oleh:
H.M. Norsanie Darlan
Universitas Palangka Raya
Dalam dialog TV-one kamis, 24 Mei lalu 2012,
sungguh memprihatinkan. Karena terindikasi ada beberapa perguruan tinggi
yang memproduk sarjana dan meluluskan
sebelum matang. Hal ini disebutkan oleh sejumlah mahasiswa yang merasa tidak
nyaman melihat teman-temannya sudah wisudah, sementara mahasiswa seangkatan
yang sama masih harus menempuh sejumlah mata kuliah yang belum selesai dalam
studinya. Tapi kenapa ada temannya yang lain, kok sudah diwisuda. Oleh
perguruan tinggi yang sama. Bahkan di jurusan yang sama. Sehingga mahasiswa
yang lain jadi keberatan.
Utusan Kementrian pendidikan dan kebudayaan, dari dirjen
pendidikan tinggi (Dikti), sepertinya tidak terlepas dari berbagai benturan.
Tapi yang jelas kita sama ingat bahwa di awal tahun 2000-an lalu, juga terjadi
pada hotel-hotel mewah di puncak mewisuda: S-1, S-2 dan S-3 yang perguruan
tingginya tidak diketahui di mana lokasinya. Peristiwa kali ini, ijazah asli
tapi palsu (Aspal) tidak muncul dari pergurun tinggi tanpa nama, tapi dari
berbagai penguruan tinggi yang sudah punya nama. Hanya saja karena mewisuda mahasiswa
yang tidak cukup waktunya. Sehingga mahasiswa yang lain merasa keberatan. Kasus
ini menjadi nampak kriminal, karena melanggar kaidah hukum.
Saya sepakat apa yang dikemukakan Mayjen Saut
Lubis kepala Divisi Humas Mabes Polri. Perbuatan perguruan tinggi yang memperjual belikan ijazah. Melanggar
Undang-Undang. Karena secara jelas dalam Undang-Undang nomor 20/2003. Bab XX
ada ketentuan pidana. Pelanggar akan menerima hukuman pidana fisik dan denda satu
meliar rupiah, dan hukuman fisik 10
tahun. Apakah pihak penyelenggara pendidikan, ataukah si penerima ijazah Aspal.
Demikian juga lembaga atau tempat pelayanan pembuatan skripsinya.
Sayangnya bencana dalam dunia pendidikan seperti
ini, pihak berwajib/berwenang masih melihat, mendengar dengan sebelah mata.
Karena biasanya perguruan tinggi yang mau memproduk seperti ini, juga banyak
disenangi oleh calon mahasiswa yang ingin cepat lulus dan segera mendapatkan
gelar kesarjanaan. Di pihak lain, dimata masyarakat perguruan tinggi itu,
merusak citranya sendiri. Kasihan para dosen tentu tidak seluruhnya mau mata
kuliah yang ia bina, tiba-tiba mahasiswa yang kuliah dan belum lulus dengan dia
tiba-tiba sudah diwisuda. Ini suatu perbuatan kesalahan yang sangat fatal. Dan
pemerintah perlu membasmi ke akar-akarnya. Apa lagi bila mahasiswa yang sedag
dalam bimbingan dengan dosen pembimbingnya, tiba-tiba perguruan tingginya
mewisuda mahasiswa yang bersangkutan. Ini suatu perbuatan pelecehan ilmiah. Dan
harus berhadapan dengan hukum. Karena si mahasiswa harusnya menyelesaikan
bimbingan skripsi/thesisnya hingga selesai. Baru mahasiswa itu di Yudisium dan
di wisuda. Kalau belum selesai bimbingan, mana karya ilmiah yang ditulis
mahasiswa itu ?. apakah mahasiswa itu lulus dengan tanpa skripsi/thesis ?.
tentu plagiatisme terjadi disini.
Sebenarnya membina mahasiswa jangan dibedakan
antara anak dengan yang lain. Jangan juga membedakan mahasiswa yang punya duit
dengan simiskin. Mereka harus diperlakukan dengan hak yang sama. Kalau tidak
inilah yang bakal terjadi berupa ijazah sarjana aspal. Dari sudut pandang lain,
kurangnya pengawasan. Apakah dari Dirjen Dikti, kopertis dan masyarakat. Ada
kalanya masyarakat acuh-tak acuh saja dengan kasus seperti ini, walau mereka
tahu bahwa perguruan tinggi tersebut terjadi penjualan ijazah Aspal. Di daerah,
peran Polda, Polres untuk menjemput bola jika terjadi pemberian ijazah yang
tidak pada tempatnya.
H.M.Norsanie Darlan, Guru Besar S-1 dan S-2 PLS Universitas Palangka
Raya
Dunia makin gila, yang palsu dianggap enak, yang asli dianggap menyulitkan.
BalasHapus