Oleh:
H.M.Norsanie Darlan
Faktor karena ketidak
tahuan, dan sering diremehkan. Maka kali ini perlu kita mengkaji
jalur pendidikan yang ada pada Undang-Undang nomor 20 tahun 2003, yang secara
jelas pada Bab VI pasal 26 (butir 1)
pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai penganti, penambah, dan /
atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang
hayat.
Dalam (butir 4) satuan
pendidikan nonformal terdiri dari atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta
satuan pendidikan sejenis. Mudah memang, tapi tidak mudah dalam pelaksanaannya.
Untuk 2 butir dari 7 butir yang tertuang dalam UU
no 20/2003 tersebut banyak yang salah mengartikan. Terlebih dalam dunia
managerial pendidikan. Seperti di dinas pendidikan banyak orang berangkapan siapapun
bisa melaksanakan hal itu. Ternyata tidak. Tapi bagi mereka yang ditempatkan
ini pasti pusing sendiri. Karena beda dengan jalur formal. Dari hasil
penelitian para dosen PLS Universitas Palangka Raya, lebih banyak gagalnya dari
keberhasilan. Biasanya kebanyakan tenaga sturuktural mencari jabatan. Sedangkan
jabatan itu yang sering kosong seperti: Subdin/Bidang PLS. sekarang disebut
juga bidang PAUDNI, tapi tidak masuk dalam Undang-Undang. karena bidang ini
teknis, dikerjakan oleh yang bukan ahlinya. Maka tunggu kehancurannya. Karena
setelah ia duduk pada jabatan itu, di sana ada PAUD seperti tertuang dalam
butir 3 pada Bab VI pasal 26 di atas, ada lembaga kursus, lembaga pelatihan dan
PKBM. Padahal selama sekolah tidak pernah bertemu dengan hal itu. Sehingga
sering terjadi kesalahan fatal dalam menjalankan tugasnya. Ini karena ketidak tahuan si pejabat
tersebut. Misal suatu ketika seseorang
mencari data warga masyarakat yang tuna aksara, dengan ketidak tahuannya, maka
data tuna aksara diperkecil untuk tujuan kinerjanya. Padahal di setiap desa
masih ada mereka yang usia produktif.
Dan karena sesuatu dan lain hal, mereka tidak sempat mengenyam
pendidikan. Dengan sangat menyesal mereka yang belum tuntas sekolahnya ini,
terlaporkan sudah bisa baca tulis. Masih banyak kasus lainnya.
Sedikit lucu, karena
ketidak tahuan pada jalur PLS tersebut, ada tugas-tugas bidang PLS diserahkan
kepada mereka yang bukan PLS. laporan yang diterima Jakarta, sering
diinformasikan ke program studi PLS oleh mereka dari Kementrian Pendidikan
Kebudayaan, khususnya dari Dirjen PLS. Mereka menanyakan kenapa pekerjaan dosen
program studi PLS dikerjakan oleh ahli lain. Sehingga tujuan yang mereka
harapkan jadi tidak tercapai. Karena yang mengerjakan juga asal jadi. Mungkin
ketakutan kalau diketahui oleh para dosen PLS. Kepada Pemerintah Daerah dalam
penempatan tenaga khususnya bidang PLS/PNFI sebaiknya cari sarjana PLS. agar
program yang dilancarkan tidak asal jadi. Kalau kinerja berdasarkan kompetensi
tentu harus hati-hati.
Sebetulnya banyak
sarjana PLS baik alumnus dari Unpar maupun dari luar Kalimantan dengan
menempati berbagai jabatan. Selain itu juga mereka sebagai guru, sarjana PLS
ini, telah dibekali kalau jadi guru dengan kewenangan mengajar: antropologi dan
sosiologi. Karena selama kuliah mereka satu setengah tahun dibekali hal itu.
Demikian juga yang memilih non guru telah dibekali seperangkat tugas
administrasi PLS yang seharusnya di dudukkan pada bidang PLS.
Sekarang bagaimana kalau
kuliah di S-2 PLS Unpar. Mereka dibekali oleh para dosen dalam dan luar Unpar
seperti dari Universitas Pendidikan (UPI) Bandung dan Universitas Negeri Malang
(UNM). Mereka itu, dosen-dosen S-1, S-2 dan S-3 PLS. Bukan hanya dosen yang
didatangkan begitu saja. Mahasiswa PLS sangat keberatan kalau di S-2 PLS Unpar
dibina oleh dosen bukan PLS. Karena kita berbeda jalur ada yang pada jalur
formal dan ada pula yang pada jalur nonformal. Tenaga dosen yang mendidik
mahasiswa S-2 PLS adalah mereka yang memang tahu persis asam garam dunia PLS.
Kalau mereka mahasiswa dididik oleh dosen yang bukan PLS percuma mendirikan
program Magister PLS. Karena PLS adalah bidang ilmu teknis,
beda dengan jalur formal. Kata mahasiswa S-2 PLS ada benarnya, kalau
mereka dibimbing oleh dosen bukan dosen PLS, berarti gelar: M.Pdnya lagi bukan
PLS. (Penulis Guru Besar PLS Unpar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar