Selasa, 27 November 2018

UPAYA MENGOPTIMALKAN FUNGSI DAN PERAN PKBM SEBAGAI LEMBAGA PENGEMBANG SUMBERDAYA MASYARAKAT

oleh : H.M. Norsanie Darlan Pendahuluan Dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa di negeri tercinta ini, guna mengantisipasi tantangan dunia pendidikan yang semakin hari ternyata semakin sulit. Terlebih dalam jalur pendidikan luar sekolah. Dipihak lain, angka tuna aksara tak kunjung henti dalam arti Kuantitas, bahkan ada kalanya jumlahnya semakin meningkat. Apakah betul jumlahnya semakin bertambah, ataukah cara pengelolaannya yang kurang relevan. Karena tugas-tugas PLS lebih banyak dikerjakan oleh orang-orang bukan PLS. Sebetulnya hal itu warga PLS sangat bersyukur, asal harapan yang kita inginkan dalam upaya mencerdaskan keghidupan bangsa dapat terwujud. Selain itu tokoh PLS di sektor formal yang menangani Pendidikan Luar Sekolah dengan melihat jumlah angka tuna aksarana yang semakin membengkak menyatakan bahwa hal ini adalah kegagalan pendidikan formal. Sehingga setelah mereka putus sekolah, maka kasus ini menjadi pekerjaan bagi mereka yang peduli pada pekerja PLS. PKBM dalam memberikan sumbangannya pada negara di negeri tercinta ini cukup besar bagi kita yang menilik hal itu dari sudut pandang luar sekolah. Namun dipihak lain mereka melihat dalam sudut pandang pendidikan formal, apalah artinya PKBM itu. Bahkan mereka menganggap PKBM hanya sekedar pekerjaan orang-orang PLS yang akal-akalan untuk menambah penghasilan. Bicara tentang kualitasnya? Dan mana hasilnya mereka pasti belum seluruhnya tahu. Walaupun dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003, secara jelas dalam pasal 13 butir (1) menurut Hamid, (2003) bahwa :”...jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan meperkaya...”. Dalam sudut lain, dalam pasal 28 bahwa pendidikan nonformal berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Hal inilah yang perlu kita bicarakan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa di negeri tercinta ini. Beberapa Pengertian Dalam bagian ini, penulis menguraikan secara sederhana minimal 4 hal dalam pengertian istilah PKBM secara rinci dan sederhana masing-masing sebagai berikut: 1. Optimal menurut Echols dan Shadily (1982; 407) adalah:”...suatu pekerjaan ataupun perbuatan yang paling bagus...”. Sehinga menghasilkan sesuai dengan yang diharapkan; 2. Adapun fungsi menurut Poerwadarminta (1986) yaitu: ”...kegunaan sesuatu lembaga....”. Termasuk lembaga PKBM dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, yang semakin hari semakin bertambah. Namun beragam pula klasifikasinya; 3. Peran menurut Moeliono (1989; 667) adalah: ”...seperangkat peralatan yang diharapkan dimiliki oleh suatu lembaga atau orang tertentu yang berkedudukan di masyarakat.... Peran di sini tidak laih sebuah usaha individu ataupun sekelompok orang yang berperan pada PKBM dalam jalur pendidikan luar sekolah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa; 4. Pusat adalah menurut ahli bahasa Moeliono (1989; 712) dan Poerwadarminta (1986) adalah :...suatu pokok pangkal berbagai-bagai urusan...”. Sehingga dapat membantu seseorang atau sekelompok orang dalam proses belajar membelajarkan dalam jalur pendidikan nonformal untuk menyelesaikan studinya yang karena faktor usia, ia harus turut serta belajar pada PKBM; 5. Kegiatan menurut Poerwadarminta (1986; 322) adalah: ”...suatu kekuatan dan ketangkasan dalam berusaha dengan penuh kearifan pada program tertentu...”. Termasuk dalam kegiatan proses belajar pendidikan luar sekolah; 6. Belajar menurut Moeliono (1989; 13) yaitu:”...berusaha untuk memperoleh kepandaian atau suatu ilmu tertentu....”. Ahli lain, seperti Shadily (1980; 434) adalah:”...seseorang dapat mempelajari sesuatu, sehingga ia dapat memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang baru yang memungkinkan yang bersangkutan untuk berprestasi...”. Sehingga di tempat ini seperti PKBM akan dapat membantu kepada mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak sempat mengikuti pendidikan formal. Dengan adanya PKBM ini, warga masyarakat dapat belajar dalam menuntaskan wajar 9 tahun untuk mempu calistung seperti kebanyakan orang; 7. Masyarakat menurut Poerwadarminta (1986; 636) adalah:”...sekumpulan orang yang hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan dengan ikatan-ikatan aturan tertentu. Sedangkan moeliono (1989; 564) adalah: ”...sejumlah manusia diartikan seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama...”. Dan mereka ini, berminat dalam jalur pendidikan luar sekolah; 8. Pengembangan menurut Moeliono (1989; 414) dan Poerwadarminta (1986) adalah:”...suatu proses, cara, perbuatan mengembangkan secara bertahap...”. Termasuk dalam dunia pendidikan luar sekolah tidak serta merta mendaftarkan diri ia dapat ijazah. Tapi mereka harus belajar dalam kurun waktu tertentu. Dan hal seperti ini harus dipertahankan. 9. Sumberdaya lebih cenderung pada manusia, menurut Zein (1982; 4) menegaskan adalah :’’...tidak sekedar terbatas pada barang (termasuk manusia) atau substansi yang digunakan dalam upaya untuk mencapai sesuatu tujuan, tetapi yang terpenting adalah peran benda atau substansi tersebut dalam proses atau operasi, yakni fungsinya secara operasional di dalam proses tercapainya tujuan...”. Fungsi PKBM Adapun fungsi sebetulnya tidak sekedar memanfaatkan kegunaan sesuatu lembaga saja. Tapi juga termasuk lembaga PKBM ini, dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya. Namun beragam pula klasifikasinya. Dengan demikian fungsi PKBM dimasa datang setelah dialkukan sertifikasi dan akreditasi akan terlihat mana yang benar-benar menjalankan tugas PLS dan mana yang tidak. Dalam rangka sosialisasi Forum Komunikasi Pendidikan Keaksaraan (FKPK) di tanah air. Terdapat keluhan tokoh formal Ichwanuddin (2006) bahwa:”... pernah menyulitkan pihak Diknas (Dikjar) bila bakal terjadi Pemilu dan Pilkada, ada orang-orang tertentu, yang mendesak agar ikut serta dalam program paket C. Tidak itu saja, kepala Dikjar (Dinas pendidikan dan pengajaran) agar diikutsertakan ujian paket C. Hal tersebuat ia pernah juga diperiksa oleh pihak kejaksaan, karena ada indikasi bahwa lulusan paket C diperoleh tanpa melalui kegiatan pendidikan luar sekolah yang wajar...”. Hal seperti ini, fungsi PKBM perlu dijaga, bukan hanya sekedar kasihan. Tapi dengan terbitnya Undang-Undang nomor: 20/2003 dalam Bab XX ada pula sanksinya. Kebanggaan kita semua memang lulusan paket C sudah ada yang jadi Bupati. Tidak terhitung yang menjadi anggota DPR. Dalam kegagalan pendidikan formal tahun 2006 lalu, bisa kita ingat 15-20 tahun mendatang, lulusan paket C akan bermunculan menjadi pejabat di negeri ini. Dengan demikian fungsi PKBM setara juga dengan pendidikan formal. Hanya yang kita jaga kualitasnya. Peran PKBM Berbicara tentang peran PKBM dalam upaya mencerdasken kehidupan bangsa di tanah air tercinta ini, masih belum maksimal. Ketidak maksimalan ini didasari oleh : 1. Kesiapan tenaga terdidik; 2. Fasilitas yang memadai; 3. Keragaman program; 4. Uluran tangan pemerintah. Kesiapan tenaga terdidik, masih kurang, dari hasil observasi dan evaluasi selama beberapa tahun terakhir, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) ini baik di dalam maupun di luar daerah Kalimantan Tengah tenaga yang mengelola mayoritas mereka yang bukan berpendidikan luar sekolah. Sehingga pengelola pemula tentu akan mendapat kesulitan dalam hal-hal tertentu. Sementara tenaga berpendidikan PLS yang mendapatkan pekerjaan sebagai PNS diterima pada jalur pendidikan formal, sehingga kurang memperhatikan ciri kesarjanaannya. Bila kita mempelajari teori PLS tentu saja sangat sederhana, sebab fasilitas untuk belajar membelajarkan ini, dapat di rumah penduduk, balai desa, atau di mana saja. Yang proses belajar membelajarkan ini sebelumnya terjadi kesepakatan antara warga belajar dengan tutor. Sehingga fasilitas yang ada dewasa ini, masih belum seluruhnya memadai sebagai tempat (ruang) belajar mengajar. Akibatnya kurang menciptakan kenyamanan dan sudut pandang orang luar PLS menjadi kurang tertarik untuk memilih jalur PLS. PAUD PKBM Tilung Raya Palangka Raya Dalam hal keragaman program, sebaiknya PKBM mengembangkan berbagai hal selain sesuai dengan upaya wajar 9 tahun, juga ada PAUD, Paket C bahkan berbagai hal sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat sekitar. Masalnya dengan mengangkat sumber daya alam yang ada di sekitar dan dapat pula dipasarkan ke daerah lain. Sehingga materi life skills ini, akan dapat membantu masyarakat banyak. Dan PKBM jadi dikenal oleh masyarakat banyak. Seperti di kota Solo, PKBM banyak berperan. Termasuk merias pengantin. PKBM Mendawai Palangka Raya Uluran tangan pemerintah yang mulai terlihat setelah angka buta aksara latin dan angka ternyata tak kunjung hilang. Walau kita merdeka sudah setengah abad lebih. Karena si warga tuna aksara ada perasaan segan untuk ikut belajar di tempat tersebut. Mengapa? karena tempatnya terkadang sungguh menyedihkan. Sehingga walau ada kesadaran mereka bahwa belajar itu penting bagi dirinya. Tapi kalau buku bacaan, tempat belajar, tenaga tutor belum memadai dan tidak mendapatkan uluran tangan pemerintah, baik berupa perbaikan fasilitas belajar, maupun keperluan tenaga tutor belum memadai. Membuat para peminat untuk bergabung pada jalur PLS ini, menjadi rendah. Oleh sebab itu, perlu perhatian kita semua. Terlebih bagi mereka yang bertugas dan berkecimpung sehari-hari di Dirjen, Dinas, Subdin PLS, Kasi PLS menjadi kurang perhatian. Kurangnya perhatian di atas, menurut hasil pengamatan sementara ini, ada hubungannya dengan tenaga kerja yang ditempatkan menangani PLS tidak seluruhnya berlatar belakang pendidikan luar serkolah. Namun Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesataraan, serta pendidikan lain yang ditunjuk untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Dengan demikian PKBM akan dapat memilah mana yang dapat kita lakukan. Taman Bermain Shalahuddin Palangka Raya Dari 4 hal dalam upaya mengoptimalkan PKBM merupakan ssesuatu yang tidak dapat ditunda-tunda. Karena negeri kita yang sejak lama masih saja bergelut dalam dunia keaksaraan ini, akan tertinggal jauh di belakangan oleh negara-negara lain, kini mereka telah maju jamping ke depan seperti negeri tetangga kita Malaysia. Kibijakan Strategis Pemerataan dan Perluasan Dalam upaya menetapkan kebijakan strategi pemerataan dan perluasan, mutu dan relevasi serta governance dan akuntabelitas menurut Ace Suryadi (2005) adalah sebagai berikut: a. Penanganan program pemberantasan buta akasara di prioritaskan pada kantong-kantong daerah pemukiman penduduk yang jumlah buta aksaranya tinggi. b. Berusaha mengerahkan dan bekerja sama dengan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga pendidikan formal pada semua tingkatan. Mutu dan Relevansi Untuk melihat bagai mana muti dan relevansi menurut pejabat formal di atas adalah: a. Melakukan hasil pengujian terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan standar yang telah dibakukan sehingga program pembelajaran yang telah dilaksanakan selama ini dapat diketahui sejauh mana tingkat penguasaan peserta didik. b. Berusaha melakukan peningkatan pelayanan pendidikan keaksaraan melalui kegiatan pembelajaran yang berkelanjutan dan relevan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya melalui program life skills. Governance dan Akuntabilitas Berusaha mewujudkan pengelolaan pendidikan keaksaraan secara intensif melalui sistem pengendalian mutu secara internal baik dari masyarakat maupun pemerintah secara menyeluruh dan berkelanjutan. Ada Kesepakatan Untuk kalangan tenaga pendidikan khususnya alumnus PLS yang berkiprah pada pendidikan tinggi, sebaiknya ada kesepakatan dalam mempersiapkan untuk melatih mahasiswa agar tidak terlalu berharap dalam pekerjaan dunia formal. Mereka sejak awal kita untuk turun ke masyarakat dalam menekuni jalur pendidikan luar sekolah. Sehingga sekembalinya mereka di masyarakat alumnus kita tidak terlalu kaget dalam berhadapan dengan PKBM, Kursus-kursus dan sebagainya. Data Peringkat Dari data lain yang disajikan pada Sosialisasi Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Aksara Intensif menurut: Ace Suryadi, (2005) di Hotel Sahid Raya Solo Tanggal 18 Desember 2005 itu, dengan mengutip dari laporan UNDP tahun 2004, peringkat HDI Indonesia berada pada posisi 111 dari 177 negara. Sementara peringkat HDI Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia pada tahun-tahun sebelumnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel Perbandingan HDI Indonesia dengan Negara lain Negara Tahun 1995 2000 2002 2003 2004 Thailand 58 76 70 74 76 Malaysia 59 61 59 58 59 Philipina 100 77 77 85 83 Indonesia 104 109 110 112 111 China 111 99 96 104 94 Vietnam 120 108 109 109 112 Sumber: UNDP HDI Rank (1995, 2000, 2002, 2003, dan 2004) Dari tabel di atas, dapat terlihat betapa posisi Indonesia tidak jauh berubah sejak tahun 1995, bahkan antara tahun 2003 dan 2004 tidak mengalami perubahan peringkat, bila dilihat dari jumlah negara yang di survei. Indonesia berada diperingkat 112 dari 175 negara (2003) dan 111 dari 177 negara (2004). Berdasarkan data BPS tahun 2005 posisi kebutaaksaraan penduduk Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Untuk kelompok usia 10 tahun ke atas masih 15.04 juta orang; 2. Usia 15-44 tahun sebesar 3.519.970 orang; dan 3. Usia 45 tahun ke atas 11.075.118 juta. Sedangkan kemampuan pemerintah melalui APBN setiap tahun hanya mampu membelajarkan sekitar 150.000 orang dan diperkirakan untuk tahun 2006 sekitar 420.000 orang. Dengan demikian bila hanya mengandalkan pada kemampuan pemerintah, target penyelesaian rencana pembangunan jangka menengah sebanyak 1.500.000 orang pertahun pesimis bisa tercapai. Rendahnya penurunan angka di atas, menurut penulis diantaranya adalah karena besarnya jumlah penduduk, luasnya wilayah negeri ini, tenaga pengelolanya yang sangat beragam. PENYEBAB TERJADINYA BUTA AKSARA INDONESIA Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya buta aksara di Indonesia adalah : 1. Putus Sekolah Dasar (SD) Masih banyak anak Indonesia, yang belum memiliki kesempatan untuk masuk sekolah dikarenakan berbagai hal. Pertama: karena orang tua atau keluarganya tidak mampu. Kondisi ini memaksa orang tua untuk mempekerjakan anak-anak mereka, terutama dimusim pertanian yaitu waktu mengolah sawah, menanam, mengetam dan lain lain. Kedua: kondisi daerah yang terisolasi atau daerah transmigrasi yang jauh dari sekolah, daerah yang terkena bencana alam atau konflik, seperti Aceh, Nabire, Poso, Atambua, dan sebagainya. Kedua penyebab ini, tidak menutup kemungkinan akan menambah buta aksara jumlah buta aksara di Indonesia. AKTIVITAS MAHASISWA PLS UNPAR DI PKBM DALAM UPAYA CALISTUNG TUA/MUDA KAUM IBU BELAJAR BERSAMA Salah satu faktor lagi, yang kurang diperhatikan penyebab buta aksara di Indonesia adalah DO program-program pendidikan luar sekolah (PLS) baik yang dilakukan melalui pendidikan keaksaraan maupun kesetaraan. Angka putus belajar, terutama dalam program pemberantasan buta aksara, cukup tinggi karena kurangnya motivasi dan warga belajar tidak merasakan manfaat yang segera dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk juga seperti dalam uraian peran PKBM terdahulu, bahwa pendidikan keterampilanpun tidak akan menarik minat masyarakat buta aksara. Apabila mereka tidak merasakan akibat langsung untuk meningkatkan pendapatan, memperoleh lapangan kerja, dan memperbaiki status sosial-ekonomi mereka. Hal ini menjadi tantangan bagi kita dalam pengelolan PKBM yang dapat dimaksimalkan. Berdasarkan pengamatan UNESCO kompetensi keaksaraan lulusan pendidikan dasar masih belum memadai. Padahal menurut Direktur Jendral UNESCO Koichi Matsura pendidikan keaksaraan merupakan sarana pembangunan berkelanjutan. Kemampuan keaksaraan begitu penting bagi setiap orang, kelompok dan masyarakat. Kemampuan keaksaraan memiliki kontribusi terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan (Suryadi, 2005). 2.Demografis dan Geografis Dilihat dari segi demografi dan geografis bagian terbesar dari jumlah penduduk tinggal di pedesaan, sekitar 70-80% penduduk dunia terutama di negara-negara miskin dan yang sedang berkembang termasuk Indonesia bermukim di pedesaan. Tenaga terdidik masih sangat kurang karena sebagian penduduk menempati kawasan pedesaan dengan tingkat pendidikan relatif rendah. Data yang dapat dipercaya bahwa 1/5 atau 20% dari penduduk dunia, masih buta aksara dan sebagian besar mereka tinggal di daerah pedesaan. Begitupun yang terjadi di Indonesia yang berpenduduk 206 juta yang sebagian besar tinggal di pedesaan di hampir 17.000 pulau yang semua itu perlu ditangani. Diproyeksikan pada tahun 2004, angka penyerapan murni SD hanya sekitar 94,13% dari populasi anak SD yang masuk sekolah. Hal ini berarti masih ada sekitar 5,87% anak-anak yang perlu dicarikan alternatif pendidikannya agar dapat memperoleh pendidikan minimal setingkat SD. Sebagaimana kita tahu daya tampung SD tidak dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia, untuk itu perlu dicarikan alternatif untuk menangani mereka. Jika hal ini tidak tertangani tidak menutup kemungkinan mereka akan menjadi buta aksara dikemudian hari. Masalah geografi dan demografi ini merupakan masalah krusial dan perlu segera diatasi. Berdasarkan data BP3 (2003) penyebaran buta aksara berdasarkan geografi dapat dilihat pada gambar berikut: 3.Aspek Sosiologis Ditinjau dari segi sosiologis, sebagian besar masyarakat kita beranggapan bahwa harkat dan martabat seseorang akan meningkat apabila memiliki “Ijazah” yang diperoleh melalui jalur persekolahan, dengan orientasi ingin menjadi pegawai negeri atau bekerja di perusahaan-perusahaan atau bekerja pada sektor-sektor formal. Pada sisi lain, program pemberantasan buta aksara yang meskipun diintegrasikan dengan berbagai pendidikan keterampilan tidak memberikan “Ijazah” sebagai jawaban atas anggapan tersebut di atas. Sehingga program pemberantasan buta aksara kurang diminati oleh masyarakat yang tergolong miskin, dalam arti tidak mampu menyekolahkan anak pada jalur pendidikan persekolahan. Hasil penelitian juga memberi petunjuk bahwa sebagian besar masyarakat kita lebih menginginkan pendidikan sekolah bagi anak-anaknya, karena program pemberantasan buta aksara sendiri tidak memberikan ijazah yang diperlukan oleh mereka untuk meningkatkan status sosial ekonominya. Selain itu yang menjadi penyebab warga masyarakat buta aksara dari aspek sosiologis, adalah karena mereka hidup dalam keluarga yang berpendidikan rendah dan miskin, sehingga tidak mampu untuk membiayai pendidikanya. Sementara pada sisi lain, tidak ada kepedulian orang-orang terdidik disekitarnya untuk mendidik mereka. Begitu pula banyak perusahaan-perusahaan swasta yang tidak mensyaratkan latar belakang pendidikan bagi pekerjanya dengan alasan bahwa mereka membutuhkan pekerja-pekerja yang ber-upah rendah. Peranan keaksaraan dalam pengembangan sosiologis suatu masyarakat sebenarnya telah diakui oleh banyak pihak. Diakui pula, meskipun keaksaraan bukanlah satu-satunya program yang disiapkan untuk pengembangan sosial masyarakat, namun banyak keuntungan yang akan diperoleh apabila suatu masyarakat memiliki tingkat keaksaraan yang memadai. Keterampilan-keterampilan keaksaraan merupakan kondisi yang diperlukan sebagai alat yang efektif dalam pendekatan-pendekatan yang berurusan dengan kemiskinan. Hasil penelitian UNESCO juga menyatakan bahwa program Keaksaraan ternyata mempunyai implikasi langsung terhadap: (1) peningkatan pendapatan masyarakat; (2) peningkatan partisipasi masyarakat terhadap program pembangunan; (3) peningkatan gizi masyarakat; (4)peningkatan kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya; (5) penurunan angka kematian bayi dan ibu melahirkan; (6) keberhasilan pelaksanaan program keluarga berencana; (7) peningkatan usia harapan hidup masyarakat; dan (8) menjadikan masyarakat semakin demokratis. 4. Issue Gender Mengamati kenyataan dalam masyarakat, bahwa peranan antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang kegiatan, terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan yang cenderung merugikan dan atau membatasi ruang gerak kaum perempuan. Sebagai contoh, misalnya ketimpangan dalam hal mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan turut menentukan keputusan dalam rumah tangga, dan dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan kemajuan masyarakat, termasuk pendidikan yang diperlukan oleh dirinya. Banyak dari anak-anak perempuan yang kurang memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Ada anggapan di masyarakat, bahwa sepandai-pandainya perempuan kembalinya ke dapur juga. Anggapan lain berdasarkan issue gender ini misalnya, bahwa perempuan itu tidak perlu sekolah yang penting bisa mengurus suami dan keluarga. Anggapan-anggapan yang tidak membangun seperti ini, yang menyebabkan kaum perempuan tertinggal dibanding laki-laki. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sasaran program keaksaraan fungsional (KF) adalah perempuan (67,74%). Hal ini apabila program KF akan disosialisasikan dan diimplementasikan maka perlu memperhatikan isu gender ini, baik dalam strategi maupun pendekatannya. Rumusan yang biasa dipakai dalam analisis situasi kondisi jender dalam program keaksaraan fungsional adalah Index Paritas atau keseimbangan (Parity Index) angka buta aksara (IPBA) yaitu rasio angka buta aksara perempuan terhadap buta aksara laki-laki. Rendahnya tingkat keaksaraan perempuan semakin memarginalkan kedudukan mereka yang sebelumnya telah dipandang berbeda dan merupakan subordinasi dari laki-laki. Selain penyebab-penyebab tersebut di atas, kita juga harus memahami penyebab struktural mengapa di Indonesia lebih banyak perempuan buta aksara dibanding laki-laki. Hal ini dapat dijelaskan dari dua dimensi: Skala Makro: secara struktural pengambilan kebijakan diberbagai level dan bidang, termasuk bidang pendidikan didominasi oleh laki-laki dibanding perempuan, sehingga keputusan yang dihasilkanpun adalah berdasarkan kacamata (kepentingan) laki-laki. Skala Mikro: dalam skala keluarga misalnya, hampir semua keputusan yang berkaitan dengan keuangan, akan didominasi oleh figur laki-laki (Ayah), termasuk keputusan pembiayaan pendidikan bagi anak-anaknya. Dalam satu keluarga miskin, yang tidak semua anak tercukupi biaya sekolahnya, orang tua harus memilih (menentukan prioritas) yang mana diantara anak-anaknya yang akan di sekolahkan ke jenjang lebih tinggi. Dalam kaitan ini, biasanya pilihan jatuh pada anak laki-laki. Kenapa jatuh pada anak laki-laki? Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor budaya atau pandangan stereotip, bahwa: (a) anak laki-laki adalah penerus keturunan; (b) laki-laki adalah calon kepala rumah tangga yang akan bertanggung jawab terhadap keluarga, khususnya berkaitan dengan persoalan pengambilan keputusan, sehingga laki-laki yang harus pintar dan harus memperoleh pendidikan lebih baik dibanding perempuan. Di samping itu, mengapa lebih banyak orang miskin yang buta aksara daripada orang kaya?. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) orang kaya lebih mudah memperoleh akses untuk belajar diberbagai lembaga yang tersedia; (2) lebih mampu membeli bahan belajar yang diperlukan untuk menunjang pendidikan; (3) lebih mudah mendapatkan fasilitas belajar yang dibutuhkan; (4) lebih mudah mendapatkan informasi-informasi yang diperlukan, karena tersedianya berbagai fasilitas di rumahnya, dan sebagainya. Sementara untuk masyarakat miskin, hal-hal yang disebutkan di atas, akan terjadi sebaliknya. Kegagalan Sekolah Formal Berbicara tentang kegagalan sekolah formal selama ini, menurut Kepala Sub Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional RI, Ella Yulaelawati (2006) bahwa :“…perlu dilakukan pengkajian yang sangat mendasar tentang kegagalan sekolah formal yang selama ini…”. Karena sekolah formal sebagai jalur pertama ternyata tidak seluruhnya menemukan cara efektif dalam penyelenggaraan pendidikan formalnya. Padahal pendidikan formal ini telah disiapkan dengan segala fasiltas, guru dan materi belajar yang cukup. Tapi kenapa setelah diserahkan tugas lewat pendidikan formal selalu kandas dalam penuntasan pendidikan dasar 9 tahun. Sementara kegagalan dalam menekan angka tuna aksara ini menurut: Singarasa (2006) adalah: ”…masa lalu, pihak pemerintah betul-betul membina masyarakat yang diikuti dengan kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap program yang dilancarkan pemerintah. Dan turut mendukung upaya menurunkan angka tuna aksara. Namun sekarang kita sadari bersama dengan kurangnya partisipasi masyarakat akan turut meninggikan angka buta huruf….”. Menurut Darlan, 2006. Bahwa:”... dalam wajar 9 tahun, bangsa kita di era pembangunan sekarang terjadi peningkatan angka tuna aksara selalu tinggi. Walau pemerintah sudah secara gencar melakukannya. Namun angka tuna aksara makin tahun masih bertambah. Hal ini perlu kita cari sebab akibatnya...”. Seorang dosen pendidikan luar sekolah (PLS) Universitas Palangka Raya: Ringkin (2006) bahwa ia: “…mengkritisi rumusan hasil pertemuan sarjana di Palangka Raya beberapa waktu lalu bahwa kalangan pendidikan sendiri yang duduk dalam komisinya masih terlupakan tentang pendidikan luar sekolah. Padahal jika menguasai terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor: 20/2003 secara jelas ada 3 jalur pendidikan yakni: (a) Pendidikan Formal, (b) Pendidikan non formal dan (c) Pendidikan informal…”. PLS berada pada pendidikan non formal. Sementara dalam butir 2 Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesataraan, serta pendidikan lain yang ditunjuk untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Ini juga memasuki pada jalur pendidikan informal kita. Kegagalan yang dikritik dosen senior PLS FKIP Unpar itu, tidak lain karena ketidak mengertian banyak orang tentang jalur pendidikan kita, baik dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 maupun Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku dan ada di negeri kita cintai ini. Angka Tuna Aksara Membubungnya Angka Tuna Aksara memang terjadi di mana-mana. Apakah di perkotaan ataukah di pedesaan. Hal ini sebagai salah satu sebab tertutupnya kran PLS yang selama ini. Kita ketahui bersama para sarjana PLS hanya tersalurkan lewat Kran pendidikan formal. Artinya banyak sarjana PLS yang diluluskan oleh IKIP/FKIP selama ini, namun Kran untuk masuk diknas baik di kecamatan, Kabupaten/Kota dan Provinsi sepertinya masih terabaikan. Karena mereka tidak mendapat tempat untuk masuk ke Dikmas, Subdin PLS maka Kran yang ada hanya lewat pendidikan formal. Alias jadi guru. Sehingga kerja pekerjaan yang ia rencanakan selama 4 – 5 tahun di bangku kuliah, untuk membantu pemerintah supaya dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan berbagai teori pendidikan orang dewasa yang mereka pelajari. Setelah masuk kerja menjadi guru formal maka teori yang ia bangun bertahun-tahun terpaksa harus sirna atau patah, karena lapangan kerja yang mereka geluti dalam penerapan pendidikan biasa. Sementara pendidikan non formal digeluti bagi mereka yang tidak mendapatkan kesempatan pada bidang keahliannya. Apa boleh buat, dengan ilmu seadanya. Sehingga kegagalan pendidikan nonformal-pun mulai dirasakan, dengan membubungnya angka tuna aksara di mana-mana. Mewujudkan Wajar 9 Tahun Mewujudkan Wajar 9 Tahun memang tidak semudah membalik telapak tangan. Secara teori memang mengajak mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak sempat menikmati pendidikan formal atau istilah lama belajar pada sistem persekolahan. Sementara mereka usianya tidak lagi pada usia sekolah. Namun tuntutan pasal 31 UUD’45 harus diwujudkan, untuk itu setiap warga menagar harus kita ajak agar mereka mau belajar Baca Tulis dan Berhitung (Balistung) seperti kebanyakan orang. Supaya mereka tidak bergulat dengan kebodohan. Namun Dipihak lain, terjadi pula suatu upaya sadar para ibu dan bapak-bapak yang telah berusia, meminta agar mereka diberikan pendidikan di luar sekolah (pendidikan nonformal) kepada para mahasiswa PLS agar mereka dapat Balistung sebagaimana kebanyakan orang di sekitarnya. Untuk kegiatan seperti ini, adalah tugas kita semua untuk membantu mereka agar mereka tidak terjadi kesulitan dalam menghadapi masa depannya. Kalau kita cermati nasib warga masyarakat kita baik di perkotaan maupun di pedesaan, mereka ini karena tingkat pendidikannya tertinggal, maka selalu termarginalkan sebagai akibat bagi sekelompok kecil warga masyatakat kita yang belum berkesempatan mengikuti pendidikan formal dimasa mudanya. Ciri PLS Bila mengkaji berbagai literatur menyebutkan bahwa Pendidikan Luar sekolah (PLS) yang berdasarkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 seperti sekarang ini, jelas bahwa PLS atau pendidikan nonformal itu tidak dijelaskan secara rinci disebutkan. Penulis mencoba mengurai tentang PLS atau pendidikan nonformal ini adalah: (1) waktunya pendek; (2) materinya beragam; (3) siswanya bervariasi dan; (4) tempatnya menyesuaikan serta (5) dll. Untuk lebih jelasnya yaitu: waktunya pendek, artinya pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal ini, tidak lebih dari 12 bulan. Bahkan ada yang hanya satu hari. Demikian juga jam belajarnya. Apakah pagi, sore atau malam hari. Sehingga tidak mengganggu jam kerja warga belajar. Dalam perkembangannya, pada pendidikan dasar dan menengah dewasa ini tentu ada yang lebih dari setahun. Misalnya dalam program paket A,B dan C. Guna meningkatkan kualitas disertai fungsi dan peran yang makin diperbaiki. Maka warga belajar paket A, B dan C tidak mungikin dalam waktu 3 – 4 bulan sudah terima ijazah. Mereka harus belajar dengan kesungguhan, disertai mengikuti ujian untuk menentukan kelulusan. Adapun materi pembelajaran pendidikan orang dewasa ini, beragam. Artinya menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat (belajar berdasarkan bebutuhan masyarakat). Beda dengan pendidikan persekolahan atau pendidikan formal. Dalam pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal ini, materi dibuat berdasarkan kesepakatan. Para mahasiswa yang mengambil program studi / jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) tahu persis cara rancang bangun dan rekayasa dalam materi belajar yang berdasar kesepakatan itu. Kalau tidak maka kelompok belajarnya akan bubar. Siswanya atau istilah di PLS Warga belajarnya bervariasi, dengan berdasar konsep pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal ini, kepada mereka yang karena sesuatu dan lain hal dalam pendidikan formal belum sempat menikmati dunia pendidikan. Namun telah berusia 35 tahun baru ia sadar akan pentingnya sekolah dasar. Padahal pada usia itu tidak akan ada lagi murid SD. Maka ia harus mengikuti jalur ke 2 yaitu pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal ini, dengan belajar paket A. Sehingga ia harus mengikuti paket A-1 sampai A-100. Atau pendidikan keaksaraan lainnya. Selain itu tutor harus mengerti betul yang didik ini orang dewasa. Materi selingan perlu ada agar warga belajar tidak bosan, maka ia harus merancang bangun dan rekayasa materi belajar lain yang sesuai kebutuhan warga belajar (WB)-nya. Yang dimaksud bervariasi di atas tidak lain usia peserta beragam. Ada yang usia 25 tahun ada pula 35 tahun dan sebagainya. Bahkan pengalam penulis ada warga belajar (siswanya) lebih tua dari itu, dan motivasi ingin tahunya sangat tinggi. Bicara tentang tempat tidak seperti dunia persekolahan atau pendidikan formal. Melainkan pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal ini, berdasarkesepakatan bersama. Terkadang di ruang kelas sekolah, di rumah ketua RT, RK/RW, di rumah warga belajar sendiri atau di balai desa. Yang penting ada kesepakatan. Dengan demikian dalam memperhatikan pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal ini, tentang: waktu, materi, wb bervariasi dan tempat tentu beda dengan sistem persekolahan atau pendidikan formal. Dan kalau kita terpaku pada salah satu jalur saja di dunia pendidikan ini, maka kapan lagi kepincangan pendidikan itu dapat kita luruskan. Belajar Dari Sebuah Pengalaman Dalam mengakhiri tahun 2006, ada sebuah pekerjaan yang ditugasi oleh LPPM Universitas Palangka Raya untuk asistensi Wajib bejalar 9 tahun di Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, mendampingi para Camat, Diknas Kecamatan, Depag Kecamatan dan Kepala Desa serta tokoh masyarakat dalam membicarakan SD/SMP satu atap. Sebuah desa di tepi Laut Jawa tepatnya Desa Satiruk, kecamatan Pulau Hanaut ada 3 gedung sekolah dasar yang berdekatan setiap tahun meluluskan antara 18-20 orang/sekolah. Namun tidak ada SMP/MTs baik negeri maupun swasta. sehingga kepala desanya berinisiatif membentuk kelompok belajar paket B. Namun dalam segi usia 12-14 tahun. Sementara yang berusia 18 – 40 tahun tak pernah dapat sentuhan pendidikan baik formal SMP/MTs maupun nonformal paket B. Padahal negara kita sedang gigihnya menuntaskan wajar 9 tahun. Termasuk merealisasikan Instruksi Presiden nomor: 5 tahun 2006 tertenggal 9 Juni 2006. Tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajar pendidikan dasar 9 tahun dan pemberantasan buta aksara. Pengalaman lain tahun 1992 penulis penelitian di kawasan pantai, menemui sebuah bangunan beratapkan daun nipah, dinding daun nipah ukuran 6 x 4 m dengan 10 orang muris 4 duduk di kelas 2. Saat bertemu dengan penulis penduduk di kecamatan Kumai Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah ini, diajak membaca huruf latin dan angka belum sempurna. Tapi dituliskan huruf Arab mereka lancar membaca. Berarti penduduk pesisir tidak seluruhnya buta aksara, kecuali latin. Sedangkan huruf Arab mereka sudah bisa, karena setiap orang tua melatih anaknya untuk membaca Al-Qur’an. Kasus ini berada di kawasan selatan Kalimantan Tengah. Tepatnya di utara Laut Jawa. Perlu Perubahan Perlu merubah konsep yang selama ini, ternyata terjadi kesalahan dalam dunia pendidikan luar sekolah. Memang selama ini, pendidikan luar sekolah terlupakan. Bahkan jika pendidikan luar sekolah bagi pekerjanya seperti tutor misalnya mendapat imbalan lebih banyak dengan ucapan terima kasih. Sementara jika tersedia dana, untuk tenaga tutor hanya dengan imbalan yang jauh dari cukup. Padahal, petugas PLS jauh lebih sulit dibanding mereka yang bekerja di jalur pendidikan formal. Misal dalam pendidikan formal gedung sekolah, guru dan murid serta buku bacaan tersedia, semuanya serba ada. Sementara dalam jalur pendidikan luar sekolah terjadi sebaliknya. Ruang belajar terkadang di rumah penduduk, di balai desa dll. Murid dirayu agar mau belajar. Karena mereka dalam kondisi belajar tidak penting baginya. Hal itu perlu diberikan penyadaran diri individu yang masih belum tuntas wajar 9 tahun. Materinya elastisitas yang diberikan berdasarkan kesepakatan bersama. Dengan melihat hal di atas, saran dari penulis agar mulai sekarang kita adakan perubahan. Artinya dalam hal pendanaan, tidak selalu pada pendidikan formal yang besar. Tapi bagaimana jika kalau PKBM, yang tak punya gedung yang memadai. Pihak Diknas turut membantu mereka yang mendirikan pusat kegiatan belajar masyarakat ini, pada gedung mereka, buku bacaan dan honor tutor yang cukup. Jika hal ini direalisasikan, Insyaa Allah kegairahan belajar mesyarakat akan meningkat. Dan angka tuna aksara akan dapat ditekan. DAFTAR PUSTAKA Darlan, H. M. Norsanie, 2006. Pendidikan Luar Sekolah di Kalimantan Tengah, Makalah, Palangka Raya. -----------, 2006. Sulitnya Pemerataan Wajar Sembilan Tahun di Kalimantan Tengah, Universitas Mulawarman, Samarinda. ------------, 2014. Upaya Mengoptimalkan Fungsi Ddan PEran PKBM Sebagai Lembaga Pengengan Sumberdaya Masyarakat, Makalah, Palangka Raya Echols, Jonh M dan Shadily Hassan, 1982. Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesian Dictionary), PT. Gramaedia Pustaka Utama, Jakarta. Hamid, H. Dedi, 2003. Uuno 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Asokadikta, Jakarta. Ichwanuddin, 2006. Keberatan Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah, Pangkalan Bun. Moliono, Anton M. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia¸ Depdiknas RI, Jakarta. Poerwadarminta, WJS. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Ringkin, Don F, 2005. Kritik Pendidikan Luar Sekolah hanya dipandang dengan sebelah mata oleh banyak kalangan, Kal-Teng Pos Opini, Palangka Raya. Singarasa, Henry 2006. Diskusi Pendidikan Keaksaraan dengan Berbagai Latar Belakang Bidang Keilmuan, Rektor Universitas Palangka Raya, Palangka Raya. Suryadi, Ace, 2005. Kebijakan dan Strategi Gerakan Pemberantasan Buta Aksara Intensif, Hotel Sahid Raya Solo. Shadily , 1980. Ensiklopedi Indonesia, Jilid 1, Ictiar Baru, Jakarta. ------------, 1984. Ensiklopedia Indonesia, Jilid 5, Ictiar Baru, Jakarta. Yulaelawati, Ella, 2006. Kegagalan Sekolah Formal Dalam Melaksanakan Pendidikan, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas RI, RRI, Jayapura. Zein, MT, 1982. Sumber daya konsep yang berubah sepanjang sejarah, Prisma Volume 11, Jakarta.

Kamis, 08 November 2018

PEMAPARAN MAKALAH DI MAKASSAR

Makalah : Kompetensi Untuk Memenangkan Kompetisi Pada Pasar Kerja Nasional dan Global Oleh : H.M. Norsanie Darlan Guru Besar PLS/PNF Univeritas Palangka Raya Pendahuluan Lembaga Kursus dan Lembaga Pelatihan merupakan dua satuan pendidikan Non formal seperti yang tertera dalam pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor: 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Secara umum dalam pasal 26 ayat (5) dijelaskan bahwa Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu kembali diperlengkap dalam pasal 103 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor: 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan bahwa: kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat, dalam rangka untuk mengembangkan kepribadian profesional dan untuk meningkatkan kompetensi vokasional dari peserta didik (Warga Belajar) dalam sebuah kursus dan pelatihan guna meningkatkan kualitas generasi muda ke masa depan yang penuh tantangan. Pendidikan non formal/Pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang juga harus dimiliki oleh setiap manusia Indonesia yang memerlukannya. Hal ini sebagai tatanan yang sangat penting dalam dunia pendidikan formal. Karena selama ini pendidikan formal yang sudah tersedia diberbagai bidang keahlian, namun masih dirasakan bahwa tidak cukup hanya dengan pendidikan formal, tapi peran pendidikan non formal (pendidikan luar sekolah) adalah pendidikan yang semakin tahun semakin dirasakan kalau pendidikan formal saja, sudah mulai dirasakan masih belum tuntas. Hal ini jika tidak dilengkapi dengan pendidikan non formal. Penulis pernah berdiskusi dengan seorang tokoh Pendidikan Nasional, Prof. Djudju Sudjana (1999). Beliau menggambarkan di Benua Erofa yang selama waktu beliau menempuh pendidikan bahwa sangat dirasakan pentingnya pendidikan luar sekolah. Untuk itu PNF harus ada di setiap bidang. Sehingga beliau memberikan /mengambil contoh di Indonesia peran pendidikan luar sekolah (Pendidikan Non Formal) belum banyak diperankan. Padahal makin maju suatu negara, maka makin maju pula pendidikan luar sekolah. Tapi nyatanya di tanah air kita, tidaklah demikian. Penulis tahun 2002 saat itu ditugasi oleh Bapak Gubernur Kalimantan Tengah sebagai kepala Badan Diklat Provinsi. Dan merasakan dalam Diklat Prajabatan ternyata tidak menemukan para Calon PNS saat itu, yang masuk kerja telah memiliki sertifikat kahlian. Kecuali guru dan dokter yang di Ijazahnya terlampir dengan Akta IV bagi guru sebagai sertifikat keahlian mengajar. Dan dokter dengan sertifikat Uji Kompetensi dokter Indonesia. Sementara CPNS yang lain saat itu, belum pernah mensyaratkan sertifikat kahliannya dalam memasuki lapangan kerja. Adapun sertifikat keahlian tersebut sama halnya dengan yang dikeluarkan Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) salah satu diantaranya di kota Sampit LPP Quantum sekarang ini. Masih ada contoh singkat sebuah persyaratan kerja di Asia Timur Raya (Jepang) misal seseorang dalam kesarjanaannya Sarjana Listrik. Dalam tes masuk di perusahaan ia diterima bekerja di perusahaan Listrik. Tapi saat mau masuk kerja, ia belum boleh bekerja. Karena tidak memiliki sertifikat keahlian (kompetensi) dalam mengolah Listrik. Sehingga yang bersangkutan harus ikut kursus di LKP tentang Listrik. Kalau tidak. ia tidak boleh masuk kerja di perusahaan tempatnya ia diterima bekerja. Ini sebuah bukti peran Lembaga Kursus di negeri yang telah maju. Harusnya di Indonesia juga demikian. Berbagai pengertian Pengertian kompetensi adalah suatu kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu) dalam pemberian pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik (WB). Arti Memenangkan Kompetisi menyebabkan (menjadikan) menang contoh: 'bukan hanya kekuatan senjata, tetapi dengan melalui jalur pendidikan non formal bukan melalui kekuatan ekonomi juga dapat memenangkan memalui peperangan. Pasar tenaga kerja dapat diartikan sebagai suatu pasar yang mempertemukan pencari tenaga kerja. Dalam pasar ini, adalah para pencari kerja (Pemilik Tenaga Kerja), sedangkan sebagai pencari adalah lembaga yang memerlukan tenaga kerja. Arti Nasional dan Global adalah Nasional berlaku untuk menyatakan satu negara saja. Misalnya Nasional Indonesia, Nasional Singapura dan lainnya. Sedangkan Internasional berarti bersifat seluruh dunia. Jadi hubungan negara dari Asia Tenggara dengan negara dari Asia Timur itu bersifat internasional dan juga sebaliknya. Tujuannya: Bahwa ingin memberikan motivasi dan pemahaman yang baik kepada peserta didik (warga Belajar), dan telah merasakan pentingnya kompetensi dalam memenangkan persaingan kerja. Ingin memberikan wawasan kepada orang tua wisudawan akan pentingnya pendidikan secara formal maupun non formal (pendidikan luar sekolah) khususnya yang berbasis vokasional untuk modal mengembangkan krisis di masa depan mereka. Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Bagian Kelima Pendidikan Non formal Pasal 26 secara jelas telah mengisyaratkan bahwa : (1)Pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat (Leve Long Education). (2)Pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik (WB) dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian yang profesional. (3)Pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (4)Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. (5)Para alumnus kursus dan pelatihan ini diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6)Adapun hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Sekilas kita berbicara tentang sertifikasi, hal ini secara jelas tertuang Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 16 sebagai berikut: (1)Sertifikat berbentuk Ijazah dan sertifikat kompetensi. (2)Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. (3)Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. Sedangkan pada bagian lain berbicara tentang Akreditasi termuat dalam Pasal 60 adalah: (1)Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. (2)Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik. (3)Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka. (4)Untuk saat ini, Akreditasi terdiri atas sebutan: A, B dan C. Namun pemilik PKBM, LKP dan PAUD, tidak perlu harus A dan harus bercermin pada diri sendiri. Dewasa ini, dari Litbang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI mengisyaratkan bahwa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dalam proses akreditasi harus diutamakan. Karena di PKBM ada pendidikan kesetaraan berupa paket A = setara sekolah Dasar/MI, paket B = setara dengan SLTP/MST demikian juga paket C = setara dengan SLA/MA. Lembaga ini harus mengutamakan akreditasinya, dengan alasan bahwa PKBM dalam ujian nasional mereka tidak bisa dilaksanakan di PKBM itu, kalau belum terakreditasi. Nah bagaimana warga belajarnya. Jadi agar mereka tidak kabur dalam ujian, maka PKBM tersebut harus di akreditasi. Tidak perlu: A, B atau C. yang penting sudah terakreditasi. Peran LKP Mencerdaskan bangsa Adapun Peran Lembaga Kursus dan Pelatihan, setiap hari para instruktur dalam lembaga pelatihan atau kursus melakukan berbagai kegiatan belajar mengajar dengan peserta kursus (WB) dan mereka juga harus berpikir tentang cara peserta kursus belajar dan pengetahuan yang diberikan agar dapat diserap oleh peserta kursus. Ketika instruktur ingin mengajarkan kepada peserta kursus (WB) tentang proses belajar sebagai suatu tugas terstruktur dan memiliki ragam metode, maka instruktur memperlihatkan media yang mampu memberi gambaran tentang hal itu. Dengan menunjukkan gambar atau alat media tertentu, instruktur mengatakan kepada peserta kursus dalam hal ini adalah WB: “Peserta kursus semua mencoba memperhatikan, inilah proses menggambar pola yang benar, lalu potongan pola dengan ukuran yang jelas pula” Metode ini, sering dijumpai di berbagai lembaga pelatihan. Melalui cara ini, peserta kursus lebih banyak diberikan berupa: pengetahuan tentang objek tanpa memberikan kesempatan pada mereka untuk terlibat atau menyentuh langsung dengan benda yang diperkenalkannya. Akibatnya mereka tidak mengetahui betul bagaimana prosesnya dan hasilnya jadi seperti apa atau gambar yang diberikan guru itu bagaimana. Para peserta kursus dengan pelatihan tidak bisa menggunakan seluruh panca inderanya untuk memahami benda atau gambar tersebut. Seandainya saja setiap peserta kursus diberikan kesempatan untuk melihat, menyentuh, menggunakan, mempraktikan bagaimana proses itu berlangsung. Pelajaran yang peserta kursus terima akan dapat lebih bermakna dan bisa diingat secara lebih baik. Instruktur bisa melakukan berbagai cara membangun pengetahuan peserta kursus. Misalnya mengenalkan tentang semua alat-alat yang akan digunakan dalam pelatihan itu. Peserta kursus harus dikenalkan dahulu, bagaimana cara menggunakannya dan kegunaan dari alat-alat yang digunkan tersebut. Jika guru, totur, Instruktur menginginkan peserta kursus untuk memiliki pemikiran yang lebih, mereka tidak hanya harus mengetahui konsep proses tetapi bagaimana mereka tahu dan mengerti serta bisa mempraktekkan bagaimana teknik-teknik menjahit /komputer, dan keterampilan lainya yang baik itu dan bagai mana teknik-teknik untuk menghasilkan suatu pekerjaan yang berkualitas. Menurut Piaget (dalam Foreman, 1993 : 121) cara yang dapat digunakan untuk membangun pengetahuan dalam proses pelatihan diantaranya adalah sebagai berikut : a.Pertanyaan atau melakukan tanya jawab dengan peserta kursus. Dalam suatu proses pelatihan dapat menggunakan untuk membangun pengetahuan dasar. Pertanyaan - pertanyaan tersebut secara tidak langsung dapat membangun pengetahuan baru dan membangun motivasi belajar, demikian juga dalam menghadapi perkejaan. b.Menghadirkan semua hal yang dibutuhkan dalam proses pelatihan selama proses belajar itu berlangsung. Lembaga harus mampu menyediakan sarana praktek yang lengkap, dan metode yang digunakan dalam pelatihan atau kursus lebih menekankan pada kerja nyata atau praktek langsung bukan pada pemberian materi secara teori saja, ketersediaan alat-alat sebagai sarana belajar yang berupa benda yang tidak dapat diubah atau benda yang dapat diubah menjadi sangat vital. Fungsi pendidik dalam proses pembelajaran orang dewasa adalah membantu belajar orang dewasa yang mengandung makna membantu. Tujuan pelatihan Karyawan: 1. Untuk meningkatkan keterampilan para karyawan sesuai dengan perubahan teknologi. 2. Untuk meningkatkan produktivitas kerja organisasi kerja. 3. Memberi wawasan kepada para karyawan untuk lebih mengenal organisasinya dan meningkatkan kemampuan peserta latihan mengerjakan tugasnya yang sekarang. 4. Memberikan kemampuan menumbuhkan sikap empati dan melihat sesuatu dari “kacamata” orang lain. 5. Meningkatkan kemampuan menginterpretasikan data dan daya nalar para karyawan dan meningkatkan kemampuan dan keterampilan para karyawan dalam menganalisis suatu permasalahan serta pengambilan keputusan. 6. Meningkatkan kualitas keahlian karyawan sejalan dengan majunya perubahan teknologi. Melalui pelatihan, pelatih (trainer) memastikan bahwa setiap karyawan dapat secara efektif dan efisien mengembangkan kapasitas potensi yang dimilikinya. 7. Menghemat waktu belajar karyawan untuk menjadi kompeten dalam pekerjaan membantu memecahkan persoalan operasional secara kreatif. 8. Mendorong setiap karyawan memahami dan menjalankan visi dan misi organisasi. 9. Mengembangkan kemampuan di atas rata-rata (extra miles) dalam melaksanakan tugas dalam bekerja. 10.Mempertajam dan memperlengkapi tingkat professionalisme para karyawan dengan standar terbaik. Manfaat Pelatihan Di LKP Adapun tujuan umum pelatihan dan pengembangan, harus diarahkan untuk meningkatkan produktifitas organisasi perusa-haan. Tujuan pelatihan di LKP dan pengembangan merupakan langkah untuk meningkatkan produktivitas organisasi melalui berbagai kegiatan antara lain: 1. Mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan di perusahaan dapat diselesaikan secara rasional. 2. Dengan Pelatihan akan mengembangkan keterampilan atau keahlian, sehingga pekerja di perusahaan dapat diselesaikan lebih cepat dan efektif. Tujuan pengembangan : 1. Mewujudkan hubungan yang serasi antara atasan dan bawahan di perusahaan. 2. Menyiapkan para manajer yang berkompeten untuk lebih cepat masuk ke tingkat senior (promosi jabatan). 3. Untuk membantu mengisi lowongan jabatan tertentu. 4. Meningkatkan semangat kerja seluruh tenaga kerja dalam organisasi dengan komitmen organisasional yang lebih tinggi. 5. Mendorong sikap keterbukaan manajemen melalui gaya manajerial yang partisipatif. 6. Meningkatkan kepuasan kerja. 7. Memperlancar jalannya komunikasi yang efektif yang dapat memperlancar proses perumusan kebijakan organisasi dan operasionalnya. 8. Mengembangkan atau merubah sikap, sehingga menimbulkan kemauan kerja sama dengan sesama karyawan dan manajemen ( pimpinan ) di perusahaan yang dipimpin. Manfaat Pelatihan dan Pengembangan Adapun manfaat dari suatu pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia di LKP seperti LPP Quantum dapat dilihat dalam dua sisi diantaranya: a) Dari sisi individu pegawai: 1. Menambah pengetahuan terutama penemuan terakhir dalam bidang ilmu pengetahuan yang bersangkutan, misalnya prinsip dan filsafat manajemen yang terbaik dan terakhir. 2. Menambah dan memperbaiki keahlian dalam bidang tertentu sekaligus memperbaiki cara pelaksanaan yang lama. 3. Merubah sikap jadi positif 4. Memperbaiki atau menambah imbalan atau balas jasa yang diperoleh dari organisasi tempat bekerja. b) Dari sisi organisasi: 1. Menaikkan produktivitas pegawai. 2. Menurunkan biaya. 3. Mengurangi turn over pegawai. 4. Kemungkinan memperoleh keuntungan yang lebih besar, karena direalisirnya kedua manfaat tersebut terlebih akan terlihat lebih mudah. Dalam segi pendidikan atau education secara umum, training merupakan usaha yang sengaja diadakan dan dilakukan secara sistematis serta terus-menerus dalam jangka waktu tertentu, sesuai dengan tingkatannya, guna menyampaikan, menumbuhkan dan mendapatkan pengetahuan, sikap, nilai, kecakapan atau keterampilan yang dikehendaki. Banyak sekali manfaat yang dapat dieksplore dari hasil training atau pelatihan pengembangan. Berikut ini adalah sejumlah ringkasan manfaat training dan pelatihan karyawan secara umum, dari sudut pandang berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Manfaat training bagi perusahaan : Bila perusahaan mengirimkan tenaga kerjanya ke LKP akan tercipta hal-hal sebatai berikut : 1. Memiliki tenaga kerja yang ahli dan terampil 2. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja 3. Meningkatkan produktivitas kerja 4. Mengurangi biaya karena waktu yang terbuang akibat kesalahan-kesalahan 5. Meningkatkan mutu hasil kerja 6. Meningkatkan sales dan profit Manfaat training bagi manajer : Dalam setiap perusahaan, pasti memiliki manajer yang seringkali terlupakan untuk training. Dengan demikian maka LKP merasakan adanya manfaat bagi manajer sebagai berikut: 1. Memiliki anak buah yang ahli dan terampil 2. Dapat mendelegasikan lebih banyak tugas dan tanggung jawab kepada bawahan 3. Terlepas dari hal-hal kecil yang bukan porsinya untuk ditangani 4. Tugas dan pekerjaan berjalan lancar walau anda tidak di tempat 5. Menunjang karir anda untuk memperoleh jabatan yang lebih tinggi Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Pada bagian Akhir orasi saya kali ini, bagaimana LPP Quantum dalam menghadapi masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sebuah bentuk integral dalam artian adanya sistem perdagangan bebas dan pasar kerja antar negara-negara Asean. Indonesia dan 9 negara anggota yang menyepakati perjanjian dalam Asean Ekonomic Comunity (AEC). Pada KTT di Kuala Lumpur Desember 1997 para pemimpin ASEAN memutuskan untuk mengubah ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur, dan sangat berkumpetitif dengan perkemangan ekonomi yang adil, dan mengurangi kemiskinan kesenjangan sosial-ekonomi (ASEAN Vision 2020) mendatang. Dengan konsep di atas, kesiapan tenaga yang terlatih, sejak sekarang sudah memikirkan dalam menghadapi pasar kerja melalui pendidikan dan pelatihan kearah itu. Termasuk akan didirikannya Pendidikan Perhotelan dan Pariwisata setingkat DIPLOMA I untuk meningkatkan Kompetensi warga belajar Untuk Memenangkan Kompetisi Pada Pasar Kerja Nasional dan mengglobal tersebut. Dengan demikian kita harus bersusah payah dalam tahun-tahun belakangan ini, mempersiapkan kurikulum, instruktur yang berkualitas demi menghasilkan pasar kerja alumnusnya yang kompetitif. Daftar Pustaka Darlan, H.M. Noesanie, 2005. Konsep Dasar PLS, FKIP Unpar, Palangka Raya. ------------, 2003. Pendidikan dan Latihan Calon Pegawai Negeri, Diklat Provinsi Kalteng, Palangka Raya. ------------, 2015. Peran dan Ekspektasi Pendidikan Non Formal Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Seminar Nasional Ikatan Akamemisi PNF, Semarang. Peaget dan Foreman, 1993. Pendidikan dan Latihan dalam Masyarakat Sedang Berkembang, Jakarta. Sudjana, Djudju, 1999.Pendidikan Non Formal di Erofa, IKIP Bandung. ------------, 2001. Pendidikan dan Pelatihan di Masyarakat Pedesaan, Al-Flah, Bandung. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Jkt. sanie_da@yahoo.co.id +62 813-5283-7138

Senin, 05 November 2018

A Concept About : NATION AND STATE LIFE

A Concept About : NATION AND STATE LIFE By: H.M. Norsanie Darlan and H. Saifullah Darlan Preliminary Already ten days have passed, we have passed the holy month of Ramadan. The Muslims have completed the pillars of Islam by fasting for a month. Now we have entered a new era in the life of the nation and state to continue the development of our country based on what profession is for the future of the nation's nation. If we understand about the origin and history of Halal Bi Halal, we first learn about the meaning of "halal bi halal", this cannot be translated in language, because the definition of halal bi halal was born from the culture of Indonesian society itself. If translated simply, it will contain incorrect meanings with the halal purpose and intentions of the law itself. This is because there is no Arabic gramer (nahwu sharaf) with halal bi halal rules. Even Arabs can read halal bi halal because there is no specific understanding of what it means halal bi halal. Lafalz "halal" comes from the Arabic language that has been absorbed into Indonesian, which is the opposite of the word haram. Halal means "allowed" or not prohibited, while the word "bi" is the jar letter which is usually interpreted "with". Virtually, halal bi halal is actually interpreted as "permissible". Halal bi halal cannot be interpreted in a language but is interpreted as a cultural aspect (culture), namely the culture of mutual forgiveness or by visiting each other's homes (silaturrahim) to ask and give ma'af which is continued by shaking hands. The origin of Halal bi Halal In this beloved country, if after a holy service and a month of fasting in the month of Ramadan, Muslims around the world celebrate Eid al-Fitr on 1 Shawwal every year. Celebrations are colored with takbir, tasbih and tahmid all day long. Next after Id praying, congregation greet each other and pray for one another. Cheers appear on everyone's face. We meet this kind of atmosphere at the time of Eid. But, there is one unique tradition in Indonesia at this Eid-ul-Fitr moment, a halal bi-halal tradition that emerges itself from the cultural roots of the country's population. The most popular history of the origins of this bi halal halal tradition is a tradition that was started by Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, otherwise known as Prince Sambernyawa, who at that time led Surakarta to gather the retainer and soldiers at the palace hall to do the courtesy to The King and Empress after the Eid celebration. This is done to save energy, time and costs. Since then, visits to older people, or people with a higher position to ask for ma'af on the Eid celebration become a separate cultural tradition. Eid al-Fitr and Halal Bi Halal Eid al-Fitr according to: Ustadz Ahmad Faiz Asifuddin (2011) is one of the two major holidays in Islam. Usually in Idul Fithri, in this beloved country, it is always synonymous with halal bi halal events. As for its origin, it is a tradition as described earlier. Ibn Manzhur in Lisan al-Arab said the words of Mrs. al-A'rabiy: "Hari Raya (‘ Id) is called ‘Id, because that day is always repeated every year with always new excitement" Al-Allamah Ibn Abidin rahimahullah he said, "Hari Raya is referred to as‘ Id, because in that day Allah Subhanahu wa Ta'ala has various kinds of goodness which all that good returns to His servants. Among other things: (Kindness) breaking the fast after previously having a ban on food, as well as zakat fithri. Also perfecting the pilgrimage (on Eid al-Adha) with thawaf pilgrimage, eating sacrificial meat, and others. Because his habits on that day always contained joy, pleasure, and joy. In another history (mentioned). The Prophet sallallaahu ‘alaihi wa sallam said. ÙŠَا Ø£َبَا بَÙƒْرِ ، Ø¥ِÙ†َّ Ù„ِÙƒُÙ„َّ Ù‚َÙˆْÙ… عِÙŠْدًا ، ÙˆَÙ‡َØ°َا عِÙŠْدُÙ†َا O Abu Bakr, in fact every group of people has Hari Raya. And (today) we are Hari Raya (id). Shaykh Ali bin Hasan hafizhahullah quoted Imam Baghawi's words rahimahullah who said as follows, "Bu'ats is a day known among Arabs. Historically, on that day there was a massacre by the Aus army against the Khazraj tribal army. The battle between the two tribes continued for a hundred and twenty years until the arrival of Islam. Then, with the words of the Prophet sallallaahu ‘alaihi wa sallam," today is our "Id (feast)", it is understandable that showing joy on two Islamic holidays is a symbol of religion. That day is not like other days. Thus, the halal bi halal or whatever the term is, is an activity that is changed, if it is only intended to express joy on holidays, Eid al-Fithri and Eid al-Adha, for example to eat together, meet family and friends. Because indeed the musilmin is allowed to express the joy of their hearts during the holidays, as long as the excitement does not deviate from the provisions of syar'i. Meaning of life Once again talking about halal bi halal most of us have their own life goals. This future life goal might be like wanting to be a person: teacher, doctor, security force, etc., or want to be rich and famous and can represent the country in certain fields abroad. Whatever the purpose, for most of us, but we are just as understandable that the goal is more dominant in the world. Our existing education system has been organized to help us pursue that worldly goal. We as parents, we also instill the same goals of worldly life in our children, by encouraging them to study and enter professions that provide more financial benefits than other professions. There is still no one among us who has the age to find something that is not yet owned by the findings of other people in the world. We recommend that teachers, lecturers and parents let us both find findings that have not been obtained by others in order to raise the dignity of the nation, in the life of the nation. One might ask, "How can the purpose of this worldly life be in line with the purpose of spiritual life and the reason for our birth on planet Earth?" It requires the attention of thinkers, as an aspect of nation and state in the unitary state of the Republic of Indonesia. A fairly simple answer. We strive for worldly goals primarily because we seek satisfaction and happiness in life. The effort to achieve "peak and eternal happiness" is essentially what drives all our actions. However, after we achieve worldly goals, of course the happiness and satisfaction produced only lasts a little, then we pursue the next dream for us to achieve in the world. What is the meaning of life Some people might ask; what does our life mean in this world? According to: Ari Wahyudi, (2012). If we look at the many answers to that one question. Some answer, that life is money. So that every second of this life that is sought is money. This means that if he does not have money, as if his life has been lost. Others answered, that life is a position. So that every second that is sought is position. Some see that life is an opportunity to have fun. So for this group worldly pleasures are the main goal sought. Ladies and gentlemen - may God bless us - this life is a very valuable opportunity for us. Do not let us waste life in this world for something that is not clear and will disappear. The pleasure of this world even if we want to think well, it is not long. Just a moment, isn't that so? Allah ta'ala said (which means), "As if when they saw that Day of Judgment, they were not alive (in the world) except for a moment in the afternoon or in the time of dhuha." (Surat an-Naziat: 46) By remembering God, we will be careful in living this life. Because God always watches over us and knows what we say, what we do, wherever and whenever. There is nothing hidden from him in the slightest case. This is what we should always instill in the hearts of all of us. We must fear Allah both when at home, on the road, at work, campus, in the market or wherever we are. Thus according to (Ari Wahyudi, 2011) that: when we are with other people or when alone it is the same. Then what should we do in this world? An interesting question is also in the life of this nation. we find the answer in the Qur'an. Allah ta'ala says (which means): "I did not create jinn and humans but that they worship me." (Surat adz-Dzariyat: 56). What is the righteous person? Let us think together - may Allah show us - that piety we will achieve when we always remember the day of vengeance and prepare to face it by carrying out His teachings. As said by Ali ibn Abi Talib radhiyallahu'anhu that piety, "Fear of Allah, charity with revealed revelations, and preparing to welcome the Day of Judgment." Allahu a'lam. How do we nation If we examine the various things above it has 3 meanings. Nation comes from the basic words of the nation. Nation is a homonym because its meanings have the same spelling and pronunciation but the meaning is different. Nation has meaning in verb or verb class so that the nation can state an action, existence, experience, or other dynamic understanding. So thus the term nation cannot be in a small sense. But what is meant by this nation is nothing but a single entity, which is inseparable from one another. Is it different in terms of ethnicity, class, but is it united that is inseparable from each other is a country in the territory of the Unitary Republic of Indonesia. We are equally aware that in this Republic of Indonesia, no one feels that our tribe is the most, our group is the most powerful. But as a country that has the principle of Bheneka Tunggal Ika (Unity in Diversity), it is descended or not according to Aburizal Bakri (2018) that: "our lives are nation and state, basically we are brothers ...". So that Bhinneka Tunggal Ika is certainly no stranger to the ears of the Indonesian people. That's because these words are often spoken and played everywhere. Since elementary school, Bhinneka Tunggal Ika has been taught by social science teachers. Since elementary school is taught about the meaning, history and meaning of Unity in Diversity with the aim that from a young age or human shoot, the Indonesian people can still easily understand what Bhinneka Tunggal Ika is. Because if it is not taught since childhood or since young, it is feared that Indonesia's young generation cannot maintain the integrity and unity of the Indonesian state. so that divisions arose in various parts of Indonesia. Deep understanding is needed to accept all the diversity of nations in our country. From another point of view the understanding of the life of a nation and state according to: Hadipranata (2015) is "... a group of people who have a shared identity, and have in common descent, language, ideology, culture, and history and self-government ...". Whereas the nation is a human being who has a foundation of ethics, morality, and noble character in the attitude of realizing social meaning and fairness. The state is an area whose power is in political, military, economic, social and cultural aspects governed by a government in the region. While the state here is a man who has the same interests and declares himself as a nation and processes in one area and has ideals based on the intention to unite in building a sense of nationalism. What is meant by "national and state awareness", is aware that we are in the same place with the same language, ideology, culture and / or history and have rules in the political, military, economic, social and cultural fields that are regulated by the State. National and state awareness is an attitude that must be in accordance with the personality of our nation which is linked to the ideals and life goals of the nation itself. SUPPORTING FACT AND NATIONAL AWARENESS FACTORS The level of trustworthiness of an official. If the official is mandated in carrying out his duties, of course all elements will be honest in carrying out their duties properly. Not corruption and really the task given to him is a noble task. Equitable welfare of each region. With equity, each citizen will feel from the same rules and the same treatment as citizens of that country. Trust in representatives of the people or government who are honest and trustworthy. With us giving confidence to the government it will grow a sense of pride that we have a country that has a sense of pride. And the representatives of the people will gladly carry out the mandate. Strict law and government rules. With strict and fair laws and rules, peace will be created so that a sense of trust will grow, pride in the State. We must feel that we have a proud and proud Indonesian nation and realize that we are one nation and one state does not forget to speak one Indonesian language. THE FACTORS OF DECREASING THE NATION AND STATE AWARENESS, we must have a sense of shame if the nation and state of Indonesia if those who are mandated do not carry out their duties on the oath and promise that he has received. What's more, it is very embarrassing if acts of corruption commit public money or state money. Ignorance of the positive values / wealth of the State of Indonesia. The decline in the level of security of the State of Indonesia. Public distrust of the government if acts against the law are not enforced. The invalidity of leaders. The lack of legal validity. A feeling of wanting to highlight each group. Declining tolerance values a Threat to the Nation and State. Non-Military Threats of Drug Abuse which is now being eradicated by the government, participation in the defense of the state. On the other hand Hadipranata, (2015) says that there is no scientific formula that can be designed to define the term nation objectively, but the national phenomenon remains current to this day. In the dictionary of political science found the term nation, namely "natie" and "nation", meaning that society whose form is realized by history which has elements of our country as follows: 1. One language unit; 2. One regional unit; 3. One economic entity; 4. One unity of soul that is painted in cultural unity. Understanding of the State: An organization among a group / several groups of people who together inhabit a particular area by recognizing the existence of a government that manages the order, as a rule according to: Prof. R Djokosotono, SH termed that the State is a human or human organization under a government. Whereas according to: G. Pringgodigdo, SH. The state is an organization of authority or authority organization that must meet the requirements or elements, namely there must be a sovereign government, a certain region and people who live regularly so that it is a nation. The author is in the same concept, but there are elements of different countries namely Consists of three elements in an egra namely: 1. There are people, namely the community or as citizens; 2. The intended area is; 3. There is a government. If the three elements above are fulfilled, then that is the condition of the main element in the establishment of a country. This includes the Unitary Republic of Indonesia that we love. Meaning of Understanding Radicalism On this occasion a little bit of radicalism in the sense of language means understanding or flow that wants social or political change or renewal in a violent or drastic way. However, in another sense, the essence of radicalism is the concept of the attitude of the soul in carrying out change. Meanwhile Radicalism According to Wikipedia is an understanding made up by a group of people who want drastic social or political change or renewal using violent methods. However, when viewed from a religious point of view it can be interpreted as a religious understanding that refers to a very basic religious foundation with very high religious fanaticism, so it is not uncommon for adherents of this sect to use violence to people who understand different schools to actualize religious adhered to and believed to be forcibly accepted. This will damage the national order. So what is meant by radicalism is an old-fashioned movement and often uses violence in teaching their beliefs. While Islam is a religion of peace. Islam never justifies the practice of using violence in spreading religion, religious understanding and political understanding. A character named: Dawinsha said that the definition of radicalism equates it with terrorists. But he himself uses radicalism by distinguishing between the two. Radicalism is also a policy and terrorism part of the radical policy. The definition of Dawinsha is more evident that the radicalism contains a mental attitude that leads to actions that aim to weaken and change the order of establishment and replace it with new ideas in accordance with their beliefs. This last meaning, radicalism is a negative understanding and can even be dangerous as extreme left or right. This should let us stay away. Examples of radicalism According to the author, an example of radicalism was one of the events of the Bali Bombing, the explosion of Kampong in Jakarta suicide on May 24, 2017, including the Poso incident, Central Sulawesi. They reasoned that to eradicate forms of deviation in Islam. That is because the clothes used by the Balinese tourists are "WAOW", so they feel called to uphold the truth. Crime or violence is a phenomenon that we often hear and see, both in the mass media and in the realities that surround our environment and society. The latest and warmest news is discussed, audiences and mass media and electronics, namely terrorism. Terrorism is always synonymous with terror, violence, extremism and intimidation so that it often causes negative consequences to bring down many victims. The emergence of extreme radicalism and international terrorism in the international political arena or in international relations has existed as a phenomenon whose existence emerged in the 1960s when terrorist activities have taken place in many parts of the world. Groups that are motivated to oppose the political status quo by means of violence and organizing their efforts transnationally, transcending State borders. However, the position of international terrorism is once again emphasized as a non-state actor like an MNC, TNC, international non-governmental institutions, financial institutions and other international organizations. It is said as a non-state actor at the international level, because basically the members involved in it, the network and the objectives of the action are on an international scale. Terrorism of radicalism and extremism emerged as part of the phenomena produced by the international system. Dissatisfaction with the decisions of international organizations, such as the United Nations, which in the viewpoint of terrorist groups are more likely to represent the interests of Western countries, has made them distrustful and frustrated at the effectiveness of these institutions in addressing global issues. Radicalism, extreme understanding and terrorism are one of the real threats to global world life. The impact of radical and terrorist movements can have implications for economic and political dynamics that can experience not small shocks, so as to create a sense of insecurity in the wider community. Violence in the name of religion / belief is often linked to the realm of radicalism and terrorism, since the inception of the Global War on Terror (GWoT) program by the United States after the events of September 11, 2001. Labeling violence and extremes inherent creates a view / assumption that between radicalism and terrorism ( especially those in the name of religion) are related to one another. Therefore, groups of people around the community will discuss the phenomenon of radicalism, extremism and terrorism in domestic and world. The things described above are very detrimental. And cause damage to the order of nation and state in the country. We must stay away from this kind of action. On this occasion I encourage young students, lecturers on campuses and other communities, who have radicalism to change their intentions and actions towards radicalism from now on. Because it understands and acts, there will be no benefit for us. And let's go back to the life of the nation and state that created this country that is safe and peaceful. Because actions like radicalism cause hostility. Seruang Aburizal Bakri (2018) is that: "... now let's increase friendship, to strengthen the Unitary Republic of Indonesia which we love together ...". Supporting Factors Level of Nation and State Awareness The level of trustworthiness of an official. If officials are mandated in carrying out their duties, of course all individuals will be honest in carrying out their duties. Equitable welfare of each region. With equity, each citizen will feel from the same rules and the same treatment as citizens of that country. Trust in representatives of the people or government. By giving confidence to the government there will be a sense of pride that it has a country that can be proud of. And the representatives of the people will gladly carry out the mandate. Strict law and government rules. With strict and fair laws and rules, peace will be created so that a sense of trust will grow, be proud of the State We must feel ownership and pride in the Indonesian nation and realize that one nation and state. Factors for Declining Nation and State Awareness The shame of Indonesian nation and state. Ignorance of the positive values / wealth of the State of Indonesia. The decline in the level of security of the State of Indonesia. Unbelief in government. The invalidity of leaders. The lack of legal validity. A feeling of wanting to highlight each group. Declining values of tolerance and mutual respect. We need to be aware of the above matters, and be shunned, so that they will harm our own nation and country. BIBLIOGRAPHY Asifuddin, Ahmas Faiz, 2011. As-Sunnah magazine Edition 04 Surakarta Lajnah Istiqomah Foundation Publisher. Chotib et al., 2006. Citizenship leads to civil society. Second edition: first printing, Yudistira, Jakarta. Darlan, H.M. Norsanie, 2017. PANCASILA AS AN IDEOLOGY FOR THE DEVELOPMENT OF RADICALALISM, Papers, IAIN Palangka Raya. Ibn Manzhur in Lisan al-Arab delivered the words of Mrs. al-A'rabiy Pranata, Nurhadi 2012. Pancasila as Ideolgi Bangsa, Jakarta.

THE EFFECT OF MUSEUM VISITS ON RESULT LEARNING SOCIAL ANTROPOLOGY IN MATERIAL DAYAK CULTURE

THE EFFECT OF MUSEUM VISITS ON RESULT LEARNING SOCIAL ANTROPOLOGY IN MATERIAL DAYAK CULTURE By: H.M. Norsanie Darlan and M. Affandi A b s t r a k The purpose of this research are: (1) Want to know Is there any influence of result of visit either individual or group to a cultural activity of Dayak society in the past, which is kept in museum Balanga Palangka Raya. (2) Want to know how the form of strengthening the course of Social Anthropology, especially on the cultural material of Dayak people in Central Kalimantan; The method used in this research is qualitative research to resource person and a number of extension workers at Balanga Museum Palangkaraya using approach on research subject that is to resource person and Balanga museum officer, by asking for their time while giving service in museum visit. While the data collection tool in the form of: interviews, observation and documentation and camera. To find the truth in this research analysis tested: Credibility, triangulation, Transferability, Dependability, Confirmability and others, so that the data analyzed manghasilkan in accordance with the expected. While the results of this study are: (1) It has been seen concretely the influence of the results of visits to museums whether individuals or groups to whether students who have been lectured anthropology and social and social society. This is an activity to see the cultural heritage of the past in the Dayak community, which in the museum collected into a collection, which is stored in Balanga Palangka Raya museum. And various cultural results of the Dayak community in various aspects of life. So the result of visit to the museum for students really get a set of knowledge about Dayak culture and have memories for each who visit; (2) The reinforcement of subjects of cultural and social anthropology, especially on the cultural material of the Dayak people in Central Kalimantan, does require a way of its own. And how to display a way of life and patterns affect a culture or strength that arises from something. Both the human form and the objects and everything that exists in nature, thus affecting what is around him. Keywords: Museum, Culture, Dayak Society. 1.Background Problem Every student of non-school/non-formal education has the obligation to follow education in the subject of cultural anthropology and social anthropology. Prior to programming this course, also students have been given previous courses of cultural anthropology. It provides material on various cultures of society, including Dayak community or people in the homeland since western kawasa west (Aceh), to the east (Papua). Although all of the material is aware of all this stuff, but this provision is none other than if the students of education outside of school or now called non-formal education (PNF) if the students were later very forced to be a teacher, the provision given for 2 semesters either anthropology cultural and social anthropology will provide a concept for them to stand in front of the class in giving students about Anthropology subjects in high school. But if they do not choose a job as a teacher, the course is enriching his life in preparing for their future. Although the alumnus of PLS / PNF in the alumnus gathering 10 - 11 nopember 2017, it turns out that students / alumnus who had been present have worked in various lines in the community. 80% of them work not as teachers. In the course of social anthropology is given stock to them as a student, to get to know the cultural heritage of the past is now stored in many museums. Including Balanga Palangka Raya as the center of this study. From the various materials given to the students who follow the course to find out how to strengthen the course of social anthropology, especially on the cultural material of Dayak community in Central Kalimantan given to the students. So the material given so that their students can understand the material given. And can apply it if he is a teacher. In the research given to the students, it will be sought whether there has been an impact on the outcomes of individual or group visits to a past cultural activity in the Dayak community, which has been collected and stored in Balanga Palangka Raya museum and various tools of Dayak culture in various aspects whether in their past lives such as farming, fishing, hunting, gathering and so on. Siti Khoirnafiya Directorate of Museum (2006) Neverthless, as museums are repositories of cultural relics, educacted people and moreover have a mission to impart cultural informations to society. They need to be arranged in the event that most coommunicative for their respective target visitors. So according to Siti Khoirnafiya (2006) Society and culture is like a currency whose one side is the expression of social system and the other is the cultural system. The interaction of physical and human nature through time and space fosters various social and cultural institutions that are in harmony with the needs of people's lives, while various social and cultural institutions are the human response to solve problems and meet the urge of life while willing to face challenges in the future. The material of all kinds of social institutions is not only seen as a set of inheritance of the past. But it is also a marker of dynamism and resources that is able to adapt to the insistence, both within and outside of the socio-cultural system itself. The cultural aspects of society can be universally observed in every society. Culture is a manifestation of human creativity, taste, and initiation in this mortal world. Culture is an important thing that connects people to their environment. Culture is also a blue print or a guide for humans. It is with this culture that man looks different from animals. With culture, man can survive and live his life. There are several ways we can know the culture of society. One way that a person or group to know the cultural image of the local community is to come to the museum. That's because in museumlah they can see the picture of a civilization of regional culture, both antiquity and in modern times. 2. Research Objectives The purpose of this research is as follows: 1. Want to know how the form of strengthening courses Social Anthropology, especially on the cultural material of the Dayak community in Central Kalimantan. 2. Want to know whether there have been any influence of individual or group visits on an activity of a past culture in Dayak society, which has been collected and stored in Balanga Palangka Raya museum and various tools of Dayak culture result in various aspects of its life. 3. Understanding of the Museum When we talk about the definition of Museum is an institution dedicated to the general public. Originally the museum functioned to collect, treat, and present and preserve the cultural heritage of society for the purpose of study, research and pleasure or entertainment in other words (Let's Know Museum, 2009). Based on RI Government Regulation no. 19 In 1995, the museum is an institution, storage, care, security and utilization of material evidence material results of human culture and nature and environment in order to support efforts to protect and preserve the nation's cultural wealth. Meanwhile, according to the International Council of Museums (ICOM): in the Guides of the Museum of Indoneisa, 2008. museum is a permanent institution, not seeking profit, serving the community and its development, open to the public, obtaining, maintaining, connecting and exhibiting artefacts about teak past human self and its environment for study, education and recreation purposes. 4. Museum Functions As mentioned above and based on Government Regulation No. 19/1995: in the Guidance of Indonesian Museum, 2008. the museum has the task of storing, maintaining, securing and utilizing museum collections in the form of objects as cultural heritage. Thus the museum has two major functions: a.As a place of conservation, the museum should carry out the following activities: • Storage, which includes collection of objects to collections, collection records, numbering systems and collection arrangements. • Treatment, which covers activities to prevent and control damage to the collection. • Security, which includes safeguards to safeguard the collection from harassment or damage by natural and human factors. b.As a source of information, museums carry out utilization activities through research and presentation. • Research was conducted to develop national culture, science and technology. • Presentation should keep the conservation and security aspects in mind. 5. Types of Museums Just to our knowledge that the museum contained in Indonesia is distinguished through several types of classification (Let's Know Museum, 2009), namely as follows: a. Type of museum based on the collection owned, which there are two types: The Public Museum, a museum whose collection consists of a collection of human material and / or environmental evidence relating to various branches of art, disciplines and technology. Special Museums, museums whose collections consist of a collection of human or environmental material evidence relating to one branch of art, a branch of science or a branch of technology. b. The type of museum based on its position, there are three types: • National Museum, a museum whose collection consists of a collection of objects originating, representing and relating to the material evidence of human beings and / or the environment from all regions of Indonesia of national value. • The Provincial Museum, a museum whose collection consists of a collection of objects originating, representing and relating to human material evidence and / or its environment from the province where the museum is located. Including Belanga museum in Palangka Raya, Central Kalimantan province. • Local Museum, a museum whose collection consists of a collection of objects originating, representing and relating to the material evidence of man and / or his environment from the county or municipality where the museum is located. 6. Cultural Anthropology Little if we pay attention to cultural anthropology in order to help us understand the different customs and behaviors adopted by different communities. In England, the field of cultural anthropology was originally referred to as social anthropology. This field deals with cultural studies related to social, religious, political, and other factors. The scope of this anthropology, is vast. Any changes that occur in society will be reflected in custom, behavior, and language. In every citizen who became the center of anthropology studies. All these changes together create a picture of a particular society called the culture of that society. Many facts and concepts are very interesting to learn in cultural anthropology. It is not limited to local captives, but also the problem of cultural anthropology in other blood 7. A Glimpse of Cultural Anthropology Cultural anthropology is a branch of anthropology that studies the variations of human culture. Cultural anthropology studies the facts about the political, economic, and other factors of the local culture of a particular region. Experts or people working in this field are known as cultural anthropologists. Cultural facts are usually obtained through various methods such as: interviews, observation, documentation and other equipment. 8. Contribution of Edward Tylor Edward Tylor was a British anthropologist in the 19th century. He described the culture as human thought and behavior formed by society. In 1872, the British Association for the Advancement of Science began preparations for the inventory of cultural categories. Edward Tylor helps this committee in doing the work. The result of this project is 76 cultural topics, although still in random order. 9. The Core Concept of Cultural Anthropology In various studies cultural anthropology is done differently by different scholars. However, there are some basic or basic concepts that remain the same. For example, the basic component of cultural anthropology is about what humans think, do, and produce. All the concepts and theories of cultural anthropology revolve around basic concepts. This concept is used as a guide to study the culture of a particular society. Differences in cultural characteristics of a society show that cultures can be learned, shared, transmitted, adapted, and can be symbolically integrated. 10. Research Methods The method used in this research is qualitative research to resource person and a number of curator in English language that comes from word curator. According to one dictionary the meaning of this word is officially an officer who has the authority to organize and supervise something in a limited field in the museum. The curator is responsible for the existence of valuables. He is responsible for the existence of historical evidence. Even he is responsible for the success of an art exhibition at the museum. The curator at Balanga Museum Palangkaraya using the approach as the subject of research is to resource persons (curators) and Balanga museum officials, by requesting their time while providing services in museum visits. While the data collection tool in the form of: interview guides, observation and documentation and camera. To find the truth in this research analysis also tested: Credibility, triangulation, Transferability, Dependability, Confirmability and others, so that the data analyzed manghasilkan in accordance with the provisions. While the time this study lasted from April to July 2017 with the following results: 11. Research Results 11.1. Field General Data General data from the results of this study, obtained that Balanga Museum is a museum located in the City of Palangka Raya, Central Kalimantan province, Indonesia. Balanga Museum is located on Jalan Tjilik Riwut, only about 2.5 km from the Great Roundabout. If you do not use private vehicles, public transportation is also very easy. The existence of Balanga Museum is not yet widely known by the public. Even the people of Central Kalimantan itself many who still do not know the existence of this museum, but this museum, has existed since 1973. Founded by the Regional Government of Central Kalimantan as a museum area. Along with the central government policy that every province has a museum that displays the uniqueness of local culture and natural wealth, then in 1990 Museum Balanga became a museum of Central Kalimantan province. Balanga Museum has various types of collections of material culture (cultural objects) are grouped into a collection of ethnography, historica, archeology, ceramics, numismatika & heraldika. While natural objects are grouped into biological and geological collections. Collection of the museum is partially displayed in 2 buildings as a permanent exhibition, the rest are arranged in a collection gundang. When you enter the exhibition hall then you will feel the atmosphere of traditional Dayak life. Collections are arranged based on life cycle, starting from ceremonial equipment of birth phase, marriage and last death. There is also a divide into the phases: Marriage, pregnancy, birth, and new death. The guide will not forget to tell you about the uniqueness of the Tiwah ceremony. Here you will see the uniqueness of traditional weapons such as Chopsticks, Duhung, Mandau, miniature longhouses called Betang, fishing gear called Mihing, Sapundu and Hampatung Karuhei statues, Talisman amulets, brass merchandise, various Chinese ceramic pots from Ming dynasty and Ching called Balanga and Malawen dishes. There are many more other unique collections. The Balanga Museum also received about a thousand confiscated weapons used during an ethnic conflict in Sampit in 2001 as a historical collection. Balanga Museum serves both individual and group visits during working hours: • Monday-Thursday: 07.00 - 14.00 Friday ; 07.00 - 10.30 •Saturday : 07.00 - 2.30 For the group you should contact the museum via mail, fax or telephone so that service during the visit in the museum can be maximized. Ticket • For kindergarten, elementary, junior and senior high school students: Rp.1.000, - per person • For students and adults: Rp.2.500, - per person Thus many visitors to come to Balanga museum are the students and elementary school students, a small number of students. Balanga Museum As a way to introduce about the cultural heritage of Dayak tribe and civilization in Central Kalimantan. Each of us who visit each region must arise what the question of the attraction of the area and how to summarize we know and know it all. When you first visit Palangkaraya City is the capital of Central Kalimantan Province and want to do recreational activities or tourism. I suggest starting with visiting Balanga Museum. For what is curiosity, the introduction of Central Kalimantan, can be answered and known in detail. When several times visit this museum bring tourists. It seems that they are interested to see historical objects of the Dayak tribe such as the Historical, Archaeological and Keramological collections. If your visit brings a group or tourists in the museum there pemadunya that will direct and explain about what is in museum.Koleksi various objects that exist in the Museum Balanga consists of 10 classifications of the collection are: 1. Geological, 188 collections 2. Biologics, totaling 40 collections 3. Ethnographic, totaling 1,383 collections 4. Archeology, numbered 112 collections 5. Historics, totaling 1,116 collections 6. Numismatika / Heraldika, numbered 781 collections 7. Philology, numbered 4 collections 8. Keramologika, amounting to 572 collections 9. Fine Arts, totaling 5 collections 10. Teknologika, totaling 53 cameras With the large collection in the museum gives a positive influence on the visitors to increase the knowledge that they still have not much. Thus the role of the curator as an officer who plays a role in his role helps the smoothness of the museum to become known to the public. Thus the role of museum Balanga Palangka Raya very positive influence on the people who want to visit. Includes students attending lectures on cultural and social anthropology. 11.2. Data of research result It has been seen concretely the effect of the results of visits to museums whether individuals or groups to whether students who have been lectured by cultural and social anthropology and society. This is an activity to see the cultural heritage of the past in the Dayak community, which there collected into a collection, which is stored in Balanga Palangka Raya museum. And various cultural results of the Dayak community in various aspects of life. So the result of visit to the museum for students really get a set of Dayak cultural knowledge and have memories for every visit; The reinforcement of cultural and social anthropology, especially on the cultural material of the Dayak people in Central Kalimantan, does require a way of its own. And how to display a way of life and patterns affect a culture or strength that arises from something. Both human form and objects and everything that exists in nature, so it also affects what is around him. 11.3. The effect of visits The influence of visits of individuals or groups to a past cultural activity in the Dayak community, which has been collected and stored in Balanga Palangka Raya museum and various tools of Dayak culture results in various aspects. From field interviews to resource persons, the visit of the terrorists to the balanga museum did affect the development of the museum and the number of visits the following year. In the course of cultural anthropology and social anthropology clearly the students get a picture that the cultural objects that exist in the museum of Balanga really is a very high study of the price for science, especially in the study of anthropology courses. Therefore, students who are given lectures for 2 smesters and brought to visit museum balanga provide added value and cultural khuasanah. Kususnya Dayak culture in central kalimantan. Therefore, a collection of past cultural perennials that are held and displayed on this museum is very beneficial for visitors. What else for students who have been equipped with scientific knowledge with us as a coach of cultural anthropology courses and courses of social anthropology. In the influence of visits found in museums such as: cultural heritage, farming, shifting cultivation of the visit was also found cultural heritage of Dayak people such as ceremonies: engagement, marriage, pregnancy, birth, as well as in the ceremony of death to tiwah. 12. Discussion From the first objective: research that has been seen concretely the influence of the results of visits to museum either individual or group to whether students who have been provided at the lecture of cultural and social anthropology and society. This is an activity to see the cultural heritage of the past in the Dayak community, which there collected into a collection, which is stored in Balanga Palangka Raya museum. And various cultural results of the Dayak community in various aspects of life. So the result of visit to the museum for students really get a set of Dayak cultural knowledge and have memories for every visit; International Theory of the Council of Museums (ICOM): in the Indonesian Museum Guides, 2008 on museums is a fixed, non-profit organization, serving the community and its development, open to the public, obtaining, caring for the Balangka Palangka Raya musseum. From the results of research that has been done that Balanga museum is a place to collect cultural collections on the calendar of the past which is stored in this museum so that all the things that are worth it, stored there that tertunya will be stored for generations as a collection area. While the second goal: is a form of reinforcement subjects Cultural and social anthropology, especially on the cultural material of the Dayak community in Central Kalimantan, it requires a way of its own. And how to present a way of life and the pattern that affects a culture or strength that arises from something. Both human form and objects and everything that exists in nature, so it also affects what is around him. The theory according to: Siti Khoirnafiya (2006) Society and culture is like a currency that one side of the expression of social systems and the other is the cultural system. The interaction of physical and human nature through time and space fosters various social and cultural institutions that are in harmony with the needs of people's lives. Thus in the above objectives and theories, it is clear to explain to us that the interaction between museums with cultured communities especially to the cultural heritage of these predecessors, has begun to collect past cultural perennials so as not to just disappear. So that the government has collected the objects of the past, must be museum to be a collection of government that is stored in the museum. Including Balanga Palangka Raya museum. So the museum can solve problems for those who want to know about the culture of the past. 13. Conclusio 13.1. It has seen concretely the influence of the results of visits to the museum either individuals or groups to include students who have been lectured anthropology and social and social society. This is an activity to see the cultural heritage of the past in the Dayak community, which there collected into a collection, which is stored in Balanga Palangka Raya museum. And various cultural results of the Dayak community in various aspects of life. So the result of visit to the museum for students really get a set of Dayak cultural knowledge and have memories for every visit; 13.2. The reinforcement of cultural and social anthropology, especially on the ultural material of the Dayak people in Central Kalimantan, does require a way of its own. And how to display a way of life and patterns affect a culture or strength that arises from something. Both human form and objects and everything that exists in nature, so it also affects what is around him. 14. References Darlan, H.M. Norsanie, 2006. Recognizing Community Culture, Anthropology Material, PLS FKIP, University of Palangka Raya. Khoirnafiya, Siti, 2006. Directorate of Museum, Jakarta. Museum, 1995. RI Government Regulation no. 19, on Storage Goods Equipment Museum, Jakarta. ------------, 2008. Guideline for Indonesian Museum, Jakarta. ------------, 2009. Let's Know Museum, Jakarta. Balanga Museum, 2015. Balanga Museum Handbook Palangka Raya. Trigangga et al, 2013. Inscription & Kings Nusantara, Jakarta ------------, 2015. Collection of National Museum of Indonesia, Jakarta. Author: Prof. Dr. H. M. Norsanie Darlan, MS PH. Professor at the S-1 and S-2 Non-Formal Education Program, Palangka Raya University- 73112.