Oleh:
H.M.Norsanie
Darlan
Dalam kesempatan ini mengumentari sertifikasi
kalangan guru yang saat ini masih hangat di kalangan pendidikan. Sungguh
menyedihkan bagi kalangan pegawai negeri sipil (PNS) yang memilih profesi guru.
Karena tugasnya selalu bergulat dengan murid, ada kalanya tidak memperhatikan
apa guna sertifikasi yang dibebankan pada dirinya. Dan apa mereka harus
disertifikasi. Memang memilih profesi guru, tidaklah sedikit jumlahnya. Bahkan kalau kita pelajari
di suatu kabupaten tertentu ada kalanya jumlah guru lebih besar disebanding PNS
yang bekerja dari Dinas, Badan dan berbagai kantor lainnya. Karena makin banyak
jumlah anak usia sekolah, di sekitar tempat itu juga berdiri gedung-gedung
sekolah. Apakah Sekolah Dasar, SLTP ataukah SLTA. Setiap gedung sekolah tidak
mungkin hanya dengan jumlah guru 3-4 orang. Tapi jumlah itu pasti lebih banyak.
Sesuai dengan mata pelajaran yang ada di sekolah itu.
Sebenarnya sebelum hal sertifikasi ini mencuat
kepermukaan, berhembus juga bagi guru yang tidak berpendidikan sarjana. Umumnya
bagi mereka yang mengajar pada sekolah dasar/MI. karena mereka kebanyakan
berasal dari Pendidikan Guru Agama (PGA), Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan
Sekolah Guru Olahraga (SGO). Padahal mereka sudah tidak pernah bermimpi wisuda
sarjana. Namun karena perencana pendidikan yang tidak memperhatikan atau tidak
banyak datang ke pelosok tanah air kita. Mereka pada guru sekolah dasar ini, bertugas di lereng bukit, di tepi
sungai, danau, di pesisir laut yang juga ada di perbatasan, serta di kawasan
terluar tanah air kita. Ada kalanya mereka ke kota kabupaten lebih dari sebuah
itupun kalau ada keperluan mendesak. Apa lagi ke kota Provinsi. Sepertinya
sepertinya ada niat bisnis kelompok tertentu yang guru diharusnya kuliah. Dengan alas an kalau
tidak sarjana tidak bakalan mendapatkan sertifikasi. Dan ujungnya lagi kalau
tidak mendapat sertifikasi maka tunjangan 1 x gaji pokok tentu tidak akan
diterima oleh guru yang bersangkutan.
Hal di atas, membuat para guru, setuju atau tidak setuju, senang
tidak senang, mereka harus mengikuti kuliah. Penyelenggara pendidikan tersebut
pasti pada lembaga pendidikan tinggi yang mencetak guru. Dan tidak mungkin ada
di pedesaan. Mereka harus belajar ke kota. Tentu saja mengeluarkan biaya yang
tidak sedikit. Biaya transportasi, kamar sewa dll.
Berbicara tentang kualitas,
tentu dipertanyakan banyak orang. Karena mereka datang kuliah ke kota dengan
waktu yang singat. Sudah diluluskan sejumlah mata kuliah. Sepertinya perguruan
tinggi penyelenggara pun dirugikan. Karena dalam beberapa x masuk kuliah, sudah
dianggap lulus dalam mata kuliah tertentu. Ini, apa benar bermutu. Tentu
diragukan?, sementara mahasiswa kuliah normal menempuh 1 mata kuliah selama 1
semester berjalan + 6 bulan atau 14-16 x pertemuan, ditambah lagi dengan
berbagai tugas dan latihan. Sehingga wajar seorang guru di desa, mengagetkan
orang tua mahasiswa yang asal dari desa yang sama. Mereka jadi bertanya-tanya
kapan guru-guru SD itu kuliah. Anak saya kuliah 4-5 tahun baru sarjana. Kenapa
guru, dalam waktu singkat kok jadi sarjana. Kapan kuliahnya. Padahal mereka
sibuk mengajar. Bagaimana kulitasnya ?.
Munculnya bisnis ada kemungkinan
bagi kalangan tertentu mengambil kesempatan dalam kesempitan, yakni guru-guru yang
lulusan: PGA, SPG dan SGO harus disarjanakan. Ini lahan bisnis untuk mereka
kuliah dengan berbagai cara dan pasti lulus. Bagaimana pembuatan skripsi,
apakah cukup lulus mata kuliah, berarti siap di yudisium dan wisuda ?. tidak
kasihan ya melihat mahasiswa program reguler yang lulusan ikut seleksi sangat
super ketat, kuliah memakan waktu 4-5 tahun.
Bagaimana bentuk skripsinya para guru SD ini, jika harus ada skripsi.
Apakah para guru sudah terampil menulis skripsi?. Ataukah ada lembaga yang
menjadi dewa menolongnya. Sudahkah membaca Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional nomor 20 tahun 2003, Bab XX pasal 67 dst. Siapa pencetus ide itu, dan
siapa pula yang bertanggung jawab. Jika hal itu berbenturan dengan UUSPN di
negeri kita ?.
Sebenarnya guru yang kuliah
mengambil S-1 itu, lebih banyak yang tidak siap. Artinya karena tuntutan
sertifikasi, guru harus ikut kuliah. Pertanyaan muncul dari mana biaya kuliah
mereka. Tuntutan awal tidak lain adalah: biaya transportasi dan kamar kost di
kota. Ini yang membuat mereka harus menggadaikan gajinya ke Bank, menjual kebun
dan sawah serta mengurangi biaya keperluan rumah tangga. Bukankah ini sebuah
konsep yang merugikan banyak orang. Lain halnya kalau seorang guru dengan
kesadarannya sendiri, ia ikut kuliah ke kota untuk menambah ilmu. Beda dengan
yang dianjurkan kuliah agar guru sarjana. Kalau sudah sarjana baru
disertifikasi.
Kenapa tidak dibiarkan saja guru
yang hanya berpendidikan: PGA, SPG dan SGO tidak perlu di sarjanakan. Karena
mereka itu, sudah bekerja 20-30 tahun lebih. Tapi bagi mereka yang mendaftar
menjadi guru: harus berijazah sarjana pendidikan. Bukan sarjana non guru, ikut
kursus akta 4 lantas diterima jadi guru. Padahal setelah berdiri di depan kelas
lutunya bergetar. Karena tidak terbiasa berhadapan dengan murid di kelas. Tapi
kalau sarjana pendidikan sebelum mereka dilulus jadi sarjana pendidikan, mereka
harus ngernit/magang dulu di sekolah tertentu, sehingga pada waktu diterima
jadi guru, ia tidak canggung berdiri di depan kelas, dan terampil membuat
rencana pembejaran pendidikan (RPP).
Timbul sebuah pertanyaan yang
terkadang lucu. Kalau guru SD/MI sarjana S-1 tentu guru SLTP harus sarjana S-2.
Guru SLTA atau kejuruan, tentu harus S-3 atau doktor. Padahal di Perguruan
tinggi saja, masih ada dosen yang berijazah S-1. sehingga mereka dipaksakan
agar S-2. karena S-2 mengajar S-1. Tapi karena sulitnya dosen kuliah S-2. maka
mereka yang sudah berusia 60 tahun kok juga disertfikasi, tanpa dilihat
ijazahnya. Harusnya juga guru SD/MI yang sudah sepuh, atau sudah mengabdi 20-30
tahun atau lebih direlakan saja diberikan sertifikasi. Secara Cuma-Cuma. Toh
pegabidannya juga sudah luar biasa. Belum tentu ybs sudah mendapat setya
lencana 20 atau 30 tahun dari Presiden RI. Ini juga karena guru dan dosen atau
PNS lainnya, tidak mau mengisi formulir dari kepegawaian. Seharusnya mereka
yang sudah mengabdi selama 30 tahun atau lebih harus diberikan penghargaan
setya lencana 10, 20 atau 30 tahun dari Presiden RI. Tentu dengan kriteria
tertentu. Termasuk guru yang senang: merokok di kelas, minum minuman
beralkohol, penjudi, susah turun mengajar, harus rela untuk tidak
mendapatkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar