Minggu, 19 Agustus 2012

REMISI BAGI KORUPTOR TIDAK MENDIDIK


Oleh:
H.M.Norsanie Darlan

Ramainya pemberitaan di hari kemerdkaan RI ke 67, penulis turut mengomentari tentang: Koruptor di Indonesia sebaiknya tidak boleh diberikan remesi. Karena hal itu tidak mendidik dan kurang memberikan efek jera bagi nara pidana (Napi) di tanah air. Kerena instansi terkait memberikan remisi hingga bebas bersyarakat ini, sepertinya menghianati rasa keadilan bagi masyarakat.
Memang setiap  hari-hari besar diantanya: 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan, pemerintah memberikan remisi kepada NAPI, tapi alangkah indahnya yang diberikan remisi mereka yang bukan kasus dipidana: korupsi. Kalau mereka yang dipidana karena korupsi, tidak mendidik. Bahkan memberikan keberania yang lebih kepada calon-calon koruptor lainnya. Karena mereka tidak akan mendapat efek jera. Namun justru bertambah berani dengan perhitungan mereka ”...walau ketangkap,  dan di ponis, hukuman tidak selama masa putusan mengadilan...”. karena dengan adanya remesi. Jika remisi dibeikan hanya kepada mereka yang dipidana lain, selain korupsi. Boleh-boleh saja. Karena sudah diatur dengan tata arutan dan perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai PP Nomor 28 Tahun 2006 terkait remisi perlu ditinjau lagi.
Kita sama mengetahui bahwa Selain Gayus (koruptor perpajakan),  beberapa terpidana kasus korupsi yang mendekam di LP Sukamiskin juga mendapatkan remisi diantaranya terpidana kasus penyuapan terhadap hakim S., P.W. yang divonis 3,5 tahun penjara pada 2011 itu mendapatkan remisi umum tiga bulan serta remisi khusus Idul Fitri 1 bulan. Ini memberikan para pemakai duit rakyat jadi tambah berani dan tidak mendidik baik bagi koruptor yang dipidana maupun mereka yang tidak tercium penegak hukum.
Sedangkan mantan Wakil Bupati Subang M. Y. mendapatkan remisi umum tiga bulan dan remisi khusus Idul Fitri 1 bulan, serta mantan Bupati Garut A. S. mendapatkan remisi umum tiga bulan dan remisi khusus Idul Fitri 1 bulan. Ini suatu pemberian remisi yang tidak mendidik kepada masyarakat.

Hakim (S.=Syafrudin, P.=Puguh, W.=Wirawan)
Wakil bupati M.=Maman Y.=Yudia,  Bupati Garut A.=Agus S.=Supriyadi

PERAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN DI MASYARAKAT PEDESAAN


Oleh:
H.M.Norsanie Darlan

Pendahuluan
Peran pendidik dan tenaga kependidikan dewasa ini, memang mendapat perhatian khusus oleh pemerintah. Sehubungan dengan hal itu, pendidik dan tenaga kependidikan ini juga perlu dilakukan penyesuaian. Karena kalau tidak demikian, akan terjadi kepincangan dalam pelaksanaannya di lapangan. Terlebih di kawasan pedesaan.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor: 20 tahun 2003 secara jelas tugas dan tanggung jawab pendidik dan tenaga kependidikan, dalam upaya menderdaskan anak bangsa.
Tulisan ini diturunkan memuat: apa PTK itu, dan berbagai masalah hak dan kewajiban, pengangkatan, kualifikasi, promosi dan sertifikasi sebagai upaya meningkatkan mutu. Termasuk juga paradiqma baru ke depan agar jalur pendidikan yang satu ini, tidak terlalu jauh terabaikan dari jalur  yang lain. Untuk lebih jelasnya dari berbagai tersebut diuraikan secara rinci berikut ini:

Apa PTK ?
Pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) dalam pendidikan non formal banyak bertugas di masyarakat yang sebagian besar tidak mengenal lelah dan imbalan balas jasa. Mereka lebih banyak merelakan waktunya untuk menolong sesama dari pada mengecap upah. Syukur dalam kurun waktu akhir-akhir ini disekit mendapat perhatian. Ini sebuah angin segar bagi PTK-PNF. Walau jika dibanding dengan sektor formal mereka ini, masih jauh dari harapan. Namun mereka karena terpanggil untuk menolong untuk sesama dalam pendidikan luar sekolah (PNF) mereka ini, mau menyingsingkan lengan bajunya demi masa depan bangsa. Terlebih bagi mereka yang tinggal di pedesaan. Jika sekelompok orang bisa membaca, menulis dan berhitung demi menghadapi gilasan zaman, disaat inilah  pendidik dan tenaga kependidikan ini, muncul rasa kepuasan. Apalagi jika ada mengalir sekedar upah, tentu mereka lebih gigih lagi. Karena selama ini mereka tanpa imbalan pun ada yang mau berbuat sesuatu untuk orang lain. Namun, tidakah kasihan kalau mereka ini Cuma mengabdi, tanpa mendapat imbalan.

Melirik Undang-Undang
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) nomor 20 tahun 2003 secara jelas memandu kita, pada pekerjaan sehari-hari dibidang pendidikan. Untuk itu, penulis dalam kesempatan ini, memberikan sedikit apa yang diketahui tentang peran pendidik dan tenaga kependidikan dalam masyarakat di tanah air kita tercinta ini.
Kalau kita memperhatikan dan mengenali pasal 39 dari Undang-undang di atas, (1) tentang tenaga kependidikan adalah bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang berhasilnya proses pendidikan pada satuan pendidikan.
Berbicara tentang tenaga kependidikan ia bertugas menjalankan administrasi pendidikan baik dalam pengelolaan,  pengawasan maupun dalam hal-hal menjalankan pengawasan dan pelayanan teknis di institusi atau lembaga pendidikan. Tentu saja jalur pendidikan dimaksud  baik formal maupun non formal.
Dipihak lain, apa itu tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan, baik ia dalam tugas di pendidikan non formal (pendidikan luar sekolah) seperti: penilik dan pamong belajar. Demikian juga dalam tugas pendidikan formal seperti: pengawas, peneliti dan pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar. Namun demikian untuk diketahui bersama bahwa pada jalur pendidikan luar sekolahpun juga, ada tenaga seperti peneliti, pengembang media belajar dan teknisi sumber belajar masyarakat.  
Dipihak lain  bila kita mencermati apa sebenarnya pendidik itu berdasar pasal 39 ayat (2) maka hal ini ia merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil  pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik dan perguruan tinggi.    


Hak Pendidik dan Tenaga Kependidikan
                Bila kita memperhatikan terhadap apa sebenarnya hak yang diperoleh dari pendidik dan tenaga kependidikan. Secara singkat mereka mendapatkan 5 hak nya sebagai berikut:
1.Mendapatkan penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
2.Mendapatkan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerjanya;
3.Mendapatkan pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
4.Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan haknya atas hasil kekayaan intelektual; dan
5.Mendapatkan kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugasnya.
Dari ke 5 hak di atas, sebagai pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) merupakan sebuah gambaran bagi mereka yang memilih profesi tersebut. Sehingga jika hak-haknya tersebut dijalankan dengan baik, maka peran pendidik dan tenaga kependidikan ini tentu akan menjadi sebuah cerminan masa depan mereka.  Mudah-mudahan menjadi kenyataan dan peraturan tidak selalu berubah.

PTK Bersama Warga Belajarnya Dalam
Pemberian Keterampilan

Kewajiban Pendidik dan  Tenaga Kependidikan
Kalau kita mengkaji terhadap PTK PNF minimal ada 3 kewajiban  kewajiban tenaga kependidikan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Adapun  ke 3 hal tersebut masing-masing sebagai berikut:
1.Berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, punya keratif, dinamis dan dialogis;
2.Berkewajiban  mempunyai kometmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan 
3.Berkewajiban memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Dari ke 3 hal di atas, suatu kewajiban yang harus diciptakan oleh masing-masing pendidik dan tenaga kependidikan dalam menjalankan tugasnya. Agar dalam menjalankan profesinya dapat menjadi contoh bagi orang lain, baik di perkotanaan maupun pedesaan.

Pengangkatan
Adapun pengangkatan dari pemerintah daerah dan penempatannya, secara sederhana tertuang dalam UUSPN Nomor 20 tahun 2003 pasal 41 menyebutkan bahwa:
1.Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah;
2.Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya   berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal;
3.Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
Untuk diketahui lebih lanjut segala kententuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagai mana dimaksud dalam ayat 1, 2 dan 3 di atas,  diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (PP).

Kualifikasi Pendidik
Bila kita perhatikan dalam hal kualifikasi dan jenjang pendidikan, maka perlu diperhatikan pada hal-hal sebagai berikut:
1.Pendidik harus memiliki kualitas minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional;
2.Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi;

Promosi dan Sertifikasi
Bagi para pendidik dan tenaga kependidikan bisa mendapatkan promosi dan penghargaan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan.
Selain itu, sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.

Pembinaan Pemda  
Dari sudut lain, pemerintah dan pemerintah daerah sebetulnya berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya.
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan
            Pengertian upaya menurut Poerwadarminta (1986) dan Moeliono (1989;995) adalah: “…suatu usaha, akal, ikhtiar  untuk mencapai suatu maksud dalam memecahkan suatu persoalan…”. Sehingga dalam bentuk positif para pendidik ataukah ia seorang guru, keluarga ataukah pemerintah dan tokoh masyarakat yang pikirannya selalu muncul kearah kualitas generasi baik masa sekarang maupun akan datang.
Bila kita menengok terhadap konsep secara luas apa itu pendidikan menurut, Hassan Shadely (1984; 2627) adalah sebuah proses membimbing manusia dari masa kegelapan (kebodohan) ke arah kecerahan suatu pengetahuan. Dalam arti luas, juga pendidikan baik yang bersifat formal maupun yang informal atau dalam jalur lain, seperti  pendidikan luar sekolah (PLS) yang meliputi segala hal memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri, dan tentang dunia dan lingkungan dimana mereka itu hidup. Sedangkan menurut caranya, pendidikan terbagi menjadi 3 macam:
1) dresur, yakni pendidikan yang berdasarkan paksaan; dilakukan pada anak-anak yang umurnya belum 1 tahun;
2) latihan, dimaksudkan untuk membentuk kebiasaan; dilakukan sedapat-dapatnya secara sadar oleh anak didik;
3) pendidikan, dimaksud untuk membentuk kata hati; anak didik yang diajar berbuat menurut kesanggupan sendiri, dan menentukan kelakuan sendiri atas tanggung jawab sendiri pula.
Pendidikan dilakukan sampai saat anak didik sanggup bertanggung jawab sendiri akan segala yang dilakukannya. Pada saat itulah pendidikan dianggap selesai. Hakikat dan tujuan pendidikan erat hubungannya dengan tanggapan hidup pendidik, demikian juga cara-cara mereka melakukan pendidikan dalam praktek. Tanggapan hidup pendidikan menjadi dasar bagi cara dan tujuan pendidikan yang diberikannya. Yang pertama-tama bertanggungjawab tentang pendidikan bagi seorang anak ialah orang tuanya, kemudian keluarga, masyarakat, dan akhirnya negara. Dalam hubungan ini sangat penting artinya bagi pendidikan, ialah: keterlibatan organisasi, wartawan melalui surat kabar dan media massa lainnya, buku bacaan, perpustakaan dll.
Ada beberapa segi dalam pemikiran yang terdapat dalam dunia pendidikan, seperti:
1) Pendidikan intelektual, meliputi pengajaran pelbagai pengetahuan dan kepandaian serta keterampilan yang perlu bagi perkembangan akal; 
2) Pendidikan jasmani, agar badan tumbuh secara sehat dan menjadi kuat;
3) Pendidikan kesusilaan, mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk, dan agar berbuat menurut norma-norma baik-buruk tersebut;
4) Pendidikan keindahan, agar dapat menghargai nilai-nilai keindahan yang terdapat dalam dan kehidupan, khususnya kesenian;
5) pendidikan sosial, agar dapat menghargai dan menerima nilai-nilai hidup bersama orang lain.
Dalam prakteknya pendidikan, segi-segi tersebut tidak dapat dipisahkan yang satu dari yang lain, sehingga dengan demikian jiwa anak didik berkembang dalam keselarasan. Pendidikan dapat diwujudkan dalam berbagai cara; yang bersifat positif antara lain: 
a)      Memberi teladan baik,
b)      Latihan untuk membentuk kebiasaan,
c)      Memberi perintah,
d)      Memberi pujian dan hadiah,
e)      Menyalurkan hasrat berbuat sehingga menjadi kreativitas.
Sedangkan dalam cara-cara negatif antara lain:
a)      Mengadakan pelbagai larangan,
b)      Celaan dan teguran,
c)      Hukuman.
Dari hal-hal dalam uraian di atas, kita sama maklumi bahwa maka yang dirasa tepat, jika kita hubungkan dengan seseorang yang mendapat tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin proyek di sebuah Dinas/Badan dan Unit instansi tentu. Tinggal kita sendiri yang memilahnya. Sebab seorang pemimpin proyek tidak akan muncul begitu saja, tanpa ada orang lain yang mengusulkannya. Kemudian sebagai pemimpin proyek, sulit dibayangkan jika ia mau berlama-lama. Sebab ada aturan yang mengatur. Artinya sewaktu-waktu ia akan sadar bahwa pasti berhenti karena diikat oleh sebuah peraturan. Di pihak lain tentu memberikan kesempatan kepada orang lain, agar sama-sama merasakan bagai mana seorang memimpin sebuah proyek. Terlepas besar kecilnya anggaran yang diberikan. Baik dalam bentuk fisik maupun non fisik.

Pendidik Profesional
Dalam menjadikan seseorang yang disebut dengan pendidik yang profesional, banyak  hal yang perlu untuk kita pelajari.  Sebelum mengetahui apa arti profesional tentu kita harus tahun persis akar rumput  keprofesional itu sendiri. Dari berbagai pendapat penulis menguraikan arti profesional ini menurut: Poerwadarmintan (1986) dan Anton M. Moeliono (1989;702) adalah:”…seseorang yang memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankan tugasnya dengan baik …”. Sedangkan ahli lain Hassan Shadily (1984; 2774)  adalah:”…orang yang mengerjakan sesuatu karena jabatan atau profesinya, bukan hanya untuk kesenangan saja, tetapi merupakan mata pencaharian…”.  Dalam sudut lain, semi-profesional  atau part time profesional (ingg.)  pemait atau contoh seorang atlet yang dibolehkan mendapatkan penghasilan dari olahraga.
Dengan melihat apa yang diuraikan di atas, arti profesiolnal seperti: guru, PTK, wartawan, dokter, atlet dan lain-lain adalah sebuah pekerjaan yang tidak semua orang mampu melakukannya. Sebab seperti seorang guru yang profesional ia memiliki kecakapan, dan dari kecakapannya itulah ia dapat  menjalankan tugasnya dengan baik.

Mutu Pendidikan
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan, maka banyak hal yang harus dibenahi. Misalnya tenaga guru, dari sebuah artikel yang ditulis Kenneth D. Benne (1985; 155).  Ia mempredeksi dalam dasawarsa yang baru lalu, pengalaman bidang pendidikan sebagai perundingan dunia kognitif yang berbeda. Sebab batas antara sekolah, perguruan tinggi atau universitas serta lembaga-lembaga bukan-sekolah dalam lingkungannya menjadi lebih dapat ditembus. Salah satu bukti dari perubahan ini adalah meningkatnya penggunaan pendidikan pengalaman lapangan mahasiswa sebagai pelengkap, tambahan atau kadang-kadang sebagai partner yang sama kedudukannya untuk pengajaran akademik. Tentu saja pengalaman lapangan merupakan bagian yang tetap dari banyak pendidikan kejuruan dan profesional selama satu generasi atau lebih dalam bidang kedokteran, perawatan, pekerjaan sosial, perekayasaan, pengajaran, dan bermacam-macam pendidikan kejuruan. Namun, dalam dasawarsa yang lalu, pengalaman lapangan telah menemukan jalan untuk memasuki program pendidikan umum dan pengetahuan budaya. Upaya untuk memasukkan pengalaman non-akademik bagi mahasiswa ke dalam kursus yang di sponsori secara akademik dan program pengajaran, barangkali paling sering terjadi pada jurusan-jurusan yang memusatkan perhatian pada studi perilaku manusia dan sistem manusia – misalnya psikologi, sosiologi, ilmu politik, dan anthropologi. Bagaimanapun juga, penggunaan pengalaman inilah yang menjadi pokok bahasan makalah ini.
            Para mahasiswa yang terlibat dalam suatu paduan pelajaran akademik dengan pengalaman lapangan dapat dilihat sebagai menyelesaikan suatu proses pemanfaatan pengetahuan. Mereka mempertahankan keanggotaan bersama dalam sebuah lembaga skolastik, yang diakui setia pada produksi dan/atau lingkungan tindakan tempat pengetahuan dan keterampilan itu digunkan untuk melaksanakan fungsi sosial atau memperbaiki kondisi manusiawi. Mahasiswa ditempatkan sebagai agen yang menghubungkan dan menjembatani dua sistem sosial yang berbeda di dalam rangkaian penggunaan pengetahuan. Kualitas pengetahuan yang dicapai mahasiswa akan tergantung pada seberapa memadai dia memahami dan mengelola keanggotaannya yang rangkap dua, seberapa baik dia menyatukan tuntutan-tuntutan yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan dari dua lingkungan sosial terhadap gagasan, tingkah laku, dan pengeluaran energi.
Pengalaman lapangan bagi mahasiswa dalam pendidikan profesional dan kejuruan sering ditandai oleh konflik antara penyelia akademik dan supervisor lapangan. Bagi penyelia akademik, mahasiswa berada di lapangan untuk menambah, memperluas dan memperdalam proses belajar pengetahuan dan keterampilannya. Bagi penyelia lapangan, proses belajar mahasiswa ditangguhkan demi pemeliharaan pelayanan kualitas bagi klien (pasien bagi perawat-mahasiswa, terapis okupasional, dan terapis fisis di rumah sakit, murid bagi guru mahasiswa di sekolah, jemaat bagi pengkhotbah di gereja, dan lain sebaginya). Mahasiswa berada antara satu titik konflik antara sasaran-sasaran prioritas pada dua lembaga tempat dia terlibat dalam pengalaman lapangannya. Misalnya, penyelia akademik menginginkan tanggungjawab yang lebih besar dalam bekerja bersama murid bagi guru-mahasiswa daripada yang dapat diizinkan menyelia lapangan, jika ditilik dari sudut resiko untuk proses belajar murid dan untuk hubungan masyarakat sekolah yang mungkin diakibatkan oleh ”kekeliruan” seseorang guru-mahasiswa, meskipun “kekeliruan” tersebut dapat menjadi kesempatan yang sangat bagus untuk proses belajar profesional. Atau, jikalau penyelia lapangan menuntun guru-mahasiswa ke dalam tugas yang “aman” dan rutin di sekolah, supervisor akademik mungkin merasa bahwa gurumahasiswa yang bersangkutan diekspolatasi karena diharuskan bekerja bagi sekolah dengan sedikit kemungkinan atau bahkan tidak ada kemungkinan untuk belajar dari pekerjaan tersebut.

Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
            Sebagai titik awal keberhasilan dalam dunia pendidikan, tentu tidak terlepas dengan mutu prndidikan dan tenaga kependidikan (PTK) itu sendiri. Walau istilah itu tidak seluruhnya sebenar. Komponen yang tak dapat dipisahkan adalah peran orang tua masyarakat sangat turut mewarnai keberhasilan baik di sekolah maupun di luar sekolah atau yang lazim sekarang disebut dengan pendidikan non formal, untuk mengantar siswa atau warga masyarakat  dalam meraih keberhasilan. Sebab ada kalanya seorang tempat anak itu belajar biasa-biasa saja. Tapi dorongan orang tua anak yang sangat tinggi mendorong untuk belajar disertai warga masyarakat sehingga anak tadi jadi berhasil dengan baik. Dipihak lain anak yang motivasi tinggi, walau sekolah sebagai institusi hanya dengan pas-pasan juga diiringi oleh nasib si anak memang garis tangan yang baik sehingga pendidikan dan kedudukan anak di starata tertentu menjol, orang selalu mengatakan itu adalah hasil produk di sekolah tertentu. Walau tidak seluruhnya hal itu benar.
            Tulisan ini menampilkan mutu PTK lebih cenderung adanya dorongan yang seimbang antara motivasi tutor, orang tua, masyarakat dan anak itu sendiri sangat memberikan kemudahan dalam mencapai suatu keberhasilan.
            Sebenarnya mutu tutor didasari atas beberapa hal seperti: (1) pendidikan formal tutor itu sendiri,  (2) masa kerja yang cukup, (3) kemampuan tutor  dalam menjadi agen pendidikan serta (4) menegerial  yang handal.
            Jika ke empat hal di atas, telah dipenuhi maka mutu yang diharapkan akan mendekati kenyataan. Hal ini kenyataan di lapangan yang banyak kita hadapi sekarang adalah pekerjaan guru sebagai “Oemar Bakri” ini, masih sebagai pilihan paling akhir, kita sulit mencapai apa yang kita inginkan. Sebab guru selama sebagai pilihan terakhir ini merupakan pilihan dari sekian alternatif dan yang paling rendah ternyata menjadi lapangan kerja. Sehingga tentu saja pekerjaan guru ini menjadi sebuah pekerjaan yang kurang diminati oleh si guru itu sendiri, tentunya.


TLD
Tenaga Lapangan Dikmas, perlu diperhatikan secara serius. Sebab kran yang dibukan untuk semua bidang ilmu sarjana itu, tidak seluruhnya membawa hasil. Ada kemungkinan muncul kegelisahan dari sekelompok orang. Termasuk bagi pendidik dan tenaga kependidikan. Kegelisahan ini, punya dasar yang kuat. Karena yang digarap masalah pedidikan, terlebih pendidikan luar sekolah. Yang membutuhkan berbagai hal yang sulit untuk dijelaskan dalam kesempatan ini. Namun ada dugaan yang mendekati kebenaran lewat cara ini, membuka kran terhadap tenaga lain, untuk mengambil kesempatan mencari NIP. Hal ini, setelah mereka betul-betul CPNSnya sudah selesai, ia sudah PNS murni 100%. Atau dengan kata lain, TLD hanya tempat mendaftar mencari PNS. Setelah ia PNS lambat laun akan kembali ke kantor mana  yang semula ia idamkan. Hal ini kenapa tidak, karena PNS ini merasakan bidang keilmuan pada dirinya tidak sesuai, maka alasan itu membuat ia mutasi ke dinas lain. Permasalahan yang bakal timbul, atau yang telah timbul adalah TLD menerima setiap tahun. Tapi karena tidak sesuai pada bidangnya. Maka angka tuna aksara selalu banyak. Karena PNS yang baru berasal dari TLD tersebut tidak seluruhnya dapat menguasai permasalahan yang terjadi di lapangan. Sebab mereka yang dididik ke dunia pendidikan luar sekolah betul-betul belajar 4 – 5 tahun tentang hal itu. Sementara yang ikut pada TLD ini, PLS adalah hanya kerena tidak mendapatkan tempat untuk melamar. Sehingga pilihan yang paling akhir dan kebetulan berhasil.
Di sarankan, jika telah mendapatkan PNS lewat jalur TLD janganlah TLD ini sebagai batu lompatan untuk mencari lapangan kerja di PNS. Pekerjaan PNS sangat dicari oleh para sarjana pada bidangnya.  Dan pekerjaan dalam profesi PLS itu tidak dapat dipelajari hanya dalam 2-3 bulan. Tapi harus mengalami proses 4-5 tahun. Kasian dong mereka kuliah cukup lama, kok lapangan kerjanya diambil bidang lain.

Paradiqma Baru PLS
Dalam mewujudkan pendidikan, terlebih jalur pendidikan luar sekolah perlu adanya perubahan baru dalam menyongsong masa depan yang lebih baik dari sebelumnya. Hal ini, kalau teori lama terus kita pertahankan. Maka pembangunan jalur pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal) akan menemukan kegagalan. Jikal tersebut gagal, maka bangsa kitapun turut dirugikan.
Dalam teori lama di jalur pendidikan luar sekolah menyebutkan bahwa pendidikan  cukup dengan ada warga belajar dan tutor serta materi belajar dapat dirancang sendiri oleh tutor.  Masalah tempat proses belajar membelajarkan tidak terlalu perlu diperhatikan. Namun dengan ”paradiqma baru dewasa ini”, pendidikan luar sekolah tidak dapat lagi dipertahankan seperti ”tempoe doeloe”. Terlebih masalah tempat proses belajar mengajar yang masa lalu boleh di rumah tokoh masyarakat, di Balai Desa atau di surau-surau, dsb.
Teori di atas dalam masa sekarang sudah tidak berlaku lagi. Sebab kalau warga belajar dan tutor sudah ada, kalau ruang belajarnya tidak tersedia. Warga belajar malas untuk belajar. Sebab mereka melihat terhadap jalur pendidikan formal murid, guru, ruang dan materi belajarnya sudah tersedia. Sehingga warga belajar yang pernah putus sekolah pada jalur pendidikan formal. Kalau ia ikut pada jalur pendidikan luar sekolah (PLS) atau istilah sekarang pendidikan non formal, dengan melihat ruang belajar yang belum memberikan harapan. Terlebih di rumah warga masyarakat atau di PKBM yang kebetulan sangat membutuhkan perbaikan. Atau rasio warga belajar yang tidak edial dengan ruang belajar yang ada sehingga menurunkan minat mereka untuk belajar.
Dengan melihat hal-hal di atas, penulis menyarankan agar terjadi perhatian secara khusus bahwa dalam menuntaskan wajar 9 tahun harus didukung dana pemerintah. Khususnya memperhatikan kelayakan bangunan PKBM apakah dibantu dengan bantuan rehab ataukah perluasan ruangan belajar oleh pemerintah. Tampa hal itu, minat belajar masyarakat masih kurang dalam jalur PLS. Selain itu, Hr tutor dan materi belajar termasuk Taman Bacaan Masyarakat (TBM) sangat dinantikan masyarakat, yang lebih baik dari masa sebelumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Bennis, Warren G., Benne Kennth D., dan Chin, Robert , 1990. Perencanaan & Perubahan, Intermedia, Jakarta.
Benner, Kennet D.  Perencanaan & Perubahan, Intermedia, Jakarta.
Hassan Shadely , 1980. Ensiklopedi Indonesia, Ictiar Baru, Jakarta.
Hamid, Dedi, 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Asokadikta, Jakarta.
Moliono, Anton M. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia¸Depdiknas RI, Jakarta.
Poerwadarminta, WJS. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Shadily, Hassan 1984. Ensiklopedia Indonesia, Ictiar Baru, Jakarta.

Strategi Menuntaskan Wajib Belajar Dikdas 9 Tahun Bagi Masyarakat Tertinggal Suku Lawangan di Kalimantan Tengah



H. M. Norsanie Darlan
 

Pendahuluan
Menang sulit mewujudkan wajar 12 tahun, karena dalam kesiapan berbagaihal masih perlu dipersiapkan sebelumnya. Oleh sebab itu, sebagai tenaga pengajar Pendidikan Luar Sekolah yang dewasa ini disebut pendidikan non formal (PNF) melakukan penelitian masih pada tahap pendidikan dasar 9 tahun. Hal ini disebabkan lokasi penelitian terkesan nan jauh di sana. Walau pada waktunya tentu wajar 12 tahun, harus dilakukan. Namun saat artikel ini diturunkan wajar 9 tahun masih perlu strategi dan pemecahan yang lebih jauh.
Relevansi materi ini dengan siswa adalah karena meng-ungkap masalah wajib belajar (wajar) 9 tahun bagi masyarakat desa tertinggal yang kini sering disebut-sebut dengan istilah komunitas adat terpencil (KAT). Sebab tidak semua guru dan jabatan fungsional lainnya yang berada di perkotaan, bahkan lebih banyak kalangan guru sebagai “Umar Bakri” yang tinggal di pedesaan yang lokasi kerjanya nanjauh di sana. Walau demikian mereka sebaiknya mendapatkan hak yang sama dengan guru di perkotaan dalam hal kenaikan pangkatnya.

    Konsep Pembangunan Pendidikan
Menilik bidang pendidikan masyarakat dalam konsep pembangunan secara garis besar penulis paparkan sebagai berikut.
Pembangunan di bidang pendidikan terhadap isi pembukaan Undang-Undang dasar (UUD'45) Republik Indonesia secara jelas dinyatakan: bahwa untuk memajukan

kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selanjutnya dalam konsep lama sebelum revisi Undang-Undang pasal 31 ayat : (1) bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan, selanjutnya ayat (2) pendidikan dan pengajaran diatur dengan undang-undang. Sehingga lahirlah Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional sedangkan dalam Bab IV secara tegas diatur tentang satuan, jalur dan jenis pendidikan pada  pasal 9 ayat (1) Satuan pendidikan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan disekolah atau diluar sekolah. (2) Satuan pendidikan yang disebut sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan. (3) Satuan Pendidikan Luar Sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan yang sejenis. Dalam pasal 10 ayat (3) jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan diluar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. Dengan menyimak undang-undang nomor 2 di atas, maka kita perlu dan harus terpanggil untuk melaksanakan amanat tersebut. Untuk itu, strategi menuntaskan wajib belajar 9 tahun bagi masyarakat tertinggal di Kalimantan Tengah perlu dikaji dan dicari berbagai alternatif penuntasannya.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 terjadi perubahan bahwa dalam jalur pendidikan tidak lagi 2 jalur tapi menjadi 3 jalur pendidikan nasional, masing-masing: (1) Pendidikan Formal, (2) Pendidikan Nor Formal (PLS) dan (3) Pendidikan Informal. Paud yang sebenarnya informal (tersendiri) di Departemen Pendidikan Nasional ternyata masuk pada tugas PLSdi Direktorat Pendidikan Masyarakat. Berarti hampir sama saja dengan Jalur pendidikan masa lalu PLS selain pendidikan non formal, ia juga membina pendidikan informal.
Konsep pembangunan 5 tahun dibidang pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD’45 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan bangsa dan kualitas sumber daya manusia, mengembangkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keahlian dan keterampilan, kesehatan rohani dan jasmani serta kepribadian yang mantap dan mandiri. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan, wawasan keunggulan, kesetiakawanan sosial, dan kesadaran para sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berorientasi masa depan. Pendidikan nasional perlu ditata, dikembangkan, dan dimantapkan secara terpadu secara serasi, baik antara jalur, jenis, dan jenjang pendidikan maupun antar sektor pendidikan yang makin mutakhir, efektif dan efesien serta meningkatkan dan mengutamakan pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan dasar, perluasan dan peningkatan kualitas pendidikan kejuruan, pendidikan profesional serta meningkatkan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun. Masyarakat sebagai mitra pemerintah harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tuntutan kebutuhan serta pengembangan pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraan diberikan disemua pembangunan jalur, jenis, dan jenjang pendidikan termasuk pra sekolah sehingga terbentuk watak bangsa yang kukuh.
Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan  disemua jalur, jenis dan jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan peran serta masyarakat, termasuk pendidikan dilingkungan keluarga dan masyarakat terus dikembangkan secara merata diseluruh tanah air dengan memberikan perhatian khusus kepada keluarga yang kurang mampu, penyandang cacat dan yang bertempat tinggal di daerah tertinggal, di Batara Dalam provinsi Kalimantan Tengah. Peserta pendidik yang memiliki tingkat kecerdasan lur biasa mendapatkan perhatian dan pelayanan yang lebih khusus, agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya tanpa mengabaikan potensi peserta didik lainnya.
Pendidikan pra sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan luar sekolah, dan pendidikan kejuruan terus ditingkatkan pemerataan kualitas, dan pengembangannya untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional serta kemampuan kepemimpinan yang tanggap terhadap kebutuhan  pembangunan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berjiwa penuh pengabdian dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan bangsa dan negara. Kehidupan kampus dikembangkan sebagai lingkungan ilmiah dan yang dinamis sesuai dengan  disiplin ilmu dan profesinya, berwawasan budaya bangsa, bermoral Pancasila, berkepribadian Indonesia. Perguruan tinggi terus diusahakan untuk lebih mampu menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengkajian dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), serta memberikan pengabdian kepada masyarakat yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan dengan iklim yang makin demokratis yang mendukung kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi perguruan tinggi.
Pidato tertulis Mendikbud RI dalam rangka hari pendidikan nasional (Hardiknas, 2 Mei 1997) patut diungkapkan rasa  syukur yang mendalam bahwa ternyata hasil-hasil pembangunan yang telah kita capai selama ini sangat menggembirakan. Kemajuan pendidikan di tanah air kita menunjukkan peningkatan yang sangat pesat, terutama dilihat dari kesempatan pendidikan yang semakin meluas pada semua jenis dan jenjang serta jalur pendidikan. Lebih-lebih kita telah berhasil meningkatkan program nasional wajib belajar pendidikan dasar kita dari 6 tahun menjadi 9 tahun sejak tahun 1994. Dengan berbagai tantangan pendidikan  kita harus berupaya menuntaskan wajib belajar pendidikan 9 tahun dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Insya Allah pada akhir pelita VII diharapkan anak usia 15 tahun telah bersekolah jenjang SLTP.
Dalam kaitan ini, hendaknya terus diusahakan untuk melakukan upaya-upaya terobosan guna meningkatkan jumlah tempat-tempat belajar baru, agar seluruh umur 7 – 15 tahun dapat tertampung. Diantara terobosan yang telah dikembangkan selama ini untuk menuntaskan program wajib belajar Dikdas 9 tahun tersebut adalah : (a) Belajar melalui SLTP-Terbuka, (b) Penyelenggaraan pendidikan luar sekolah melalui kejar paket A setara sekolah dasar (SD) dan kejar paket B setara SLTP, dan (c) upaya memanfaatkan teknik-teknik pendidikan jarak jauh, melalui media cetak maupun elektronik, diantaranya SMP-Terbuka.
Guna mendukung keberhasilan penuntasan wajib belajar Dikdas 9 tahun dan upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan, jalinan kerja sama antara tokoh-tokoh masyarakat dan orang tua dengan pemerintah hendaknya juga terus ditingkatkan. Hal ini penting karena tugas pendidikan itu merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang tua murid. Tanpa keterlibatan semua pihak, upaya penuntasan tugas luhur mencerdaskan kehidupan bangsa niscaya tidak akan berhasil dengan baik. Berkenaan dengan hal tersebut, pemerintah daerah memiliki pesan yang penting untuk menyukseskan program pendidikan nasional (Wardiman, 1997).
Di pihak lain, sambutan Mendikbud RI Periode Pelita VII: mengetuk hati kita bersama yaitu kita sekarang sedang membangun dengan melaksanakan program-program perluasan pendidikan, menurut : Wiranto Arismunandar  (1998) bahwa jumlah murid sekolah dasar dan Madrasah Ibtidaiyah baru mencapai 7,5 juta anak atau 41% dari jumlah anak usia sekolah. Pada tahun 1984 jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 23 juta anak, atau 97%. Keberhasilan ini serta laju kemajuan ilmu pengetahuan yang cenderung makin cepat mendorong kita untuk mencanangkan Gerakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun, pada tahun 1984. Selanjutnya kita melangkah lebih maju lagi dengan melaksanakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, yang dicanangkan pada tanggal 2 Mei 1994. Sesuai dengan instruksi Presiden RI pada pembukaan rapat kerja nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Istana negara pada tanggal 22 Mei 1996, program tersebut harus dapat diselesaikan pada akhir Pelita VII.

    Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
(1) Ingin mengetahui tingkat pendidikan masyarakat tertinggal di desa terpencil seperti desa:  Payang, Baok dan
(2) Ingin mengetahui strategi yang dapat digunakan untuk membantu masyarakat tertinggal suku Lawangan dalam upaya menuntaskan wajib Dikdas 9

   Beberapa Pengertian
   Strategi
Menurut Djudju Sudjana (1997) mengartikan bahwa strategi meningkatkan peran pendidikan luar sekolah supaya SDM Indonesia siap mencari pelaku yang memiliki daya saing komperatif, perlu memiliki sasaran jitu bagi para perencana pendidikan untuk pembangunan.
Adapun pengertian strategi pendidikan luar sekolah, menurut H.M. Norsanie Darlan (1996) adalah suatu rencana yang cermat mengenai kegiatan pendidikan untuk mencapai sasaran  yang diharapkan.

      Menuntaskan
Menuntaskan  ini diambil dari istilah bahasa dengan asal kata tuntas (Moeliono, 1989), yakni suatu kegiatan pendidikan  bagi seseorang untuk menuntaskan atau menghabiskan (mencurahkan semua) masa pendidikan di sekolah ataupun diluar sekolah, sehingga kualitas sumber daya manusia semakin tahun semakin meningkat.

      Wajib Belajar
Wajib belajar Dikdas 9 tahun adalah sesuai Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional dan dilanjutkan dengan peraturan pemerintah nomor 73 tahun 1992 pasal 3 ayat 1-7 tentang PLS yang memuat bahwa pendidikan dasar di Indonesia terdiri dari sekolah dasar 6 tahun dan menengah pertama selama 3 tahun. Dalam Undang-undang nomor 2 diatas, secara tegas dalam Bab IV diuraikan tentang satuan, jalur dan jenis pendidikan pasal 9 ayat 1,2 dan 3 yang juga telah diuraikan terdahulu.
Dalam program wajib belajar Dikdas 9 tahun disebutkan ada pelayanan pendidikan untuk semua orang (education for all) pada prinsipnya education for all meliputi 3 komponen : ”...(1) Pendidikan dasar semesta (2) Pemberantasan buta huruf dan (3) Pendidikan berkelanjutan...”. (Tim Wajar Pendidikan Dasar, 1991).

      Masyarakat Tertinggal
Arti masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Sedangkan arti tertinggal adalah: terpencil, terpisah dari yang lain (Purwadarminta, 1986 dan Anto E. Moeliono Dkk, 1989). Pendapat lain sama tapi tak serupa M. Norsanie Darlan (1997) masyarakat tertinggal dapat diartikan juga dengan masyarakat yang bertempat tinggal jauh dari wilayah perkotaan. Namun sebagian warga negara kita keberatan disebut masyarakat terasing. Mereka masih dapat menerima informasi melalui media seperti : radio, dan TV, kecuali media cetak lainnya. Berarti mereka tidak setuju disebut terasing tetapi tidak keberatan disebut masyarakat tertinggal, karena informasi tertulis betul-betul tertinggal bagi mereka.

       Desa Tertinggal
Desa tertinggal berarti karena jauh dari pembangunan kota, sehingga mereka ini karena ketertinggalan tersebut, sulit mengikuti perkembangan pembangunan, termasuk ketertinggalan dalam dunia pendidikan.
     
      Pendidikan Luar Sekolah
Dari berbagai kepustakaan di Indonesia pendidikan non formal/pendidikan luar sekolah dikonsepkan dengan pengertian bahwa: Setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah diluar sekolah, di mana seseorang  memperoleh informasi pengetahuan, latihan ataupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya, (Soedomo, 1974 dan Sanapiah Faisal 1981). Sedangkan penulis mengambil pengertian tentang pendidikan luar sekolah yaitu: Suatu pendidikan tak terpisahkan dengan pendidikan formal, namun pelaksanaannya dilakukan di luar sistem persekolahan (M. Norsanie Darlan, 1983).
Pengertian pendidikan nonformal menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk membentuk perkembangan kepribadian serta kemampuan anak luar sekolah atau tempatnnya diluar sistem persekolahan sebagaimana yang biasa dikenal.
Pengertian PLS menurut: Sutaryat Trisnamansyah (1997) adalah konsep pendidikan sepanjang hayat mengandung karakteristik, bahwa pendidikan tidak berakhir pada saat pendidikan sekolah selesai ditempuh oleh seorang individu, melainkan dia merupakan  suatu proses sepanjang hayat, men-cakup keseluruhan kurun waktu hidup seorang individu sejak lahir sampai mati.

       Suku Lawangan
Masyarakat suku Lawangan adalah penduduk yang semula berasal dari atas perbukitan di wilayah kecamatan Bantian Besar di pedalaman bagian barat Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan kecamatan Gunung Purei Barito Utara (Batara) Provinsi  Kalimantan Tengah. Pada saat Pengeran Antasari (Raja Banjar) masih hidup, dalam pengejaran penjajah (Belanda), Pangeran Antasari sempat menjalin persahabatan dengan sejumlah suku yang ada diwilayah itu, termasuk suku yang barada di pedalaman Kalimantan Timur, untruk turun mendekat ke Sungai Teweh.
Karena sulitnya warga masyarakat saat itu, mencari kebutuhan hidup seperti: garam, tembakau, gula pasir, minyak tanah dan lainnya, maka Pangeran Antasari menganjurkan kepada kepala-kepala suku, agar tempat tinggal (Betang/ rumah besar ala Dayak) dipindahkan ke kawasan lebih barat lagi, yang mendekat ujung sungai Teweh. Sehingga sejumlah desa setelah pembagian wilayah provinsi sekarang, termasuk suku Lawangan dan suku-suku lain diantaranya seperti : Bantian masuk ke dalam wilayah provinsi Kalimantan Tengah. Sejak saat itu untuk mencari kebutuhan (pasar) harus pergi ke Muara Teweh dengan mendayung perahu “tempoe Doeloe” dengan waktu tempuh antara 4-5 hari. Kini sudah terjangkau jalan darat sekitar 3-4 jam (Norsanie Darlan, 1997).

      Bentuk  Pendidikan
Bentuk pendidikan luar sekolah menurut:  Saleh Marzuki (1981) adalah (1) program jangka pendek, (2) tidak dibatasi oleh jenjang-jenjang (3) usia didiknya tidak perlu sama / homogen (4) sasaran didiknya berorientasi jangka pendek dan praktis (5) diadakan sebagai respon kebutuhan yang mendesak (6) ijazah kurang memegang peranan penting (7) diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta (8) diselenggarakan di dalam dan di luar sekolah.
Selain paket A dan paket B untuk masa sekarang ada SMP-Terbuka dan Universitas terbuka.

     SMP Terbuka dan Wajar 9 tahun
Kalimantan Tengah tidak jauh berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia, dirasakan perlu mendirikan SMP Terbuka disejumlah desa tertinggal. Sasaran SMP terbuka menurut Amrullah (1998) adalah anak usia sekolah di pedesaan. Sedangkan wajib belajar (Wajar) 9 tahun adalah mereka yang karena sesuatu hal pada usia sekolah tidak  dapat sekolah, mereka dalam kelompok  umur 14-45 tahun   harus mengikuti pendidikan luar sekolah berupa paket A bagi mereka yang belum tamat sekolah dasar, dan paket B kepada mereka yang  sudah tamat SD namun belum sempat mengikuti pendidikan SMP (Tony, 1998). Sedangkan Manan (1997) menyebutkan perlunya  keterlibatan berbagai organisasi sosial dalam melancarkan pemberantasan buta aksara, ternyata mendapatkan hasil yang menggembirakan.

    Kerangka Teori
Dalam penelitian ini perlu dijelaskan  kerangka teori  penelitian guna mempermudah dalam pelaksanaannya.

















Operasional  Variabel
Variabel bebas adalah : Tenaga Pendidikan Luar sekolah yang bertugas di masyarakat dalam upaya menuntaskan wajib belajar Dikdas 9 tahun di wilayah provinsi Kalimantan Tengah umumnya, kecamatan Gunung Purei khususnya.
Variabel antara : (1) Pengetahuan masyarakat didesa tertinggal yang masih rendah, (2) Sikap masyarakat tertinggal dalam belajar yang masih rendah.
Variabel tergantung : Pencapaian  wajib belajar 9 tahun bila tersedia tenaga yang cukup disertai minat belajar yang baik pula.
Variabel pra kondisi : (1) Fasilitas belajar/Asrama Siswa sangat membuka isolasi masyarakat dalam melanjutkan pendidikan. Untuk kawasan penelitian ini,, semua desa yang memiliki SDN, namun untuk melanjutkan  ke SLTP sulit. Karena sekolah ini belum tersedia di desa. Salah satu cara dengan penyediaan asrama. (2) Kondisi : Jarak yang sangat jauh dengan sekolah menengah pertama menurunkan motivasi belajar. Selain itu pengaruh sosial ekonomi masyarakat yang rendah dan disertai kurangnya sarana pendidikan  membuat anak dan orang tua belum sadar bahwa pendidikan yang ada pada dirinya masih belum cukup.

      Metoda Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian natural kualitatif, dengan melakukan wawancara kepada sejumlah tokoh masyarakat sebagai subyek penelitian baik formal maupun non formal tentang strategi pendidikan luar sekolah untuk penuntasan wajib belajar Dikdas 9 tahun. Sedangkan alat dengan menggunakan pedoman wawancara dan observasi. Adapun lokasi penelitian dilakukan di desa: Payang, Baok dan Tambaba kecamatan Gunung Purei Kabupaten Batara Kalimantan Tengah. Waktu penelitian lapangan dilakukan 5 bulan.

      Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini dihasilkan  2 hal yakni : kondisi tingkat  pendidikan  dan strategi untuk menuntaskan Wajar dikdas 9 tahun bagi masyarakat suku Lawangan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam uraian berikut :

     Tingkat Pendidikan Masyarakat
Untuk melihat tingkat pendidikan warga masyarakat tertinggal pada masing-masing desa di wilayah kecamatan Gunung Purei kabupaten Barito Utara Kalimantan Tengah Indonesia, dapat dilihat secara rinci dalam tabel 1.

Dari tabel 1 tersebut diperoleh hasil bahwa  di desa Payang yang tidak  tamat SD 51,2 persen, tamat SD 22,9 persen, tamat SLTP 13,3 persen, tamat SLTA 11,1 persen dan tamat perguruan tinggi 1,2 persen. Kemudian untuk melihat tingkat pendidikan warga masyarakat desa Baok yang tidak  tamat SD 25,5 persen, tamat SD 10,5 persen, tamat SD 42,9 persen, tamat SLTP 2,5 persen, tamat SLTA 1,7 persen dan tamat perguruan tinggi 0,8 persen. Jadi, masih banyak penduduk yang tidak tamat SD.

Tabel : 1
Tingkat Pendidikan Penduduk
Di Desa Payang, baok Dan Tambaba Wilayah
Kecamatan Gunung Purei Barut
No.
Uraian
D      E      S     A
Payang
Baok
Tambaba
JLH
%
JLH
%
JLH
%
1.
2.
3.
4.
5.

Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
Tamat Perguruan Tinggi
165
74
43
36

4
51,2
22,9
13,3
11,1

12
44
30
21
10

3
25,9
10,5
62,5
41,7

1,0
108
115
9
2

1
45,9
42,9
2,5
1,7
0,8
Jumlah
322
100
284
100
235
100
Sumber : Hasil pengumpulan data bulan Nopember 1997.

Untuk wilayah desa Payang jika diteliti secara detail yang masih membutuhkan pendidikan dasar 9 tahun sebesar 14,1 persen, untuk desa Baok 36,4 persen dan desa Tambaba sebesar 88,8 persen. Dengan demikian, di desa tersebut ternyata masih banyak yang memerlukan pendidikan. Pertanyaannya sekarang adalah “apakah pendidikan luar sekolah (PLS) diperuntukkan bagi usia 14-45 tahun ataukah yang masih berumur usia sekolah dasar dan SLTP?

Strategi Pendidikan
Strategi yang dapat membantu masyarakat tertinggal suku Lawangan dalam upaya menuntaskan (wajar) dikdas 9 tahun di kecamatan Gunung Purei Kabupaten Batara Kalimantan Tengah adalah sebagai berikut :
(a) Dalam  upaya menuntaskan tingkat pendidikan masyarakat: (1) usia 6-15 tahun untuk pendidikan formal (di sekolah) dan (2) usia 14-45 tahun untuk pendidikan luar sekolah. Maka untuk meningkatkan kualitas SDM salah satu cara dianta-ranya  perlu menempatkan tenaga ahli bidang ilmu pendi-dikan luar sekolah dan perlu adanya peranan Dikmas kecamatan yang lebih profesional guna memberikan cara dalam  membelajarkan masyarakat yanng ternyata karena suatu hal tidak tahu atau belum sempat menamatkan pendidikan dasar yang angkanya relatif masih tinggi. Bila kita memperhatikan Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang pendidikan Bab IV pasal 9 ayat 1, ada dua jalur pendidikan  di Indonesia, yakni : (1) Satuan pendidikan  menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang dise-lenggarakan di sekolah atau diluar sekolah; (2) satuan pendidikan yang disebut sekolah merupakan  bagian dari pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan ; (3) satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan pendidikan yang sejenis. Pertanyaan yang timbul adalah  bagaimana mereka yang telah berusia dewasa. Menurut: Prof. Soedomo (1974) bahwa mereka yang karena sesuatu dan lain hal, tidak dapat menyelesaikan pendidikan formalnya, maka ia dapat mengikuti pendidikan luar sekolah.
(b) Dari sudut lain, rendahnya SDM ini, karena dimanja oleh sumber daya alam yang melimpah . Namun karena SDMnya yang masih relatif rendah, terlihat kurang mampunya masyarakat  mengantisipasi bahwa pentingnya tanaman seperti rotan yang sebenarnya sumber penghasilan ke 2 setelah berladang, mereka belum membudidayakan secara sungguh – sungguh terhadap tanaman potensial di sekitar desanya. Termasuk karet, kopi, rambutan, durian, cempedak, langsat (duku) dll., bila musim buah tiba berlimpah ruah serta belum ada cara pengawetan untuk persediaan untuk di musim paceklik.
(c) Bidang pendidikan yang menyebabkan  rendahnya sumber daya manusia disini adalah rendahnya minat belajar masyarakat. Hal ini disebabkan karena tempat tinggal yang berjauhan dengan lokasi sekolah. Dan disadari atau tidak bahwa tuntutan wajib belajar (wajar) dikdas 9 tahun yang telah diterapkan di tanah air masih ditemukan banyak kendala dan perlu dicari  pemecahannya. Oleh  sebab itu, diharapkan tenaga profesional  dalam pendidikan luar sekolah (PLS) perlu dikerahkan untuk menuntaskan mereka. Apakah lewat pendidikan formal (di sekolah) ataukah non formal (Pendidikan Luar Sekolah) seperti pemberantasan tuna aksara latin, paket A dan paket B. sehingga bagi mereka yang  tidak mendapatkan kesempatanbelajar formal  dapat teratasi, dan wajar Dikdas  9 tahun dapat dituntaskan. Selain itu, diperlukan tenaga Dikmas yang benar-benar berlatar belakang pendidikan luar sekolah.

(d) Perlu pemikiran mengenai tempat penampungan anak usia sekolah misalnya, asrama sekolah terutama bagi mereka  yang rumah/desanya berjauhan dengan lokasi sekolah. Untuk saat ini kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara, asrama ditempatkan didesa Lampeong.

  Pembahasan
(1)  Pendidikan masyarakat tertinggal khususnya suku Lawangan masih yang banyak tidak tamat sekolah dasar. Hal ini jika dihubungkan dengan teori Hassan Shadily (1983) bahwa dengan keterasingannya dan segala keterting-galannya masyarakat belum banyak berhubungan dengan dunia luar, termasuk dengan dunia pendidikan. Walau mereka  juga ada yang lulus perguruan tinggi, namun jum-lahnya relatif kecil.
(2)  Strategi apa yang dapat membantu masyarakat terasing suku Lawangan dalam upaya menuntaskan pendidikan dasar (Wajar) 9 tahun di Kalimantan Tengah ternyata ada beberapa hal yaitu bagi mereka yang berusia pendidikan dasar 9 tahun 6-15 tahun harus menyelesaikan dengan pendidikan formal. Untuk SLTP yang jarak rumahnya yang sebaiknya masuk asrama di Lampeong ibukota kecamatan Gunung Purei  atau dengan masuk SMP –Terbuka. Sedangkan bagi mereka  yang sudah usia 14-45 tahun belum lulus SD harus diikut sertakan paket A dan yang belum lulus SLTP dengan paket B (H.M. Norsanie Darlan, 1998).

   Kesimpulan dan Saran
   Kesimpulan
(a) Tingkat pendidikan masyarakat tertinggal di desa terpencil seperti desa:  Payang, Baok dan Tambaba yang tidak tamat sekolah dasar masih tinggi. Walau demikian, dimasing-masing desa tersebut, telah ada yang lulus perguruan tinggi dengan jumlah yang relatif kecil.
(b) Strategi yang dapat digunakan untuk membantu masyarakat tertinggal suku Lawangan dalam upaya menuntaskan wajib Dikdas 9 tahun yaitu untuk usia 6-15 tahun lewat pendidikan formal seperti : SD, SLTP atau SMP-Terbuka. Bagi yang rumahnya jauh dari sekolah sebaiknya disediakan asrama siswa. Sedangkan usia dewasa dengan paket A bagi yang tidak tamat SD/MI dan paket SLTP/MTs.

     Saran-saran
(a) Dikmas Departemen Pendidikan Nasional baik di tingkat kecamatan maupun Kabupaten menyediakan lebih banyak tenaga-tenaga profesional dibidangnya seperti sarjana PLS atau Diploma. Sehingga salah satu upaya menuntaskan wajar Dikdas 9 tahun segera terwujud.
(b) Dalam mendirikan SMP-Terbuka, sebaiknya tidak satu tempat dengan lokasi paket B. Karena  programnya menjadi tumpang tindih. Kalaupun harus satu lokasi, perlu pemisahan yang jelas untuk SMP-Terbuka bagi anak usia sekolah, dan bagi peserta paket B yang berusia 14-45 tahun. Dan bagi mereka yang belum tamat SD sebaiknya mengikuti program paket A fungsional.
(c)  Gerakan Nasional Orang Tua Asuh diusahakan dapat sampai ke wilayah pedesaan, sehingga upaya menolong kaum lemah segera terwujud.
                            

Daftar Pustaka

Amrullah, 1998. Efektivitas SMP-Terbuka di Pedesaan, Palangka Raya.
Arismunandar, Wiranto.1998. Pidato Mendikbud RI, 2 Mei, Hardiknas, Jakarta.   
Darlan. M. Norsanie.1983. Pendidikan Luar Sekolah,FKIP Unpar, Palangka Raya.
–––––. 1996. Strategi Pendidikan Luar Sekolah FKIP Unpar, Palangka Raya.
–––––. 1997. Kajian Sosbud dan Lingkungan Masyarakat Terasing di Kecamatan Gunung Purei Kabupaten Barito Utara, Jakarta:Depsos RI.
–––––. 1998. Strategi dan Upaya Penuntasan Wajib Balajar 9 tahun Bagi Masyarakat Desa Tertinggal, Seminar PLS FIP IKP Malang.
_____, 2000. Strategi Menuntaskan Wajib Belajar Dikdas 9 Tahun Bagi Masyarakat Tertinggal Suku Lawangan di Kalimantan Tengah
Depdikbud RI. 1990. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta.
Djojonegoro, Wardiman. 1997. Pidato Mendikbud RI 2 Mei, Hardiknas, Jakarta.
Faisal, Sanapiah. 1981. Pendidikan Luar Sekolah, Usaha, Surabaya.
Manan. 1996. Keadaan  Penduduk Buta Huruf dan Putus Sekolah, Kandep Depdikbud Kecamatan Kapuas Barat, Mandomai.
Marzuki, Saleh. 1981. Pendidikan Luar Sekolah FIP IKIP, Malang.
Moeliono, Anton M. 1989.  Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Jakarta: Depdikbud RI.
Pelly, Usman dan Menanti, Asih. 1994. Teori-teori Sosial Budaya, Jakarta : Dirjend Dikti, Dekdikbud.
Peorwadinata, WJS. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.
Shadily, Hassan. 1983. Ensklopedia Indonesia, Jilid 4, Jakarta: Ichtiar Baru.
Sudjana, Djudju. 1997. Peranan PLS Dalam Pengembangan SDM Berkualitas, Surabaya: Makalah Seminar Nasional PSL, dan Konperensi ISPPSI.
Soedomo. 1974. Pendidikan Non Formal di Indonesia FIP IKIP Malang.
–––––––. 1989. Pendidikan Luar Sekolah, PLS FIP IKP Malang.
Trisnamansyah, H. Sutaryat. 1997. Peranan PLS dalam Pengembangan SDM Berkualitas, Surabaya: Makalah Seminar Nasional PSL, dan Konperensi ISPPSI.
Tim Wajar. 1991. Keputusan Menko Kesra RI, TentangWajar Pendidikan Dasar, Jakarta: Kantor Menko Kesra RI.
Tony, 1998. Program Kerja Dikmas dalam Upaya Menuntaskan Wajar 9 Tahun di Kal-Teng, Palangka Raya: Kanwil Depdiknas Kalimantan Tengah.
(Sumber: Jurlan Pendidikan dan Kebudayaan No.023 Tahun ke-6 Mei 2000)