Senin, 20 Juni 2016

SEMINAR MULTI KEAKSARAAN TERINTEGRASI KOMUNITAS ADAT TERPENCIL

Pada Selasa, 21 Juni 2016 7:32, "syamsuddin.hasan@ymail.com" menulis: D0200616001073 20-06-2016 KSR BJM SEMINAR MULTI KEAKSARAAN TERINTEGRASI KOMUNITAS ADAT TERPENCIL Banjarbaru, 20/6 (Antara) - Sejumlah pamong belajar dari Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Non Formal Regional IV Kalimantan di Banjarbaru, Kalimantan Selatan melakukan Seminar Multi Keaksaraan Terintegrasi Komunitas Adat Terpencil, Senin. Pendamping/pembimbing makalah seminar tersebut Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH merangkan, seminar itu dalam rangka mempersiapkan materi/bahan ajar bagi masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT). "Materi/bahan ajar itu tentang bagaimana mengadakan pendekatan dengan KAT tersebut," ujar Guru Besar pada Universitas Palangka Raya (Unpar) itu kepada Antara Kalsel di Banjarmasin. Selain itu, membicarakan bekal guna memberikan kecakapan hidup bagi masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT) agar masa depan mereka lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Sementara paparan tiga pemakalah berisikkan bagaimana pemberian pengetahuan dan keterampilan kepada warga masyarakat, termasuk KAT. "Dengan pengetahuan dan keterampilan tersebut masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT) itu agar bisa mengetahui apa saja di lingkungan mereka yang dapat menyumbangkan manfaat untuk kehidupan sehingga menjadi sejahtera," tutur profesor berasal dari Desa Anjir Serapat Kabupaten Kapuas, Kalteng itu. Ia berharap, konsep bahan ajar yang mereka buat dalam seminar itu tidak saja untuk para pamong belajar pada lima provinsi di Kalimantan. Melainkan berlaku pula untuk berbagai daerah di tanah air. "Karena hasil uji coba itu akan memberi manfaat dalam proses pembelajaran yang lebih luas," demikian Norsanie Darlan. Pemakalah seminar yang sehari itu masing-masing Dra Nunung Nurazizah M.Pd, Rusmilawati, M.Pd dan Wulan Surandika, S.Pd, serta itu dibuka oleh Kabid Pembinaan Program Dr. Didik Tri Yusmanto M.Pd Pendamping/pembimbing seminar yang berlangsung di Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Non Formal Regional IV Kalimantan di Banjarbaru (30 kilometer utara Banjarmasin) itu juga Prof H Suratno M.Pd dari Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. ***4*** (T.KR-SKR/B/H. Zainudin/H. Zainudin) 20-06-2016 18:15:31

Sabtu, 18 Juni 2016

AKADEMISI: PLS/PNF TIDAK MENGENAL BATAS USIA

D0180616000382 18-06-2016 KSR BJM Banjarmasin, 18/6 (Antara) - Akademisi Universitas Palangka Raya (Unpar) Kalimantan Tengah Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH mengingatkan bahwa pendidikan luar sekolah atau non formal tidak mengenal batas usia. "Oleh sebab itu, walau usia sudah tua tidak perlu risau dalam hal pendidikan, karena masih bisa mengikuti pendidikan luar sekolah atau non formal (PLS/PNF)," ujarnya kepada Antara Kalimantan Selatan di Banjarmasin, Sabtu. "Berbeda dengan pendidikan formal ada batas usia, sementara bagi PLS/PNF tidak mengenal batasan usia, sekalipun sudah menjadi kakek-kakek," lanjut profesor yang berkarier mulai dari pegawai rendahan (pesuruh) itu. Ia mengatakan, pada pendidikan formal ada batas waktu paling tinggi 20 tahun sudah tidak sekolah dasar (SD) ataupun sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). "Karena rata-rata di sekolah formal secara jelas usia SD 6-12 tahun, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 13-15 tahun dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) maksimal 18-20 tahun," lanjut dosen pascasarjana PLS pada Unpar tersebut. Ia menambahkan, PLS/PNF sebagai perwujudan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan "mencerdaskan kehidupan bangsa". "Mencerdaskan kehidupan bangsa itu tampaknya gampang (mudah), tapi sulit," ujar Guru Besar pada perguruan tinggi negeri tertua di "Bumi Isen Mulang" (pantang mundur) Kalteng tersebut. "Gampangnya menyebut, sulitnya melaksanakan. Bahkan ada Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) sendiri tidak mengerti tugas dan onderdil di dalamnya, terlebih bidang PLS/PNF," lanjutnya. Oleh sebab itu Kepala Disdik tidak mengerti PLS/PNF, maka sebaiknya yang bersangkutan jangan menjabat atau bupati/wali kota tidak memberikan jabatan tersebut, karena bisa merusak citra dunia pendidikan, sarannya. "Karena kalau seorang Kepala Disdik tidak mengerti PLS/PNF akan membuat malu bupati atau wali kotanya," lanjut mantan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng itu. Ia menerangkan, ada sejumlah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan non formal itu, antara lain Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Sanggar Kegiatan Belajar Masyarakat (SKB), serta Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP). Untuk lebih jelasnya ke tiga jenis PLS/PNF tersebut, yaitu PKBM sebuah lembaga yang menyelenggarakan Paket A setara dengan ijazah SD, Paket B setera SMP, dan Paket C setara SMA. Ketiga macam ijazah dari paket A, B dan C tersebut resmi dan sah berdasarkan Undang-Undang. Namun PKBM tutornya masih beroientasi dari masyarakat untuk masyarakat, demikian Norsanie. ***4*** (T.KR-SKR/B/T. Susilo/T. Susilo) 18-06-2016 10:38:09

Selasa, 14 Juni 2016

BERITA UTAMA REPUBLIKA

Pengolahan Ikan Lele Dapat Mengangkat Desa Tertinggal Post on: 26 Mei 2016 Kabarna olahan-ikan-lele-ilustrasi-_130712115758-717.jpg BANJARMASIN — Akademisi Universitas Palangka Raya (Unpar) Kalimantan Tengah Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH mengatakan, pengolahan ikan lele dapat mengangkat desa tertinggal menjadi tidak tertinggal lagi. “Keadaan itu terungkap dari hasil penelitian mahasiswi pascasarjana (S2) Pendidikan Luar Sekolah atau Pendidikan Non Formal (PLS/PNF) Unpar di Desa Sigi Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng,” ujarnya kepada Antara Kalsel di Banjarmasin, Rabu (25/5). “Desa Sigi dulu masuk kategori tertinggal, tapi kini tidak tertinggal lagi,” lanjut Guru Besar atau dosen pascasarjana S2 PLS/PNF Unpar tersebut mengutip hasil penelitian mahasiswinya itu. Penelitian oleh Elly Misna, mahasiswi S2 PLS/PNF Unpar di Desa Sigi Kecamatan Kahayan Kabupaten Pulang Pisau (sekitar 113 kilometer barat Banjarmasin atau 85 kilometer timur Palangkaraya, ibukota Kalteng) itu sebanyak dua kali selama empat bulan lebih. Berdasarkan penelitian tersebut warga masyarakat Desa Sigi memang tidak terlalu menyenangi ikan lele, karena masih jenis ikan lain yang bisa mereka konsumsi. Namun warga masyarakat Desa Sigi itu mengolah ikan lele menjadi empat produk jenis makanan ringan, ternyata banyak pula orang menyukai oleh rumah tangga (home industry) tersebut. Pasalnya untuk membudidayakan ikan lele di kawasan Desa Sigi dan sekitarnya relatif, sehingga tidak kekurangan bahan baku buat produk makanan ringan itu. Pada seminar hasil penelitian itu, 25 Mei 2016, Kepala Desa Sigi Muriyanto menerangkan, sebelumnya warga desa tersebut mendapatkan motivasi dan pelatihan mengolah ikan lele yang cukup potensial, namun mereka belum memanfaatkan secara maksimal. Pelatihan itu bagi kaum ibu berusia 45 – 50 tahun yang dianggap sudah kurang produktif lagi dalam usaha masyarakat, seperti menyadap karet, mengambil rotan di kebun dan lainnya. “Kita mengapresiasi atas kerja sama mahasiswi S2 PLS/PNF Unpar dengan Kepala Desa Sigi yang memotivasi warga masyarakat setempat, sehingga desa tersebut menjadi terangkat dari semula tertinggal kini tak lagi tertinggal,” demikian Norsanie Darlan. Source: Republika