat yang
saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu kesatuan dari keseluruhan
masyarakat desa...”. Dalam perkembangannya ternyata masyarakat desa
pedesaanpun, punya kekerabatan yang sangat erat. Mereka di suatu desa, ada yang
datang seseorang atau sekelompok orang dari luar desa mereka, warga masyarakat
tahu atas kedatangan tamu itu. Baik secara formal ataukah informal. Karena
siapa saja yang datang di desa mereka menjadi objek pengamatan elemen
masyarakat, walau secara sederhana. Pepatan mengatakan sebatang jarun jatuh di
desa, semua
Pengalaman seperti ini di desa-desa tertinggal memang sangat memberikan
inovasi-inovasi baru bagi kita sebagai tenaga PLS. Hanya saja kalau dihadapkan
dengan anggaran biaya untuk memberdayakan masyarakat tentu perlu perhatian
pemerintah baik pusat ataupun daerah. Sayangnya anggaran yang tersedia, selalu
sudah mereka lalukan sendiri. Mereka mencari tempat-tempat yang terjangkau.
Sedangkan konsep seperti itu, digulirkan untuk pemberi dana, seringkali
kesulitan. Karena mereka tidak terbiasa melakukan pertimbangan seperti kita di
perguruan tinggi. Pepatah mengatakan sebatang jarun jatuh semua orang desa akan
tahu. Demikian juga kedatang kita ke desa tertinggal, apapun
kita lakukan menjadi pusat perhatian mereka. Termasuk dalam kiprah kita untuk
pemberdayaan masyarakat.
5.Pemberdayaan Masyarakat
Sungguh menggembirakan, jika digulirkannya konsep dari program pemberdayaan
masyarakat untuk kalangan masyarakat pedesaan. Terlebih bagi mereka yang secara
sengaja ataukah kebetulan terlahir
hingga dewasa di kawasan desa tertinggal.
Pemberdayaan tentu kalau kita memperhatikan asal katanya “daya” yang
ditambah awalan pember dan akhiran an. Jika diper-hatikan istilah daya Tim Akar Media (2003; 100) bahwa:”…suatu
kekuatan, tenaga pengaruh akal dengan cara ihktiar…”Sementara Djudju Sudjana
(2000)bahwa:”…menyejelaskan sumber daya adalah banyak macamnya. Ada dari alam,
tenaga air, angin, batu bara, mata hari, listrik dsb…”. Sehingga hal itu, akan memimbulkan sebuah
daya. Namun dalam upaya pemberdayaan masyarakat ini, tentu saja sasarannya
warga masyarakat. Untuk tujuan memberikan motivasi dalam proses belajar
memberlajarkan mereka dengan tujuan
pendidikan non formal ataukah in formal.
Jika kita mengkaji konsep lama tentang pemberdayaan masyarakat di pedesaan, tidaklah salah penulis mengambil
penda-pat salah seorang tokoh senior PLS kita: Sanapiah Faisal (1981) bahwa:
“…yang disebut masyarakat pedesaan mereka itu, tinggal kebanyakan tidak
terjangkau aliran listrik…”. Konsep di atas walau disadari dewasa ini, sudah tidak lagi
seluruhnya benar (terwujud), namun tempat tinggal masyarakat kita sungguh ciri itu, mulai dirambah oleh teknologi.
Karena sekarang di berbagai pedesaan di tanah air ini, sudah sulit membedakan
kalau hanya dengan alasan aliran listrik. Karena masyarakat telah banyak yang
memiliki kemampuan membeli mesin listrik. Apakah mereka di pinggiran kota
ataukan di pedesaan sekalipun.
Dalam
sudut pandang lain, Sanapiah Faisal (1981) bahwa:”...masyarakat membagi dalam 3
kelompok besar, masing-masing; Pertama: masyarakat perkotaan; Kedua:
masyarakat pinggiran kota; dan Ketiga: masyarakat desa
pedesaan...”. Dari 3 kelompok di atas,
penulis dalam kesemptan ini mencoba mengurai terhadap keadaan masyarakat
sekarang sebgai berikut:
Menilik
masyarakat perkotaan sungguh luar biasa. Karena mereka berada dalam wilayah perkotaan yang
berhadapan dengan segala lapisan masyarakat selalu ada konpleks. Apakah mereka
golongan kaya, menengah hingga miskin, selalu ada di perkotaan. Bahkan tidak
menutup kemungkinan perkotaan menjadi objek masyarakat untuk mengadu nasib
sehingga mereka berhadapan dengan 2 pilihan untuk datang ke kota. Masing-masing
tidak lain kecuali jadi miskin atau kaya. Dan di perkotaan tidak dapat berhasil
baik kecuali harus memiliki skills dan pendidikan. Kalau hanya
dengan kekuatan otot lebih banyak gagal dari keberhasilannya. Mareka yang sudah
menghadapi berbagai kegagalan, akhirnya memilih menempati kawasan yang agak
kosong untuk mencari kawasan yang lebih
keluar kota untuk membuka usaha lain.
Dalam kawasan perkotaan, lapangan kerja sangat ditentukan dengan
pendidikan. Di perkotaan juga fasilitas belajar lebih banyak dan selalu
kualitasnya lebih baik. Diperkotaan memberikan harapan besar kepada mereka yang
memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, di perkotaan sangat
memperhatikan bedang kesehatan. Dan berbagai fasilitas lainnya selalu tersedia
di kota.
Masyarakat pinggiran kota, yang serba tidak sesuai dengan perkembangan
kehidupan, namun untuk menyesuaikan dengan tuntutan kehidupan, mereka ini dalam
posisi yang serba tanggung. Kenapa demikian? Karena untuk ikut bertahan sebagai
masyarakat pedesaan, sementara kehidupan masyarakat kota tidak bisa mereka
biarkan begitu saja. Merekapun perlu untuk menyesuaikan dengan perkembangan
kehidupan masyarakat kota. Namun terkendala dengan segala biaya yang serba
mahal. Termasuk juga pola kehidupan perkotaan yang menuntut serba modern. Dari
hal-hal di atas, tidak menutup kemungkinan mereka terbawa arus. Sehingga
membuat mereka jadi serba susah dalam menghadapi segala tuntutan kehidupan.
Sementara kalau mreka bertahan sebagai masyarakat pinggiran kota, membuat
kehidupannya tambah melarat karena lapangan pekerjaan, persaingan berbagai
macam dalam kehidupan masyarakat pinggiran kota ini sungguh menyedihkan.
Dalam sudut pandang lain, desa mereka menjadi tempat di bangunnya berbagai
perusahaan, namun tuntutan keterampilan kerja membuat mereka gigit jari karena
untuk bekerja dituntut persyaratan tertentu yang tidak dapat mereka penuhi.
Akibatnya pekerja perusahaanpun harus didatangkan tenaga kerja dari luar.
Sehingga masyarakat pinggiran kota ini hanya sekedar jadi penonton belaka.
Mereka dihadapkan dalam posisi sulit untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Sekarang bagaimana mereka yang tinggal di desa pedesaan. Penulis melirik
dengan berbagai hasil penelitian yang cukup panjang. Mereka yang bermukim di
kawasan desa pedesaan sungguh menyedihkan, karena tidak semua program yang dilancarkan
pemerintah bertujuan memberdayakan mereka sesuai dengan kebutuhan. Kemudian
program pemberdayaan itu hanya sebagian kecil yang menikmatinya. Karena area
lokasi mereka yang tersebar tidak merata. Ditambah jumlahnya tidak banyak dan tidak merata,
ditambah lagi sebaran yang tidak merata, membuat program-program yang
dilancarkan pemerintah kurang bisa menyentuh pada semua masyarakat desa
pedesaan. Karena dana yang tersedia tidak memadai disertai perencanaan yang
kurang akurat dan kurang matang.
Selain itu, untuk mensejahterakan
masyarakat kawasan desa tertinggal ini
sudah lama oleh pemerintah, diantaranya sarana pendidikan, kesehatan. Namun
tenaga guru yang ditugaskan kurang memberikan curahan hati dan tenaganya untuk
menjalankan tugasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Demikian juga
program-program pemerintah lainnya.
Kehidupan masyarakat yang bermukim di kawasan desa tertinggal masih belum
mengetahui secara jelas apa sumber daya alam yang ada di kawasan mereka. Mereka hanya tahu apa yang pernah
mereka laku-kan. Menurut Darlan (2002) bahwa:”...Akibat ketidak tahuan mereka,
itulah yang muncul sebagai peno-mena penulis juga meneliti kawasan desa
tertinggal kawasan pantai. Sejak nenek moyang mereka menanam dan memelihara
perkebunan kelapa. Nanum yang mereka ketahui kelapa hanya buah kelapa di kupas, dijual atau dijadikan minyak goreng dan kopra. Sementara
yang lainnya belum Usaha
masyarakat desa Mengolah SDA Perkebunan dengan seadanya diolah karena
ketidak tahuan mereka. Padahal kalau kita mengkaji secara teliti sebatang pohon
kelapa punya 49 manfaat untuk kehidupan masyarakat manusia...”. mereka harus
mendapatkan pengetahuan, keterampilan dalam mengolah SDA di sekitar hidupnya.
6.Masyarakat Kawasan Tertinggal
Berbicara tentang Percepatan Pembangunan Desa Tertinggal, Albertus, (2010)
menyebutkan bahwa:”…Kegiatan ini diawali dengan pembentukan Desa Mandiri
berjumlah 288 desa. Setiap desa mendapat dana pembangunan sebesar Rp 250 juta
yang akan dimanfaatkan untuk usaha-usaha produktif seperti pembangunan
peternakan sapi dan budi daya jagung. Dua jenis usaha itu merupakan bagian dari
empat tekad pembangunan NTT. Dua lainnya ialah pembangunan koperasi dan
penanaman pohon cendana...”. Fokus tulisan dari hasil penelitian diarahkan ke
ternak dan jagung, tetapi bisa berkembang ke usaha lain sesuai karakteristik
masyarakat di desa tertinggal. Program ini untuk mendukung ketahanan pangan.
Menurut arti kriteria desa penerima program ditentukan sesuai jumlah
penduduk miskin di daerah itu. Penduduk miskin terbanyak mendapat prioritas
utama, dan masih akan bertambah untuk tahun anggaran berikutnya. Kriteria
lainnya desa tersebut harus terpencil, tidak sedang menerima program
pengentasan penduduk miskin dari data pemerintah, dan infrastruktur pelayanan
sosial seperti air bersih, sanitasi, dan ruang yang layak huni masih rendah dan
kurang layak.
Langkah membangun kawasan desa tertinggal ini adalah upaya strategis
pemerintah mendorong percepatan pembangunan di Indonesia, khususnya yang
berbasis pada desa. Menurut H.M. Lukman
Edy (2008) bahwa:”…didasari nilai dan komitmen pemerintah untuk membangun desa,
yang tentunya bukan hanya milik pemerintah semata, tetapi juga menjadi tanggung
jawab semua komponen bangsa, warga masyarakat, pemerintah dan siapa saja yang
mau berkiprah membangun desa. Masa lalu sentralisasi pembangunan di era Orde
Baru, harus mampu dijadikan motivasi untuk melakukan pembangunan secara
menyeluruh, baik lintas sektoral, lintas wilayah, maupun lintas bidang...”.
Salah satu komitmen yang dilakukan pemerintah sekarang adalah mendorong
percepatan pembangunan khususnya di dasa-dasa tertinggal, termasuk juga kawasan
desa tertinggal. Data resmi (2008) Kementerian Negara Pembangunan Daerah
Tertinggal menyebutkan, terdapat 38.232 (54,14%) kategori desa maju, yang
terdiri atas 36.793 (52,03) kategori maju dan 1.493 (2,11%) kategori sangat
maju.
Adapun desa tertinggal berjumlah 32.379 (45,86%), terdiri atas 29.634
(41,97) kategori tertinggal dan 2.745 (3,89%) kategori sangat tertinggal.
Ketimpangan inilah yang menjadi komitmen pemerintah untuk melakukan percepatan
pembangunan desa tertinggal. Sementara itu, fakta tentang desa tertinggal
menyebutkan bahwa desa yang belum dapat dilalui mobil sebanyak 9.425,desa yang
belum ada sarana kesehatan sejumlah 20.435 desa, desa yang belum ada pasar
permamen sebanyak 29.421, desa tertinggal yang belum dialiri listrik
sebanyak 6.240 desa. Jumlah ini, cukup besar. Dan rata-rata keluarga miskin
di desar tertinggal adalah 46,44% dan IPN desa tertinggal sebesar 66,46.
Data di atas, walau antara teori yang digulirkan oleh: Sanapiah Faisal,
(1981) lalu masih dirasakan seperti ciri desa di pedesaan masa lalu yaitu:
desa-desa yang belum dialiri listrik. Desa miskin dan belum terjangkau listrik,
menurut hasil penelitian Dr. Colly, MD (1986) bahwa: ”...di jawa tengah ia
menyebutkan daerah itu, pertumbuhan
kelahiran relatif masih tinggi...” Hal ini beralasan bahwa: masyarakat desa
tertinggal bila malam tiba, mereka tidak banyak pirikan seperti halnya orang
kota. Mereka karena tidak memiliki kesibukan dan penerangan lampupun kecuari
lampu tembok, cuma seadanya. Maka bila anak pada masuk ke tempat tidur, orang
tuanyapun juga menyelesaikan hajadnya sebagai suami istri sebelum tidur.
Sehingga angka kelahiranpun tidak dapat ditekan secara besar-besaran.
Peran PLS dalam upaya ini juga sangat terkendala. Karena fasiltas lampu
yang tidak mendungkung dalam proses belajar membelajarkan di malam hari. Mereka
hanya bertemu di kelompok belajar (kejar) di sore hari, sementara saat yang
sama mereka juga terikat untuk bekerja ke sawah/ladangnya. Sehingga masyarakat kawasan tertinggal ini, dalam hal
ini, terkendala dalam hal proses membelajarkan masyarakat.
Masyarakat kawasan desa tertinggal, mereka ini sejak lahir hingga
meninggalkan dunia fana ini, tinggal di lereng bukit, tepi danau, di lembah,
pesisir laut, tepi sungai. Masih banyak yang belum mengenyam dunia pendidikan
formal. Seperti SDN, MI, SMP dan SMA, dan sejenisnya. Salah satunya adalah
melalui pendidikan non formal. Namun bagaimana kita ketahui bersama,
kemampuan tenaga kerja kita masih sangat terbatas. Sementara tenaga yang
pepatah menyebutkan adalah:”...tiada rotan, akarpun berguna”. Itulah sebabnya
pekerjaan PLS berwarna warni di tanah air kita. Jika sekiranya tenaga pendidik
kependidikan pendidikan non formal dan informal (TPK-PNFI) betul-betul dari
mereka yang betul-betul terdidik ke arah PLS, dan mau berkiprah kepada PNFI,
tentu saja hasilnya beda dengan sekarang. Kendala juga
dihadapi, adalah tidak meratanya jurusan/program studi PLS di provinsi di
Indonesia.
7.Kiprah PLS
Dalam masa reformasi dewasa ini, PLS belum dapat berkiprah secara
maksimal, termasuk di kawasan desa
tertinggal. Hal ini disebabkan dengan beberapa alasan berikut:
1. Kehadiran
PLS masih dilihat sebelah mata;
2. Kehadiran
TLD yang menutup peluang PLS;
3. Formasi
lapangan kerja masih tertutup.
Untuk lebih jelasnya hal-hal di atas, penulis uraikan sebagai berikut:
Pertama: Tidak semua orang mengerti dan tahu tentang PLS kita
ini. Misal saja di kalangan pejabat sturuktural yang tahu bahwa ia ikut diklat
di berbagai penjenjangan, bahwa pendidikan yang ia ikuti itu adalah bagian dari
pendidikan luar sekolah. Demikian juga dikalangan masyarakat
luas bahwa PLS hanya sekedar untuk pemberantasan buta huruf. Padahal mereka,
pernah ikut berbagai kursus. Misalnya: kursus komputer, kursus bahasa,
mengemudi, pertukangan, perbengkelan. Dan kursus-kursus tersebut adalah bagian
pendidikan luar sekolah atau sekarang disebut dengan pendidikan non formal.
Tapi mereka tahunya PLS itu hanya pemberantasan buta huruf. Padahal, berbagai
kegiatan yang ia ikuti ataupun ia lihat adalah PLS.
Kedua: Pemerintah ingin segera menuntaskan segala program
pendidikan non formal dan informal dengan menempatkan TLD sebagai tujuan
program mereka ini, dapat mempercepat lajunya pertumbuhan pembangunan. Namun
dari hasil penelitian secara cermat dan hati-hati, hasilnya tidak demikian.
Karena sarjana yang diangkat bukan tenaga yang terdidik ke arah itu,
hasilnyapun diragukan. Mereka setelah mendapat NIP dari Kementrian Diknas,
karena tidak sanggup bergulat dengan berbagai program PLS di lapangan, ternyata
sudah banyak mereka yang pindah dari Subdin atau bidang PLS (pendidikan non formal dan informal) ke
instansi yang sesuai dengan bidang keilmuannya. Berarti lapangan kerja untuk
TLD ini, adalah merugikan bagi sarjana PLS dan Subdin/ Bidang PLS membukakan
pintu PNS bagi lapangan kerja non PLS.
Ketiga: Bila melihat lapangan kerja sepertinya tertutup. Namun
kalau kita cermati masih ada hal-hal diperhatikan sebagai berikut: tawaran
formasi kerja terhadap sarjana PLS sepertinya tidak ada, padahal kekurangan. karena
masa era reformasi ini, ternyata kebebasan untuk mengusul calon tenaga kerja
melalui BKD atau apa istilah sekarang, cukup memprihatinkan. Mereka para
berokrasi mengusul ke perencanaan kepegawaian berdasar daftar keluarganya yang
belum mendapatkan lapangan kerja. Tapi tidak melihat sarjana mana yang tepat
dan akurat untuk menggulir pekerjaan yang sangat teknis di Subdin/Bdang PNFI
dan BP2NFI atau SKB. Belum lagi instansi terkait lain seperti: Depsos untuk
pekerja sosial, BKKBN untuk PLKB dll. Hasilnya dapat kita lihat sendiri sarjana
yang non PLS tidak betah bekerja di tempat itu, karena bukan bidang
kesarjanaannya. Akhirnya setelah diangkat beberapa waktu kemudian, sudah pikir
pindah ke bidang /instasi dinas keilmuannya. Maka tenaga kita hilang, akhirnya
menjadi cemoohan masyarakat bahw:”...PLS/PNFI menerima PNS dari bidang lain,
setelah mereka dapat NIP sudah memikir pindah. Sementara sarjana pada bidangnya
tidak tertampung...” karena berbagai
alasan.
Kiptah PLS di
pedesaan melalui pendirian PKBM menurut: Rina (20007) adalah:”... bisa lebih
total dalam mengabdikan diri untuk memberdayakan masyarakat melalui pendidikan
non formal. Ada yang menjadikan rumahnya sebagai kantor sekaligus tempat
pembelajaran bagi kelombok belajar PAUD. Keberadaan Kejar ini, sangat diminati
oleh masyarakat di desa, karena mereka
mulai tumbuh kesadaran membelajarkan anak, terlebih kalau ada yang gratis. Ini
bisa dimaklumi, mengingat kehidupan masyarakat disini masih kurang menaruh
perhatian pada biaya pendidikan anak-anaknya. Mereka berpikir anak adalah aset
keluarga yang harus dilibatkan membantu ekonomi orang tua, sehingga kebanyakan
dari mereka setelah lulus SD, anak-anak langsung dipekerjakan orang
tuanya bekerja di sektor pertanian, tambak dan bekerja sebagai buruh pabrik
yang banyak berdiri di sekitar desa. Selain kejar paket yang ada di desa dan
berkiprah mendirikan PKBM juga yang mempunyai binaan kejar. Program PNFI yang
ditangani selain pendidikan kesetaraan adalah menyelenggarakan program
Keaksaraan Fungsional dan penyelenggaraan PAUD yang diberi nama Kelompok
Bermain: “CAHAYA BUNDA” serta kursus bahasa inggris untuk instruktur
anak usia dini.
Kiprah untuk
program keaksaraan fungsional, PKBM
membina beberapa kelompok, dimana sampai saat ini keberadaan kelompok tetap
berjalan dengan kegiatan ekonomi produktif yang dapat diakses ke perkotaan
berupa usaha pembuatan banding presto dan rempeyek. “Lumayan hasil penjualannya
bisa untuk memperbesar kas kelompok setelah dipotong biaya operasional. Harus
disadari bahwa upaya memberdayakan dan membelajarkan masyarakat melalui program
pendidikan luar sekolah, harus sabar dan telaten, mengingat masyarakat yang
menjadi sasaran didik kebanyakan terdiri dari golongan kurang mampu secara
ekonomi, sehingga mereka masih disibukkan oleh upaya mencari nafkah ketimbang
mikir peningkatan mutu hidup melalui pendidikan.”
Kiprah para pejuang pendidikan luar sekolah dan kesehatan seperti: Dian Sofianty
dan Mehdinsareza W. (2007) mereka melihat:“...Jika
dibandingkan dengan awal mula ketika berdiri kelompok belajarnya, untuk
sekarang respon para pedagang sudah mulai bagus dan positif...”. Sosialisasi
mereka pun tidak terbatas hanya para
pedagang saja, tetapi terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar Desa
Tertinggal. Kiprah mereka yang tidak mengenal waktu berjalan itu, dari kampung ke kampung untuk
sosialisasi program. Diawal-awalnya hanya
memiliki satu orang murid (warga belajar) ini, kemudian berkembang terus
hingga memiliki puluhan murid...”.
Dari sudut lain bagaimanapun juga kepentingan untuk mengenyam pendidikan
dan kesehatan merupakan kepentingan dasar bagi setiap orang tak terkecuali
mereka yang tinggal di kawasan desa tertinggal. Biaya pendidikan terkadang
menjadi momok bagi para orang tua yang akhirnya memutuskan hal tersebut. Namun
kesadaran para orang tua menganggap hal tersebut sangat berpengaruh terhadap
tumbuh kembang anak didik menjadi salah satu faktor yang tidak kalah pentingnya
untuk dipertimbangkan kembali.
Melihat aktivitas berbagai instansi terkait untuk kawasan perkotaan Jawa
Timur yang postif ditiru. Mereka ini tentu bukan tanpa tujuan tempat kelompok
belajar tersebut dibuat di pasar. Kepala Puskesmas Jagir, sebagai Tim eHealth
di kantornya, ia seorang dokter: Sri
Peni Tjahyati (2008) menjelaskan bahwa: ”...awalnya tempat tersebut bukanlah
semata-mata sebagai tempat Posyandu. Tempat tersebut, awalnya merupakan Tempat
Penitipan Anak (TPA) bagi anak-anak pedagang, namun tercetus ide dari beberapa
instansi, bahwa daripada hanya penitipkan, bagaimana kalau diadakan PAUD juga
dan sekaligus Posyandu jelasnya. Maka tahun 2005, Pos tersebut di bangun
berdasarkan kerjasama dari beberapa instansi yakni dari: Dinas Pendidikan, PD
Pasar, PKK Kota Surabaya dan juga Dinas Kesehatan Kota yang diwakili oleh
Puskesmas Jagir...”. Dengan demikian
kemajuan, kemudahan disertai fasilitas pendidikan dan kesehatan serba tersedia
dalam upaya kiprah pihaknya sebagai pelaksanan di lini lapangan sangatlah mudah
dalam turut serta membina kelompok belajar untuk memajukan bidang pendidikan
dan kesehatan. Sebaliknya di kawasan desa tertinggal tentulah tidak semudah
yang diuraikan di atas. Karena di kawasan itu, pengambil kebijakan di tingkat
lini selalu ada di tempat. Sementara di
kawasan pedesaan sering terkendala karena mereka itu, sering tidak bersamaan
berada di tempat tugasnya. Dan mereka petugas lini lapangan ini kurang mau
berkoordinasi seperti contoh di perkotaan
Surabaya karena punya kesibukan yang berbeda.
8.Peran Pendidikan Tenaga Kepdidikan (PTK)
Bila memperhatikan tentang
pendidik tenaga kependidikan (PTK) bersama Warga Belajarnya Dalam Pemberian
Keterampilan
Kewajian Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kalau kita mengkaji terhadap PTK-PNF minimal ada 3 kewajiban mereka tenaga kependidikan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Adapun ke 3 hal tersebut menurut Darlan, (2010) sebagai berikut:
Kewajian Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kalau kita mengkaji terhadap PTK-PNF minimal ada 3 kewajiban mereka tenaga kependidikan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Adapun ke 3 hal tersebut menurut Darlan, (2010) sebagai berikut:
1.Berkewajiban menciptakan
suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, punya keratif, dinamis dan
dialogis;
2.Berkewajiban mempunyai
kometmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan luar sekolah;
dan
3.Berkewajiban memberi teladan
dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan
yang diberikan kepadanya.
Dari ke 3 hal di atas, suatu
kewajiban yang harus diciptakan oleh masing-masing pendidik dan tenaga
kependidikan - pendidikan non formal dan infomal (TPK-PNFI) dalam menjalankan
tugasnya. Agar dalam menjalankan profesinya dapat menjadi contoh bagi orang
lain, baik di perkotanaan maupun pedesaan.
9.Kualifikasi Pendidik
Bila kita perhatikan dalam hal kualifikasi
dan jenjang pendidikan, maka perlu diperhatikan pada hal-hal sebagai berikut:
1. Pendidik harus memiliki kualitas minimum
dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional;
2.Pendidik untuk pendidikan formal pada
jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
Kualialifikasi pendidik tentu
saja tidak bisa bagaikan semudah membalik telapak tangan. Karena tugas mereka
yang sangat mulia ini, tidaklah mudah dengan hanya diberikan satu atau dua hari
atau satu dua bulan. Tapi pendidikan luar sekolah tentu memperoleh tenaga yang
berkualitas menggunakan waktu 4 – 5 tahun. Jadi atas ketidak pahaman masyarakat
selama ini, tentang pekerjaan PLS hanya sebatas ”pembarantasan buta huruf”,
tidaklah seluruhnya demikian. Pekerjaan PLS sungguh luas dan memerlukan
keahlian tersendiri.
10.Perubahan Sosial Alamiah
Belajar dari pengalaman memang sebuah peristiwa penelitian yang
berbeda-beda, ternyata ada perubahan diantaranya yang jatuh pada masa sekarang
dengan masa sepuluh sampai lima belas tahun silam. Ada beberapa hal yang
dilihat secara alamiah desa-desa tertinggal ini, pasti ada terjadi perubahan
sosial secara alamiah. Hal ini seperti:
1.Masyarakat yang angka tuna aksara semakin berkurang;
2.Walau mereka tidak banyak berkomunikasi ke luar desa, tapi mereka tahu
perkembangan desa, kota lain;
3.Modernisasi desa secara alamiah ini, pasti terjadi walau secara lamban.
Dari konsep kemajuan perubahan pembangunan masyarakat desa menurut Piott
Sztompka (2004; 23) bahwa:”... terlihat ciri-ciri fundamental kondisi kehidupan
manusia; adanya jurang abadi antara kenyataan dan harapan...”.
Dalam perubahan sosial, secara alamiah terjadi sebagai akibat mereka:
melihat, mendengar, memperhatian,
terhadap desa lain. Selain itu,
pemikiran masyarakat lambat laun termotivasi baik dari dalam dirinya
maupun dari luar. Ingin menjadikan desa yang lebih maju dari masa sebelumnya.
Sehingga perubahan sosial secara alamiah ini tidaklah atas datagnya bantuan
pembangunan dari pemerintah, tapi secara alamiah tersebut muncul dari
berkembang desa itu sendiri. Sebenarnya bantuan pembangunan dari pemerin-tah
kalau sangat tanggung/tidak memadai, justru memanjakan masyarakat. Sehingga
jiwa gotong royongnya mereka warga masyarakat jadi hilang.
11. Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas, peneliti
membuat sebagian kecil simpulan-simpulan sebagai berikut:
(1) kiprah PLS dalam pemberdayaan masyarakat, adalah: Sungguh
menggembirakan, jika digulirkannya konsep dari program pemberdayaan masyarakat
untuk kalangan masyarakat pedesaan. Terlebih bagi mereka yang secara sengaja
ataukah kebetulan terlahir hingga dewasa
di kawasan desa tertinggal. Namun karena
berbagai keterbatasan, peran tenaga pendidikan kependidikan (TPK), belum nampak
kiprah mereka di pedesaan;
(2) berbicara potensi sumber daya alam yang berlimpah, merupakan banyak hal
yang belum pernah disentuh. Sehingga kalau tidak sumber daya manusia (SDM) yang
ada di kawasan desa tertinggal yang
harus dapat diberdayakan kepada masyarakat; dan
(3) tentang pelayanan pendidikan luar sekolah di kawasan pantai, Kehadiran
tenaga PLS masih dilihat sebelah mata, dan Kehadiran tenaga lapangan dikmas
(TLD) yang menutup peluang PLS, dan formasi lapangan kerja masih tertutup. Apa
lagi bila kita memperhatikan dampak muratorium terhadap pencari kerja sektor
formal. Sungguh merugikan terhadap dunia pendidikan luar sekolah. Karena angka
tuna aksara tambah sulit penuntasannya.
Daftar Pustaka
Albertus, 2010. Percepat
Pembangunan Desa Tertinggal di NTT,
Kupang.
Amirin, Tatang, M. 1980.
Pokok-Pokok Teori Sistem, CV. Rajawali, Jakarta.
Colly, 1986. Angka Kelahiran
Masyarakat pedesaan, dosen Fakultas Kedokteran Komunitas (FKK) UGM,
Yogyakarta.
Darlan, H.M. Norsanie, 2002.
Penelitian Masyarakat Desa tertinggal Kawasan Pantai, UPI, Bandung.
------------, 2010. Peran Pendidik
dan Tenaga Kependidikan, berita, Lembaga Kantor Beita Antara, Jakarta.
Edi Basuki dan Zainal 2007. Kiprah Tenaga Lapangan Dikmas melalui PKBM dalam
upaya memberdayakan masyarakat, Sidoarjo.
Edy, H.M.
Lukman, 2008. Membangun Bangsa, Membangun Desa, Pada Kementerian Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal meluncurkan desa model yang dicanangkan langsung
oleh Presiden RI, Jakarta.
Faisal, Sanapiah, 1981. Sosiologi Masyarakat Kota Dan Desa, Usaha Nasional
Surabaya.
Media, Tim Akar, 2003. Kamus Lengkap Praktis Bahasa Indonesia, Akar media,
Surabaya.
Rina, 2007. Kiprah Tenaga Lapangan Dikmas melalui PKBM dalam
upaya memberdayakan masyarakat dengan ketelatenan, Sidoarjo.
Sofianty,
Dian dan W. Mehdinsareza, 2007. Pos
Multifungsi di Dalam Pasar Wonokromo, Surabaya.
Sudjana, Djudju, 2000.
Pendidikan Luar Sekolah, PT. Al-falah, Bandung.
Sztompka, Piott, 2004.
Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada, Jakarta.
Taneko, Soleman B,
1986. Konsepsi Sistem Sosial (dan sistem sosial Indonesia) Edisi 1, Fajar
Agung,Jakarta.
Tjahyati, Sri
Peni, 2008. Membangun kerjasama dari beberapa instansi yakni dari Dinas
Pendidikan, PD Pasar, PKK Kota dan Dinas Kesehatan Puskesmas, Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar