Oleh:
H.M.Norsanie
Darlan
Diaparkan
Untuk Tenaga Lapangan Diklas
Dalam
pola Pengembangan Pendidikan Orang Dewasa
Pendahuluan
Tulisan dalam buku kecil
ini diambil dari berbagai sumber pustaka yang memperhatikan terhadap
perkembangan pendidikan luar sekolah (PLS) yang sekarang disebut juga
pendidikan non formal. Diharapkan para tenaga lapangan Dikmas yang tentunya
bervariasi latar belakang pendidikannya. Akan dapat memahami apa sebenarnya
dunia pendidikan luar sekolah yang sebenarnya.
Tantangan yang dihadapi
tenaga lapangan Dikmas dewasa ini, adalah sulitnya menghadapi lapangan kerja di
luar Diknas sementara kran pekerjaan yang tersedia hanya dilingkungan Dikmas.
Dipihak lain, sejumlah perguruan tinggi di Indonesia juga memproduk tenaga PLS
yang dipersiapkan ke arah itu. Diharapkan semakin tahun kran pekerjaan semakin
terpenuhi.
Ada keluhan berbagai
pihak setelah kran pekerjaan untuk TLD dibuka, ternyata dari hasil penelitian
sekelompok orang para (ahli) hasilnya adalah kesungguhan untuk bekerja di dunia
pendidikan luar sekolah ini, tidak seluruhnya memahami, menekuninya. Sehingga
setelah mencapai atau sebelumnya menjadi PNS sudah muncul pemikiran untuk
mutasi atau operhang pada Dinas, Badan atau Instansi yang ada kaitannya dengan
latar belakang pendidikan yang ia miliki. Sehingga ada dugaan yang kuat, bahwa
Dikmas sebagai batu loncatan sekelompok orang untuk mencari kerja di PNS
sementara hasil kerjanya belum menunjukkan bukti yang kuat. Akibatnya merugikan
pihak Dikmas, sehingga kran pekerjaan lain semakin tahun semakin selektif.
Meteri buku kecil ini,
akan menguraikan berupa: beberapa pengertian, pendidikan, pendidikan masyarakat,
TLD dan pendidikan orang dewasa, beberapa masukan, membangun strategi,
konsep diri yang jelas, ekstrapolasi nilai-nilai kehidupan, sukses
story, motivasi pekerjaan. Untuk lebih jelasnya hal-hal yang penulis
kemukakan di atas, mari kita pelajari satu demi satu dalam uraian berikut ini:
Istilah dan Penjelasan
Arti jaringan menurut Moeliono
(1989; 352) adalah: ”... bagan yang menggambaran sebuah tali temali kegiatan di
dalam suatu proyek pembangunan tertentu…”. Sehingga jaringan adalah suatu
sistem yang terdiri atas sejumlah hal, yang dioperasikan oleh suatu organisasi
induk dan sering menyampaikan program yang serupa pada waktu yang sama suatu
jaringan misal pada bangunan dalam bentuk bendungan dan saluran air yang dibuat
oleh pemerintah atau petani untuk membantu pengaturan pengaliran air sesuai
dengan kebutuhan.
Dalam hal komunikasi adalah
sejumlah kegiatan komunikasi yang saling bertautan limpoit jaringan berbentuk
jala yang mengandung limpoit tapis jaringan utama yang terhadap pada tumbuhan.
Sedangkan
menurut ahli bahasa lain, Shadily (1982; 1545) adalah: “… jaringan itu berguna
untuk tujuan berbagai hal yang dibutuhkan untuk kepentingan tertentu…”.
Misalnya dalam perencanaan, jaringan memerlukan suatu penelitian lapangan yang
baik, karena ketepatan sebuah jaringan di suatu daerah sedapat mungkin harus
menggunakan data yang dikumpulkan untuk menentukan keakuratannya. Dengan
demikian jaringan yang kita bicarakan dalam hal ini adalah suatu kerangka kerja
yang harmonis dari Tenaga Lapangan Dikmas baik dengan pihak pemerintah maupun masyarakat untuk
tujuan yang sama agar warga masyarakat yang diayomi mendapatkan suatu bekal
pendidikan yang memadai dalam rangka penuntasan wajib belajar sembilan tahun di
Indonesia.
Bila kita berbicara tentang mitra
atau kemitraan, maka secara sederhana menurut: Moeliono (1989; 588) adalah
suatu: “… teman sahabat kawan kerja, pasangan kerja, rekan…”; Kata lain adalah kemitraan adalah perihal
hubungan (jalinan kerjasama dan
sebagainya) sebagai mitra yang dapat saling menguntungkan.
Sedangkan menurut Shadily (1983;
2264) secara histiros tentang Mitra adalah:”…sebuah sebutan dalam bahasa
Sanskerta, sama dengan Mithtras dalam
bahasa Yunani dan Latin, Mithra dalam persia kuno (= teman). Dewa pujaan konu
India dan Iran. Dalam agama Zoroaster mula-mula sebagai dewa bawahan terhadap
Ahura Mazda, terang dan kebahagiaan. Dalam abad ke 5 ia menjadi dewa utama
Persia…”.
Dengan demikian mitra TLD
yang kita bicarakan di sini tidak lain adalah suatu hubungan kerja dalam upaya
meningkatkan kerjasama kepada berbagai pihak untuk mencari bentuk kesepakatan
yang dapat menghasilkan suatu tujuan yang sama dalam dunia pendidikan luar
sekolah. Kemitraan dimaksud seorang tenaga TLD harus benar-benar mengentahui
kondisi kehidupan masyarakat di mana ia bekerja. TLD yang dapat memberdayakan
masyarakat khususnya dibidang pendidikan. Untuk diketahui bersama bahwa
Depdiknas membuka kesempatan atau kran pekerjaan ini, agar warga masyarakat
berdaya dalam menuntaskan Wajar 9 tahun pada khususnya dan membangun kemitraan
dengan menjalankan ekonomi masyarakat pada umumnya. Sehingga adalah 3 jalur
pendidikan dewasa ini dapat terayomi.
Kemitraan dimaksud merupakan
hubungan kerja kesetaraan satu sama lain. Selain itu juga kemitraan memiliki
konsep saling keterbukaan yang saling menguntungkan. Hal ini erat hubungannya
dengan konsep HAM dewasa ini. Sehingga diharapkan terjadinya saling memahami,
saling menghormati, saling memerlukan dll. Sedangkan pelaku kemitraan adalah:
organisasi, LSM, Agama, Masyarakat, PT, wanita, DPR dll.
Peran Diknas adalah sebagai
mediatur dalam membangun masyarakat yang dewasa ini mudah tersinggung, mudah
marah, sehingga type pendidikan yang bagaimana paling efektif dalam pembangunan
kita guna mencapai manusia seutuhnya. Dan pendidikan dari berbagai jalur perlu
dilakukan agar masyarakat tuna aksara jumlahnya semakin hari semakin menipis.
Adapun istilah pola menurut
Moeliono (1989; 692) adalah: “… suatu gambaran yang dipakai untuk contoh batik;
Corak batik atau tenun; Potongan kertas yang dipakai sebagai contoh dalam
membuat baju dan sebagainya…”. Pola dalam kegiatan kita sekarang ini, tidak
lain adalah menentukan sebuah bentuk pelatihan yang dapat memberikan satu
konsep baru untuk proses pembelajaran pendidikan luar sekolah atau istilah
sekarang disebut dengan pendidikan non formal. Pola yang sulit dilakukan oleh
alumnus di luar PLS adalah karena mahasiswa di program studi PLS selama 4-5
tahun ia diberikan berbagai pola kehidupan masyarakat yang mendekati kesesuaian
dengan aslinya.
Sedangkan pembangunan menurut
Shadily, (1984; 2612) adalah: ”…suatu pertumbuhan, perluasan ekspansi yang
bertalian dengan keadaan yang seharusnya digali dan yang seharusnya dibangun
agar dicapai kemajuan dimasa yang akan datang. Pembangunan tidak hanya bersifat
kuantitatif tetapi juga kualitatif, manusia seutuhnya. Pembangunan di Indonesia
berlandaskan Pancasila dan UUD’1945, dan melalui kebijaksanaan Trilogi
pembangunan….”.
Pendapat lain Moeliono (1989; 77)
adalah :”… suatu proses, pembuatan, cara
membangun; dari atas proses pembangunan yang dimulai dari negara maju melalui
pemerintah. Negara berkembang, diturunkan kepada rakyat; dunia ikhtiar untuk
mengubah keadaan dunia masa lampau yang tidak sesuai dengan cita-cita kehidupan
manusia lahiriah maupun bathniah dengan tujuan agar dapat mewariskan masa depan
yang lebih membahagiakan bagi generasi yang akan datang…”. Misal seperti
Inprasturuktur pembangunan prasarana; politik pembangunan yang mengarah kepada
keinginan perasaan dalam arti warga negara akrif atau terlibat dalam berbagai
kegiatan politik; Prasarana pembangunan dasar atau prasarana politik, ekonomi, dan sosial untuk mendorong
masyarakat berusaha mencapai modernisasi, yang meliputi perubahan istitusianal
untuk mendukung usaha nasional dalam mengembangkan kemudahan seperti jalan, dan
pengaman, komunikasi, pengairan, dan sistem perhubungan; sosial keadaan hidup
yang harus dipandang dari sudut kualitas yang dilihat dari pemilikiran
menyeluruh dan dari sudut kuantitas yang dapat diukur dan diamati.
Pendapat tentang masyarakat
seorang ahli bahasa Indonesia bernama Moeliono (1989; 564) adalah:”… sejumlah manusia dalam arti
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama...”;
Masyarakat desa adalah yang penduduknya mempunyai mata pencaharian utama dalam
sektor bercocok tanam, perikanan, peternakan, atau gabungan dari kesemuanya
itu, dan yang sistem budaya dan sistem sosialnya mendukung mata pencaharian
itu; Sedangkan masyarakat kota adalah yang penduduknya mempunyai mata pencaharian
dalam sektor peradangan dan industri, atau yang bekerja dalam sektor
administrasi pemerintah. Secara majemuk masyarakat yang terbagi dalam kelompok
persatuan yang sering memiliki budaya yang berbeda; jika disebut modern adalah
masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar secara luas, spesialisasi
dibingan industri, dan pemakalaian teknologi canggih, adapun yang pedesaan
masyarakat desa: primitive masyarakat yang mempunyai sistem ekonomi sederhana:
tradisional, masyarakat yang lebih banyak dikuasai oleh adat istiadat yang
lama.
Pengertian masyarakat
menurut Shadily (1983) adalah “…suatu istilah umum dan dan kabur dalam ilmu
sosiologi. Sekurang-kurangnya mengandung 3 pengertian yaitu:
(a) sama
dengan Gesellschaft, yakni bentuk tertentu kelompok sosial seperti dikemukakan
F. Tonnies. Pengertian ini sekarang sudah tidak lazim di pakai lagi;
(b)
keseluruhan masyarakat “masyarakat manusia”, meliputi seluruh kehidupan
bersama. Istilah ini dihasilkan dari
perkembangan ketergantungan manusi yang pada masa terakhir ini sangat
dirasakan;
(c)
menunjukkan suatu tata kemasyarakatan tertentu dengan ciri sendiri (identitas)
dan suatu autonomi (relatif); seperti masyarakat barat, masyarakat soviet,
Amereka.
Dalam pengertian ini, kelompok
suku bangsa primitif yang belum banyak berhubungan dengan dunia sekitar, juga
sering disebut masyarakat, karena kelompok yang demikian juga membentuk suatu
keseluruhan dan menunjukkan hubungan manusia serta nilai-nilai sosial. Para
tokoh terkemukan dibidang sosiologi kebudayaan dan sosiologi seperti PA
Sorokin, S. Spengler, A.J. Toynbee, dan A.Weber juga menggunakan istilah
masyarakat dengan pengertian terakhir itu.
Pendidikan
Arti
Pendidikan menurut Shadily (1984; 2628) adalah:”...berdasarkan sejarahnya
didirikan di Yogyakarta dalam akhir Desember 1931, atas anjuran Sutan Syachrir,
oleh anggota-anggota PNI lama yang tidak setuju dengan membubaran PNI – Lama
yaitu perikatan golongan merdeka yang semula bergabung dalam club pendidikan
nasional Indonesia. Para pemimpinnya ialah Mohamad Hatta. Sutan Syachrir,
Sukemi, Inu Perbatasari, T.A. Murad, Subagyo. Tujuan: membangun masyarakat
berdasarkan saling kerjasama dan persamaan hak, dan yang membahas dari segala
unsur KAPITALISME, IMPERIALISME. Menghapuskan masyarakat berkelas, milik perseorangan,
dan alat produksi ditangan negara. Berhaluan non koperasi. Atas tuduhan
menghasud pemberontakan, beberapa pemimpinnya
ditangkap: Moh. Hatta, Sutan Syachrir, Maskun, Burhanuddin, Murwoto, dan
Bondan, dibuang ke Digul hulu (1934).
Pendidikan Masyarakat
Istilah pendidikan masyarakat
sudah dikenal di lingkungan pemerintah dan masyarakat Indonesia sejak tahun
pertama indonesia merdeka. Menurut Sanapiah Faisal (1981; 52) adalah ”...sudah
muncul suatu jawatan pendidikan masyarakat, bernaung di bawah Kementerian
Pendidikan, pengajaran dan Kebudayaan. Tugas dari jawatan tersebut adalah
membangun menyadarkan, menginsyafkan dan mengisi masyarakat di luar dunia
sekolah, agar tiap warga negara menjadi anggota masyarakat yang sadar, hidup
berguna dan berharga bagi negara, nusa, bangsa dan dunia...”. Kalimat kutipan
di atas, ada hubungannya dengan surat keputusan Menteri P dan K (sekarang
Mendiknas dengan berbagai perubahan) dengan nomor 423/A. 24 Nopember 1949.
Adapun bentuk-bentuk pelaksanaan
pendidikannya yang utama masa itu adalah sebagai berikut:
1.
Kursus-kursus;
2.
Belajar bersama di dalam kelompok-kelompok belajar
(Kejar);
3.
Magang atau Ngernet;
4.
Belajar individu mandiri, seperti di perpustakaan;
5.
Penyuluhan-penyuluhan.
Adapun populasi sasaran didiknya,
terutama ditujukan pada warga masyarakat yang mengalami keterlantaran baik
pendidikan maupun sosial ekonomi pemuda maupun orang dewasa, baik laki-laki
maupun perempuan.
TLD dan Pendidikan orang dewasa
Dalam Perkembangannya, menurut Darlan (2007) bahwa: ”...pendidikan orang
dewasa lebih ditekan pada pokok perbedaannya dengan cara pendidikan yang
tradisional. Tetapi pemisahan yang jelas ini tidak terjadi sekaligus; pada
permulaannya, menjelang abad ke 19, pendidikan orang dewasa ini ditentukan oleh
pola-pola karena tidak ada alternatif...”. Pada waktu itu, sebagian besar orang
yang belajar adalah para pekerja yang sama sekali tergantung pada lembaga umum
serta swasta. Dan pengurus serta stafnya untuk mendapatkan pelajaran; sedangkan
para guru sendiri tunduk pada pola kebudayaan tradisional, pedoman pokok atau
asuhan.
Generasi para pekerja mengikuti
pelajaran pada malam hari, karena mereka disiang hari bekerja mencari nafkah.
Namun belajar, suatu cara untuk mendapatkan kondisi kehidupan yang lebih baik
dan keamanan lebih besar, atau karena mereka mau memenuhi keinginan untuk
memperoleh pengetahuan dan pengertian, atau lagi karena mereka harus mencari
senjata persaingan dalam hidupnya. Sebab setelah mereka melihat teman, kawan
mereka sudah dapat membaca dan menulis maka mereka punya arti yang tinggi dalam
hidupnya.
Tidaklah diragukan lagi bahwa banyak diantara pelajar yang sudah dewasa
telah mengambil menfaat dari usaha mereka ini. Mereka mendapatkan pelajaran,
mereka memperbaiki keadaan mereka dengan salah satu cara mereka mengikuti jejak
peradaban modern yang menuntut pendidikan – tetapi alangkah besar kekecewaan,
salah paham dan kepahitan yang dialami mereka. Makin bersemangat sebagai perintis beberapa pria dan wanita ini, dan makin
berani serta terbuka, maka mereka makin terbentur pada tembok konsep
kebudayaan. Mereka menyadari bahwa pengajaran adalah alat ampuh untuk pembauran
dan keseragaman. Mereka menolak untuk membaurkan diri pada suatu kebudayaan
yang bertabiat borjuis dan konservatif
yang mengagungkan nilai masa lampau, peninggalan, ketertiban dan
keamanan dengan mengorbankan nilai lainnya, perjuangan, pembaharuan dan
keterbukaan. Mereka mengadakan reaksi terhadap bahaya dari suatu kebudayaan
yang menyendiri yang mendengungkan obyektivitas dan pemisahan, sedangkan hal
itu pada hakekatnya adalah alat yang
dipilih untuk mempertahankan kepentingan golongan yang berkuasa. Mereka menolak
dongeng dan kegaiban tentang suatu alasan universal yang asing bagi keadaan lingkungan
dan bagi perjuangan untuk memperoleh pengakuan atas hak dan keadilan sosial.
Menurut Paul Lengrand (1984; 27) adalah”...Suatu sebab kekecewaan lainnya
bagi mereka ialah cara kerja sistem pendidikan.....”. Pelajaran yang mereka
terima dibentuk menurut pola pengajaran tradisional sebagai mana yang diberikan
pada anak: pemberian secara searah, pengetahuan, latihan, tugas, pemeriksaan
apa yang telah dipelajari, ujian dan ijazah. Tidak ada usaha kerah ilmu jiwa
yang menunjukkan perbedaan, kecuali hanya ikut membebek pada sturuktur klasik
tentang masa percobaan saja.
Dengan melawan latar belakang sturuktur intelek, ideologi, budaya dan
metodologi inilah suatu bentuk baru pendidikan orang dewasa lambat laut
berwujud, lahir dan dipupuk agar melepaskan diri dari jejak sekolah dan
tradisional yang universitas, didalam perguruan rakyat (Denmark), organisasi
pendidikan bersama, didalam lembaga pendidikan pekerja atau koperasi, di dalam
gerakan atau perkumpulan rakyat dan sebagainya. Melalui pengalaman yang
diperoleh dalam lembaga gaya baru ini, tumbuhlah sedikit demi sedikit suatu
bentuk baru hubungan pendidikan. Kaum dewasa yang mengikuti pendidikan atau
kegiatan studi, tidak lagi menjadi murid yang tunduk pada disiplin dari luar
dan menerima pengetahuan dari suatu sumber asing. Dari kedudukan tunduk pada
pendidikan – pada azasnya situasi setiap orang yang belajar – ia menjadi alat
pendidikannya sendiri dan kembali menguasai dirinya sendiri sebagai orang
dewasa. Pribadi baru ini menjadi manusia dalam arti yang seluas-luasnya,
dikaruniai pilihan sikologis dan sosiologisnya sendiri, sadar akan dirinya
sendiri dan turut serta dalam berbagai perlombaan yang masing-masing mempunyai
tujuan khusus: perlombaan untuk tetap hidup, perlombaan untuk pengetahuan, dan
perlombaan untuk kemajuan perseorangan serta kelompok. Dari pada dikutuk karena
berkedudukan lebih rendah di dalam hubungannya dengan pengajar yang menjadi
“tuannya”, maka lebih baik murid yang sudah dewasa menjadi kawan usaha bersama
dan di dalam usaha itu ia mampu mengambil maupun menerima: dengan menerima apa
yang didapat dari pelajaran, ia dapat menukarkan kekayaan, yang tidak ternilai
berupa caranya menjadi manusia, dan keberhasilannya mencapai tujuanya sebagai
pekerja, warga negara atau kedudukan lain yang dipergunakan dalam salah satu
situasi dan hubungan yang beraneka ragam. Sejak saat itu penekanan lebih banyak
di tunjukan kepada menjadi daripada mempunyai, dan mempunyai itu hanya sampai
batas akal itu membantu dan membenarkan seseorang, dalam memenuhi kebutuhan dan
meningkatkan taraf perkembangan kehidupan pribadi berikutnya.
Kekuatan pengerak dibelakang
pendidikan gaya baru ini juga berbeda sama sekali dengan pendidikan yang
menentukan cara mengajar anak, antara lain kewajiban. Mau tidak mau, karena
undang-undang dan orang tuanya, anak itu terpaksa meninggalkan permainan dan
perintang waktu demi kegiatan yang kepentingan dan daya tariknya tidak selalu
jelas baginya. Hasilnya ialah suatu keteguhan yang kuat dalam lembaga
pendidikan tetapi pada saat yang sama merupakan juga merupakan semacam kebekuan
dan kekolotan.hal demikian ini tidak lagi memengaruhi kaum dewasa. Tentu saja
ia dapat tunduk pada batasan atautekanan tak langsung, beberapa diantaranya ada
yang bercorak ekonomi dan yang lain bercorak politik. Tetapi seorang dewasa
jarang didorong dengan paksaan untuk duduk dibangku sekolah. Yang umum berlaku
ialah bahwa ia hanya akan mengorbankan waktunya yang luang dan turut serta
dalam kegiatan pendidikan kalau didorong oleh kepentingan dirinya sendiri,
jikalau ia menyadari kaitan antar apa yang ditawarkan kepadanya dan bila mana
tidak terdapat hubungan itu, maka penyelesaiannya adalah orang dewasa itu
menjauhkan diri, atau kalau ia memberanikan dirinya, maka ia akan segera
meninggalkan eksperimennya.
Pendidikan orang dewasa, dewasa ini sedang hangat dibicarakan dalam rangka
rapat panitia ad hoc oleh SK Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, di
Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) yang pekerjanya salah seorang
penulis makalah ini. Dan kebetulan di Kalimantan hanya satu-satunya yang ada di
Pulau terbesar di tanah air kita. Penulis Guru Besar Bidang Pendidikan Luar
Sekolah (PLS) yang kebetulan dicari Mendiknas untuk membicarakan konsep negeri
kita tercinta ini, ke depan 15 sampai 25 tahun yang akan datang.
menurut Darlan (2007) adalah:”... dalam dunia pendidikan luar sekolah (PLS)
ternyata banyaknya buta huruf, diawali ketidak perdulian pemerintah dalam
menempatkan tenaga kerja di bidang PLS itu sendiri...”. Dalam arti makro
pekerjaan bidang pendidikan di tempatkan mereka
bukan ahli bidang pendidikan itu. Akibatnya program yang dilancarkan
tidak kena sasaran. Sehingga ”....angka buta huruf kok tak kunjung tuntas..,”
Karena penanganan hal itu, belum bisa terpecahkan.
Bila kita mengurai apa itu pendidikan, maka secara luas pendidikan (Lat.:
educare = mengantar keluar). Proses membimbing termasuk membimbing masyarakat
tuna aksara seperti yang kita hadapi sekarang adalah bimbingan dari manusia
kepada manusia. Memurut Shadily (1984;
2627) Dari ”....kegelapan kebodohan ke kecerahan pengetahuan...”. Dalam arti luas, pendidikan baik yang formal,
nonformal maupun informal meliputi
segala hal yang memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan
tentang dunia di mana mereka itu hidup.
Menurut pendidikan terbagi dalam 3 macam yakni:
1. Dresur yakni
pendidikan yang berdasarkan paksaan; dilakukan pada anak-anak yang umurnya
belum 1 tahun;
2. Latihan, dimaksudkan untuk membentuk kebiasaan yang
dilakukan sedapat-dapatnya secara sadar oleh anak didik;
3. Pendidikan,
dimaksud untuk membentuk kata hati; anak didik,
warga belajar agar berbuat menurut kesanggupan sendiri, dan menentukan
kelakuan sendiri atas tanggung jawab sendiri pula.
Pendidikan dimaksud diberikan agar mereka sampai dianggap sanggup berdiri
sendiri pada bidangnya. Dalam jalur
pendidikan pendidikan orang dewasa tentu pendidikan tidak semudah pendidikan
formal. Pendidikan orang dewasa menurut: Lyra Srinivasan (1981; 20)
bahwa:”...lebih cenderung menggunakan pendekatan tersendiri, karena warga
belajarnya orang dewasa ini jauh berbeda dengan yang lain, mareka
pendekatannyapun tidak semudah pada jalur pendidikan formal. Pendidikan orang
dewasa lebih banyak menggunakan andragogi suatu teknologi keterlibatan atau
partisipasi masyarakat dalam pendidikan orang dewasa itu sendiri...”.
Pendidikan orang dewasa menurut tokoh di atas sangat luas. Memerlukan
beberapa pendekatan. Karena kita ketahui bersama bahwa pendidikan kepada mereka
yang tidak pernah bersekolah atau karena putus sekolah itu, mereka harus
mengikuti pendidikan nonformal, dengan harapan mereka akan memiliki seperangkat
pengetahuan dan keterampilan serta perubahan sikap psikologis, khas
diantaranya: memiliki rasa rendah diri jika berada di ruang belajar. Walau
secara praktisi jika ia mengemukakan suatu pengalamannya ada kalanya jauh lebih
baik dalam pada bidang tertentu dibanding mereka yang telah memperoleh
pendidikan formal.
Berbagai masukan
Menurut Nugroho (2004) adalah:
“…Hidup sejahtera adalah impian setiap orang. Namun demikian, dalam
kenyataannya tidak semua orang punya kesempatan dan bisa mewujudkan impian
mengapai kehidupan yang sejahtera Hampir setiap orang menyiapkan dirinya untuk
bisa menjadi orang sukses di bidangnya. Untuk menuju hidup sukses,
masing-masing individu membekali diri dengan pengetahuan dan ketrampilan, yang
ditempuh melalui pendidikan formal, kursus dan magang kerja….”.
Sesungguhnya semua orang memiliki
peluang yang sama untuk menjadi sukses; meskipun bekal pengetahuan dan
ketrampilan yang dimiliki sering sangat berbeda. Perbedaan modal awal indah
yang sering berakibat pada kesenjangan kualitas kesuksesan antara individu yang
satu dengan yang lain. Meski demikian fakta empiris menunjukkan bahwa gagal
atau suksesnya seseorang dalam menjalani hidupnya (merintis usaha), antara lain
sangat ditentukan oleh character kepribadian seseorang.
Berbagai riset yang dilakukan
pakar psikologi, menunjukkan bahwa ada sejumlah sifat dasar yang menjadi
karakter kepribadian orang-orang yang sukses di bidangnya. Menurut Markum
(2003) orang-orang yang sukses di bidangnya (baik menjadi wirausaha, artis,
atlit dsb) umumnya memiliki sifat-sifat:
1.
Suka bekerja keras, 2.
2.
Memiliki disiplin yang tinggi;
3.
Komitmen (task commitment),
4.
Prestatif;
5.
Mandiri,
6.
Realistik.
Sifat-sifat tersebut membangun
satu kesatuan karakter kepribadian individu. Sedangkan pakar yang lain
Benediccta, (2003) dan Nugroho (2004) mengidentifikasi sejumlah ciri
kepribadian orang yang sukses dalam lingkup wirausaha adalah mereka yang
memiliki ciri-ciri:
a. punya keyakinan diri (percaya
diri);
b. luwes dalam bergaul
(flexibility),
c. instrumental.
d. kerja keras.
e. swa kendali.
f. pengambilan resiko,
g. kemandirian,
h. inovatif,
i. prestatif.
Jika dicermati maka sesungguhnya
sukses bukan hanya sesuatu yang tampak dari kulit luar saja, melainkan sesuatu
yang bersumber dari konstruksi karakter kepribadian yang ada di dalam diri
seseorang. Sayangnya, masyarakat umumnya hanya memandang keberhasilan
pertama-tama dari penampilan kulit luarnya saja; tanpa memahami kedalaman
dimensi-dimensi kepribadian yang dimiliki orang sukses tersebut. Dengan kata
lain, dapat disebutkan bahwa jika hendak mencapai sukses pelajarilah lebih dulu
sejumlah sifat atau karakter kepribadian yang menjadi prakondisi menuju sukses;
jangan sekali-kali hanya meniru gaya hidup orang sukses, tanpa tahu substansi
"ruh" kepribadian untuk menjadi sukses.
Kedua pakar tersebut menemukan
sejumlah ciri kepribadian pada orang-orang sukses yang hampir sama. Yang
menjadi persoalan adalah bagaimanakah cara membangun karakteristik kepribadian
dengan sejumlah ciri-ciri kepribadian seperti tersebut diatas? Bagaimana
membangun karakteristik kepribadian pada diri orang yang sudah dewasa ?
Membangun Strategi
Membangun karakteristik
kepribadian dengan sejumlah ciri-ciri seperti di atas membutuhkan sejumlah
strategi, apalagi jika hal itu ditujukan kepada orang yang sudah dewasa yang
umumnya kepribadiannya sudah terbentuk Hal ini tentu sangat berbeda dengan
pembentukan kepribadian di masa kanak-kanak. Strategi yang tepat untuk
diterapkan pada orang dewasa adalah real experience. Artinya, memberikan
pengalaman langsung kepada setiap subyek untuk merasakan, mengalami dan
mengevaluasi sendiri berbagai keadaan yang ada disekelilingnya untuk mencapai
suatu kesimpulan, penghayatan batin dan sikap atas peristiwa-peristiwa yang
dialami sendiri (jangan ada kesan mengurui). Variasi ragam pengalaman seperti:
sukses, gagal, rintangan, kesulitan, tekanan (stress), ketegangan (tension) dan
frustrasi hendaknya dihadirkan secara silih berganti dan kadang-kadang perlu
dihadirkan secara bersamaan. Hal ini dimaksudkan untuk uji coba seberapa jauh
mereka bisa menemukan kendali diri, keuletan, kelenturan dan kesabaran serta
kegigihan untuk mencapai prestasi dalam memecahkan masalah tanpa harus
menyalahkan pihak lain.
Yang tak kalah pentingnya dalam
membentuk karakter yang positif adalah dengan jalan menyulut kehidupan fantasi
dan imajinasi setiap individu. Perlu ditekankan pada mereka untuk mencoba
membayangkan dalam imajinasinya keberhasilan dalam bidang apa, dan keberhasilan
yang bagaimana yang mereka impikan dalam hidupnya Imajinasi ini merupakan suatu
spirit yang sangat penting dalam menentukan kegagalan atau keberhasilan
seseorang. Merujuk pada teori psikoanalisa, dikatakan bahwa apa yang paling
diinginkan, dibatinkan atau dibayangkan untuk terjadi dalam hidupnya; akan
mewujud dalam kehidupan seseorang. Jadi jika sejak kecil seseorang bercita-cita
(membayangkan dan berkehendak) untuk menjadi artis, peragawati, atau atlit;
maka ia akan mengarahkan hidupkan menuju cita-cita tersebut. Demikian juga pada
orang dewasa, jika ia berkehendak maka la akan berusaha untuk mewujudkan
kehendak tersebut.
Konsep diri yang jelas
Sukses atau gagalnya seseorang
dalam menjalani kehidupan antara lain ditentukan oleh jelas atau tidaknya
konsep diri. Konsep diri (self concept) merupakan gambaran tentang kesadaran
akan diri sendiri yang mencakup kekuatan dan kelemahan yang dimiliki serta
harapan kehidupan yang dicita-citakan atau tujuan hidup yang hendak dicapai.
Konsep diri sesungguhnya memuat real self (kenyataan tentang diri sendiri) dan
ideal self yang memuat sejumlah keinginan, harapan dan gambaran ideal yang
diimpikan bisa diwujudkan dalam hidupnya.
Konsep diri yang positif dan
realistik akan menjadi landasan bagi munculnya kecenderungan perilaku dan cara
berpikir yang positif. Individu yang berhasil mengembangkan Konsep diri yang
positif dan realistik akan menjadi pribadi-pribadi dengan watak yang kuat
dengan kendali diri internal (internal locus of control). Artinya, ia akan
mampu mensikapi semua kesulitan dan kegagalan yang dialami dari perspektif
berpikir yang positif yang memposisikan diri sendiri sebagai penentu gagal atau
berhasilnya usaha yang dilakukan. Orang dengan konsep diri yang demikian ini
akan selalu sanggup memahami kegagalan ataupun keberhasilan sebagai suatu media
untuk belajar guna meningkatkan diri.
Sebaliknya, jika individu tidak
mampu mengembangkan konsep diri yang positif maka yang terjadi adalah
berkembangnya konsep din yang negatif sehingga mereka menjadi manusia dengan watak
dan kepribadian yang cenderung berpikir negatif dan bersifat eksternal locus of
control (kendali diri secara eksternal). Artinya, setiap mereka menghadapi
keberhasilan atau kegagalan tidak pernah dipahami sebagai akibat dari usaha
keras yang dia lakukan, melainkan dipahami sebagai akibat dari faktor-faktor di
luar dirinya seperti keberuntungan, kesempatan dan sejenisnya. Jika orang
berkembang dengan konsep diri negatif, maka ia akan cenderung berpikir negatif
pula terhadap diri sendiri, dan suka mengkambinghitamkan lingkungan dalam
memahami kegagalan yang dihadapi.
Ekstrapolasi Nilai-nilai
kehidupan
Disamping membangun konsep diri
yang positif dan realistik, untuk membangun karakter menurut Nugroho (2004)
adalah:”...diperlukan pula kesanggupan untuk mengekstrapolasi nilai-nilai
kehidupan yang saat ini dimiliki dan dijadikan rujukan perilaku dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam membangun karakter seseorang diperlukan kesanggupan
melakukan identifikasi nilai-nilai kehidupan untuk dilakukan evaluasi dan verifikasi;
mana nilai-nilai yang relevan dengan harapan dan cita-citanya serta sesuai
dengan perubahan jaman dan masyarakat di sekelilingnya. Hal ini mutlak perlu
dilakukan dalam setiap upaya membangun karakter, agar dapat dikenali lebih awal
mana nilai-nilai kehidupan individu yang tidak mendukung karakter kepribadian
yang positif can mana nilai kehidupan yang sudah sesuai dengan karakter
kepribadian yang positif...”.
Ekstrapolasi nilai-nilai dan
verifikasi nilai pada diri orang yang sudah dewasa cukup mudah untuk dilakukan,
karena nilai-nilai kehidupan pada diri orang dewasa relatif sudah jelas dan
mapan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara merubahnya jika ditemukan
ada nilai-nilai kehidupan yang tidak cocok atau negatif bagi perkembangan
watak dan kepribadiannya. Pada kondisi seperti itu diperlukan kesadaran yang
mendalam dari individu yang bersangkutan, serta kerja keras yang terus
berkesinambungan dan pihak pendamping. Menerima dan mengadopsi nilai-nilai baru
memang tidak bisa dilakukan secara langsung can sekaligus secara total. Perlu
cara-cara yang sifatnya halus dan perlahan-lahan namun konsisten dalam jangka
waktu yang lama. Mengacu pada teori-teori personality pada mazshab
environmentalis, pengubahan atau adopsi nilai-nilai baru juga perlu prakondisi
lingkungan yang memungkinkan perubahan tata nilai tersebut dapat berlangsung
dan individu tidak mudah berbalik lagi pada nilai-nilai lama. Ringkasnya, untuk
menunjang suksesnya proses adopsi nilai-nilai diperlukan pengelolaan lingkungan
yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan nilai-nilai baru.
Sukses story
Mempelajari atau mendengarkan
kisah sukses orang lain merupakan salah satu cara untuk membangun karakter.
Mengacu pada teori belajar sosial yang diajukan oleh Bandura (1993) dan Nugroho
(2004) di nyatakan bahwa:”...suatu perilaku dapat dipelajari dengan cara
modelling...”. Artinya, orang-orang yang sukses itu dapat menjadi model atau
contoh. Belajar dari keberhasilan orang lain merupakan cara sederhana yang
relevan dengan kondisi orang dewasa yang biasanya enggan diajak berteori. Bagi
orang dewasa, melihat bukti nyata lebih menarik ketimbang mempelajari beragam
teori yang tidak jelas implementasinya. Melalui kisah nyata ataupun bertemu
dengan orang-orang yang sudah sukses merintis usaha akan dapat mengilhami,
meniru (dengan modifikasi), mengetahui berbagai liku kehidupan untuk menuju
sukses. Dari situlah seseorang dapat mengambil hikmah dari setiap peristiwa dan
mengadopsi nilai-nilai, cara kerja serta semangat hidup yang menjadi sumber
kekuatan seseorang hingga dapat meraih sukses.
Mengikuti kisah sukses dari
seseorang, dapat menumbuhkan inspirasi dan keberanian pada diri individu yang
semula memiliki karakter penakut atau peragu. Kisah sukses biasanya mengandung
liku perjalanan karir seseorang yang tidak selalu langsung menjadi sukses,
melainkan sering disertai kisah sedih kegagalan, kehancuran dan
ketidakberdayaan. Namun sang tokoh biasanya tidak larut dalam kehancuran
melainkan sebaliknya berani bangun berusaha kembali menjadi lebih gigih, lebih
hati-hati dan lebih kreatif inovatif. Hal-hal semacam itu akan memberi
inspirasi dan spirit baru sehingga mampu membangun karakter kepribadian yang
positif bagi siapapun yang menyimak kisah sukses tersebut.
Motivasi Pekerjaan
Dilihat dari segi sifatnya,
tentang motivasi menurut: Ikel, (2006; 7) mencakup motivasi yang memberi
harapan, menyadarkan, dan upaya paksaan. Motivasi yang memberi harapan yaitu
motivasi yang mendorong atau merangsang harapan (expectation), kebutuhan, dan
keinginan seseorang atau kelompok untuk melakukan sesuatu. Jenis motivasi ini
sering dilakukan dalam bentuk pemberian rangsangan (incentive) dan pemberian
penghargaan seperti pujian, hadiah dan peningkatan karir. Motivasi yang
bersifat menyadarkan yaitu menggerakkan yang bersifat ajakan (persuasion)
sehingga seseorang atau kelompok melakukan kegiatan yang harus dikerjakan. Dalam
pelaksanaannya jenis motivasi ini terdiri atas beberapa tahapan kegiatan yaitu
: (1) Menarik perhatian. Dalam tahapan ini pihak yang memotivasi (motivator)
harus mampu menumbuhkan perhatian seseorang atau kelompok yang dimotivasi
terhadap tugas atau kegiatan yang harus dilakukan, (2) Menggugah hati. Dalam
kegiatan ini motivator dapat menumbuhkan rasa kebermaknaan pada sasaran yang
dimotivasi terhadap nilai-nilai yang terdapat dalam tugas atau kegiatan yang
akan dilakukan, (3) Membangkitkan keinginan, dan semangat kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Darlan, H.M. Norsanie, 2006. dasar-dasar
PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH (Di Kuba, Denmark, Cina,
Laos, Tanzania dan Jepang), Edisi ke dua,
FKIP Universitas Palangka Raya.
------------, 2007. Metoda belajar dan mengajar orang dewasa, Paparkan
Pada Orientasi Pembimbing Calon Haji Provinsi Kalimantan Tengah Rabu 11 Juli
2007.
Faisal,
Sanapiah, 1981. Pendidikan Luar Sekolah, Di Dalam Sistem Pendidikan dan
Pembangunan Nasional, Usana, Surabaya.
Gasan,
Ikel, 2006. Character Building, Balai Pengembangan Kegiatan Belajar,
Palangka Raya.
Lengrand, Paul, 1984. Pengantar Pendidikan Sepanjang
Hayat, Gunung Agung, Jakarta.
Moeliono,
Anthon, 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan
Kebudayaan RI, Jakarta.
Nugroho,
2004. Character Building, Direktorat Jend. PLS, Depdiknas RI, BPPLS,
Semarang.
Poerwadarminta,
WJS, 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Shadily,
Hasan, 1980. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, jilid 2, Jakarta.
------------,
1982. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, jilid 3, Jakarta.
------------,
1983. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, jilid 4, Jakarta.
------------,
1984. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, jilid 6, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar