Senin, 11 Mei 2015

TUNA AKSARA ADA DI KANTONG KEMISKINAN

Oleh: H.M.Norsanie Darlan Pendahuluan Sungguh banyak yang mempertanyakan bahwa kenapai kantong kemiskinan selalu ada di kalangan masyarakat miskin. Hal ini tidak selamanya hanya di tanah air kita, melainkan di negara-negara tertentupun menemukan kasus yang sama. Namun terdapat beda dalam penanganan mereka lebih cepat dibanding negeri kita tercinta ini. Tuna aksara sebenarnya tidak terjadi di kalangan miskin, dan kenapa hal itu harus terjadi. Bila kita mengkaji dalam Surah pertama yang diterima Nabi Besar Muhammad SAW tentang: ”Al-Iqra”, yang secara jelas menyebutkan agar umat-Nya dapat membaca. Walau kita ketahui bersama bahwa: Rasul Terakhir itu, betul-betul juga seorang tuna aksara. Kenapa hal itu bisa terjadi?, karena kalau beliau sebagai seorang cerdik pandai atau orang yang dapat membaca dan menulis dengan istilah sekarang dapat membaca, menulis dan berhitung (calistung), maka dugaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an itu, dibuat oleh manusia. Tapi karena si penerima wahyu tersebut seorang yang betul-betul tuna aksara. Maka dugaan bahwa Al-Qur’an buatan manusia oleh mereka yang belum percaya itu, dapat dipatahkan. Dan Al-Qur’an tentu saja ”...murni wahyu Allah...”. Karena banyak bukti yang setelah dipelajari secara ilmiah terbukti betul-betul berasal dari Yang Maha Besar Allah SWT. Apakah hal itu benar? Kita pelajari saja, salah satu dari surah pertama Al-Alaq yang diturunkan dari ayat 1. Sudah memerintahkan kepada umatnya untuk membaca dengan menyebut nama Tuhan-mu yang menciptakan. Kemudian dalam ayat 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; 3. Bacalah, dan Tuhan-mulah Yang Maha pemurah; Ayat 4 Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam dan ayat 5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ayat pertama sangat memerintahkan kepada Nabi Muhammad disini, tidak sebatas hanya sekedar agar membaca menulis dan berhitung (Calistung), tapi juga kalau kita membaca suasana apa yang telah, sedang dan akan terjadi. Baik kondisi alam maupun hal-hal lainnya. Tapi mari kita bersama mengajak agar semua warga negara Indonesia tuntas dalam calistung. Tentu saja sulit. Kenapa? Mungkin kesadaran untuk belajar masih belum dijadikan prioritas utama dalam hidupnya. Dalam ayat Kedua bahwa manusia dijadikan dari segumpal darah. Kalimat tersebut di atas, membuat manusia khususnya mereka kalangan kedokteran yang berpikir memperdalam berbagai cabang ilmu itu. Ternyata dari surah di atas, setelah dipelajari secara ilmiah oleh kalangan ahlinya maka ayat di atas, telah terbukti kebenarannya. Kantong kemiskinan Bicara tentang kantong kemiskinan ini, di mana saja selalu ada. Baik dipedesaan ataupun perkotaan. Namun yang paling menyolok adalah di perkotaan. Sebab mereka ini memilih tempat area itu, tidak lain karena tidak punya tempat lain lagi untuk berteduh. Sementara mereka yang terkumpul di lokasi itu, cenderung pada mereka yang berpenghasilan tidak tetap dan sangat rendah. Kehidupan merekapun juga tidak dapat dikatakan baik. Karena mereka ini umumnya belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Sementara tuntutan hidup dengan jumlah keluarga biasanya lebih dari kebanyakan orang. Karena bagai mana untuk mengendalikan hal itu, sementara mencari sesuap nasipun terkadang tidak terjadwal seperti kebanyak orang. Minta pelayanan kesehatan dan KB tidak tersedia waktu dan biaya. Apalagi pendidikan yang memakan waktu lama. Namun dalam aspek pendidikan dan kesehatan yang selama ini mendapat perhatian pemerintah, dalam kurun waktu mendatang, makin lama makin membaik. Tinggal kesadaran mereka untuk belajar dan mendapatkan pelayanan kesehatan/KB itu menuntut kesadaran yang tinggi. Kantong kemiskinan sangat terlihat dari jarak dekat pada tempat-tempat kumuh di perkotaan. Sementara dari kejauhan bisa kita lihat di mana-mana. Makin banyak kalangan miskin, makin besar juga jumlahnya peminta-minta di jalanan. Tujuan mereka meminta itu, tidak lain adalah mencari rejeki untuk makan dirinya dan keluarganya. Sehingga belajar membaca dan menulispun sungguh sulit diberikan. Karena mereka ini, belum ada tersedia waktu untuk belajar karena yang utama tidak lain mencari sesuap nasi. Menilik Tuna Aksara Meneliti Tuna Aksara yang ada di pedesaan salah satu contoh di Kalimantan Tengah ada 2 kelompok berbeda masing-masing masyarakat pesisir dan pedalaman. Masyarakat pesisir berada di kawasan selatan Kalimantan Tengah. Karena Kalimantan Tengah pesisir selatannya berada di Laut Jawa sepanjang + 800 Km yang memanjang dari perbatasan dari arah timur adalah wilayah di perbatasan dengan Kalimantan Selatan dan ke arah barat yang berbatasan dengan Kalimantan Barat. Sedangkan kawasan pedalaman yakni kawasan utara Kalimantan Tengah sebelah timur berbatas dengan Kalimantan Timur dan Barat serta Utara dengan Kalimntan Barat. Bicara tentang tuna aksara di kawasan pesisir tahun 1991, memang tidak seluruhnya buta huruf. Hal ini, dalam penelitian yang pernah dilakukan pada anak usia sekolah dan orang dewasa. Ternyata yang buta huruf di sana adalah sudah dapat membaca dan tulisan Arab. Karena mereka juga dapat membaca Al-Qur’an. Sedangkan kawasan pedalaman 1999, ada warga masyarakat yang belum dapat membaca tulis baik latin maupun Arab. PENYEBAB BUTA AKSARA Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya buta aksara di Indonesia, diantaranya yaitu: putus sekolah dasar. Sebab dengan masih banyak anak Indonesia, yang belum medapat kesempatan untuk masuk sekolah dasar menurut Ace Suryadi (2005) adalah dikarenakan faktor: Pertama: karena orang tua atau keluarganya tidak mampu. Kondisi ini memaksa orang tua untuk mempekerjakan anak-anak mereka, terutama dimusim pertanian yaitu waktu mengolah sawah, menanam, mengetam dan lain lain. Kedua: kondisi daerah yang terisolasi atau daerah transmigrasi yang jauh dari sekolah, daerah yang terkena bencana alam atau konflik, seperti Aceh, Nabire, Poso, Atambua, dan sebagainya. Kedua faktor penyebab ini, tidak menutup kemungkinan akan menambah buta aksara jumlah buta aksara di Indonesia. Instruksi Presiden Dalam akhir tahun 2006 tepatnya bulan Nopember - Desember, penulis berkunjung ke desa-desa pesisir selatan di pedelaman Kalimantan Tengah, ternyata Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor: 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasonal Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun memang dirasakan warga walau masih sebatas persiapan. Kenapa hal itu terjadi, dalam mewujudkan pendidikan dasar sembilan tahun ini, tidak semudah membalik telapak tangan. Demikian juga tidak semua Bupati mengerti, apa sebenarnya wajar sembilan tahun tersebut. Padahal Insrtuksi sudah sampai kepada mereka. Ditambah dengan kewenangan otonomi daerah, ”...Kepala Dinas Pendidikan ada kalanya di tempatkan tenaga yang bukan sarjana pendidikan...”, atau ka-Subdin PLS bukan sarjan PLS, melainkan kealiannya sangat berbeda. Dan Dikmas di Kecamatan yang di tempatkan ada kalanya mantan guru yang sudah 15 – 20 tahun bergulat dalam pendidikan formal. Dengan demikian ala berpikirnyapun sudah keformal-formalan. Namun karena ingin bekerja di sturuktural apakah alasan ingin merubah nasib ataukah ada faktor KKN-nya, maka duduklah mantan guru tersebut. Sehingga secara realita Diknas kecamatan tersebut akan berwarna formal. Karena ia tidak tahu sama sekali terhadap, teori dan pendekatan di jalur nonformal. Sementara dipihak lain para sarjana PLS tertutup krannya untuk bekerja di Diknas karena kran yang tersedia hanya disalurkan pada pendidikan formal alias jadi guru. Seperti diangkat jadi guru SLA/SLP. Memang sarjana PLS di Indonesia dipersiapkan untuk 2 pekerjaan Kalau Kran PLS dibuka, ia siap menempati Dikmas subdin PLS dan berbagai instansi terkait. Tapi kalau tertutup kran PLS, maka ia dipersilahkan melamar guru, karena punya akta mengajar IV. Karena ia dididik dalam keguruan dan ilmu pendidikan. Adapun yang jadi masalah kenapa ditahun 80-an kran PLS digembar-gemburkan ditutup. Hal itu, berdampak negatif hingga masa sekarang. Angka tuna aksara semakin tahun semakin membengkak. Siapa yang berdosa terhadap negeri tercinta ini?. Sementara para sarjana PLS yang masuk di kran guru, ia tidak masalah di jalur formal. Namun ia enggan untuk turun pada jalur PLS, karena sudah terlena dengan pekerjaannya di jalur formal. Tempat kerjanya sudah serba ada. Seperti dalam hal: ruang belajar, muridnya sudah ada, bahan belajarnya tersedia. Sangat beda dengan di kelompok belajar atau PKBM. Salah satu contoh dan berkesan bagi penulis warga masyarakat yang didukung oleh kepada desa Satiruk Kecamatan Pulau Hanaut Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah membuat kelompok belajar Paket B di desanya, bagi anak usia sekolah. Karena dari 3 buah sekolah dasar yang berdekatan setiap tahun meluluskan murid antara 15 -18 orang dari setiap sekolah Dasar. Namun karena belum mendapat jatah gedung/guru SMP maka anak usia 12-15 tahun diikut sertakan dalam kelompok Belajar paket B. Sementara pemuda dan orang dewasa karena belum ada tenaga berpendidikan PLS maka itulah yang dapat mereka perbuat. Namun karena atas inisiatif kepala desa dan dibantu para guru yang peduli terhadap nasib bangsa hal itu mereka lakukan. Sebaiknya mereka ini, dimasukkan pada sekolah formal seperti SMP/MTs. Karena Faktor usia yang masih muda belia. Dan sebaiknya bagi mereka yang di atas 18 tahun, baru diikutsertakan dalam kelompok belajar paket B tersebut. Dan mereka ini, dimasukkan pada SD/SMP satu atap (terpadu/atau apalah istilahnya). Dan sementara gedung sekolah dasar yang ada dapat untuk dijadikan ruang/kelas SLP di desa itu. Dipihak lain, orang tua masih enggan memberangkatkan anaknya yang berusia 12 tahun ini urbanisasi ke kota atau ke desa lain, untuk melanjutkan pendidikan seperti: SMP/MTS ke kota kecamatan/Kabupaten karena jarak desa dengan kota kecamatan sangat jauh, transportasi yang dapat menjangkau ke lokasi itu, hanya dengan klotok (perahu bermesin di Kalimantan Tengah). Itupun tidak ada angkutan tetap setiap hari. Sehingga menjadi kendala besar dalam penuntasan Wajar sembilan tahun ini. Saran Penuntasan Wajar Dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan Wajr sembilan tahun, sebuah pertemuan di kota Kabupaten Kotawaringin Timur (Sampit) Kalimantan Tengah terungkap dalam salah satu saran untuk penuntasan di masyarakat, agar wajar sembilan tahun dapat dituntaskan adalah:”...Departemen Tenaga Kerja untuk membuat peraturan baru, yakni setiap calon tenaga kerja baik sektor formal maupun informal adalah harus memiliki ijazah minimal SLP...”. Seperti mereka mau mencari kerja sebagai buruh pekerja perkebunan, pertokoan dan sebagainya. Selama ini, mereka bekerja tanpa melihat latar belakang pendidikan. Pihak pengusaha semata-mata ingin mencari tenaga kerja sebanyak mungkin. Sementara pendidikan formal ataupun pendidikan nonformal seperti paket A atau B tidaklah diperhatikan. Yang penting bagaimana usahanya maju dan keuntungan dapat segera diwujudkan. Anak usia sekolah antara 12 – 15 tahun di kawasan itu, muncul pikiran baru. Selama sekolah tidak mendapatkan uang. Bahkan selalu meminta pada orang tua. Tidak sekolah hanya dengan membersihkan rotan yang diambil dari kebun bekerjan 4 – 5 jam sehari, sudah dapat mengantungi uang untuk makan dan jajan untuk 1 – 2 hari. Akhirnya sekolah ditinggalkan begitu saja. Oleh sebab itu, perlu ada kerjasama dengan pihak Depnaker dalam menetapkan calon pekerja, dengan memperhatikan latar belakang pendidikan mereka sebagai persyaratan berpendidikan SLP atau paket B. Sehingga wajar sembilan tahun dapat segera dituntaskan. Penyaradaran Hidup Dalam rangka penyadaran bahwa masalah tuna aksaran ini, belum menjadikan tuluk ukur warga masyarakan dalam suatu kebutuhan hidupnya. Sementara pihak pemerintah, perlu mencari jalan agar warga masyarakat yang masih tuna aksara agar kurang mendapat kesempatan dalam hal-hal tertentu. Sehingga bila suatu saat mereka yang karena sesuatu dan lain hal, dalam hidupnya. Tidak dapat berbuat banyak dalam mencari pekerjaan, kalau ia masih tuna aksara. Misal saja warga tuna aksara karena kesulitan membaca setingga membuat KTP tak mudah diterbitkan. Karena sebagai prasyarat mutlat misalnya. Isi sebuah konsep penyadaran hidup mereka yang tuna aksara. Jika sebagai salah satu contoh di atas diterapkan. Maka warga masyarakat yang tuna aksara akan berusaha belajar ikut paket A dan B. Seperti saran masyarakat di atas, dalam lapangan pekerjaan, jika mereka tidak memiliki Ijazah SLTP ia tidak akan dapat bekerja di perusahaan perkebunan dsb. Sehingga pada saatnya itu mereka akan sadar dalam hidupnya suatu kebutuhan dalam pendidikan dasar 9 tahun ini. Apakah dengan mengikuti jalur pendidikan formal ataukah luar sekolah seperti paket A dan B. Tapi pemerintah perlu bertindak tegas, misalnya agar PKBM diantara sekian dari penyelenggara paket A dan B untuk wajar 9 tahun tidak terlalu mudah mengikut sertakan mereka dalam ujian negara. Kalau mereka tidak mengikuti pelajaran secara rutin selama beberapa semester. Agar mereka yang sering menuding pendidikan nonformal (PLS) kualitasnya belum seperti mereka harapkan. Bagaimana para penuding ini, jadi terperanjat bahwa pendidikan nonformal juga punya aturan yang jelas. Terdapat keluhan tokoh formal Ichwanuddin (2006) bahwa:”... pernah menyulitkan pihak Diknas (Dikjar) bila bakal terjadi Pemilu dan Pilkada, ada orang-orang tertentu, yang mendesak agar ikut serta dalam program paket C. Tidak itu saja, kepala Dikjar (Dinas pendidikan dan pengajaran) Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah ini, agar diikutsertakan ujian paket C. Hal tersebuat ia pernah juga diperiksa oleh pihak kejaksaan, karena ada indikasi bahwa lulusan paket C diperoleh tanpa melalui kegiatan pendidikan luar sekolah yang wajar...”. Hal seperti ini, fungsi PKBM perlu dijaga, bukan hanya sekedar kasihan. Tapi dengan terbitnya Undang-Undang nomor: 20/2003 dalam Bab XX ada pula sanksi yang berat. Kebanggaan kita semua memang lulusan paket C sudah ada yang berhasil menjadi Bupati. Tidak terhitung yang menjadi anggota DPR. Dalam kegagalan pendidikan formal tahun 2006 lalu, bisa kita ingat 15-20 tahun mendatang, lulusan paket C akan bermunculan menjadi pejabat di negeri ini. Dengan demikian fungsi PKBM setara juga dengan pendidikan formal. Hanya yang kita jaga kualitasnya. Mutu dan Relevansi Untuk melihat bagaimana mutu dan relevansi menurut Ace Suryadi (2005) adalah: a. Melakukan hasil pengujian terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan standar yang telah dibakukan sehingga program pembelajaran yang telah dilaksanakan selama ini dapat diketahui sejauh mana tingkat penguasaan peserta didik. b. Berusaha melakukan peningkatan pelayanan pendidikan keaksaraan melalui kegiatan pembelajaran yang berkelanjutan dan relevan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya melalui program life skills. Kegagalan Sekolah Formal Berbicara tentang kegagalan sekolah formal selama ini, menurut Kepala Sub Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional RI, Ella Yulaelawati (2006) bahwa :“…perlu dilakukan pengkajian yang sangat mendasar tentang kegagalan sekolah formal yang selama ini…”. Karena sekolah formal sebagai jalur pertama ternyata tidak seluruhnya menemukan cara efektif dalam penyelenggaraan pendidikan formalnya. Padahal pendidikan formal ini telah disiapkan dengan segala fasiltas, guru dan materi belajar yang cukup. Tapi kenapa setelah diserahkan tugas lewat pendidikan formal selalu kandas dalam penuntasan pendidikan dasar 9 tahun. Sementara kegagalan dalam menekan angka tuna aksara ini menurut: Singarasa (2006) adalah: ”…masa lalu, pihak pemerintah betul-betul membina masyarakat yang diikuti dengan kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap program yang dilancarkan pemerintah. Dan turut mendukung upaya menurunkan angka tuna aksara. Namun sekarang kita sadari bersama dengan kurangnya partisipasi masyarakat akan turut meninggikan angka buta huruf….”. Dengan demikian, berarti perlu penyadaran dan ketaatan warga untuk belajar. Menurut Darlan (2006) Bahwa:”... dalam wajar 9 tahun, bangsa kita di era pembangunan sekarang terjadi peningkatan angka tuna aksara selalu tinggi. Walau pemerintah sudah secara gencar melakukannya. Namun angka tuna aksara makin tahun masih bertambah. Hal ini perlu kita cari sebab akibatnya...”. Seorang dosen pendidikan luar sekolah (PLS) Universitas Palangka Raya: Ringkin (2006) bahwa ia: “…mengkritisi rumusan hasil pertemuan sarjana di Palangka Raya beberapa waktu lalu bahwa kalangan pendidikan sendiri yang duduk dalam komisinya masih terlupakan tentang pendidikan luar sekolah. Padahal jika menguasai terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor: 20/2003 secara jelas ada 3 jalur pendidikan yakni: (a) Pendidikan Formal, (b) Pendidikan non formal dan (c) Pendidikan informal…”. PLS berada pada pendidikan non formal. Sementara dalam butir 2 Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesataraan, serta pendidikan lain yang ditunjuk untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Ini juga memasuki pada jalur pendidikan informal kita. Kegagalan yang dikritik dosen senior PLS FKIP Unpar itu, tidak lain karena ketidak mengertian banyak orang tentang jalur pendidikan kita, baik dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 maupun Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku dan ada di negeri kita cintai ini. Belajar Dari Sebuah Pengalaman Dalam mengakhiri tahun 2006, ada sebuah pekerjaan yang ditugasi oleh LPPM Universitas Palangka Raya untuk asistensi Wajib bejalar 9 tahun di Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, mendampingi para Camat, Diknas Kecamatan, Depag Kecamatan dan Kepala Desa serta tokoh masyarakat dalam membicarakan SD/SMP satu atap. Sebuah desa di tepi Laut Jawa tepatnya Desa Satiruk, kecamatan Pulau Hanaut ada 3 gedung sekolah dasar yang berdekatan setiap tahun meluluskan antara 18-20 orang/sekolah. Namun tidak ada SMP/MTs baik negeri maupun swasta di sekitar itu. sehingga kepala desanya berinisiatif membentuk kelompok belajar paket B. Namun dalam segi usia 12-14 tahun. Sementara yang berusia 18 – 40 tahun tak pernah dapat sentuhan pendidikan baik formal SMP/MTs maupun nonformal paket B. Padahal negara kita sedang gigihnya menuntaskan wajar 9 tahun. Termasuk merealisasikan Instruksi Presiden nomor: 5 tahun 2006 tertenggal 9 Juni 2006. Tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajar pendidikan dasar 9 tahun dan pemberantasan buta aksara. Pengalaman lain tahun 1992 penulis penelitian di kawasan pantai, menemukan sebuah bangunan beratapkan daun nipah, dinding daun nipah dan berlantaikan tanah, ukuran 6 x 4 m dengan 10 orang murid 4 diantaranya duduk di kelas 2. Saat bertemu dengan penulis penduduk di kecamatan Kumai Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah ini, diajak membaca huruf latin dan angka belum sempurna. Tapi dituliskan huruf Arab mereka lancar membaca. Berarti penduduk pesisir tidak seluruhnya buta aksara, kecuali latin. Sedangkan huruf Arab mereka sudah bisa, karena setiap orang tua melatih anaknya untuk membaca Al-Qur’an. Kasus ini berada di kawasan selatan Kalimantan Tengah. Tepatnya di utara Laut Jawa. Perlu Perubahan Dalam bagian akhir tulisan ini perlu suatu upaya merubah konsep yang selama ini, ternyata terjadi kesalahan dalam dunia pendidikan luar sekolah. Memang selama ini, pendidikan luar sekolah terlupakan. Bahkan jika pendidikan luar sekolah bagi pekerjanya seperti tutor misalnya mendapat imbalan lebih banyak dengan ucapan terima kasih. Sementara jika tersedia dana, untuk tenaga tutor hanya dengan imbalan yang jauh dari cukup. Padahal, petugas PLS jauh lebih sulit dibanding mereka yang bekerja di jalur pendidikan formal. Misal dalam pendidikan formal gedung sekolah, guru dan murid serta buku bacaan tersedia, semuanya serba ada. Sementara dalam jalur pendidikan luar sekolah terjadi sebaliknya. Ruang belajar terkadang di rumah penduduk, di balai desa dll. Murid dirayu agar mau belajar. Karena mereka dalam kondisi belajar tidak penting baginya. Hal itu perlu diberikan penyadaran diri individu yang masih belum tuntas wajar 9 tahun. Materinya elastisitas yang diberikan berdasarkan kesepakatan bersama. Dengan melihat hal di atas, saran dari penulis agar mulai sekarang kita adakan perubahan. Artinya dalam hal pendanaan, tidak selalu pada pendidikan formal yang besar. Tapi bagaimana jika kalau PKBM, yang tak punya gedung yang memadai. Pihak Diknas turut membantu mereka yang mendirikan pusat kegiatan belajar masyarakat ini, pada gedung mereka, buku bacaan dan honor tutor yang cukup. Sebab kita sangat bersyukur kepada segelintir warga masyarakat yang peduli dunia pendidikan. Kenapa yang peduli pendidikan ini, tidak kita bantu dalam rehab atau perluasan tempat belajar mereka di PKBM itu. Sehingga motivasi mereka dalam membantu proses percepatan penuntasan pendidikan dasar 9 tahun segera terwujud. Jika hal ini direalisasikan, Insyaa Allah kegairahan belajar mesyarakat akan meningkat. Dan angka tuna aksara akan dapat ditekan. DAFTAR PUSTAKA Darlan, H. M. Norsanie, 2006. Pendidikan Luar Sekolah di Kalimantan Tengah, Makalah, Palangka Raya. -----------, 2006. Sulitnya Pemerataan Wajar Sembilan Tahun di Kalimantan Tengah, Universitas Mulawarman, Samarinda. ------------, 2007. UPAYA MENGOPTIMALKAN FUNGSI DAN PERAN KBM SEBAGAI LEMBAGA PENGEMBANG SUMBERDAYA MASYARAKAT, PKBM Zamzam, Malang. Hamid, H. Dedi, 2003. Uuno 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Asokadikta, Jakarta. Ichwanuddin, 2006. Keberatan Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah, Pangkalan Bun. Ringkin, Don F, 2005. Kritik Pendidikan Luar Sekolah hanya dipandang dengan sebelah mata oleh banyak kalangan, Kal-Teng Pos Opini, Palangka Raya. Singarasa, Henry 2006. Diskusi Pendidikan Keaksaraan dengan Berbagai Latar Belakang Bidang Keilmuan, Rektor Universitas Palangka Raya, Palangka Raya. Suryadi, Ace, 2005. Kebijakan dan Strategi Gerakan Pemberantasan Buta Aksara Intensif, Hotel Sahid Raya Solo. Yulaelawati, Ella, 2006. Kegagalan Sekolah Formal Dalam Melaksanakan Pendidikan, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas RI, RRI, Jayapura.

Jumat, 08 Mei 2015

MENGENALI KEHIDUPAN PROF. NORSANIE DARLAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

RIWAYAT MENGAJAR S-1 DAN S-2 DI KALIMANTAN No Mengajar Lokasi Tahun 1. Mengajar di Program Studi PLS FKIP Unpar 1979 2. Mengajar di Fakultas Tarbiyah Palangka Raya Faktas Tarbiyah Palangka Raya 1980 3. Mengajar di Fakultas Kedokteran Masyarakat Program Pendidikan Kedokteran Komunitas (PPKK) UGM Kedoktera UGM Yogyakarta 1986 4. Mengajar di Universitas Muhammadiyah UMP 1989 5. Mengajar di Universitas PGRI Palangka Raya FKIP/Fisip PGRI Palangka Raya 1992 6. Mengajar di Akademi Kebidanan Palangka Raya AKBID 1998 7. Mengajar S-2 di Pascasarjana PLS Unpar Program Magister PLS 2008 8. Mengajar di S-2 Pascasarjana STAIN/IAIN Palangka Raya STAIN/IAIN 2013 9. Mengajar di S-2 Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMP) MAP 2014 10. Mengajar S-2 di Program Pasca Sarjana IAIN Antasari Banjmarsin IAIN Antasari 2014

AKADEMISI PLS/PNF BERTEMU DI SEMARANG

Hari Ini pada 6:24 AM D0080515000734 08-MAY-15 IBU BJM AKADEMISI : INDONESIA HARUS SIAPKAN GENERASI PENERUS BANGSA Oleh Sukarli Banjarmasin, 8/5 (Antara) - Akademisi Universitas Palangka Raya (Unpar), Kalimantan Tengah, Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH menyarankan, Indonesia harus benar-benar menyiapkan generasi penerus bangsa. "Apalagi dalam era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), kita harus betul-betul menyiapkan generasi penerus bangsa," ujarnya kepada Antara Kalimantan Selatan di Banjarmasin, sebelum bertolak ke Semarang, Jawa Tengah, Jumat. Pasalnya, menurut dosen Pendidikan Luar Sekolah atau Pendidikan Non Formal (PLS/PNF) Unpar itu, tantangan ke depan atau lebih dekat lagi pada tahun 2020, semakin berat dalam persaingan perdagangan bebas di era MEA. Karena itu bila tak disiapkan sejak sekarang, maka produk dalam negeri bisa kalah bersaing, dan pada gilirannya berdampak terhadap perekonomi rakyat Indonesia, lanjutnya. Saran Guru Besar dari perguruan tinggi negeri tertua di "Bumi Isen Mulang" Kalteng itu, dalam makalahnya yang dipaparkan pada pertemuan Ikatan Pendidikan Non Formal Indonesia (IKAPENFI) di di Hotel Grasia Semarang, 8 - 10 Mei 2015. Dalam makalah berjudul "Peran dan Ekspektasi Pendidikan Non Formal Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean" itu, dia memaparkan tentang masa depan PNF/PLS menghadapi tantangan mendatang atau pada 2020. Permasalahan yang dia kemukakan, antara lain dalam kaitan dunia pasar kerja bagi generasi bangsa Indonesia, seperti perlunya peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang lebih memadai/maksimal. Peningkatan keterampilan itu, terlebih bagi mahasiswa sebelum menyandang gelar sarjana, karena tenaga kerja dari luar negeri tampaknya sudah siap ke arah tersebut, ujar mantan aktivis Ikatan Pers Mahasisa Indonesia tersebut. Mantan Kepala Badan Diklat pemerintah provinsi Kalteng itu juga memimpin delegasi PNF Unpar menghadiri pertemuan IKAPENFI seluruh Indonesia yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Pendidkan (FIP) Universitas Negeri Semarang. Pertemuan IKAPENFI itu dihadiri akademisi dari semua jurusan/program studi PLS baik, S1 maupun S2 dan S3 yang ada di berbagai perguruan tinggi di tanah air, demikian Norsanie Darlan. ***4*** (T.KR-SKR/B/H. Zainudin/H. Zainudin) 08-05-2015 22:22: