Oleh :
H.M. Norsanie Darlan
( Paparan 12 Desember 2011 pada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah
Provinsi Kalimantan Tengah)
Pendahuluan
Buku mecil berjudul
Upaya Pemasyarakatan Perpustkaan dan Minat Baca Masyarakat ini, merupakan
sebuah tulisan sederhana, yang dituangkan di atas kertas untuk tujun agar
menjadi bahan bacaan masyarakat yang sekarang, berbagai bahan bacaan telah
dituangkan baik dalam sebuah buku, majalah, koran, spanduk, poster dan berbagai
media lainnya.
Namun dalam dunia
pendidikan luar sekolah yang penulis tekuni, sebenarnya belajar membaca itu,
tidak seluruhnya dalam bentuk tulisan seperti: buku, majalah, koran, tabloit
dan sebagainya. Tapi kita bisa belajar pada lingkungan alam sekitar. Dan jika
lingkungan sekitar itu, bisa kita tulis dan dituangkan dalam sebuah buku, alangkah
indahnya karya kita itu. Dan dapat disumbangkan bagi generasi penerus bangsa.
Walau masa sudah berlalu, tapi ide yang kita tulis selama masih belum hilang
buku yang kita tulis itu, walau seabad atau lebih berlalu, ia tersimpan di
perpustakaan dengan rapi, maka generasi penerus bangsa dapat membacanya apa dan
bagainya peristiwa masa lampau. Hal ini terbukti seperti: teori Fransys Bacon,
David Jones: Adult Education And Cultural Development, Alan Rogers, Ivan Elich,
Paulo Freire, John Loce. Jhon Dewey, dll
(mohon ma’af kalau keliru menulis namanya).
Buku ini mengurai
berbagai masalah tentang pemanfaatan perpustakaan dan motivasi budaya membaca
yang dewasa ini siapapun yang kurang membaca, ia akan ketinggalan. Untuk lebih
jelaskan isi buku ini, penulis akan mengurai secara sederhana hal-hal yang
berkaitan dengan tersebut akan di urai di bagian lain:
Tujuan
Penulisan
Adapun buku ini
ditulis, adalah ingin menguraikan hal-hal berhubungan dengan minat baca
masyarakat, agar budaya membaca dapat memanfaatkan buku sebagai sumber belajar
masyarakat walau dalam segala keterbatasan. Selain itu tujuan penulisan ini
adalah: turut serta dalam pengembangan budaya baca dalam upaya pembinaan
perpustakaan di Kalimantan Tengah. Sehingga pemasyarakat perpustakaan menjadi tempat
dan sumber minat baca masyarakat masa kini dan masa datang.
Berbagai
Pengertian
Pemasyarakatan
Adapun apa maksud
pemasyarakatan ini tidak lain adalah sosialisasi perpustakaan agar menjadi
sumber belajar masyarakat di mana saja. Termasuk di Perpustakaan Daerah
Kalimantan Tengah. Sedangkan arti secara harpiah dari pemasyarakatan menurut
Syaikh Taqyuddin An-Nabhani (2007) adalah:”... sekelompok manusia dapat
dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta
sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian
berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan...”.
Sedangkan arti
pemasyarakatan adalah keselompok manusia yang terpelajar dalam budaya membaca,
untuk masa depan yang lebih baik dari masa sebelumnya.
Perpustakaan
Adalah arti dari
perpustakaan dalam kamus besar bahasa Indonesia yang ditulis oleh
Poerwadarminta (1986) adalah:”...(1) tempat, gedung, ruang yg disediakan untuk
pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku dsb; (2) koleksi buku, majalah, dan
bahan kepustakaan lainnya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari,
dibicarakan...”.
Kurangnya
Minat Baca
Chika (2011)
3.
9.Melakukan
seminar dalam berbagai hal terhadap generasi muda dengan jumlah yang lebih
banyak, sebagai upaya movitasi belajar membaca.
Masyarakat
Jika kita mengkaji konsep lama tentang
masyarakat adalah sekelompok manusia yang menempati di suatu wilayah.
Penulis mengambil pendapat salah seorang tokoh senior PLS kita: Sanapiah Faisal
(1981) bahwa: “… masyarakat dibagi dalam 3 kelompok besar, masing-masing; Pertama:
masyarakat perkotaan; Kedua: masyarakat pinggiran kota; dan Ketiga:
masyarakat desa pedesaan...”. Dengan
demikian dalam hal minat membaca bagi masyarakat ini, apakah di perkotaan,
pinggiran kota, apa lagi desa pedesaan masih sulit kita wujudkan. Kecuali ada
jamping yang sungguh dapat menjadikan masyarakat berdaya.
Rendahnya
Budaya Baca
Rendahnya budaya baca,
di berbagai kalangan memang tidak semua perpustakaan rapat dikunjungi
masyarakat. Karena budaya membaca tentu sebaiknya tertanam sejak dari
anak-anak. Karena kalau sudah dewasa baru muncul minat baca adalah sebagai
kesadaran yang hampir terlambat.
Kita sama maklumi
setiap tanggal 17 Mei di peringati sebagai Hari Buku Nasional. Memang, pamor
momentum tersebut, kalah jika dibandingkan dengan momentum lainnya, seperti
Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) atau Hari Kebangkitan Nasional (21 Mei). Itu
disebabkan banyak faktor, salah satunya ialah karena buku dan aktivitas yang
terkait dengannya, seperti membaca dan menulis, tidak begitu populer di
kalangan masyarakat Indonesia. Benarkah demikian? Tentu tergantung pada
kemajuan daerahnya.
Menurut Admin,
(2008) adalah: “...Semasa ia duduk di bangku sekolah, ada satu ungkapan menarik
yang sering diungkapkan oleh guru-gurunya. Yaitu, ungkapan “membaca adalah
kunci ilmu, sedangkan gudangnya ilmu adalah buku.” Sepintas ungkapan itu
sederhana, namun di dalamnya terkandung makna penting...”. Bahwa membaca (iqra)
ternyata merupakan perintah Allah SWT kepada seluruh umat manusia, sebagaimana
tertuang dalam QS Al-Alaq [96] ayat 1-5.
Selain itu
artinya membaca menurut Admin, (2008): “...Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang
Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan
kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya....” Dengan
demikian, berkat membaca kelak kita bisa lebih mengenal Allah SWT. Tak hanya
itu, kita juga bisa mengenal alam semesta dan diri sendiri.
Sedangkan
menurut: writingsdy, (2007)
bahwa:”...bagaimana kondisi minat baca di Indonesia?...”. sebuah pertanyaan di atas dengan berat hati
kita katakan, minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Itu terlihat
dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2006. Bahwa:”...
masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan
informasi. Orang lebih memilih menonton TV (85,9%) dan/atau mendengarkan radio
(40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%)...”. Data lainnya, misalnya International Association for Evaluation
of Educational (IEA). Tahun 1992, IAE melakukan riset tentang kemampuan membaca
murid-murid sekolah dasar (SD) kelas IV 30 negara di dunia. Kesimpulan dari
riset tersebut menyebutkan bahwa Indonesia menempatkan urutan ke-29.
Angka-angka itu menggambarkan betapa rendahnya minat baca masyarakat Indonesia,
khususnya anak-anak SD. Data di atas, sungguh mencengangkan dengan kita semua.
Padahal, jika
dikaitkan dengan perintah Allah SWT di atas, seharusnya bangsa Indonesia yang
mayoritas penduduknya beragama Islam mampu melakukan aktivitas membaca. Apa
pasal? Sebab, aktivitas membaca merupakan suatu perintah dari Allah SWT melalui
Al-quran. Jadi, aktivitas membaca bisa dianggap sebuah kewajiban bagi setiap
manusia. Hanya saja, dalam realitasnya aktivitas tersebut tidak gampang
diwujudkan.
Banyak faktor
yang menyebabkan kemampuan membaca anak-anak Indonesia tergolong rendah, adalah
sebagai berikut:
Pertama: ketiadaan
sarana dan prasarana, khususnya perpustakaan dengan buku-buku yang bermutu dan
memadai. Bisa dibayangkan, bagaimana aktivitas membaca anak-anak kita tanpa
adanya buku-buku bermutu. Untuk itulah, ketiadaan sarana dan prasarana,
khususnya perpustakaan dengan buku-buku bermutu menjadi suatu motivasi
tinggi bagi kita.
Kalimat di atas
dengan kata lain, ketersediaan bahan bacaan memungkinkan tiap orang dan/atau
anak-anak untuk memilih apa yang sesuai dengan minat dan kepentingannya. Dari
situlah, tumbuh harapan bahwa masyarakat kita akan semakin mencintai bahan
bacaan. Implikasinya, taraf kecerdasan masyarakat akan kian meningkat; dan oleh
karena itu, isyarat baik bagi sebuah kerja perbaikan mutu perikehidupan suatu
masyarakat dengan motivasi membaca.
Kedua: banyaknya
keluarga di Indonesia yang belum mentradisikan kegiatan membaca. Padahal, jika
ingin menciptakan anak-anak yang memiliki pikiran luas dan baik akhlaknya, mau
tidak mau kegiatan membaca perlu ditanamkan sejak dini. Bahkan, Fauzil Adhim,
(2007) dalam bukunya Membuat Anak Gila Membaca
mengatakan, bahwa semestinya memperkenalkan membaca kepada anak-anak
sejak usia 0-2 tahun. Dan sebenarnya
pada usia ini bukan dalam arti membacara tulisan, melainkan mereka membaca
gambar-gambar yang disediakan oleh orang tua.
Sebab, pada
masa 0-2 tahun perkembangan otak anak amat pesat (80% kapasitas otak manusia
dibentuk pada periode dua tahun pertama) dan amat reseptif (gampang menyerap
apa saja dengan memori yang kuat). Bila sejak usia 0-2 tahun sudah dikenalkan
dengan membaca, kelak mereka akan memiliki minat baca yang tinggi. Dalam
menyerap informasi baru, mereka akan lebih enjoy membaca buku ketimbang
menonton TV atau mendengarkan radio.
Namun, apa
sajakah usaha-usaha yang perlu dilakukan guna menumbuhkan minat baca anak-anak
sejak dini? Dalam buku Make Everything Well, khusus bab “Menciptakan Keluarga
Sukses buah karya Mustofa W Hasyim ” (2005), menganjurkan :”...agar tiap
keluarga memiliki perpustakaan keluarga...”. Sehingga perpustakaan bisa
dijadikan sebagai tempat yang menyenangkan ketika ngumpul bersama istri dan
anak-anak.
Di samping itu, orangtua juga perlu menetapkan jam wajib baca. Tiap anggota
keluarga, baik orangtua maupun anak-anak diminta untuk mematuhinya. Di tengah
kesibukan di luar rumah, semestinya orangtua menyisihkan waktunya untuk membaca
buku, atau sekadar menemani anak-anaknya membaca buku. Dengan begitu, anak-anak
akan mendapatkan contoh teladan dari kedua orang tuanya secara langsung.
Penulis setiap bepergian ke luar kota, apakah ke Banjarmasin, Jakarta,
Surabaya, Makassar, Medan selalu membeli buku bacaan. Alangkah indahnya buku
bacaan yang dibeli selain untuk keperluan orang tua, juga buka bacaan untuk
anak-anak di rumah. Sehingga anak lebih banyak di rumah untuk membaca dari pada
pergi ke luar rumah untuk bermain ke tempat teman-temannya.
Sedangkan di
tingkat sekolah, rendahnya minat baca anak-anak bisa diatasi dengan perbaikan
perpustakaan sekolah. Seharusnya, pihak sekolah, khususnya Kepala Sekolah bisa
lebih bertanggung jawab atas kondisi perpustakaan yang selama ini cenderung
memprihatinkan. Padahal, perpustakaan sekolah merupakan sumber belajar yang
sangat penting bagi siswanya. Dengan begitu, masalah rendahnya minat baca akan
teratasi. Padahal perpustakaan adalah “...jantung sekolah...”. artinya
perpustakaan yang di dalamnya tersedia buku bacaan. Dan penulis pernah
menyebutkan di berbagai tempat bahwa:”...buku adalah guru ke dua dari orang sukses...”.
Selanjutnya,
pemerintah daerah dan pusat bisa juga menggalakkan program perpustakaan
keliling atau perpustakaan menetap di daerah-daerah. Sementara soal
penempatannya, pemerintah bisa berkoordinasi dengan pengelola RT/RW atau
pusat-pusat kegiatan masyarakat desa (PKMD). Semakin besar peluang masyarakat
untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar, semakin besar pula stimulasi
membaca sesama warga masyarakat.
Selain hal-hal di atas,
rendahnya budaya membaca menurut pustawan Indonesia H.Athaillah Baderi (2005)
adalah:”...Kemampuan membaca (Reading
Literacy) anak-anak Indonesia sangat
rendah bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, bahkan dalam
kawasan ASEAN sekali pun. International Association for Evaluation of
Educational (IEA) pada tahun 1992 dalam sebuah studi kemampuan membaca murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV pada 30 negara
di dunia, menyimpulkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 29 setingkat di atas
Venezuela yang menempati peringkat terakhir pada urutan ke 30....”.
Data di atas relevan dengan hasil studi
dari Vincent Greannary yang dikutip oleh Worl Bank dalam sebuah Laporan
Pendidikan “Education in Indonesia From Cricis to Recovery“ tahun 1998.
Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan membaca anak-anak kelas VI Sekolah Dasar kita hanya mampu meraih kedudukan paling akhir
dengan nilai 51,7 setelah Filipina yang memperoleh nilai 52,6 dan Thailand
dengan nilai 65,1 serta Singapura dengan nilai 74,0 dan Hongkong yang
memperoleh nilai 75.5
Buruknya kemampuan
membaca anak-anak kita sebagaimana data di atas berdampak pada kekurangmampuan
mereka dalam penguasan bidang ilmu
pengetahuan dan matematika.
Hasil tes yang dilakukan oleh Trends in International Mathematies and
Science Study (TIMSS) dalam tahun
2003 pada 50 negara di dunia terhadap para siswa kelas II SLTP, menunjukkan
prestasi siswa-siswa Indonesia hanya mampu meraih peringkat ke 34 dalam kemampuan bidang matematika dengan nilai 411 di bawah nilai rata-rata
internasional yang 467. Sedangkan hasil tes bidang ilmu pengetahuan mereka
hanya mampu menduduki peringkat ke 36 dengan nilai 420 di bawah nilai rata-rata
internasioal 474. Dibandingkan dengan anak-anak Malaysia mereka telah berhasil
menduduki peringkat ke 10 dalam kemampuan bidang
matematika yang memperoleh nilai 508
di atas nilai rata-rata internasional. Dan dalam bidang ilmu pengetahuan mereka menduduki peringkat ke 20 dengan
nilai 510 di atas nilai rata-rata internasional. Dengan demikian tampak jelas
bahwa kecerdasan bangsa kita sangat jauh ketinggalan di bawah negara-negara
berkembang lainnya. Data dalam berita TVRI Palangka Raya, tanggal 9 Desember
2011. jam 18.30 mnyebutkan bahwa ada 200 desa telah memiliki perpustakaan
masing-masing desa 1000 eks buku. Tidak jelas apakah hal ini Taman Bacaan
Masyarakat (TBM) ataukah Perpustakaan Desa. Penyediaan buku ini harus diikuti
dengan serkuliasi. Kalau buku yang tersedia tidak terjadi perubahan, minat baca
mereka tentu akan turun.
Rendahnya
tingkat Pendidikan Masyarakat
Menurut H. Athaillah
Baderi (2005) adalah: ”...United Nations Development Programme (UNDP) menjadikan
angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) sebagai suatu
barometer dalam mengukur kualitas suatu bangsa...”. Tinggi rendahnya
angka buta huruf akan menentukan pula tinggi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Index – HDI) bangsa itu.
Berdasarkan
laporan UNDP tahun 2003 dalam “Human Development Report 2003” bahwa Indeks Pembangunan
Manusia (Human Development Indeks – HDI)
berdasarkan angka buta huruf menunjukkan bahwa “pembangunan manusia di Indonesia“ menempati urutan yang ke 112
dari 174 negara di dunia yang dievaluasi. Sedangkan Vietnam menempati urutan ke
109, padahal negara itu baru saja keluar dari konflik politik yang cukup besar.
Namun negara mereka lebih yakin bahwa dengan “membangun manusianya“ sebagai prioritas terdepan, akan mampu
mengejar ketinggalan yang selama ini mereka alami.
Melihat
beberapa hasil studi di atas dan laporan United Nations Development
Programme (UNDP) maka dapat diambil kesimpulan (hipotesis) bahwa “ kekurangmampuan
anak-anak kita dalam bidang matematika dan bidang ilmu pengetahuan, serta tingginya angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia
adalah akibat membaca belum menjadi
kebutuhan hidup dan belum menjadi
budaya bangsa. Oleh sebab itu
membaca harus dijadikan kebutuhan hidup dan budaya bangsa kita. Mengingat
membaca merupakan suatu bentuk kegiatan budaya menurut H.A.R Tilaar (1999; 381)
maka untuk mengubah perilaku masyarakat gemar membaca membutuhkan suatu
perubahan budaya atau perubahan tingkah laku dari anggota masyarakat kita.
Mengadakan perubahan budaya masyarakat memerlukan suatu proses dan waktu
panjang sekitar satu atau dua generasi, tergantung dari “politicaal will pemerintah dan masyarakat“ Ada pun ukuran waktu sebuah generasi adalah
berkisar sekitar 15 – 25 tahun.
Merperhatikan Minat Baca
Dalam mencari Cara Meningkatkan Minat Baca Siswa di Sekolah menurut Ari Es (2011) adalah:”...Masyarakat di Indonesia memiliki karakter yang berbeda-beda di setiap daerah begitu juga dengan karakter pelajar di sekolah. Dalam bidang budaya membaca seringkali media dalam mempublikasikan selalu di dominasi dengan pemberitaan yang menyatakan bahwa minat baca pelajar di Indonesia Rendah. Padahal secara fakta pasti ada (mungkin banyak) sekolah yang pelajarnya banyak yang suka membaca tapi hampir tidak pernah (sangat jarang) di publikasikan…”.
Berdasarkan
pengalaman penulis yang sering berkunjung di beberapa sekolah dan mendengarkan
“…curhat-an dari pengelola perpustakaan sekolah…” melalui jejaring social
menyatakan, jika sebenarnya minat baca pelajar tinggi. Melalui tulisan ini
penulis ingin berbagi tips bagaimana supaya minat baca siswa di sekolah,
tinggi. Untuk lebih jelasnya ada 3 hal dalam uraian sebagai berikut:
1. Tersedianya
Perpustakaan yang Dikelola dengan Baik
Bicara terkait
dengan budaya baca tidak lepas dengan adanya peran penting sebuah perpustakaan
terlebih di lingkungan sekolah. Sebuah perpustakaan harus memberikan pelayanan
dan manajemen yang baik, dalam memberikan kebutuhan referensi siswa di sekolah.
Jika perpustakaan adalah sebuah produk maka dia harus menjamin kwalitasnya
dengan baik dan disukai oleh konsumen dalam hal ini oleh pelajar. Pustakawan
juga harus cerdas dalam menganalisa koleksi buku apa yang diinginkan dan
disukai oleh pelajar, jika perlu dilakukan penelitian atau request.
2. Promosi
Gerakan Gemar Membaca di Lingkungan Sekolah
Jika belajar
dari perusahaan produk-produk yang mendunia, akan tahu betapa faktor penentu
laku tidaknya sebuah produk adalah ditentukan faktor promosi (iklan), Tentunya
poin pertama diatas (kwalitas) harus diutamakan. Jika poin pertama (Tersedianya
Perpustakaan yang Dikelola dengan Baik) sudah terpenuhi, maka promosi wajib
gencar dilakukan.
Cara untuk
melakukan promosi ini bisa bekerjasama dengan pihak kepala sekolah bersama
jajaranya. Akan lebih baik lagi jika Kepala Sekolah, Guru, dan staff sekolah
menjadi orang pertama yang mengawali gerakan gemar membaca di sekolahnya. Bisa
juga membuat baliho atau spanduk di sekitar sekolah yang berisi seruan rajin
membaca misalnya “Kami Ingin Pintar makanya Kami Suka Membaca”, Ingin jadi
Juara dan Berprestasi ? Rajinlah Membaca” begitu dan sejenisnya.
Cara lain bisa
juga dengan cara kebijakan sekolah yang mewajibkan semua siswa pada seminggu
sekali atau dua kali diwajibkan membaca sebuah buku diperpustakaan yang
kemudian disuruh merangkum buku yang dipinjam serta menjelaskan apa point
penting dari buku yang sudah mereka baca.
Selanjutnya
jangan terlalu sering menyalahkan para siswa ”malas membaca” jika para guru di
sekolah sendiri tidak pernah memberikan contoh bahwa para guru juga gemar
membaca.
Tantowi Yahya
berslogan: ”...Ibuku Perpustakaan
Pertamaku...”
selain itu: ”...Luangkan Waktu Untuk Membaca Buku Bagi
Anak Anda...”.
3. Berikan
Penghargaan (Hadiah) untuk mereka yang Rajin Membaca
Setelah poin
pertama dan kedua lakukan, langkah selanjutnya berikanlah hadiah untuk mereka
yang rajin membaca. Caranya bisa dilakukan dengan kerjasama antara pihak
perpustakaan dan kepala sekolah melalui kebijakan. Hadiah tersebut bisa
diberikan misalnya untuk siswa paling sering meminjam buku di perpustakaan.
Namun perlu dicatat bahwa pemberian hadiah ini juga harus dilihat bukan hanya
pelajar yang hanya suka meminjam buku perpustakaan saja, tapi harus dilihat
prestasinya.Hal ini penting supaya murid/pelajar tidak hanya mengejar supaya
dapat hadiah kemudian mereka hanya sering pinjam buku tapi tidak pernah
membacanya. Jadi ada semacam ketentuan berlaku disini bahwa yang mendapatkan
hadiah adalah mereka yang rajin meminjam buku yang kemudian diikuti dengan
peningkatan prestasi setelah kerajinan membacanya. Jenis hadiah sendiri bisa
dalam bentuk pulsa (yang disukai pelajar), Uang saku, dan sejenisnya yang pasti
disukai siswa.
Mungkin
sebenarnya di setiap sekolah yang paling tahu terkait dengan kondisi di sekolah
adalah diri anda sendiri dan ketiga tips ini merupakan hanya sebagian kecil
tips yang diharapkan bisa membantu untuk meningkatkan minat baca pelajar dan
mahasiswa di seluruh Indonesia.
Budaya
Menulis
Budaya menulis memang
tidak dapat dipaksakan. Remaja
Indonesia tidak minat membaca, menulis menurut: 2011) Abdul Said (2011)
adalah:”...minat membaca dan menulis dalam kalangan remaja di negara itu
sememangnya berada pada tahap membimbangkan....”.
“Kedua-dua budaya
tersebut saling berkaitan. Bagaimana seseorang boleh menulis jika mereka
langsung tiada minat untuk membaca,” katanya.
Menurutnya lagi, ramai
atau tidak untuk berpuas hati dengan kualiti penulisan pelajar akibat tabiat
dan karater mereka yang tidak suka membaca. Dengan rendahnya budaya membaca,
tentu kurang menguasai permasalahan. Sehingga hasil tulisannya yang terlihat
kalau penulis itu rajin membaca.
Budaya menulis yang
dialami penulis tentu tidak bisa menunggu apa yang harus di tulis, untuk
menjadikan budaya menulis harus diawali dengan rutinitas kapan waktu menulis
itu dalam setiap hari. Selain itu, menulis juga harus siap setiap saat. Walau
tengah malam sekalipun, kalau menenukan apa judul yang mau ditulis, harus
bangkit dan menulis. Sebab kalau tunggu besok maka apa yang mau kita tulis jadi
kabur.
Bahan Renungan Bangsa
Dalam budaya menulis selain hal di atas, kita perlu merenung pada: Teori
Fransys Bacon yang terlahir diabad pertengahan. Ia mengatakan dalam sebuah
tulisannya menyebutkan bahwa:”...manusia terbagi dalam 3 hal, masing-masing:
(1) padai membaca membuat otak manusia penuh; (2)pandai diskusi membuat otak
manusia siap; dan (3)pandai menulis membuat otak manusia Cermat...”. Dengan demikian harapan dari seorang
pendahulu kita ini tidak sekedar membaca dan berdiskusi, tapi menulis merupakan
hal yang pada strata paling tinggi. Sebab dengan tulisan yang tertuang dalam
buku merupakan karya yang tidak bisa habis. Misalnya karya para pujangga
Indonesia yang menulis buku masa lampau diantaranya: Prof. DR. Buya Hamka.
Seperti tenggelamnya kapal Vanderwic, Dibawah Lindungan Ka’bah dan banyak
penulis lainnya, tulisan tulisan pujangga lama ini, masih banyak ditemukan di
perpustakaan. Dan harus didokumentasikan dengan baik. Karena mereka telah
tiada, tapi hasil karyanya masih dipakai dan dibaca dalam abad-abad
sekarang.
Ancaman (Threats) Era Globalisasi
Menurut H.
Athaillah Baderi (2005) adalah:”...apabila rendahnya minat dan kemampuan
membaca masyarakat kita sebagaimana terwakili oleh anak-anak dan orang
dewasa dalam beberapa penelitian di atas dibiarkan sampai pada suatu saat tetap
status quo maka dalam persaingan global kita akan selalu ketinggalan
dengan sesama negara berkembang, apalagi dengan negara-negara maju lainnya.
Kita tidak akan mampu mengatasi segala persoalan sosial, politik, ekonomi,
kebudayaan dan lainnya selama SDM kita tidak kompetitif, karena kurangnya
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, akibat
lemahnya kemauan dan kemampuan membaca...”.
Pengalaman
pahit telah menerpa bangsa kita, pada pertengahan tahun dalam bulan Juli 1997.
Akibat krisis moneter yang melanda kawasan Asia Tenggara dan Kawasan Asia Timur
maka ekonomi kita telah tercabik-cabik.
Lemahnya Sarana dan Prasarana Pendidikan
Salah satu faktor yang
menyebabkan kemampuan membaca anak-anak kita tergolong rendah karena sarana dan
prasarana pendidikan khususnya perpustakaan dengan buku-bukunya belum mendapat
prioritas dalam penyelenggaraannya. Sedangkan kegiatan membaca membutuhkan
adanya buku-buku yang cukup dan bermutu serta eksistensi perpustakaan dalam
menunjang proses pembelajaran.
Faktor lain yang
menghambat kegiatan anak-anak untuk mau membaca adalah kurikulum yang tidak
secara tegas mencantumkan kegiatan membaca dalam suatu bahan kajian, serta para
tenaga kependidikan baik sebagai guru, dosen maupun para pustakawan yang tidak
memberikan motivasi pada anak-anak peserta
didik bahwa membaca itu penting untuk menambah ilmu pengetahuan, melatih
berfikir kritis, menganalisis persoalan, dan sebagainya.
Perpustakaan dan Buku
Di hampir semua sekolah pada semua jenis dan jenjang
pendidikan, kondisi perpustakaannya masih belum memenuhi standar sarana dan
prasarana pendidikan. Perpustakaan sekolah belum sepenuhnya berfungsi. Jumlah
buku-buku perpustakaan jauh dari mencukupi kebutuhan tuntutan membaca sebagai
basis pendidikan, serta peralatan dan tenaga yang tidak sesuai dengan
kebutuhan. Padahal perpustakaan sekolah merupakan sumber membaca dan sumber
belajar sepanjang hayat yang sangat vital dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Buku-buku bermutu yang
menyangkut isi, bahasa, pengarang, lay-out atau penyajiannya yang sesuai dengan
tingkat pendidikan dan kecerdasan seseorang akan dapat H. Athaillah Baderi (2005) bahwa: “…merangsang berahi membaca…”
orang tersebut. Demikian pula kalau buku-buku dalam semua jenisnya tersebar
luas secara merata ke berbagai lapisan masyarakat, mudah didapat dimana-mana,
serta harganya dapat dijangkau oleh semua tingkatan sosial ekonomi masyarakat,
maka kegiatan membaca akan tumbuh dengan sendirinya. Pada akhirnya akan
tercipta sebuah kondisi “masyarakat konsumen membaca” yang akan
mengkonsumsi buku-buku setiap hari sebagai kebutuhan pokok dalam hidup
keseharian.
Perluasan jangkauan
layanan perpustakaan baik melalui perpustakaan menetap atau perpustakaan mobil
keliling di pusat-pusat kegiatan masyarakat desa, RW/RT secara merata dan
berkesinambungan akan dapat menjadikan masyarakat membaca (reading society).
Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar
luas, semakin besar pula stimulasi membaca sesama warga masyarakat.
Sistem
Pendidikan Nasional dan Kurikulum
Sistem Pendidikan
Nasional yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 diharapkan dapat
memberikan arah agar tujuan pendidikan di tanah air semakin jelas dalam
mengembangkan kemampuan potensi anak bangsa agar terwujudnya SDM yang
kompetitif dalam era globalisasi, sehingga bangsa Indonesia tidak selalu
ketinggalan dalam kecerdasan intelektual. Oleh sebab itu penyelenggaraan
pendidikan harus memenuhi beberapa prinsip antara lain :
a)
sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat.
b)
Mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung
bagi segenap warga masyarakat.
Kedua prinsip di atas
harus saling bergayut. Artinya dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik sepanjang hayat, harus diisi dengan kegiatan pengembangan
budaya membaca, menulis dan berhitung.
Pengembangan kurikulum
secara berdiversifikasi khususnya dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia harus
memuat kegiatan pengembangan budaya membaca dan menulis dengan alokasi waktu
yang cukup memberi kesempatan banyak untuk membaca.
Demikian pula dalam bahan kajian seni dan
budaya, cakupan kegiatan menulis harus jelas dan berimbang dengan
kegiatan menggambar/melukis, menyanyi dan menari.
Kegiatan membaca dan
menulis tidak saja menjadi prioritas dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia dan
Bahan Kajian Seni dan Budaya, tetapi hendaknya juga secara implicit harus
tercantum dalam Bahan-bahan Kajian lainnya.
Saran-saran
Dalam bagian ini,
penulis mencoba mengemukakan sejumlah saran sebagai berikut:
Produk adalah
ditentukan faktor promosi (iklan), juga
membuat baliho atau spanduk di sekitar sekolah yang berisi seruan rajin membaca
misalnya “Kami Ingin Pintar makanya Kami Suka Membaca”, Ingin jadi Juara dan
Berprestasi ?
Rajinlah Membaca”
begitu dan sejenisnya. Mungkin hal ini sudah terlaksana, tapi kalau berulang
kali, pasti munya kesan tersediri dari murid/pelajar. Atau pelajar dan
mahasiswa. Namun perlu dicatat bahwa pemberian hadiah ini juga harus dilihat
bukan hanya pelajar yang hanya suka meminjam buku perpustakaan saja, tapi harus
dilihat prestasinya di tempat mereka belajar.
Perpustakaan perlu
menyelenggarakan lomba mengarang bagi pelajar dan mahasiswa, untuk melihat
sampai dimana keterampilan menulis bagi masyarakat terpelajar dalam hal menulis
di Kalimantan Tengah.
Daftar
Pustaka
Abdul Said 2011. minat membaca dan menulis dalam kalangan remaja di negara itu sememangnya berada pada tahap membimbangkan, Jakarta.
Adhim, Fauzil, 2007. Upaya dalam bukunya Membuat Anak Gila Membaca, Jakarta.
Admin, 2008. Kebanyakan rakyat Malaysia kurang minat membaca, Kuala Lumpur.
An-Nabhani, Syaikh Taqyuddin, 2007. arti masyarakat dalam pelajaran
sosiologi sma kelas 1, Jakarta.
Baderi, H. Athaillah, (2005) Pidati Pengukuhan Pustakawan Perpustakaan Nasional
RI, Perpustkaan Nasional, Jakarta.
Chika, 2011.
Faisal,
Sanapiah, 1983. Sosiologi Masyarakat kota dan Desa, Usaha Nasional, Surabaya.
Hasyim, Mustofa W., 2005. Make Everything
Well , Menciptakan Keluarga, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar