Oleh :
H.M. Norsanie Darlan
Makalah ini dipaparkan dalam Bentek Pustakawan desa sekalimantan Tengah
Jum’at, 22 Juni 2012 di hotel Batu Suli Palangka Raya
Pendahuluan
Buku mecil
berjudul: Pengembangan Minat dan Budaya Baca Masyarakat di Kalimantan Tengah
ini, merupakan sebuah tulisan sederhana, yang dituangkan di atas kertas untuk
tujuan agar menjadi bahan bacaan masyarakat. Dewasa ini, berbagai bahan bacaan
telah dituangkan baik dalam sebuah buku, majalah, koran, spanduk, poster dan
berbagai media lainnya. Tujuannya tidak lain adalah untuk memotivasi pembaca
guna menerima berbagai informasi pembangunan di segala bidang. Sehingga membaca
adalah suatu cakrawala ilmu pengetahuan yang harus kita cari melalui berbagai
tulisan, termasuk dalam buku-buku bacaan.
Namun dalam
dunia pendidikan luar sekolah yang penulis tekuni, sebenarnya belajar membaca
itu, tidak seluruhnya dalam bentuk tulisan seperti: buku, majalah, koran,
tabloit dan sebagainya. Tapi kita bisa belajar pada lingkungan alam sekitar.
Dan jika lingkungan sekitar itu, bisa kita tulis dan dituangkan dalam sebuah
buku, alangkah indahnya karya mansua itu yang kita sumbangkan bagi setiap yang
memerlukan. Terlebih jika disumbangkan bagi generasi penerus bangsa. Walau masa
sudah berlalu, tapi ide yang kita tulis selama masih belum hilang buku yang
kita tulis itu, walau seabad atau lebih berlalu, ia tersimpan di perpustakaan
dengan rapi, maka generasi penerus bangsa dapat membacanya apa dan bagainya
peristiwa masa lampau. Hal ini terbukti seperti: teori Fransys Bacon, David
Jones: Adult Education And Cultural Development, Alan Rogers, Ivan Elich, Paulo
Freire, John Loce. Jhon Dewey, dll
(mohon ma’af kalau keliru menulis namanya).
Buku-buku
mereka ini mengurai berbagai masalah tentang pemanfaatan perpustakaan dan
motivasi budaya membaca yang dewasa ini, artinya siapapun yang kurang minat
membaca, ia akan ketinggalan. Untuk lebih jelaskan isi buku ini, penulis akan
mengurai secara sderhana terhadap hal-hal yang berkaitan dengan tersebut. Untuk
lebih jelasnya mari kita lihat terhadap :
Tujuan Penulisan
Adapun buku ini
ditulis, adalah ingin menguraikan hal-hal berhubungan dengan budaya dan minat
baca masyarakat, sesuai surat permintaan dari Kepala Badan Perpustakaan, Arsip
dan Dokumentasi Daerah Provinsi Kalimantan Tengah. Agar budaya membaca dapat
memanfaatkan berbagai tulisan dalam buku sebagai sumber belajar masyarakat
walau dalam segala keterbatasan. Apakah waktu, ataukah kesibukan kita sehari-hari.
Selain tujuan
di atas penulisan buku ini adalah: turut serta dalam pengembangan budaya baca
dalam upaya pembinaan perpustakaan di Kalimantan Tengah. Sehingga pemasyarakat
perpustakaan menjadi tempat dan sumber minat baca masyarakat masa kini dan masa
datang.
Berbagai Pengertian
Pengembangan
Arti dari
pengembangan adalah Norsanie Darlan (2011) adalah:”...proses, cara,
perbuatan...” mengembangkan: dalam hal ini pemerintah selalu berusaha dalam ~ pembangunan secara bertahap dan
teratur yang menjurus ke sasaran yang dikehendaki dan direncanakan sebelumnya.
Minat
Untuk
mengetahui apa itu ”minat” baca maka menurut: Adminstrator (2012) adalah:”... Salah
satu parameter laju peradaban adalah tinggi rendahnya praktis budaya baca dalam
masyarakat. Masyarakat yang memegang teguh budaya baca konon dianggap memiliki
tingkat peradaban yang memadai dalam mengantisipasi perubahan sosial yang akan
terjadi...”. Dibandingkan dengan masyarakat yang hanya mengenal tulisan,
masyarakat yang memiliki budaya baca sanggup keluar dari tekanan peradaban itu
sendiri. Maka banyak orang menyebut bahwa budaya baca adalah cermin peradaban.
Budaya baca kemudian dihubungkan dengan minat baca seseorang. Minat baca
sendiri dikaitkan dengan kadar kemauan seseorang dalam melahap semua informasi
dari berbagai sumber. Dengan demikian, minat baca adalah soal kehausan
seseorang akan informasi dan untuk itu mau mencari dan menemukan informasi
tersebut.
Budaya Baca
Berbicara tentang apa budaya baca
menurut: addhy (2012)
adalah:”…buku adalah teman dan sahabat kita yang paling terdekat dan paling
setia saat, dengan buku pula kita dapat berkeliling dunia, ke mana-mana dan
mengerti arti sebuah karakter/pemikiran seorang tokoh/penulisnya...”. Artinya budaya membaca suatu jendela untuk
melihat cakrawala yang tak terbatas kemana-nama. "...Dengan Buku kita Raih
Ilmu Gapai Peradaban dunia...". kata bijak ini dikutip dari Tagline,
slogan ini memberi inspirasi buat kita untuk selalu semangat membaca buku buku,
apapun. Bahkan dengan budaya baca setiap orang akan menyadari pertingnya
mencari inspirasi terhadap kemajuan negeri yang satu dengan yang lain.
Pemasyarakatan
Adapun apa
maksud pemasyarakatan ini tidak lain adalah sosialisasi perpustakaan agar
menjadi sumber belajar masyarakat di mana saja. Apakah di pedesaan, maupun di
perkotaan. Termasuk di Perpustakaan Daerah Kalimantan Tengah. Sedangkan arti
secara harpiah dari pemasyarakatan menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani (2007)
adalah:”... sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila
memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan
kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka
berdasarkan kemaslahatan...”.
Sedangkan arti
pemasyarakatan adalah keselompok manusia yang terpelajar dalam budaya membaca,
untuk masa depan yang lebih baik dari masa sebelumnya. Apakah kalangan orang
dewasa ataukah bagi anak-anak usia sekolah.
Rendahnya Kemampuan Membaca
Berbicara
tentang kemampuan membaca (Reading
Literacy) menurut H. Athaillah
Baderi (2001) adalah:”…anak-anak Indonesia sangat rendah bila dibandingkan
dengan negara-negara berkembang lainnya...”. Bahkan dalam kawasan ASEAN sekali
pun. International Association for Evaluation of Educational (IEA) pada tahun
1992 dalam sebuah studi kemampuan membaca
murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV pada 30 negara di dunia, menyimpulkan bahwa
Indonesia menempati urutan ke 29 setingkat di atas Venezuela yang menempati
peringkat terakhir pada urutan ke 30.
Data di atas
relevan dengan hasil studi dari Vincent Greannary yang dikutip oleh Worl Bank
dalam sebuah Laporan Pendidikan “Education in Indonesia From Cricis to
Recovery“ tahun 1998. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan membaca
anak-anak kelas VI Sekolah Dasar, kita
hanya mampu meraih kedudukan paling akhir dengan nilai 51,7 setelah
Filipina yang memperoleh nilai 52,6 dan Thailand dengan nilai 65,1 serta
Singapura dengan nilai 74,0 dan Hongkong yang memperoleh nilai 75.5
Buruknya
kemampuan membaca anak-anak kita sebagaimana data di atas berdampak pada kekurangmampuan
mereka dalam penguasan bidang ilmu
pengetahuan dan matematika.
Hasil tes yang dilakukan oleh Trends in International Mathematies and
Science Study (TIMSS) dalam tahun
2003 pada 50 negara di dunia terhadap para siswa kelas II SLTP, menunjukkan
prestasi siswa-siswa Indonesia hanya mampu meraih peringkat ke 34 dalam kemampuan bidang matematika dengan nilai 411 di bawah nilai rata-rata
internasional yang 467. Sedangkan hasil tes bidang ilmu pengetahuan mereka
hanya mampu menduduki peringkat ke 36 dengan nilai 420 di bawah nilai rata-rata
internasional 474. Dibandingkan dengan anak-anak Malaysia mereka telah berhasil
menduduki peringkat ke 10 dalam kemampuan bidang
matematika yang memperoleh nilai 508
di atas nilai rata-rata internasional. Dan dalam bidang ilmu pengetahuan mereka menduduki peringkat ke 20 dengan
nilai 510 di atas nilai rata-rata internasional. Dengan demikian tampak jelas
bahwa kecerdasan bangsa kita sangat jauh
ketinggalan di bawah negara-negara berkembang lainnya.
United
Nations Development Programme (UNDP) menjadikan angka buta huruf dewasa (adult
illiteracy rate) sebagai suatu barometer dalam mengukur kualitas suatu
bangsa. Tinggi rendahnya angka buta huruf akan menentukan pula tinggi
rendahnya Indeks Pembangunan Manusia
(Human Development Index – HDI)
bangsa itu.
Berdasarkan
laporan UNDP tahun 2003 dalam “Human Development Report 2003” bahwa Indeks Pembangunan
Manusia (Human Development Indeks–HDI)
berdasarkan angka buta huruf menunjukkan bahwa “pembangunan manusia di Indonesia“ menempati urutan yang ke 112
dari 174 negara di dunia yang dievaluasi. Sedangkan Vietnam menempati urutan ke
109, padahal negara itu baru saja keluar dari konflik politik yang cukup besar.
Namun negara mereka lebih yakin bahwa dengan “membangun manusianya“ sebagai prioritas terdepan, akan mampu
mengejar ketinggalan yang selama ini mereka alami.
Selain hal-hal
di atas, menurut Hari Karyono (2007) bahwa:
”...Secara umum minat baca bangsa Indonesia, terutama anak-anak relatif sangat rendah. Terutama jika dibandingkan dengan minat baca negara-negara berkembang lainnya...”. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk menanamkan minat baca sejak anak-anak usia dini. Penanaman minat baca sejak usia dini bisa dilaksanakan di rumah maupun di sekolah. Di sekolah, guru mengkondisikan siswa agar gemar membaca melalui perpustakaan sekolah dan sumber belajar lainnya. Sedangkan di rumah dengan membinasakan anak untuk membaca buku, baik buku pelajaran maupun buku pengetahuan lainnya dengan mengadakan koleksi buku di rumah sebagai perpustakaan kecil. Sementara itu, organisasi pencinta buku perlu mengadakan event-event yang dapat menggugah minat baca masyarakat.
”...Secara umum minat baca bangsa Indonesia, terutama anak-anak relatif sangat rendah. Terutama jika dibandingkan dengan minat baca negara-negara berkembang lainnya...”. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk menanamkan minat baca sejak anak-anak usia dini. Penanaman minat baca sejak usia dini bisa dilaksanakan di rumah maupun di sekolah. Di sekolah, guru mengkondisikan siswa agar gemar membaca melalui perpustakaan sekolah dan sumber belajar lainnya. Sedangkan di rumah dengan membinasakan anak untuk membaca buku, baik buku pelajaran maupun buku pengetahuan lainnya dengan mengadakan koleksi buku di rumah sebagai perpustakaan kecil. Sementara itu, organisasi pencinta buku perlu mengadakan event-event yang dapat menggugah minat baca masyarakat.
Sudut Pandang Politik
Melihat beberapa hasil studi di atas dan
laporan United Nations Development Programme (UNDP) maka dapat diambil
kesimpulan (hipotesis) bahwa “...kekurangmampuan
anak-anak kita dalam bidang matematika dan bidang ilmu pengetahuan, serta tingginya angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia
adalah akibat membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya
bangsa...”. Oleh sebab itu membaca harus dijadikan kebutuhan hidup dan budaya
bangsa kita. Mengingat membaca merupakan suatu bentuk kegiatan budaya menurut
H.A.R Tilaar (1999 : 381) maka:”...untuk mengubah perilaku masyarakat gemar
membaca membutuhkan suatu perubahan budaya atau perubahan tingkah laku dari
anggota masyarakat kita...”. Mengadakan perubahan budaya masyarakat memerlukan
suatu proses dan waktu panjang sekitar satu atau dua generasi, tergantung dari
“...politicaal will pemerintah dan masyarakat...“ Ada pun ukuran waktu sebuah
generasi adalah berkisar sekitar 15 – 25 tahun.
Menumbuhkan
Minat Baca Sejak Usia Dini
Dosen Pascasarjana Universitas PGRI Adibuana Surabaya bernama: Hari
Karyono (2007) bahwa:”…Upaya menumbuhkan minat baca bukannya tidak dilakukan. Pemerintah
melalui lembaga yang relevan telah mencanangkan program minat baca. Hanya saja
yang dilakukan oleh pemerintah maupun institusi swasta untuk menumbuhkan minat
baca belum optimal. Oleh karena itu, agar bangsa Indonesia dapat mengejar
kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara tetangga, perlu menumbuhkan
minat baca sejak dini. Sejak mereka mulai dapat membaca. Dengan menumbuhkan
minat baca sejak anak-anak masih dini, diharapkan budaya membaca masyarakat
Indonesia dapat ditingkatkan….”. sehingga akan dirasakan oleh kita semua dan
semua pihak.
Bacaan yang kurang memikat dan minimnya sarana perpustakaan sekolah menjadi
faktor utama penyebab minat baca siswa rendah. Sementara itu, sekolah tidak selalu mampu
menumbuhkan kebiasaan membaca bagi para siswanya. Dengan kondisi kualitas buku
pelajaran yang memprihatinkan, padatnya kurikulum, dan metode pembelajaran yang
menekankan hafalan materi justru 'membunuh' minat membaca. Menurut Prof. Dr.
Riris K. Toha Sarumpaet, Guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia dan Hari Karyono (2007) ini melihat, sekolah tidak
memadai sebagai tempat untuk menumbuhkan minat baca anak peserta didik. Hal
ini, menurut mereka, tidak terlepas dari kurikulum pendidikan. Kurikulum yang
terlalu padat membuat siswa tidak punya waktu untuk membaca. Riris mengemukakan
bahwa siswa terlalu sibuk dengan pelajaran yang harus diikuti tiap hari. Belum
lagi harus mengerjakan PR. Oleh karena itu, solusi terbaik dalam membuka jalan pikiran seorang
siswa agar mereka mempunyai wawasan yang luas, adalah dengan cara membaca. Agar
siswa dapat membaca buku secara ajeg, maka kepada mereka perlu disediakan bahan
bacaan yang cukup koleksinya. Oleh karena itu, perpustakaan merupakan wacana
baca yang mampu menyediakan beragam buku baik fiksi, nonfiksi, referensi, atau
nonbuku seperti majalah, koran, kaset serta alat peraga, wajib dimiliki setiap
sekolah. Agar para pelajarnya dapat membaca buku-buku yang tersedia di
perpustakaan mereka.
Ancaman (Threats) Era Globalisasi
Apabila rendahnya minat dan kemampuan membaca masyarakat kita sebagaimana terwakili oleh
anak-anak dalam beberapa penelitian masa lalu
itu dibiarkan sampai pada suatu saat tetap status quo maka dalam
persaingan global kita akan selalu ketinggalan dengan sesama negara berkembang,
apalagi dengan negara-negara maju lainnya. Kita tidak akan mampu mengatasi
segala persoalan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lainnya selama SDM
kita tidak kompetitif, karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, akibat lemahnya kemauan dan kemampuan dalam hal membaca.
Pengalaman
pahit telah menerpa bangsa kita pada pertengahan tahun dalam bulan Juli 1997.
Akibat krisis moneter yang melanda kawasan Asia Tenggara dan Kawasan Asia Timur,
maka ekonomi kita telah tercabik-cabik.
Kehidupan
abad 21 ini menurut H.A.R Tillar (1999:55) adalah menuntut manusia unggul dan
hasil karya yang unggul pula. Keunggulan dimaksud adalah keunggulan
partisipatoris, artinya manusia unggul yang selalu ikut serta secara aktif di
dalam persaingan yang sehat untuk mencari dan mendapatkan yang terbaik dari
yang baik. Keunggulan partisipatoris dengan sendirinya berkewajiban untuk
menggali dan mengembangkan seluruh potensi individual yang akan digunakan di dalam kehidupan yang penuh persaingan yang semakin
lama semakin tajam dan akan menjadi kejam bagi manusia yang tidak mau bekerja
keras dan belajar keras. Suatu upaya
untuk mendukung perwujudan manusia unggul, maka kita harus mengadakan perubahan
sikap dan perilaku budaya dari tidak
suka membaca menjadi masyarakat
membaca (reading society).
Karena membaca menurut Gleen Doman (1991:19) dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read menyatakan bahwa membaca merupakan salah satu
fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada
kemampuan membaca.
Selanjutnya
melalui budaya masyarakat membaca kita akan melangkah menuju masyarakat belajar
(learning society). Prinsip belajar
dalam abad 21 menurut UNESCO (1996)
harus didasarkan pada empat pilar yaitu : 1) learning to thing – belajar berpikir; 2) learning to do ---- belajar berbuat; 3) learning to be --- belajar
untuk tetap hidup; dan 4) learning to
live together ---- yaitu belajar hidup bersama antar bangsa. Berangkat dari
terwujudnya masyarakat belajar (learning
society) maka akan mencapai bangsa yang cerdas (educated nation) sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945
menuju masyarakat Madani (Civil Society) Bal
Dhatun Tayyibatun Wa Rabbun Ghafuur.
Lemahnya Sarana dan Prasarana Pendidikan
Salah satu faktor yang menyebabkan kemampuan membaca
anak-anak kita tergolong rendah karena sarana dan prasarana pendidikan
khususnya perpustakaan dengan buku-bukunya belum mendapat prioritas dalam
penyelenggaraannya. Sedangkan kegiatan membaca membutuhkan adanya buku-buku
yang cukup dan bermutu serta eksistensi perpustakaan dalam menunjang proses
pembelajaran.
Faktor lain
yang menghambat kegiatan anak-anak untuk mau membaca adalah kurikulum yang
tidak secara tegas mencantumkan kegiatan membaca dalam suatu bahan kajian,
serta para tenaga kependidikan baik sebagai guru, dosen maupun para pustakawan
yang tidak memberikan motivasi pada anak-anak peserta didik bahwa membaca itu penting untuk
menambah ilmu pengetahuan, melatih berfikir kritis, menganalisis persoalan, dan
sebagainya.
1.
Perpustakaan dan Buku
Di hampir
semua sekolah pada semua jenis dan jenjang pendidikan, kondisi perpustakaannya
masih belum memenuhi standar sarana dan prasarana pendidikan. Perpustakaan
sekolah belum sepenuhnya berfungsi. Jumlah buku-buku perpustakaan jauh dari
mencukupi kebutuhan tuntutan membaca sebagai basis pendidikan, serta peralatan
dan tenaga yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Padahal perpustakaan sekolah
merupakan sumber membaca dan sumber belajar sepanjang hayat yang sangat vital
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal perpustakaan desa juga perlu
diperjuangkan. Karena kawasan pedesaan juga perlu mendapatkan perhatian. Apakah
istilah perpustakaan desa ataukah Taman Bacaan Masyarakat (TBM).
Buku-buku bermutu yang menyangkut
isi, bahasa, pengarang, lay-out atau penyajiannya yang sesuai dengan tingkat
pendidikan dan kecerdasan seseorang akan dapat “…merangsang berahi membaca…”
orang tersebut. Demikian pula kalau buku-buku dalam semua jenisnya tersebar
luas secara merata ke berbagai lapisan masyarakat, mudah didapat dimana-mana,
serta harganya dapat dijangkau oleh semua tingkatan sosial ekonomi masyarakat,
maka kegiatan membaca akan tumbuh dengan sendirinya. Pada akhirnya akan
tercipta sebuah kondisi “…masyarakat
konsumen membaca…” yang akan mengkonsumsi buku-buku bacaan setiap
hari, sebagai kebutuhan pokok dalam hidup keseharian.
Upaya perluasan jangkauan layanan
perpustakaan baik melalui perpustakaan menetap atau perpustakaan mobil keliling
di pusat-pusat kegiatan masyarakat desa, RW/RT secara merata dan
berkesinambungan akan dapat menjadikan masyarakat membaca (reading society).
Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar
luas, semakin besar pula stimulasi membaca sesama warga masyarakat.
2.Sistem Pendidikan Nasional dan Kurikulum
Sistem Pendidikan Nasional yang
diatur dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 diharapkan dapat memberikan
arah agar tujuan pendidikan di tanah air semakin jelas dalam mengembangkan
kemampuan potensi anak bangsa agar terwujudnya SDM yang kompetitif dalam era
globalisasi, sehingga bangsa Indonesia tidak selalu ketinggalan dalam
kecerdasan intelektual. Oleh sebab itu penyelenggaraan pendidikan harus
memenuhi beberapa prinsip antara lain:
a)
Sebagai
suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat.
b)
Mengembangkan budaya baca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat, sangat penting untuk
kehidupan mencerdaskan bangsa.
Kedua prinsip
di atas harus saling berjalan bersama. Artinya dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat,
harus diisi dengan kegiatan pengembangan
budaya membaca, menulis dan berhitung.
Pengembangan
kurikulum secara berdiversifikasi khususnya dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia
harus memuat kegiatan pengembangan budaya membaca dan menulis dengan alokasi
waktu yang cukup memberi kesempatan banyak untuk membaca.
Demikian pula dalam bahan kajian seni dan
budaya, cakupan kegiatan menulis harus jelas dan berimbang dengan kegiatan
menggambar/melukis, menyanyi dan menari.
Kegiatan
membaca dan menulis tidak saja menjadi prioritas dalam Bahan Kajian Bahasa
Indonesia dan Bahan Kajian Seni dan Budaya, tetapi hendaknya juga secara implisit
harus tercantum dalam Bahan-bahan Kajian lainnya.
Paradigma
Tenaga Kependidikan Kedepan
Guru dan dosen
maupun para pustakawan sekolah sebagai tenaga kependidikan, harus merubah
mekanisme proses pembelajaran menuju “membaca” sebagai suatu sistem
belajar sepanjang hayat.
Setiap guru,
dosen dalam semua bahan kajian harus dapat memainkan perannya sebagai motivator
agar para peserta didik bergairah untuk banyak membaca buku-buku penunjang
kurikulum pada bahan kajian masing-masing. Misalnya dengan memberi
tugas-tugas rumah setiap kali selesai
pertemuan dalam proses pembelajaran. Dengan sistem reading drill secara
kontinu maka membaca akan menjadi kebiasaan peserta didik dalam belajar.
Pustakawan pada
perpustakaan sekolah yang didukung oleh para guru kelas sedapat mungkin harus
dapat menciptakan “kemauan” para peserta didik untuk banyak membaca dan
meminjam buku-buku di perpustakaan. Sistem promosi perpustakaan harus diadakan
dan diprioritaskan secara kontinu agar perpustakaan dikenal apa fungsi, arti,
kegunaan dan fasilitas yang dapat diberikannya. Tanpa promosi perpustakaan yang
gencar, mustahil orang akan mengenal dan tertarik untuk datang ke perpustakaan.
Upaya Pembudayaan Membaca
A. Diskusi dan Seminar
Sejarah seorang
Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Perpustakaaan Negara Banjarmasin tanggal 1
Agustus 1972 sudah terjadi hiruk-pikuk penyelenggaraan seminar, diskusi,
simposium, lokakarya, dan beberapa istilah lainnya, baik di pusat maupun di
daerah-daerah yang membicarakan tentang rendahnya minat baca masyarakat
kita. Kemudian jadi ikut-ikutan latah dengan menyelenggarakan Seminar Minat
Baca Generasi Muda Kotamadya Banjarmasin pada September 1973, bekerjasama
dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Banjarmasin dan Dewan
Mahasiswa Universitas Lambung – Mangkurat serta IAIN Antasari dalam rangka Pembentukan
Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Daerah Kalimantan Selatan.
Bila kita amati
dari satu seminar ke seminar lainnya seakan-akan kita berada dalam lingkaran
setan, dimana masalah minat baca sepertinya tidak berujung pangkal dan
sulit untuk mencari penyelesaiannya. Semua
masalah selalu menghadapi jalan buntu, oleh sebab itu forum seminar
hanya sebatas mengumbar idea, wawasan, keluh kesah, konsep, dan setelah itu
panitia penyelenggara maupun pemakalah tidur lelap tanpa menindak lanjuti
keputusan atau konsep yang telah diambil. Besok-besok diselenggarakan lagi
seminar dengan tema yang sama yaitu masalah minat baca yang rendah. Hingga saat
ini sudah 33 (tiga puluh tiga) tahun ia menjadi pegawai perpustakaan, namun
masalah minat baca, perpustakaan, buku, sistem pendidikan, kurikulum, dan
sebagainya seolah-olah tidak dapat diselesaikan oleh siapa pun karena
masalahnya dianggap terlalu rumit dan saling kait-berkait. Dengan demikian
timbul pertanyaan, benarkah masalah minat baca begitu ruwet dan tidak bisa diselesaikan di negara kita ini. Ataukah solusi penyelesaiannya yang tidak menyentuh akar
permasalahan. Permasalah seperti ini adalah yang kita bahas sekarang ini.
B.Pembentukan Beberapa Organisasi
Salah satu
upaya pengentasan rendahnya minat baca masyarakat, beberapa kelompok profesi
membentuk organisasi seprofesi dengan salah satu tujuannya adalah untuk
meningkatkan minat baca sesuai dengan bidang masing-masing. Misalnya para
penerbit buku mendirikan organisasi Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), para tokoh
buku mendirikan Gabungan Toko Buku Seluruh Indonesia (GATSBI), para pustakawan
mendirikan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), kelompok perpustakaan mendirikan
Klub Perpustakaan Indonesia (KPI), para pencita buku mendirikan Perhimpunan Masyarakat Gemar Membaca
(PMGM), kelompok peduli minat baca mendirikan Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca
(GPMB), kelompok-kelompok lainnya mendirikan berbagai organisasi. Lembaga
Sosial Masyarakat (LSM), Yayasan-yayasan membaca dan buku serta berbagai
organisasi lainnya, telah menebar kegiatan-kegiatan dalam upaya meningkatkan
minat baca. 0rganisasi-organisasi, yayasan LSM dan lain-lain tersebut
kenyataannya juga tidak mampu mengungkit
minat baca (meminjam istilah H.A. Tilaar) masyarakat lebih banyak lagi.
Kegiatan-kegiatan mereka hanya berputar-putar dalam seminar-seminar, mendirikan
kelompok-kelompok baca secara terbatas pada suatu tempat, belum dapat
mengangkat dan menyelesaikan persoalannya secara nasional dan berkesinambungan.
Kalau kita boleh menghitung-hitung biaya yang telah dikeluarkan oleh panitia
maupun peserta seminar dari beberapa kegiatan yang dilaksanakan secara
sendiri-sendiri itu barangkali kita sudah dapat mendirikan sebuah perpustakaan
megah di ibukota negara Republik ini.
Mewujudkan Lembaga Nasional Pembudayaan
Membaca
Banyak
pengalaman dari berbagai pihak dalam upaya “...pengentasan rendahnya minat baca...” sejak tiga empat puluh tahun silam hingga kini, baik melalui
seminar-seminar, pembentukan organisasi-organisasi, namun hasilnya
begitu-begitu saja. Ada anggapan bahwa
upaya untuk pengentasan rendahnya minat
baca masyarakat tidak akan membuahkan hasil optimal bilamana dilaksanakan
secara sendiri-sendiri, terpisah-pisah dan terpotong-potong.Kementrian
Pendidikan Nasional, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Agama, Perpustakaan
Nasional dan lembaga-lembaga lain-lainnya tentu tidak akan dapat banyak
diharapkan untuk mengatasi hal ini. Kegiatan mereka terlalu sarat dengan
program-program rutinitas, yang tidak banyak menyentuh secara langsung
soal-soal minat baca. Oleh sebab itu pembentukan sebuah Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat Membaca atau apapun namanya
adalah suatu “solution to a problem“
dalam pengentasan rendahnya minat baca masyarakat kita di negeri ini.
Stretegi Pembelajaran
Strategi
yang harus ditempuh untuk mewujudkan wacana
ini adalah melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Membuat suatu kelompok kesepahaman atas wacana
ini,
2.
Kelompok tersebut mengusulkan kepada Kepala
Perpustakaan Nasional RI untuk membentuk Tim Inventarisasi dan Pendekatan terhadap
para pakar yang dianggap berkompeten dengan Minat Baca Masyarakat dan Instansi
Pemerintah yang terkait,
3.
Kelompok tersebut mengusulkan kepada Kepala
Perpustakaan Nasional RI dan atau Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam
Negeri untuk membentuk sebuah panita perumus konsep Lembaga Nasional
Pembudayaan Masyarakat Membaca yang terdiri dari para pakar dan para pejabat,
4.
Anggaran kepanitiaan menjadi beban Perpustakaan
Nasional RI, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Dalam Negeri,
5.
Panitia perumus membuat konsep kelembagaan,
status, struktur organisasi, mekanisme kerja dan hubungan Lembaga Nasional
Pembudayaan Masyarakat Membaca menduduki posisi sesuai dengan kepakarannya. Para
pakar tidak terikat dengan usia tetapi atas dasar kepakarannya,
6.
Panitia perumus mengusulkan kepada Presiden
Republik Indonesia untuk membentuk Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat
Membaca yang didalamnya terdiri dari para pakar menurut profesinya tanpa
memandang usia tetapi atas dasar kompetensi dan kepakarannya,
7.
Anggaran
Lembaga Nasional dibebankan
kepada Negara Republik Indonesia.
Perpustakaan
Adalah arti dari perpustakaan dalam
kamus besar bahasa Indonesia yang ditulis oleh Poerwadarminta (1986)
adalah:”...(1) tempat, gedung, ruang yang disediakan untuk pemeliharaan dan
penggunaan koleksi buku dsb; (2) koleksi buku, majalah, dan bahan kepustakaan
lainnya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dibicarakan...”.
Mengembalikan Fungsi Pepustakaan
Menurut: Faisal Fadilla (2012) bahwa
Allah SWT menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW denga ayat pertama berbunyi:
“...iqra...”, bacalah, bacalah dengan menyebut Tuhan yang Maha Pemurah.
“Jelaslah, manusia diciptakan untuk membaca. Bukan sekedar membaca teks tapi
juga lingkungan, alam sekitar.
Perkembangan teknologi informasi
dewasa ini, di satu sisi ada peluang dan juga ancaman. Peluang untuk kita
mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya. Ancaman ketika
digunakan secara tidak bijak dan etis.
Kurangnya Minat Baca
Chika (2011)
9.Melakukan seminar dalam berbagai hal terhadap generasi muda dengan
jumlah yang lebih banyak, sebagai upaya movitasi belajar membaca.
Masyarakat
Jika
kita mengkaji konsep lama tentang
masyarakat adalah sekelompok manusia yang menempati di suatu wilayah.
Penulis mengambil pendapat salah seorang tokoh senior PLS kita: Sanapiah Faisal
(1981) bahwa: “… masyarakat dibagi dalam 3 kelompok besar, masing-masing; Pertama:
masyarakat perkotaan; Kedua: masyarakat pinggiran kota; dan Ketiga:
masyarakat desa pedesaan...”. Dengan
demikian dalam hal minat membaca bagi masyarakat ini, apakah di perkotaan,
pinggiran kota, apa lagi desa pedesaan masih sulit kita wujudkan. Kecuali ada
jamping yang sungguh dapat menjadikan masyarakat berdaya.
Rendahnya Budaya Baca
Rendahnya
budaya baca, di berbagai kalangan memang tidak semua perpustakaan rapat
dikunjungi masyarakat. Karena budaya membaca tentu sebaiknya tertanam
sejak dini dari anak-anak. Karena kalau sudah dewasa baru muncul minat baca
adalah sebagai kesadaran yang hampir terlambat.
Kita sama
maklumi setiap tanggal 17 Mei di peringati sebagai Hari Buku Nasional. Memang,
pamor momentum tersebut, kalah jika dibandingkan dengan momentum lainnya,
seperti Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas 2 Mei) atau Hari Kebangkitan
Nasional (21 Mei). Itu disebabkan banyak faktor, salah satunya ialah karena
buku dan aktivitas yang terkait dengannya, seperti membaca dan menulis, tidak
begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia. Benarkah demikian? Tentu tergantung
pada kemajuan daerahnya.
Menurut
Admin, (2008) adalah: “...Semasa ia duduk di bangku sekolah, ada satu ungkapan
menarik yang sering disampaikan oleh guru-gurunya. Yaitu, ungkapan membaca
adalah kunci ilmu, sedangkan gudangnya ilmu adalah buku...”. Sepintas.
”...ungkapan itu sederhana, namun di dalamnya terkandung makna penting...”.
Bahwa membaca (iqra) ternyata merupakan perintah Allah SWT kepada seluruh umat
manusia, sebagaimana tertuang dalam QS Al-Alaq [96] ayat 1-5.
Selain
itu artinya membaca menurut Admin, (2008): “...Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang
Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan
kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya....” Dengan
demikian, berkat membaca kelak kita bisa lebih mengenal Allah SWT. Tak hanya
itu, kita juga bisa mengenal alam semesta dan diri sendiri.
Sedangkan
menurut: writingsdy,
(2007) bahwa:”...bagaimana kondisi minat baca di Indonesia?...”. sebuah pertanyaan di atas dengan berat hati
kita katakan, minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Itu terlihat
dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2006. Bahwa:”...
masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama
mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton TV (85,9%) dan/atau
mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%)...”. Data lainnya, misalnya International
Association for Evaluation of Educational (IEA). Tahun 1992, IAE melakukan
riset tentang kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar (SD) kelas IV 30
negara di dunia. Kesimpulan dari riset tersebut menyebutkan bahwa Indonesia
menempatkan urutan ke-29. Angka-angka itu menggambarkan betapa rendahnya minat
baca masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak SD. Data di atas, sungguh
mencengangkan dengan kita semua.
Padahal,
jika dikaitkan dengan perintah Allah SWT di atas, seharusnya bangsa Indonesia
yang mayoritas penduduknya beragama Islam mampu melakukan aktivitas membaca. Apa
pasal? Sebab, aktivitas membaca merupakan suatu perintah dari Allah SWT melalui
Al-quran. Jadi, aktivitas membaca bisa dianggap sebuah kewajiban bagi setiap
manusia. Hanya saja, dalam realitasnya aktivitas tersebut tidak gampang
diwujudkan.
Banyak
faktor yang menyebabkan kemampuan membaca anak-anak Indonesia tergolong rendah,
adalah sebagai berikut:
Pertama:
ketiadaan sarana dan prasarana, khususnya perpustakaan dengan buku-buku yang
bermutu dan memadai. Bisa dibayangkan, bagaimana aktivitas membaca anak-anak
kita tanpa adanya buku-buku bermutu. Untuk itulah, ketiadaan sarana dan
prasarana, khususnya perpustakaan dengan buku-buku bermutu menjadi suatu motivasi
tinggi bagi kita.
Kalimat
di atas dengan kata lain, ketersediaan bahan bacaan memungkinkan tiap orang
dan/atau anak-anak untuk memilih apa yang sesuai dengan minat dan
kepentingannya. Dari situlah, tumbuh harapan bahwa masyarakat kita akan
semakin mencintai bahan bacaan. Implikasinya, taraf kecerdasan masyarakat akan
kian meningkat; dan oleh karena itu, isyarat baik bagi sebuah kerja perbaikan
mutu perikehidupan suatu masyarakat dengan motivasi membaca.
Kedua:
banyaknya keluarga di Indonesia yang belum mentradisikan kegiatan membaca.
Padahal, jika ingin menciptakan anak-anak yang memiliki pikiran luas dan baik
akhlaknya, mau tidak mau kegiatan membaca perlu ditanamkan sejak dini. Bahkan,
Fauzil Adhim, (2007) dalam bukunya Membuat Anak Gila Membaca mengatakan, bahwa semestinya memperkenalkan
membaca kepada anak-anak sejak usia 0-2 tahun.
Dan sebenarnya pada usia ini bukan dalam arti membacara tulisan,
melainkan mereka membaca gambar-gambar yang disediakan oleh orang tua.
Sebab, pada masa 0-2 tahun perkembangan
otak anak amat pesat (80% kapasitas otak manusia dibentuk pada periode dua
tahun pertama) dan amat reseptif (gampang menyerap apa saja dengan memori yang
kuat). Bila sejak usia 0-2 tahun sudah dikenalkan dengan membaca, kelak mereka
akan memiliki minat baca yang tinggi. Dalam menyerap informasi baru, mereka
akan lebih enjoy membaca buku ketimbang menonton TV atau mendengarkan radio.
Namun,
apa sajakah usaha-usaha yang perlu dilakukan guna menumbuhkan minat baca
anak-anak sejak dini? Dalam buku Make Everything Well, khusus bab “Menciptakan
Keluarga Sukses buah karya Mustofa W Hasyim ” (2005), menganjurkan :”...agar
tiap keluarga memiliki perpustakaan keluarga...”. Sehingga perpustakaan bisa
dijadikan sebagai tempat yang menyenangkan ketika ngumpul bersama istri dan
anak-anak.
Di samping itu, orangtua juga perlu menetapkan jam wajib
baca. Tiap anggota keluarga, baik orangtua maupun anak-anak diminta untuk
mematuhinya. Di tengah kesibukan di luar rumah, semestinya orangtua menyisihkan
waktunya untuk membaca buku, atau sekadar menemani anak-anaknya membaca buku.
Dengan begitu, anak-anak akan mendapatkan contoh teladan dari kedua orang
tuanya secara langsung. Penulis setiap bepergian ke luar kota, apakah ke
Banjarmasin, Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan selalu membeli buku bacaan.
Alangkah indahnya buku bacaan yang dibeli selain untuk keperluan orang tua,
juga buka bacaan untuk anak-anak di rumah. Sehingga anak lebih banyak di rumah
untuk membaca dari pada pergi ke luar rumah untuk bermain ke tempat teman-temannya.
Sedangkan
di tingkat sekolah, rendahnya minat baca anak-anak bisa diatasi dengan
perbaikan perpustakaan sekolah. Seharusnya, pihak sekolah, khususnya Kepala
Sekolah bisa lebih bertanggung jawab atas kondisi perpustakaan yang selama ini
cenderung memprihatinkan. Padahal, perpustakaan sekolah merupakan sumber
belajar yang sangat penting bagi siswanya. Dengan begitu, masalah rendahnya
minat baca akan teratasi. Padahal perpustakaan adalah “...jantung sekolah...”.
artinya perpustakaan yang di dalamnya tersedia buku bacaan. Dan penulis pernah
menyebutkan di berbagai tempat bahwa:”...buku adalah guru ke dua dari orang
sukses...”.
Selanjutnya,
pemerintah daerah dan pusat bisa juga menggalakkan program perpustakaan
keliling atau perpustakaan menetap di daerah-daerah. Sementara soal
penempatannya, pemerintah bisa berkoordinasi dengan pengelola RT/RW atau
pusat-pusat kegiatan masyarakat desa (PKMD). Semakin besar peluang masyarakat
untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar, semakin besar pula stimulasi
membaca sesama warga masyarakat.
Selain hal-hal di atas, rendahnya budaya membaca
menurut pustawan Indonesia H.Athaillah Baderi (2005) adalah:”...Kemampuan
membaca (Reading Literacy) anak-anak Indonesia sangat rendah bila
dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, bahkan dalam kawasan
ASEAN sekali pun. International Association for Evaluation of Educational (IEA)
pada tahun 1992 dalam sebuah studi kemampuan
membaca murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV pada 30 negara di dunia,
menyimpulkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 29 setingkat di atas Venezuela
yang menempati peringkat terakhir pada urutan ke 30....”.
Data di atas relevan dengan
hasil studi dari Vincent Greannary yang dikutip oleh Worl Bank dalam sebuah
Laporan Pendidikan “Education in Indonesia From Cricis to Recovery“
tahun 1998. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan membaca anak-anak kelas VI Sekolah Dasar kita hanya mampu meraih kedudukan paling akhir
dengan nilai 51,7 setelah Filipina yang memperoleh nilai 52,6 dan Thailand
dengan nilai 65,1 serta Singapura dengan nilai 74,0 dan Hongkong yang
memperoleh nilai 75.5
Buruknya
kemampuan membaca anak-anak kita sebagaimana data di atas berdampak pada
kekurangmampuan mereka dalam penguasan bidang ilmu pengetahuan dan matematika.
Hasil tes yang dilakukan oleh Trends in International Mathematies and
Science Study (TIMSS) dalam tahun
2003 pada 50 negara di dunia terhadap para siswa kelas II SLTP, menunjukkan
prestasi siswa-siswa Indonesia hanya mampu meraih peringkat ke 34 dalam kemampuan bidang matematika dengan nilai 411 di bawah nilai rata-rata
internasional yang 467. Sedangkan hasil tes bidang ilmu pengetahuan mereka
hanya mampu menduduki peringkat ke 36 dengan nilai 420 di bawah nilai rata-rata
internasioal 474. Dibandingkan dengan anak-anak Malaysia mereka telah berhasil
menduduki peringkat ke 10 dalam kemampuan bidang
matematika yang memperoleh nilai 508
di atas nilai rata-rata internasional. Dan dalam bidang ilmu pengetahuan mereka menduduki peringkat ke 20 dengan
nilai 510 di atas nilai rata-rata internasional. Dengan demikian tampak jelas
bahwa kecerdasan bangsa kita sangat jauh ketinggalan di bawah negara-negara
berkembang lainnya. Data dalam berita TVRI Palangka Raya, tanggal 9 Desember
2011. jam 18.30 mnyebutkan bahwa ada 200 desa telah memiliki perpustakaan
masing-masing desa 1000 eks buku. Tidak jelas apakah hal ini Taman Bacaan
Masyarakat (TBM) ataukah Perpustakaan Desa. Penyediaan buku ini harus diikuti
dengan serkuliasi. Kalau buku yang tersedia tidak terjadi perubahan, minat baca
mereka tentu akan turun.
Rendahnya tingkat Pendidikan Masyarakat
Menurut H.
Athaillah Baderi (2005) adalah: ”...United Nations Development Programme
(UNDP) menjadikan angka buta huruf
dewasa (adult illiteracy rate)
sebagai suatu barometer dalam mengukur kualitas suatu bangsa...”. Tinggi
rendahnya angka buta huruf akan menentukan pula tinggi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index – HDI) bangsa
itu.
Berdasarkan
laporan UNDP tahun 2003 dalam “Human Development Report 2003” bahwa Indeks Pembangunan
Manusia (Human Development Indeks – HDI)
berdasarkan angka buta huruf menunjukkan bahwa “pembangunan manusia di Indonesia“ menempati urutan yang ke 112
dari 174 negara di dunia yang dievaluasi. Sedangkan Vietnam menempati urutan ke
109, padahal negara itu baru saja keluar dari konflik politik yang cukup besar.
Namun negara mereka lebih yakin bahwa dengan “membangun manusianya“ sebagai prioritas terdepan, akan mampu
mengejar ketinggalan yang selama ini mereka alami.
Melihat
beberapa hasil studi di atas dan laporan United Nations Development
Programme (UNDP) maka dapat diambil kesimpulan (hipotesis) bahwa “ kekurangmampuan
anak-anak kita dalam bidang matematika dan bidang ilmu pengetahuan, serta tingginya angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia
adalah akibat membaca belum menjadi
kebutuhan hidup dan belum menjadi
budaya bangsa. Oleh sebab itu
membaca harus dijadikan kebutuhan hidup dan budaya bangsa kita. Mengingat
membaca merupakan suatu bentuk kegiatan budaya menurut H.A.R Tilaar (1999; 381)
maka untuk mengubah perilaku masyarakat gemar membaca membutuhkan suatu
perubahan budaya atau perubahan tingkah laku dari anggota masyarakat kita.
Mengadakan perubahan budaya masyarakat memerlukan suatu proses dan waktu
panjang sekitar satu atau dua generasi, tergantung dari “politicaal will pemerintah dan masyarakat“ Ada pun ukuran waktu sebuah generasi adalah
berkisar sekitar 15 – 25 tahun.
Merperhatikan Minat Baca
Dalam mencari Cara Meningkatkan Minat Baca Siswa di Sekolah menurut Ari Es (2011) adalah:”...Masyarakat di Indonesia memiliki karakter yang berbeda-beda di setiap daerah begitu juga dengan karakter pelajar di sekolah. Dalam bidang budaya membaca seringkali media dalam mempublikasikan selalu di dominasi dengan pemberitaan yang menyatakan bahwa minat baca pelajar di Indonesia Rendah. Padahal secara fakta pasti ada (mungkin banyak) sekolah yang pelajarnya banyak yang suka membaca tapi hampir tidak pernah (sangat jarang) di publikasikan…”.
Berdasarkan
pengalaman penulis yang sering berkunjung di beberapa sekolah dan mendengarkan
“…curhatan dari pengelola perpustakaan sekolah…” melalui jejaring social
menyatakan, jika sebenarnya minat baca pelajar tinggi. Melalui tulisan ini penulis ingin
berbagi tips bagaimana supaya minat baca siswa di sekolah, lebih tinggi. Untuk
jelasnya minimal ada 2 hal dalam uraian
sebagai berikut:
1. Tersedianya Perpustakaan yang
Dikelola dengan Baik
Bicara terkait dengan budaya baca
tidak lepas dengan adanya peran penting sebuah perpustakaan terlebih di
lingkungan sekolah. Sebuah perpustakaan harus memberikan pelayanan dan
manajemen yang baik, dalam memberikan kebutuhan referensi siswa di sekolah.
Jika perpustakaan adalah sebuah produk maka dia harus menjamin kualitasnya
dengan baik dan disukai oleh konsumen dalam hal ini oleh pelajar. Pustakawan
juga harus cerdas dalam menganalisa koleksi buku apa yang diinginkan dan
disukai oleh pelajar, jika perlu dilakukan penelitian yang mendalam.
2. Promosi Gerakan Gemar Membaca di
Lingkungan Sekolah
Jika belajar dari perusahaan
produk-produk yang mendunia, akan tahu betapa faktor penentu laku tidaknya
sebuah produk adalah ditentukan faktor promosi (iklan), Tentunya poin pertama
diatas (kualitas) harus diutamakan. Jika poin pertama (Tersedianya Perpustakaan
yang Dikelola dengan Baik) sudah terpenuhi, maka promosi wajib gencar
dilakukan.
Cara
untuk melakukan promosi ini bisa bekerjasama dengan pihak kepala sekolah
bersama jajaranya. Akan lebih baik lagi jika Kepala Sekolah, Guru, dan staff
sekolah menjadi orang pertama yang mengawali gerakan gemar membaca di sekolahnya.
Bisa juga membuat baliho atau spanduk di sekitar sekolah yang berisi seruan
rajin membaca misalnya “Kami Ingin Pintar makanya Kami Suka Membaca”, Ingin
jadi Juara dan Berprestasi ? Rajinlah Membaca” begitu dan sejenisnya.
Cara
lain bisa juga dengan cara kebijakan sekolah yang mewajibkan semua siswa pada
seminggu sekali atau dua kali diwajibkan membaca sebuah buku diperpustakaan
yang kemudian disuruh merangkum buku yang dipinjam serta menjelaskan apa point
penting dari buku yang sudah mereka baca.
Selanjutnya
jangan terlalu sering menyalahkan para siswa ”malas membaca” jika para guru di
sekolah sendiri tidak pernah memberikan contoh bahwa para guru juga gemar
membaca.
Tantowi
Yahya berslogan: ”...Ibuku Perpustakaan
Pertamaku...”
selain
itu: ”...Luangkan Waktu Untuk Membaca
Buku Bagi
Anak Anda...”.
Membangun Budaya Baca
Membangun budaya baca menurut: Ahmad
Baedowi (2010)adalah:”... Telah menjadi rahasia umum bahwa
budaya baca masyarakat Indonesia termasuk yang paling rendah di Asia. Jangankan
masyarakat, guru dan dosen sekalipun, meski secara individual adalah pendidik
yang dekat dengan dunia baca-membaca, pada kenyataannya juga rendah minat dalam
membaca. Tidak jarang didapati di sekolah-sekolah bahwa kebiasaan guru dalam
membaca kurang dari 1 jam per hari….”.
Kebiasaan
membaca yang kurang baik itu bisa dilihat dari jumlah buku baru yang terbit di
negeri ini, yaitu hanya sekitar 8.000 judul/tahun. Bandingkan dengan Malaysia
yang menerbitkan 15.000 judul/tahun, Vietnam 45.000 judul/tahun, sedangkan
Inggris menerbitkan 100.000 judul/tahun! Jumlah judul buku baru yang ditulis
dan diterbitkan itu menunjukkan betapa budaya baca masyarakat kita masih
tergolong rendah. Mengapa demikian?
Pertanyaannya
kemudian adalah di manakah seharusnya kita membangun dan mengembangkan budaya
baca sedini mungkin? Jawabannya adalah di rumah dan di sekolah. Para orang tua
perlu digugah kesadarannya untuk menciptakan lingkungan membaca bagi anak-anak
mereka di rumah. Memberi contoh membaca dan mengajak anak-anak ke toko buku
adalah cara sederhana yang bisa dilakukan para orang tua. Sementara itu, di
sekolah, melalui perpustakaan dan budaya sekolah yang sehatlah dapat dibangun
budaya membaca yang baik.
Berikan
Penghargaan (Hadiah) untuk mereka yang
Rajin
Membaca
Setelah
poin pertama dan kedua lakukan, langkah selanjutnya berikanlah hadiah untuk
mereka yang rajin membaca. Caranya bisa dilakukan dengan kerjasama antara pihak
perpustakaan dan kepala sekolah melalui kebijakan. Hadiah tersebut bisa
diberikan misalnya untuk siswa paling sering meminjam buku di perpustakaan.
Namun perlu dicatat bahwa pemberian hadiah ini juga harus dilihat bukan hanya
pelajar yang hanya suka meminjam buku perpustakaan saja, tapi harus dilihat
prestasinya.Hal ini penting supaya murid/pelajar tidak hanya mengejar supaya
dapat hadiah kemudian mereka hanya sering pinjam buku tapi tidak pernah
membacanya. Jadi ada semacam ketentuan berlaku disini bahwa yang mendapatkan
hadiah adalah mereka yang rajin meminjam buku yang kemudian diikuti dengan
peningkatan prestasi setelah kerajinan membacanya. Jenis hadiah sendiri bisa
dalam bentuk pulsa (yang disukai pelajar), Uang saku, dan sejenisnya yang pasti
disukai siswa.
Mungkin
sebenarnya di setiap sekolah yang paling tahu terkait dengan kondisi di sekolah
adalah diri anda sendiri dan ketiga tips ini merupakan hanya sebagian kecil
tips yang diharapkan bisa membantu untuk meningkatkan minat baca pelajar dan
mahasiswa di seluruh Indonesia.
Budaya Menulis
Budaya menulis
memang tidak dapat dipaksakan. Remaja
Indonesia tidak minat membaca, menulis menurut: 2011) Abdul Said (2011)
adalah:”...minat membaca dan menulis dalam kalangan remaja di negara itu
sememangnya berada pada tahap membimbangkan....”.
“Kedua-dua
budaya tersebut saling berkaitan. Bagaimana seseorang boleh menulis jika mereka
langsung tiada minat untuk membaca,” katanya.
Menurutnya
lagi, ramai atau tidak untuk berpuas hati dengan kualiti penulisan pelajar
akibat tabiat dan karater mereka yang tidak suka membaca. Dengan rendahnya budaya
membaca, tentu kurang menguasai permasalahan. Sehingga hasil tulisannya yang
terlihat kalau penulis itu rajin membaca.
Budaya menulis
yang dialami penulis tentu tidak bisa menunggu apa yang harus di tulis, untuk
menjadikan budaya menulis harus diawali dengan rutinitas kapan waktu menulis
itu dalam setiap hari. Selain itu, menulis juga harus siap setiap saat. Walau
tengah malam sekalipun, kalau menemukan apa judul yang mau ditulis, harus
bangkit dari tempat tidur dan menulis. Sebab kalau tunggu besok maka apa yang
mau kita tulis sudah jadi kabur.
Bahan Renungan Bangsa
Dalam budaya menulis selain hal di atas,
kita perlu merenung pada: Teori Fransys Bacon yang terlahir diabad pertengahan.
Ia mengatakan dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa:
”...manusia
terbagi dalam 3 hal, masing-masing:
(1) padai
membaca membuat otak manusia penuh;
(2)pandai
diskusi membuat otak manusia siap; dan
(3)pandai
menulis membuat otak manusia Cermat...”.
Dengan demikian
harapan dari seorang pendahulu kita ini tidak sekedar membaca dan berdiskusi,
tapi menulis merupakan hal yang pada strata paling tinggi. Sebab dengan tulisan
yang tertuang dalam buku merupakan karya yang tidak bisa habis. Misalnya karya
para ”pujangga Indonesia” yang menulis buku masa lampau diantaranya: Prof. DR.
Buya Hamka. Seperti tenggelamnya kapal Vanderwic, Dibawah Lindungan Ka’bah dan
banyak penulis lainnya, tulisan-tulisan pujangga lama ini, masih banyak
ditemukan di perpustakaan. Dan harus didokumentasikan dengan baik. Karena
mereka telah tiada, tapi hasil karyanya masih dipakai serta dibaca dalam
abad-abad sekarang dan masa datang.
Karena tulisan-tulisan mereka jika kita baca banyak unsur: sasra,
pendidikan, perjuangan bangsa masa lalu.
Ancaman (Threats) Era Globalisasi
Menurut
H. Athaillah Baderi (2005) adalah:”...apabila rendahnya minat dan kemampuan
membaca masyarakat kita sebagaimana terwakili oleh anak-anak dan orang
dewasa dalam beberapa penelitian di atas dibiarkan sampai pada suatu saat tetap
status quo maka dalam persaingan global kita akan selalu ketinggalan
dengan sesama negara berkembang, apalagi dengan negara-negara maju lainnya.
Kita tidak akan mampu mengatasi segala persoalan sosial, politik, ekonomi,
kebudayaan dan lainnya selama SDM kita tidak kompetitif, karena kurangnya
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, akibat
lemahnya kemauan dan kemampuan membaca...”.
Pengalaman
pahit telah menerpa bangsa kita, pada pertengahan tahun dalam bulan Juli 1997.
Akibat krisis moneter yang melanda kawasan Asia Tenggara dan Kawasan Asia Timur
maka ekonomi kita telah tercabik-cabik.
Lemahnya Sarana dan Prasarana Pendidikan
Salah satu faktor yang menyebabkan kemampuan membaca
anak-anak kita tergolong rendah karena sarana dan prasarana pendidikan
khususnya perpustakaan dengan buku-bukunya belum mendapat prioritas dalam
penyelenggaraannya. Sedangkan kegiatan membaca membutuhkan adanya buku-buku
yang cukup dan bermutu serta eksistensi perpustakaan dalam menunjang proses
pembelajaran.
Faktor lain
yang menghambat kegiatan anak-anak untuk mau membaca adalah kurikulum yang
tidak secara tegas mencantumkan kegiatan membaca dalam suatu bahan kajian,
serta para tenaga kependidikan baik sebagai guru, dosen maupun para pustakawan
yang tidak memberikan motivasi pada anak-anak peserta didik bahwa membaca itu penting untuk
menambah ilmu pengetahuan, melatih berfikir kritis, menganalisis persoalan, dan
sebagainya.
Sarana
pemerintah dalam sudut lain untk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
(TIK) dalam proses pembelajaran, berdasarkan berita RRI tanggal 12 Juni 2012
jam 19.00 memberikana bahwa:”…kementerian komunikasi dan informasi dalam perencanaannya pada tahun
2014 di semua desa sudah terpasang media internet, guna mempermudah berbagai
informasi pembangunan sampai ke pedesaan…”. Sehingga mempermudah masyarakat
mengetahuinya. Sarana prasarana yang akan ditempatkan pemerintah ke semua desa
di tanah air, tentu juga sebuah ajakan kepada setiap warga negera kita untuk
bisa membaca.
Perpustakaan dan Buku
Di hampir semua sekolah pada semua
jenis dan jenjang pendidikan, kondisi perpustakaannya masih perlu memenuhi
standar sarana dan prasarana pendidikan. Perpustakaan sekolah belum sepenuhnya
berfungsi. Jumlah buku-buku perpustakaan jauh dari mencukupi kebutuhan tuntutan
membaca sebagai basis pendidikan, serta peralatan dan tenaga yang tidak sesuai
dengan kebutuhan. Padahal perpustakaan sekolah merupakan sumber membaca dan
sumber belajar sepanjang hayat yang sangat vital dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Buku-buku
bermutu yang menyangkut isi, bahasa, pengarang, lay-out atau penyajiannya yang
sesuai dengan tingkat pendidikan dan kecerdasan seseorang akan dapat H.
Athaillah Baderi (2005) bahwa:
“…merangsang berahi membaca…” orang tersebut. Demikian pula kalau buku-buku
dalam semua jenisnya tersebar luas secara merata ke berbagai lapisan
masyarakat, mudah didapat dimana-mana, serta harganya dapat dijangkau oleh
semua tingkatan sosial ekonomi masyarakat, maka kegiatan membaca akan tumbuh
dengan sendirinya. Pada akhirnya akan tercipta sebuah kondisi “masyarakat
konsumen membaca” yang akan mengkonsumsi buku-buku setiap hari sebagai
kebutuhan pokok dalam hidup keseharian.
Perluasan
jangkauan layanan perpustakaan baik melalui perpustakaan menetap atau
perpustakaan mobil keliling di pusat-pusat kegiatan masyarakat desa, RW/RT
secara merata dan berkesinambungan akan dapat menjadikan masyarakat membaca (reading
society). Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas
yang tersebar luas, semakin besar pula stimulasi membaca sesama warga
masyarakat.
Sistem
Pendidikan Nasional dan Kurikulum
Sistem
Pendidikan Nasional yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
diharapkan dapat memberikan arahan agar tujuan pendidikan di tanah air semakin
jelas dalam mengembangkan kemampuan potensi anak bangsa agar terwujudnya SDM
Indonesia yang kompetitif dalam era globalisasi, sehingga bangsa Indonesia
tidak selalu ketinggalan dalam kecerdasan intelektual. Oleh sebab itu
penyelenggaraan pendidikan harus memenuhi beberapa prinsip antara lain :
a.
Sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat.
b.
Mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung
bagi segenap warga masyarakat.
Kedua prinsip
di atas harus saling bergayut. Artinya dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik sepanjang hayat, harus diisi dengan kegiatan pengembangan
budaya membaca, menulis dan berhitung.
Pengembangan
kurikulum secara berdiversifikasi khususnya dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia
harus memuat kegiatan pengembangan budaya membaca dan menulis dengan alokasi
waktu yang cukup memberi kesempatan banyak untuk membaca.
Demikian pula dalam bahan kajian seni dan
budaya, cakupan kegiatan menulis harus jelas dan berimbang dengan
kegiatan menggambar/melukis, menyanyi dan menari.
Kegiatan membaca
dan menulis tidak saja menjadi prioritas dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia
dan Bahan Kajian Seni dan Budaya, tetapi hendaknya juga secara implicit harus
tercantum dalam Bahan-bahan Kajian lainnya.
Kenapa Minat Baca Masyarakat Indonesia Rendah ?
Athaillah
(2003) bahwa:“…Negara disebut maju dan berkembang kalau penduduknya atau
masyarakatnya mempunyai minat baca yang tinggi dengan dibuktikan dari jumlah
buku yang diterbitkan dan jumlah perpustakaan yang ada di negeri tersebut...”.
Setiawan Hartadi (2011)
menyebutkan bawah:”… Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
dan bisa menghambat masyarakat untuk mencintai dan menyenangi buku sebagai
sumber informasi layaknya membaca koran dan majalah, yaitu:
1.
Sistem pembelajaran di Indonesia belum membuat
siswa/mahasiswa harus membaca buku lebih banyak dari apa yang diajarkan dan
mencari informasi atau pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan di kelas.
2.
Banyaknya hiburan TV dan permainan di rumah atau
di luar rumah yang membuat perhatian anak atau orang dewasa untuk
menjauhi buku. Sebenarnya dengan berkembangnya teknologi internet akan membawa
dampak terhadap peningkatan minat baca masyarakat kita, karena internet
merupakan sarana visual yang dapat disinosimkan dengan sumber informasi yang
lebih abtudate, tetapi hal ini disikapi lain karena yang dicari di
internet kebanyakan berupa visual yang kurang tepat bagi konsumsi anak-anak.
3.
Banyaknya tempat-tempat hiburan seperti taman
rekreasi, karaoke, mall, supermarket dll.
4.
Budaya baca masih belum diwariskan oleh nenek
moyang kita, hal ini terlihat dari kebiasaan Ibu-Ibu yang sering
mendongeng kepada putra-putrinya sebelum anaknya tidur dan ini hanya
diaplikasikan secara verbal atau lisan saja dan tidak dibiasakan mencapai
pengetahuan melalui bacaan.
5.
Para ibu disibukan dengan berbagai kegiatan di
rumah/di kantor serta membantu mencari tambahan nafkah untuk keluarga, sehingga
waktu untuk membaca sangat minim.
6.
Buku dirasakan oleh masyarakat umum sangat mahal
dan begitu juga jumlah perpustakaan masih sedikit dibanding dengan jumlah
penduduk yang ada dan kadang-kadang letaknya jauh.
Faktor-faktor
yang mendukung dan menghambat minat baca
Banjak hal yang turut
mempengaruhi terhadap upaya membangun minat baca masyarakat yaitu:
Peran Orang Tua
dalam menumbuhkan minat baca
Untuk
mensiasati supaya masyarakat kita gemar membaca dan membaca adalah suatu
kebutuhan sehari-hari, maka tidak ada jalan lain peranan orang tua sangat
dibutuhkan dengan cara membiasakan anak-anak sejak usia dini untuk mengenal apa
yang dinamakan buku dan membiasakan untuk membaca dan bercerita terhadap buku
yang dibacanya. Hal ini harus dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus
dengan harapan akan terbentuk kepribadian yang kuat dalam diri si anak sampai
dewasa, sehingga membaca adalah suatu kebutuhan bukan sekedar hobi melulu.
Peran
Pemerintah dalam menumbuhkan minat baca
Peranan
pemerintah daerah dibantu oleh kalangan dunia pendidikan, media masa, gerakan
masyarakat cinta buku untuk bersama-sama merangkul pihak-pihak swasta
yang mempunyai kepentingan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa untuk
mensponsori pendirian perpustakaan-perpustakaan kecil dilingkungan masyarakat
seperti desa/kampung dengan bantuan berupa sarana dan prasarana dan koleksi
perpustakaan yang pengelolaannya diserahkan kepada Ibu-Ibu PKK atau Karang
Taruna. Supaya gebyarnya lebih meluas perlu diadakan lomba
yang bisa di ekspos oleh media massa lokal maupun nasional dengan
iming-iming berupa hadiah yang menarik sebagaimana lomba green and clean
di Surabaya, dan ini harus dilakukan secara continue setiap tahunnya.
Peran Lembaga
Pendidikan dalam menumbuhkan minat baca
Peranan kepala sekolah sangat penting
sebagai ujung tombak terhadap pendirian perpustakan dan fungsi guru dan
pustakawan sebagai pengembangan perpustakaan harus selalu mendapat perhatian
serius dari pihak pemerintah daerah, karena banyak sekolah dasar sampai
menengah belum memiliki perpustakaan dan kalaupun ada sifatnya stagnasi
dan tidak berkembang karena kesulitan dana. Pemerintah Daerah yang
sebenarnya harus memfasilitasi perpustakaan sekolah dengan cara
menggandeng pihak-pihak swasta sebagai sponsor atau sebagai mitra.
Perpustakaan keliling yang sudah ada sekarang ini perlu ditingkatnya dan
diperluas jangkauannya dengan penambahan armada dan koleksi setiap
tahunnya dan bukan malah sebaliknya semakin tahun semakin
menurun dan akhirnya tidak beroperasi lagi dan ini harus mendapat
perhatian serius dari kita semua kalau menginginkan bangsa kita
cerdas dan pandai sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah maju.
Tips Membangun Minat Baca
Memang menciptakan minat baca, tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi cara paling efektif adalah membiasakan setiap keluar rumah membeli buku walau hanya satu apa lagi lebih. Setiap anak diberikan buku.
Buku yang dibeli tidak perlu mahal, tapi yang disenangi anak-anak dengan mengesuaikan pada usia anak. Jika anak masih pada tingkat usia PAUD tentu buku yang lebih banyak gambarnya pasti disenangi anak. Demikian juga SD.
Tapi bagi anak yang sudah duduk di
bangku sekolah, jangan lupa materi belajar mereka sangat diperlukan.
Kalau anak sudah di bangku SLTP/SLTA
tentu disamping buku bacaan/materi belajar dan berikan selingan buku bacaan
apakah cerita orang sukses, para penemu seperti: Listrik, Telepon, Komputer,
radio dll. Dengan demikian anak punya pustaka tentang ilmu pengetahuan.
Sebaiknya anak diberikan kesempatan untuk berdiskusi apa yang ia ketahui dari
hasil membacanya itu, dan orang tua akan menang mengetahui hal itu.
Saran-saran
Dalam bagian ini, penulis mencoba
mengemukakan sejumlah saran sebagai berikut:
Pertama, perlu digalakkan event-event yang dapat menumbuhkan minat baca di masyarakat
luas, seperti acara–acara yang mengangkat dunia literasi sudah diselenggarakan
di Indonesia, diantaranya ada 'Hari Buku Nasional', 'Hari Kunjungan
Perpustakaan' sampai berbagai pameran dan bazar buku (book fair) di tingkat lokal maupun
nasional. Seiring dengan adanya globalisasi informasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan, sudah saatnya kita melebarkan aktivitas kita dalam dunia perbukuan
dengan ikut berpartisipasi melakukan perayaan buku berskala internasional agar
lebih menggaungkan buku dan literasi di tengah masyarakat Indonesia.
Kedua, perlunya partisipasi organisasi-organisasi
non-pemerintah seperti Forum Indonesia Membaca (FIM), sebuah organisasi sosial
kemasyarakatan yang berkonsentrasi di aktivitas literasi, dengan berupaya
membuka ruang partisipasi seluas–luasnya kepada masyarakat dalam penguatan
budaya baca. Upaya Forum Indonesia
Membaca, dengan mengambil tema ’Buku untuk Perubahan’, berusaha merealisasikan
kembali pelaksanaan World Book Day
di Indonesia menjadi sebuah tradisi festival yang tujuannya untuk merayakan
buku dan literasi, dimana acara World Book
Day membuka partisipasi masyarakat sebesar–besarnya dalam
meningkatkan kesadaran akan pentingnya buku dan membaca, serta mengapresiasi
dunia perbukuan itu sendiri, baik itu terlibat sebagai pembicara, pengisi
acara, peserta, maupun sebagai pengunjung.
Ketiga, orang tua dapat menjadi contoh di rumah dengan
membiasakan membaca apa saja (koran, majalah, tabloid, buku, dsb.), menyediakan
bahan-bahan bacaan yang menarik dan mendidik, mengajak anak berkunjung ke
pameran buku sesering mungkin dan memasukkan anak menjadi anggota perpustakaan.
Keempat, memperbanyak jumlah perpustakaan secara merata
di setiap kota/kabupaten di Indonesia dengan koleksi bahan pustaka yang
mencukupi untuk kebutuhan masyarakat umum, pelajar dan mahasiswa.
Kelima, perlu partisipasi semua semua lapisan
mamsyarakat, pemerintah, LSM, masyarakat pecinta buku, Diknas serta asosiasi
penerbit, pustakawan, toko buku dan para pemerhati masalah buku dan minat baca
untuk menyelenggarakan kegiatan yang dapat menggugah gairah minat baca
masyarakat. Sehingga budaya membaca menjadi sebagian budaya masyarakat
Indonesia. Contoh kegiatan ini adalah pameran buku, lomba bercerita, lomba
menulis/mengarang karya ilmiah, dsbnya. Lomba bercerita bagi anak-anak SD
dinilai cukup efektif sebagai upaya meningkatkan minat baca, karena dilihat
dari penampilan peserta cukup bagus dan lancar, karena disamping membaca
peserta juga langsung bercerita.
Keenam: Produk adalah ditentukan faktor promosi
(iklan), juga membuat baliho atau
spanduk di sekitar sekolah yang berisi seruan rajin membaca misalnya “Kami Ingin
Pintar makanya Kami Suka Membaca”, Ingin jadi Juara dan Berprestasi ?
Rajinlah Membaca” begitu dan
sejenisnya. Mungkin hal ini sudah terlaksana, tapi kalau berulang kali, pasti
munya kesan tersediri dari murid/pelajar. Atau pelajar dan mahasiswa. Namun perlu
dicatat bahwa pemberian hadiah ini juga harus dilihat bukan hanya pelajar yang
hanya suka meminjam buku perpustakaan saja, tapi harus dilihat prestasinya di
tempat mereka belajar.
Perpustakaan perlu menyelenggarakan
lomba mengarang bagi pelajar dan mahasiswa, untuk melihat sampai dimana
keterampilan menulis bagi masyarakat terpelajar dalam hal menulis di Kalimantan
Tengah.
tulisan yang bagus dan menginspirasi. apakah secara resmi tulisan terpublikasi melalui lembaga atau even seminar tertentu? saya tertarik untuk mengambil sebagai bahan referensi.
BalasHapus