Selasa, 27 Agustus 2013

Harian Dayak Pos Menulis

                        Prof. Dr. NORSANIE DARLAN,  MENELITI  PKBM DI KOTIM

Harian Dayak Post, 23 Agustus 2013
Dari sejumlah PKBM yang ada, dalam wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur ada 3 PKBM yang diambil secara acak. Masing-masing untuk daerah perkotaan terpilih PKBM jatuh pada PKBM Teratai Mekar yang beralamat di jalan Kapt. Muloyo, Pinggiran kota jatuh pada PKBM Eka Bahurui di Palangsiang 8 Km ke arah ke selatan yang menuju kab. Seruyan dan yang agak luar kota jatuh pada PKBM Sei Paku kecamatan kota Besi.
Dari ke 3 PKBM tersebut masing-masing punya keunggulan. Seperti Teratai Mekar sudah bisa memproduk kerupuk dari ikan haruan. Punya kegiatan kursus dan pelatihan secara gratis terhadap warga belajar yang mau ikut di PKBM ini. Ditanya kenapa selalu kegiatan gratis, dijelaskan oleh Bapak Rahadian dan ibu R. Bihantara, SE, MM pernah mengadakan rapat dan atas usul tokoh masyarakat setiap warga belajar membayar Rp 15.000,- perbulan, ternyata warga belajarnya semakin hari semakin berkurang. Ini menandakan rendahnya tingkat perekonomian masyarakat. Sehingga diambil kebijakan agar setiap warga belajar yang ikut di PKBM tersebut gratis, dan persertanya kembali bertambah. Kejadian seperti ini sangat perlu, dari dinas terkait mengecurkan dana kepada semua PKBM. Karena pendidikan gratis, tapi biaya tutornya ditanggung oleh dinas pendidikan. Sementara PKBM Eka Bahurui di Km 8 jalan menuju ke arah seruyan ini, masih belum punya gedung. Namun pa Kades menyanggupi untuk membangunkan bagunan PKBM di lokasi sekitar kantor desa. Walau  PKBM ini masih belum punya bangunan, pengabdian mereka kepada masyarakat hingga pemberantasan Buta Huruf di Lembaga Pemasyarakat (LP) Sampit. Demikian juga ke desa-desa lainnya dalam wilayah mereka. Sedangkan PKBM Sei Paku, sudah punya gedung permanen, punya mesin jahit 13 buah, mesin obras 3 dan bordir 1 dengan telah menghasilnya banyak warga masyarakat di sekitar setelah mereka selesai kursus, seperti kursus menjahit. Para alumnus membuka jahitan di rumah mereka masing-masing. Di PKBM Sei Paku kecamatan Kota Besi ini, punya fasilitas yang lengkap disertai mesin mengolah rota. Namun perlu perhatian dinas instasi terkait. Karena sayang fasilitas yang serba mahal kalau tidak ada binaan dari dinas perindustrian dan dinas pendidikan. Agar PKBM ini dapat membatu untuk mencerdaskan bangsa.
Dari 3 PKBM yang menjadi sampel penelitian ini, walau jumlahnya relatif sedikit, sudah tergambar perlunya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di kotawaringin timur dikunjungi oleh dinas instansi terkait guna pembinaan dan perlunya biaya mereka untuk membayar honor tutor (guru). Saya sebagai peneliti kasihan melihat peran pengelola PKBM yang menggratiskan setiap kegiatan pelatihan. Dari mana membayar honor tutor ?. Tentu saja dari uang pribadi para pengelola PKBM. Sebaiknya pemerintah daerah, tidak memandang dengan sebelah mata. Terhadap pendidikan nonformal (PLS) ini, sebab jalur pendidikan nonformal ini adalah tugas dan tanggung jawab masyarakat dan pemerintah.
Kalau kita mempertanyakan apa  topoksi PKBM, tentu mereka menyelenggarakan pendidikan di luar sistem persekolahan (PLS). Seperti paket A membantu mereka yang karena sesuatu dan lain hal, tidak sempat sekolah dasar. Maka  bagi PKBM membantu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Melalui paket A. Kemudian bagi mereka yang tidak sempat lulus SMP yang PKBM menyelenggarakan paket B. Demikian pula mereka yang tidak sempat lulus SLA. Melihat teman-temannya sudah ada yang sarjana karena terus sekolah dan kuliah. Sementara ia belum punya ijazah SLA. Maka tidak ada jalan lain, ia harus ikut paket C di PKBM.
Pertanyaan mahasiswa saya yang sedang belajar di S-2 PLS. Bagai mana penduduk yang ingin sekolah lagi ke jenjang pendidikan SLA misalnya. Sementara penduduk itu sudah berusia 35 tahun ke atas ?. Secara gamblang saya jawab pertanyaan mahasiswa S-2 saya, yaitu ia harus belajar ke PKBM dan ikut paket C. Karena kalau dia ikut sekolah formal di SMA, tentu faktor usia sudah tidak cocok. Andai sekiranya ia sekolah di bangku SMA tentunya saja usia seperti itu, lebih tua murid dari sang guru. Dan berdasarkan peraturan tidak ada murid di sekolah yang usianya sampai 35 tahun. Dengan demikian mereka ini, harus kita serahkan ke PKBM. Karena juga di PKBM selain mengatasi keterlantaran pendidikan bagi seseorang, juga membantu warga masyarakat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun mereka para penyelenggara ini atau pengelolaan lain, sangan membutuhkan biaya untuk para tutor. Termasuk juga seperti adanya kegiatan kursus dan pelatihan.
Untuk diketahui para tutor setiap tahun mempertunjukan kemampuannya dalam membuat karya tulis, karya nyata dan berbagai karya inovatif lainnya. Sehingga dengan berbagai cara pihak pengelola harus mengirim para tutornya ke provinsi untuk bersaing antara kabupaten. Ternyata bagi mereka punya kemampuan lebih, dapat pula dipersandingkan dengan utusan dari berbagai provinsi di tanah air. Hal seperti ini bukankah mereka mengangkat harkat dan mertabat daerah. Kepada tidak menjadi pemikiran bagi kita semua dari dinas terkait bersama Bupati/Walikota menyisihkan anggaran untuk jalur pendidikan nonformal ini.
Berkaitan dengan Kalteng Harati, tentu saja sangat membanggakan. Namun walau bagai mana majunya pendidikan formal. Kalau tidak diimbangi dengan jalur nonformal tentu bagaikan air teh yang kita buat, lupa memberikan gula. Kenapa demikian, karena sukses di jalur formal, tapi kalau PKBM ditinggal, tentu saja masih ada warga masyarakat kita yang tuna aksara yang belum tertampung. Berarti program kita masih belum tuntas. Itulah sebabnya keterlibatan jalur nonformal sangat diperlukan.

Harian Jogya mengomentari :

IBU KOTA NEGARA BAKAL PINDAH
Kalimantan Dinilai Siap dan Strategis

kalimantan
BANJARMASIN– Wacana pemindahan ibu kota Republik Indonesia dari Daerah Khusus Istimewa (DKI) Jakarta mendapat perhatian dan tanggapan beragam dengan tinjauan dari berbagai aspek.
“Perhatian itu sebuah kewajaran. Karena wacana tersebut, bukan rahasia umum lagi,” ujar Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) H Riswandi di Banjarmasin, Rabu (23/1/2013).
“Apalagi kota metropolitan tersebut belakangan seakan sudah menjadi langganan banjir. Sementara pemerintah tampaknya masih kesulitan mencari solusi agar persoalan itu tidak lagi menghambat jalan roda pemerintahan,” katanya.
Menurut anggota DPRD Kalsel dua periode dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, pemindahan ibu kota RI bukan semudah membalik telapak tangan, namun bisa terwujud asalkan ada kesepahaman dan kajian lebih mendalam.
“Karena pemindahan ibu kota RI tidak hanya memerlukan pemikiran, melainkan dari segi biaya juga harus menunjang serta berbagai pertimbangan lain,” kata mantan pegawai Departemen Keuangan itu.
Menurut dia, memang sudah selayaknya ibu kota negara dipindah dari DKI. Kalimantan sangat siap dan merupakan kawasan strategis untuk menjadi tempat ibu kota RI.
“Pulau Kalimantan yang dianggap strategis untuk pemindahan ibu kota RI tersebut. Karena Pulau Borneo bila dilihat dari sisi bencana sangat kecil, seperti gempa dan banjir,” kata politisi PKS tersebut.
“Layak atau tidak layak, Kalimantan merupakan daerah yang sangat strategis. siap atau tidak siap, Kalimantan masih sangat luas untuk membangun pemerintahan RI,” demikian Riswandi.
Sementara itu, guru besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Dr HM Norsanie Darlan mengungkit kembali keinginan Presiden RI Soekarno yang mau menjadikan ibu kota Kalimantan Tengah sebagai ibu kota negara.
Presiden RI pertama melontarkan keinginannya itu pada tahun 1950-an saat peresmian kota Pahandut sebagai ibu kota Kalteng, yang belakangan ibu kota provinsi tersebut bernama Palangka Raya.
“Saya kira pemikiran Bung Karno itu cukup beralasan dan visioner, bukan cuma untuk sesaat atau jangka pendek, tapi jauh ke depan,” kata putra Indonesia kelahiran “Bumi Isen Mulang” Kalteng tersebut.
“Oleh karenanya pemikiran proklamator RI tersebut perlu menjadi perhatian bersama, guna masa depan bangsa dan negara yang sama-sama kita cintai,” demikian Norsanie Darlan.
Editor: | dalam: Politik |

Minggu, 25 Agustus 2013

Komentar Prof. Norsanie Darlan ditanggapi positif oleh banyak orang, termasuk Gubernur DKI

setelah membaca sekarang mencoba menulis

Banjir Memicu Hangatnya Kembali Wacana Pemindahan Ibu Kota

OPINI | 21 Juli  2013 | 15:01 Dibaca: 317   Komentar: 0   0
Ibu kota pindah. Ide ini sudah lama dilontarkan oleh berbagai pihak. Tidak mudah memang. Banyak yang masih memandang sinis ide ini. Bagi mereka, opsi pindah ibu kota itu adalah opsi pesimis. Bagi yang mendukung, opsi memindahkan ibukota adalah ide yang matang dengan pertimbagan sempurna.
Saat ibukota disibukkan dengan banjir, ide ini dilontarkan kembali. Hari ini (Senin, 21 Januari 2013) Jokowi bertemu dengan pimpinan MPR di Gedung MPR RI. Dalam pertemuan itu Pak Jokowi berkata “Kalau memang sudah kita mentok dan kesulitan untuk mengatasi banjir Jakarta, tidak ada jalan lain. Ya, saya sangat setuju dengan Bapak Ketua MPR untuk dipindah,” (sumber : www.kompas.com). Jadi jelaslah sudah sang Gubernur Jakarta termasuk pihak yang setuju ibukota pindah, dengan catatan Kalau memang sudah kita mentok dan kesulitan untuk mengatasi banjir Jakarta, tidak ada jalan lain.
Sebenarnya masih sanggupkah Jakarta menyandang gelar ibukota? Mari kita coba cari jawabannya, berdasarkan data-data berikut :
1. Sejak Indonesia masih berpresidenkan Soekarno, ide pindah ibukota ke Palangkaraya sudah sering diajukan. Ide ini digagas oleh beliau sekitar tahun 1957. Saat ini, banyak ahli yang mendukung pendapat ini karena memiliki lahan luas serta dimungkinkan dibangun sejumlah perkantoran kementerian. Kota Palangkaraya juga berada di atas bukit sehingga tidak akan terjadi banjir. Pendapat ini kembali diamini oleh Prof HM Norsanie Darlan (Guru Besar Universitas Palangkaraya)
2. Pendapat para pakar mengenai pemindahan ibu kota :
Andrinof Chaniago (Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia) berpendapat daya dukung Pulau Jawa khususnya Jakarta dan sekitarnya tak memadai lagi untuk Ibukota. Satu bom sosial siap meledak di Jakarta 20 tahun lagi. Kesenjangan sosial kian tajam, kriminalitas tinggi, taraf kesehatan menurun. Gangguan jiwa meningkat
Yayat Supriyatna (Planolog dari Universitas Trisakti) berpendapat Jakarta tidak pernah disiapkan secara matang untuk menjadi Ibukota dengan skala sebesar sekarang, Dari sekadar kota perdagangan, kemudian harus menampung aktivitas pemerintahan dalam skala besar sehingga fungsi dan perannya tidak jelas.
Haryo Winarso (Haryo Winarso) berpendapat Ibukota tidak dapat pindah ke dalam lokasi berdekatan karena hal tersebut hanya akan memperpanjang kemacetan diakrenakan orang-orang yang terlibat pemerintahan tetap tinggal di Jakarta sehingga akan tetap macet
Sonny Harry B. Harmadi (Pakar demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) berpendapat pemindahan Ibukota ke luar Jakarta dan bahkan ke luar Jawa. kepadatan penduduk dan pemusatan aktivitas yang terus meningkat di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi menjadikan daerah ini tidak lagi ideal sebagai kandidat Ibukota baru Republik Indonesia
M Jehansyah Siregar (doktor di bidang perencanaan kota dari Universitas Tokyo) berpendapat Berdasarkan berbagai kajian yang telah ada, Kalimantan pulau yang telah siap secara infrastruktur dan secara geografis Kalimantan jauh dari pusat gempa dan gunung berapi.
Dari data-data diatas, dapat disimpulkan Jakarta berbeban terlalu berat, disamping sebagai pusat pemerintahan, ia juga mengemban tugas sebagai pusat ekonomi dan perdagangan. Maka dapat dilihat dari pendapat para ahli tersebut termasuk Pak Karno juga, untuk membantu Jakarta jadi “sehat” pindahkanlah satu tugas ke kota lain, dan yang paling mendukung dipindahkan adalah tugas sebagai pusat pemerintahan. Jadi, jika ibukota negara pindah, yang berpindah adalah pusat pemerintahannya.
Metode seperti ini bukanlah metode baru, sudah banyak negara yang mempraktekannya, lihat saja Amerika Serikat yang memusatkan pemerintahan di Washington sementara ekonomi tetap dipusatkan di New York. Demikian halnya dengan Australia, ibukota (pemerintahan) sudah dipindahkan ke Canberra. Bahkan saudara sebelah kita –Malaysia-, juga memindahkan pusat pemerintahannya ke Putrajaya.
Tampaknya, ide memindahkan pusat pemerintahan ini kita setujui saja ya.^_^
Salam,
R.

Jumat, 23 Agustus 2013

Fenomena Guru Lulusan SMP

DeTAK UTAMA EDISI 142

Memang cukup mengejutkan, jika di Kalimantan Tengah (Kalteng) masih ada guru lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Apalagi sebagian besar guru itu mengajar pada jenjang pendidikan dasar, seperti Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar.
Data dari Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Kalteng menyebutkan jumlah guru lulusan SMP sebanyak 342 dari jumlah total guru di Kalteng, 46.215 guru. Sebagian guru tersebut rata-rata berusia 50 tahun.
Masalahnya sekarang, ditengah diberlakukannya kualifikasi dan sertifikasi nasib mereka pun diujung tanduk. Maju tidak bisa, mundur pun kandas. Maju, dalam arti ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi faktor usia jadi pertimbangan sendiri. Mundur, yang muncul malah pertanyaan mau diapakan?
Dilematis memang, apalagi Kepala LPMP Kalteng Krisnayadi Toendan, memastikan soal kualifikasi dan sertifikasi merupakan harga mati. "Apapun alasannya untuk tenaga pendidik minimal kualifikasi S1 atau D4. Itu sudah menjadi harga mati,” tandasnya.
Kemungkinan mereka dijadikan tenaga adminstrasi saja. Begitu diucapkan Ketua Komisi C DPRD Kalteng Ade Supriadi. Kalau memang tuntutan ke depan tenaga pendidik harus melalui sertifikasi, mungkin guru yang tidak memenuhi syarat dimaksud sebaiknya dialihkan menjadi tenaga administrasi.
Anggota Komisi III DPRD Kota Palangka Raya Subandi juga berharap demikian.
Subandi memandang, untuk memajukan kualitas dan mutu pendidikan harus dimulai dari tenaga pengajarnya, tidak hanya melakukan pembangunan sarana dan prasarana sekolah saja.
"Peningkatan jenjang pendidikan merupakan salah satu program untuk peningkatan kualitas dan mutu pendidikan. Dewan sendiri dalam beberapa kali kesempatan sudah menyampaikan kepada Pemko untuk memaksimalkan anggaran demi peningkatan jenjang pendidikan guru," jelas Subandi
Namun Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kalteng Tambunan Jamin memberikan solusi, yaitu Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) Nomor 18 tahun 2009. Dalam aturan itu disebutkan adanya profesional berkelanjutan.
Masyarakat pun terpecah tanggapannya tentang masalah ini.
Ada merasa hal ini soal serius, ada pula yang tidak. Nora Walter menilai, pendidikan guru yang hanya lulusan SMP sangat berpengaruh pada mutu pendidikan level dasar.
"Dunia pendidikan kan berkembang? Jika tidak mampu mengikuti, maka dapat membuat mereka (guru-red) tertinggal, baik dalam materi maupun metode pengajaran, sehingga mutu pendidikan menjadi lamban,” ujarnya.
Adi Rufi terkejut. "Kalo diliat dari lulusan pendidikan memang tampak nggak layak. Tapi, kalo aku ngeliat dari potensi aja lah,” ujarnya. Dengan usia rata-rata 50-an, Rufi beranggapan, semakin tua akan semakin bijak. "Mereka lebih berpengalaman dalam mengurus anak. Lagipula, karena ukuran umur 50 tahun wajar saja, karena zaman dulu
sangat sulit menempuh pendidikan ke jenjang berikut (baca: jenjang lebih tinggi-red). Beda ama sekarang,” ujarnya.
Edward Runtukahu lain lagi, ia memilah. Ia berpendapat, porsi pendidikan yang diberikan bagi murid TK lebih banyak mengarah kepada pengembangan motorik dan semangat dalam bersosialisasi.
Lain halnya, jika berbicara tentang pengajar SD lulusan SMP, Edward memastikan, akan memberikan dampak buruk bagi kualitas murid SD. Di SD dibutuhkan kemampuan akademik yang baik untuk dapat membuat suatu pola pengajaran yang terstruktur, dinamis, akurat dan berkualitas.
Akedemisi Universitas Palangka Raya (UNPAR) Profesor Norsanie Darlan mengingatkan, soal profesionalisme yang menjadi taruhan. Norsanie mengatakan, tuntutan merefleksikan suatu kebutuhan yang kian kompleks dari siswa, tidak sekadar kemampuan guru menguasai pelajaran semata, tapi juga kemampuan lainnya yang bersifat psikis, strategis, dan produktif.
"Tuntutan demikian hanya bisa dijawab oleh guru yang profesional," kata Norsanie. perlu juga dipikirkan, apakah semua guru itu harus sarjana. sebaiknya guru yang sudah berusia, biarlah mereka mengabdi hingga pensiun. tapi kalau menerima / mengangkat guru baru, memang harus sarjana. kalau semua guru ditetapkan harus sarjana, kasihan para guru sebagai perintis, kok diberhentikan karena tidak sarjana. etiskah demikian?. dan kalau guru SD sudah sarjana, bagaimana guru SMP dan SLA. harusnya bukan hanya S-1 tapi di atas S-1. tentunya. kalau peraturan semua guru harus sarjana, apakah samakan  tingkat pendidikan guru SD dengan SMP dan SLA. ini harus dipikirkan. peraturan sekarang, sebaiknya sebelum membuat peraturan harus turun melihat, mencermati terhadap yang bakal diatur kata Prof. Norsanie yang guru besar pendidikan luar sekolah itu. karena guru yang berpengalaman puluhan tahun mengajar, belum tentu kalah dengan sarjana baru.
 (DeTAK-rickover/indra/yusy)

dapatkan berita DeTAK UTAMA selengkapnya di TABLOID DeTAK EDISI 142

Kamis, 22 Agustus 2013

Peran Tenaga PLS Dalam Penuntasan WAJAR DIKDAS

PERAN TENAGA PLS MERUPAKAN SALAH SATU UPAYA
MENUNTASKAN WAJIB BELAJAR 9 TAHUN
BAGI MASYARAKAT DESA TERTINGGAL
Oleh: H.M.Norsanie Darlan

1. Pendahuluan
Dalam pembangunan sekarang, masih ditemukan berbagai kesenjangan di masyarakat. Yang antara lain disebabkan oleh faktor kondisi geografis ataupun sosial budaya, sehingga dapat menyebabkan ketertinggalan dalam berbagai hal. Salah satu di antaranya yang kita bahas sekarang ialah ketertinggalan masalah pendidikan jalur luar sekolah yang bila tidak segera diatasi, ketertinggalan di bidang pendidikan tetap selalu muncul. Namun, dalam postulat yang ada bagi masyarakat desa tertinggal selama ini, belum dirasakan rendahnya pendidikan dapat berakibat suramnya masa depan mereka. Dengan demikian, tanpa peningkatan pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah maka kualitas SDM kita tidak akan meningkat.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (1) dan (2) serta Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, secara tegas telah diatur oleh pemerintah tentang jenis dan jalur pendidikan. Lebih lanjut dalam pasal 10 ayat (3) Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah, melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. Dengan demikian, kita semua perlu dan terpanggil untuk turut melaksanakan amanat tersebut. Strategi menuntaskan wajib belajar 9 tahun bagi masyarakat desa tertinggal, perlu kita kaji permasalahannya dan dicari berbagai jalan penuntasannya.
Konsep pembangunan lima tahun kita sekarang di bidang pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan bangsa dan kualitas sumber daya manusia (SDM), mengembangkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, budi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keahlian dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, serta kepribadian yang mantap dan mandiri. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan, wawasan keunggulan, kesetiakawanan sosial, dan kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berorientasi masa depan. Pendidikan nasional perlu ditata, dikembangkan, dan dimantapkan secara terpadu dan serasi, baik antarjalur, jenis, dan jenjang pendidikan maupun antarsektor pendidikan yang makin berkembang, efektif dan efisien, serta meningkatkan, mengutamakan pemerataan, dan peningkatan kualitas pendidikan dasar, perluasan dan peningkatan kualitas pendidikan kejuruan, pendidikan profesional serta pendidikan keterampilan, dan meningkatkan pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun. Masyarakat sebagai mitra pemerintah harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan kebutuhan, serta perkembangan pembangunan bangsa sekarang dan masa datang. Namun bila kesadaran mereka belum tumbuh, maka pemerintah harus berperan aktif dalam menuntaskannya.
2. Kajian Teori
Untuk menghindari kesalahpahaman pengertian di atas, maka akan diuraikan beberapa pengertian atau peristilahan, sebagai berikut.
1. Strategi pembangunan menurut Hasan Shadily (1984) bahwa tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh penduduk dalam kurun waktu satu generasi, yaitu menjelang tahun 2000. Untuk mencapai tujuan ini, rangkaian sasaran menyangkut jasa-jasa umum, termasuk penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Strategi pembangunan yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh penduduk yang memerlukan perubahan sosial dan struktur yang mendalam untuk mencapat sasaran yang diinginkan.
Apa sebenarnya pengertian strategi pendidikan luar sekolah. Menurut Prof. Harsono (1997) dalam makalahnya di seminar nasional PLS dan Konferensi ISPPSI di Surabaya, bahwa ada hubungan erat antara peningkatan mutu sumber daya manusia dengan pembangunan telah dimengerti, dipahami, dan diterima oleh banyak pihak. Namun, dalam menentukan prioritas pelaksanaannya, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, salah satunya ialah faktor lingkungan strategis termasuk potensi tantangan dan peluang yang ada di dalamnya. Memasuki abad XXI bangsa Indonesia dihadapkan pada fenomena lingkungan internasional, regional, dan nasional.
Sedangkan menurut Prof. Djudju Sudjana (1997) dalam seminar nasional PLS di Surabaya menguraikan agar dalam strategi meningkatkan peran PLS, SDM Indonesia siap menjadi pelaku yang memiliki daya saing komparatif, perlu memiliki sasaran yang jitu bagi para perencana pendidikan.
Adapun pengertian strategi PLS menurut H.M.Norsanie Darlan (1996) suatu rencana yang cermat mengenai kegiatan pendidikan untuk mencapai sasaran. Sedangkan menurut Prof. Santoso S. Hamodjojo (1998) strategi PLS adalah untuk meletakkan sistem yang tangguh untuk menangani pendidikan sepanjang hidup, dengan jalur insidental, informal, nonformal dan formal bagi semua warga negara untuk menggalang masyarakat gemar belajar yang beradab dan demokratis (madani).
2. Menuntaskan, diambil dari istilah bahasa dengan asal kata tuntas (Moeliono, 1989). Yakni suatu kegiatan pendidikan bagi seseorang untuk menuntaskan atau menghabiskan (mencurahkan semua) masa pendidikan di sekolah atau pun di luar sekolah sehingga kualitas SDM semakin tahun semakin meningkat.
Kendala dalam penuntasan wajib belajar 9 tahun erat hubungannya dengan faktor sosial ekonomi dan budaya. Sebagian besar orang tidak mampu menyekolahkan anaknya karena ekonominya lemah (miskin). Apalagi sejak terjadinya krisis moneter dan krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Hal ini menyebabkan semakin banyak penduduk menjadi miskin, jumlah orang miskin bertambah dari 20 juta sebelum krisis dan sekarang mencapai hampir 80 juta orang. Menurut Sanapiah Faisal (1998) hal tersebut berakibat banyak tenaga kerja yang di PHK, sehingga berdampak negatif pula terhadap penuntasan wajib belajar 9 tahun khususnya anak usia pendidikan dasar.
3. Wajib Belajar adalah suatu tuntutan zaman yang harus dilaksanakan kepada seluruh bangsa Indonesia baik laki-laki maupun perempuan; usia sekolah 7 - 15 tahun mapun bagi mereka yang karena sesuatu hal sehingga tidak ada kesempatan mengikuti pendidikan formal. Oleh karena itu, mereka harus di tolong dengan pendidikan luar sekolah.
3. Harsono (1997) mengartikan masyarakat dari 2 bahasa asing yakni (1) Dalam bahasa Arab yaitu Syrk yang artinya sekelompok manusia saling bergaul di suatu tempat dengan berbagai kesamaan. Kedua, bahasa Inggris Society yang artinya sekumpulan manusia saling berinteraksi dalam suatu wilayah tertentu dengan berbagai kesamaan satu sama lainnya.
Pendapat tokoh lain seperti Poerwadarminto (1986) dan Moeliono (1989) mengartikan masyarakat adalah sekumpulan orang dalam arti seluas-luasnya terikat dalam kebudayaan yang dianggap sama. Misalnya terpelajar, cendekiawan, pedagang, pegawai, pengusaha, petani, nelayan dll. Dalam penjelasan lain masyarakat ada yang tinggal di kota dan di desa. Masing-masing istilah ini memiliki kekhassan tersendiri satu sama lainnya.
3. Masyarakat Desa Tertinggal
1. Arti masyarakat desa adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Sedangkan arti tertinggal/terpencil adalah terpisah dengan yang lain (Poerwadarminta, 1986 dan Anton M. Moeliono, dkk, 1989). Dengan demikian yang dimaksud masyarakat desa tertinggal adalah mereka berada jauh dari pembangunan kota, karena ketertinggalan tersebut sehingga sulit mengikuti perkembangan pembangunan, termasuk ketertinggalan dalam dunia pendidikan.
2. (2) Pada dasarnya rata-rata pendidikan dan pengetahuan masyarakat desa tertinggal relatif rendah. Demikian juga jiwa/semangat kewiraswastaan ini sudah jarang dijumpai (A.J. Nihin, 1990). Karena itu, kepada mereka perlu diperkenalkan pertimbangan-pertimbangan antara faktor out-put dan input dalam setiap usaha produksi, namun dalam bentuk yang sederhana dan terjangkau oleh pikiran masyarakat. Hal ini perlu dengan contoh, bukti, atau semacamnya.
Untuk lebih mendalami arti pendidikan luar sekolah (Non Formal Education) menurut Prof. H.M. Sudomo (1974) adalah setiap kegiatan pendidikan yang diorganisir di luar sistem pendidikan formal, baik dilakukan sebagai kegiatan yang lebih luas untuk memenuhi kebutuhan pelajar (Clientele) dalam mencapai tujuan belajar.
Pengertian pendidikan nonformal menurut Depdiknas adalah usaha sadar yang dilakukan untuk membentuk perkembangan kepribadian serta kemampuan anak luar sekolah atau tepatnya di luar sistem persekolahan sebagaimana yang kita kenal sekarang.
PLS menurut Prof. Dr.H. Sutaryat Trisnamansyah (1997) adalah konsep pendidikan sepanjang hayat yang mengandung karakteristik, bahwa pendidikan tidak berakhir pada saat pendidikan sekolah selesai ditempuh oleh seorang individu, melainkan suatu proses sepanjang hayat, mencakup keseluruhan kurun waktu hidup seorang individu sejak lahir sampai mati. Pendidikan sepanjang hayat bukan hanya pendidikan orang dewasa, yang dimulai manakala seorang individu telah menyelesaikan pendidikan sekolah hingga berusia dewasa.
Pengertian pendidikan secara umum menurut Prof. H. Fuad Ihsan (1996) bahwa pedagogy atau ilmu pendidikan ialah penyelidikan, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik.
Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan mustahil suatu kelompok manusia dapat maju berkembang sejalan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso (1981) menguraikan PLS sebagai upaya menolong masyarakat untuk mencapai kemajuan sosial ekonomi, agar mereka dapat menduduki tempat yang layak dalam dunia modern. Pendidikan ini jelas ditujukan kepada masyarakat dan daerah yang terbelakang agar masyarakat dan daerah ini dapat menyamai daerah lain yang tidak terbelakang.
4. Keadaan di Lapangan
Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan peran serta masyarakat, termasuk pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat terus dikembangkan secara merata di seluruh tanah air dengan memberikan perhatian khusus kepada keluarga yang kurang mampu, penyandang cacat, dan yang bertempat tinggal di daerah terpencil/tertinggal di Kalimantan Tengah, sehingga makin meningkatkan kualitas serta jangkauannya. Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa mendapat perhatian dan pelayanan lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya tanpa mengabaikan potensi peserta didik lainnya.
Pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, PLS, dan pendidikan kejuruan harus terus ditingkatkan pemerataan, kualitas, dan pengembangannya untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional serta kemampuan kepemimpinan yang tanggap terhadap kebutuhan pembangunan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), berjiwa penuh pengabdian dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan bangsa dan negara. Kehidupan kampus dikembangkan sebagai lingkungan ilmiah yang dinamis sesuai dengan disiplin ilmu dan profesional, yang berwawasan budaya bangsa, bermoral Pancasila, dan berkepribadian Indonesia. Perguruan tinggi terus diusahakan untuk lebih mampu menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengkajian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memberikan pengabdian kepada masyarakat yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan sejalan dengan iklim yang makin demokratis yang mendukung kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi perguruan tinggi (GBHN' 1999).
Pidato tertulis Mendikbud RI dalam rangka hari pendidikan nasional (Hardiknas, 2 Mei 1997) patut pula kita mengungkapkan rasa syukur yang mendalam bahwa ternyata hasil-hasil pembangunan yang telah kita capai selama ini, sangat menggembirakan. Kemajuan pendidikan di tanah air kita, menunjukkan peningkatan yang sangat pesat. Terutama dilihat dari kesempatan pendidikan yang semakin meluas pada semua jenis dan jenjang serta jalur pendidikan. Lebih-lebih kita telah berhasil meningkatkan program nasional wajib belajar pendidikan dasar dari 6 tahun menjadi 9 tahun sejak tahun 1994. Dengan tantangan globalisasi, kita harus menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Pada akhir Pelita VII diharapkan anak usia 15 tahun telah bersekolah pada jenjang SLTP (Wardiman, 1997). Pembangunan di negeri kita dirasakan sangat banyak kendala dalam beberapa tahun terakhir.
Sebagai bahan pemikiran kita bersama, berikut ini data dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Nasional Kalimantan Tengah (Bidang Dikmas) tahun 1997/1998 tentang lulusan sekolah dasar dan yang tertampung di SLTP
Menilik ke belakang, salah satu contoh dari data retrospektif dalam tabel di atas, anak lulusan SD dari Kabupaten/Kota Palangka Raya (Kalteng) tahun 1997/1998 sebanyak 30.700 siswa, dan yang tertampung di SLTP 19.879 siswa (64,7 persen). Dengan demikian, murid SD yang putus sekolah di Kalimantan Tengah sebesar 10.821 (5,2 persen). Mereka tersebar di wilayah kabupaten/kota Kalimantan Tengah yaitu: 1.081 siswa (9,9 persen) di Batara; 952 siswa (8,7 persen) di Barito Selatan; 3.071 siswa (28,3 persen) di Kabupaten Kapuas; 3.124 siswa (28,8 persen) di Kotawaringin Timur; 1.938 siswa (17,9 persen) di Kotawaringin Barat; serta 655 siswa (6,0 persen) di kota Palangka Raya. Angka-angka tersebut akan menurun kalau ada strategi, metoda, dan teknik penempatan tenaga yang sesuai dengan bidangnya. Baik dari tingkat kecamatan, kabupaten sampai di tingkat propinsi.
Dalam kaitan ini, kita hendaknya terus berusaha untuk melakukan upaya-upaya terobosan guna meningkatkan jumlah tempat-tempat belajar baru, agar seluruh kelompok umur 7-15 tahun dapat tertampung. Di antara terobosan yang telah dikembangkan selama ini untuk menuntaskan program wajib belajar adalah (a) belajar melalui SLTP terbuka, (b) penyelenggaraan pendidikan luar sekolah melalui kejar paket A setara sekolah dasar (SD) dan kejar paket B setara SLTP, serta (c) upaya memanfaatkan teknik-teknik pendidikan jarak jauh, melalui media cetak maupun elektronik. Bahkan sudah ada juga paket C untuk setara SMU, namun kebutuhan itu harus mampu merealisasi pada lapisan yang lebih bawah.
Perencanaan pengadaan alat fasilitas/sarana penunjang berupa tenaga, sarana dan prasarana. Perencanaan sarana penunjang baru dapat dilakukan setelah pola perintisan dengan menggunakan perangkat lunak seperti kurikulum, buku paket, modul, kaset, video, radio dll (Winarno Hani Seno 1990).
Guna mendukung keberhasilan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan, jalinan kerjasama antara tokoh-tokoh masyarakat (toma) tokoh-tokoh agama (toga) dan orang tua dengan pemerintah, hendaknya juga terus ditingkatkan. Hal ini penting karena tugas pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang tua siswa. Tanpa keterlibatan semua pihak, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa niscaya tidak akan berhasil dengan baik. Hal ini menurut Wardiman (1997) sangat pentingnya peran pemerintah daerah untuk menyukseskan program pendidikan nasional. Menurut Prof. Dr. H. Abdul Azis Wahab, MA (2000) ada kekeliruan strategi pembangunan dewasa ini. Strategi yang dijalankan pada pelita-pelita lalu lebih mengutamakan sektor ekonomi di garis depan. Sementara menurut ahli perbandingan pendidikan pemerintah Malaysia dan Jepang mengutamakan sektor pendidikan di garis depan. Sebagai bukti dapat kita lihat bahwa 2 atau 3 pelita silam warga Malaysia belajar di Indonesia dalam ilmu pendidikan, kedokteran, dan bahkan mereka berani mendatangkan tenaga-tenaga dosen bidang MIPA. Dalam tahun-tahun belakangan ini, ternyata negeri mereka jauh lebih maju dibanding pembangunan kita. Tidak sedikit pemuda kita yang belajar ke Malaysia di berbagai Universitas dan akademi. Termasuk tahun akademi 1997/98 penulis sendiri mengikuti seleksi di Malaya University dalam tawaran masuk ke rancangan ijazah tinggi. Dan di panggil sebagai mahasiswa di negeri jiran untuk memperoleh ijazah Doktor Falsafah (Ph.D). Namun karena negeri kita khususnya Kalimantan Tengah, kota Palangka Raya diselimuti asap tebal, penerbangan terhenti dalam beberapa minggu, sehingga surat panggilan terlambat 54 hari dari batas terakhir pendaftaran.
Di pihak lain sambutan Mendikbud RI, mengetuk hati kita bersama yang sekarang sedang membangun dengan melaksanakan program-program perluasan pendidikan. Menurut Wiranto Arismunandar (1998) bahwa jumlah murid sekolah dasar dan Madrasah Ibtidaiyah baru mencapai sekitar 7,5 juta anak atau 41 persen dari jumlah anak usia sekolah sekolah dasar 1998. Pada tahun 1984 jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 23 juta anak, atau 97 persen. Keberhasilan ini serta laju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang cenderung makin cepat mendorong kita untuk mencanangkan Gerakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 tahun pada tahun 1984. Selanjutnya, kita melangkah lebih maju lagi dengan melaksanakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, yang dicanangkan tanggal 2 Mei 1994. Sesuai dengan Instruksi Presiden RI pada pembukaan rapat kerja nasional Departemen Pendidikan Nasional di Istana Negara pada tanggal 22 Mei 1996, program tersebut harus dapat diselesaikan pada akhir Pelita VII. Mudah-mudahan krisis moneter yang melanda negeri kita tercinta, tidak berpengaruh besar dalam pembangunan bidang pendidikan.
Di Indonesia pendidikan nonformal/pendidikan luar sekolah dikonsepkan bahwa setiap kesempatan di mana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah, di mana seseorang memperoleh informasi pengetahuan, latihan ataupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta aktif yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaanya bahkan lingkungan masyarakat negaranya (Sudomo, 1974, Sanapiah Faisal 1981). Sedangkan penulis mengambil pengertian tentang pendidikan luar sekolah yaitu suatu pendidikan tak terpisahkan dengan pendidikan formal, namun pelaksanaannya dilakukan di luar sistem persekolahan di antaranya berbagai kegiatan penyuluhan guna menunjang di berbagai bidang pembangunan bangsa (M.Norsanie Darlan, 1983).
Dengan demikian PLS mempunyai tugas berat dalam memberdayakan masyarakat mulai usia 14 - 45 tahun di luar sekolah yang menjadi sasaran didiknya. Sehingga pendidikan harus memberikan berbagai kebutuhan masyarakat setempat. Menurut: H. Djudju Sudjana (2000) bahwa PLS sangat berkembang bagi masyarakat industri. Bila kita berpikir secara prospektif, maka dari sekarang kita mulai bergerak agar tidak tertinggal dari negara lain.
Dalam kesempatan ini, kita menilik terhadap kehidupan masyarakat dengan pola perladangan/pertanian yang dilakukan masyarakat desa tertinggal. Kegiatan yang mereka lakukan dalam berladang dimulai dari menebas, menebang hutan, dan kemudian membakar. Namun, perlu digarisbawahi bahwa membakar hutan (hasil penelitian tahun 1997 sampai awal 1998), ternyata di musim kemarau panjang, belum ditemukan petani membakar hutan untuk perladangan mereka. Pembakaran terjadi oleh mereka, setelah hujan turun beberapa kali, mereka sudah menguasai ilmu falak, dengan melihat posisi bintang. Oleh para tokoh masyarakat (toma) setempat dengan melihat keadaan bintanglah baru menentukan pembakaran ladang yang akan digarap. Dan cara membakar lokasi sudah mereka persiapan dengan membersihkan di sekelilingnya. Sehingga pembakaran hutan dan asap tebal di musim kemarau dari hasil penelitian penulis tidak seluruhnya benar oleh masyarakat peladang berpindah. Mereka sudah mengerti dampak/akibat dari pembakaran tersebut bagi habitat lingkungan di sekeliling mereka (H.M.Norsanie Darlan, 2000).
Mereka yang dimaksud masyarakat desa tertinggal adalah bermukim di bukit-bukit, tepian sungai, di lembah, danau, kawasan pantai, dan sebagainya. Semuanya mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan. Dalam strategi PLS untuk menuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun, Dikmas tingkat kecamatan sebagai ujung tombak. Bila penempatan tenaga PLS tidak pada bidangnya, maka upaya pemerintah tidak akan segera terwujud.
Sedangkan ciri PLS secara spesifik menurut Saleh Marzuki (1981) adalah (1) progam jangka pendek; (2) tidak dibatasi oleh jenjang-jenjang; (3) Usia didiknya tidak perlu sama/homogen; (4) sasaran didiknya beriorientasi jangka pendek dan praktis; (5) Diadakan sebagai respon kebutuhan yang mendesak; (6) Ijazah biasanya kurang memegang peran penting; (7) dapat diselenggarakan pemerintah dan swasta; (8) dapat diselenggarakan di dalam dan di luar kelas.
Dalam hal ini, mungkin timbul bertanyaan mengapa di perguruan tinggi ada jurusan atau program studi PLS? Padahal di lain pihak pendidikan tersebut diselenggarakan di luar sistem persekolahan. Sebagian perguruan tinggi sejak lama telah menyelenggarakan PLS. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli pembangunan bidang PLS. Mahasiswa yang dididik pada jurusan atau program studi PLS adalah dididik dalam jalur pendidikan formal. Namun, sistem berfikir mahasiswa di luar sistem persekolahan. Seperti mengenal tuna aksara latin dan angka, ini konsep "tempoe doeloe". Sekarang mahasiswa lebih dititikberatkan pada masalah yang lain yaitu bagaimana agar warga masyarakat mampu menghadapi tantangan lebih jauh ke depan pada era globalisasi untuk berwiraswasta, mengenal berbagai kursus keterampilan, dan berbagai bentuk pendidikan di luar sistem persekolahan. Misalnya Bordir, Mejahit, Tata Rias, Pertanian, Elektronika, Jurnalistik, Komputer, pendidikan dan latihan berbagai cabang olahraga, penyuluhan kesehatan, KB, pertanian, sampai kursus berbagai bahasa dll (Oong Komar, 2000). Harapan masyarakat menurut Yus Darusman (2000) adalah aktivitas PLS melalui peran kelompok belajar masyarakat sebagai kelompok pengubah dan kelompok penyebar. Dampak perilaku moral ekonomi masyarakat tampil sebagai masyarakat yang maju, padat keterampilan, padat karya, padat usaha, padat kesejahteraan. Hal ini di selenggarakan oleh masyarakat, LSM, Dinas, dan instansi pemerintah. Karena tidak tuntas akibat dari ledakan penduduk berdampak menimbulkan kemiskinan dalam dunia pendidikan. Salah satu diantaranya ditutupnya kran-kran PLS di berbagai tempat dengan alasan yang tidak jelas di zaman orde baru. Sehingga di sana-sini munculnya anak jalanan, para galandangan, dan berbagai masalah sosial yang membuat pusing bagi pihak si penutup kran itu sendiri, dan siapa pembinannya? Penulis berasumsi bahwa sebagai dampak ditutupnya kran PLS sejak tahun akademi 1987/88, terjadinya kendala dalam penuntasan wajib belajar yang cukup berarti. Yang paling menyedihkan bagi lembaga yang ditugasi menuntaskan wajib belajar itu adalah menerima tenaga-tenaga di luar profesinya. Sehingga bukan teori andragogy yang diterapkan pada warga masyarakat, melainkan sebaliknya. Jadi keterampilan dalam berkomunikasi sebagai ahli PLS kepada warga masyarakat tidak bisa hanya belajar dalam 2, 3 bulan. Melainkan memerlukan cukup waktu, cukup SKS dan cukup praktik lapangannya. Sebab di masyarakat mereka tidak perlu banyak komentar, melainkan melihat bukti dan kenyataan.
Sekarang sarjana PLS sebelum diyudisium harus memiliki keterampilan (Skill) tertentu yang diharapkan bisa menciptakan lapangan kerja sendiri di masyarakat. PLS adalah satu dari dua jalur pendidikan di Indonesia yang memiliki peran besar di masa depan. Sehingga sangat aneh, bila melihat calon mahasiswa S-2 dan S-3 PLS berdatangan dari bidang-bidang ilmu lain tidak terbatas dalam jurusan pendidikan semata, melainkan ilmu-ilmu nonkependidikan karena mereka tahu cerahnya masa depan PLS. Diharapkan pada penerimaan mahasiswa baru, Universitas Palangka Raya tidak menerima lewat undangan saja, namun harus juga lewat UMPTN. Kepada para rekan sejawat (dosen-dosen PLS) harus mampu mengubah sistem perkuliahan dengan mengutamakan teori-teori andragogy. Karena pasar kerja kita sudah jauh berbeda dari masa pendidikan masa 15 - 20 tahun silam. Pada waktunya nanti PLS sudah turut memikirkan pula terhadap mereka yang menghadapi pasca kerja di hari pensiun. Sebab Post Power Sindrom menunjukkan tanda-tanda kenaikan yang sangat bermakna dalam masa belakangan ini.
Dalam hal PLS guna mewujudkan manusia Indonesia memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa agar memiliki kemampuan baca tulis. Direktorat Pendidikan Masyarakat (Dikmas), Depdiknas perlu mengadakan pembenahan-pembenahan, sebab kalau masih berjalan seperti selama ini, maka PLS yang dititipkan oleh pemerintah tak akan mampu diwujudkan.
1. Gerakan Nasional Orang Tua Asuh agar diusahakan dapat sampai ke wilayah pedesaan, sehingga upaya menolong kaum lemah segera terwujud.
2. Memperbaiki kelemahan yang selama ini dirasakan misalnya penempatan tenaga, cenderung merekrut para guru atau tenaga yang telah bertugas bertahun-tahun. Mereka di tempatkan untuk mendidik masyarakat pada bidang PLS. Padahal ia telah terbiasa (berpengalaman) melakukan pengajaran pada pendidikan formal. Terhadap tugas yang berhubungan dengan masyarakat, bukan teori andragogy yang ia berikan, melainkan cenderung paedagogy. Sehingga berapapun anggaran yang disediakan secara objektif cenderung kurang memberi manfaat. Mahasiswa PLS telah dipersiapkan, namun tenaga mereka juga diserap oleh Dinas Instansi lain, terutama bagi yang memiliki Diklat Balai Latihan dan penyuluhan.
3. Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) perlu pembenahan, sebab kalau hanya sebagai tempat penampungan cenderung akan timbul keterlambatan untuk berpacu dan upayanya dalam pengentasan kemiskinan. Menurut U. Sihombing (2000) SKB hanya memiliki sejumlah papan nama kelompok belajar. Sehingga bila dicek di lapangan, ternyata kelompok belajar tersebut cenderung sudah bubar. Di sini ada dugaan ketidakmampuan para tenaga kita dalam menerapkan teori andragogy yang berbasis pada pendidikan orang dewasa, yang tidak dimiliki jurusan-jurusan lain.
Mengupas manajemen dan kebijakan dalam otonomi pendidikan untuk pemberdayaan masyarakat menurut Saiful Sagala (2000) ada dua saingan utama profesi kependidikan. Salah satu diantaranya orang luar (external) pendidikan yang menyatakan bahwa semua orang bisa mengajar (guru/pendidik) dan menduduki jabatan pendidikan, tetapi bagaimana menjadi guru yang baik dan memahami aspirasi pendidikan dalam jabatan, maka sampai saat ini belum ada yang menyatakan pendidikan berkualitas di Indonesia. Hal ini disebabkan latahnya dalam penempatan tenaga kerja kita, termasuk dalam menangani PLS yang belum efektif.
Bila kita menilik terhadap keterlibatan PLS dalam berbagai dinas/instansi di tanah air, maka hampir di seluruh instansi pemerintah maupun swasta pasti merasa memiliki ilmu ke-PLS-an ini. Sebab kalau kita mengkaji secara mendalam menurut Sarjan Kadir (1982) bahwa ada di beberapa negara termasuk Philipina menerapkan 4 jalur pendidikan, yakni Nonformal Education, Formal Education, Family Education dan Basic Education. Di Indonesia, dengan berlakunya Undang-Undang Pendidikan Nasional dewasa ini, menurut H. M. Norsanie Darlan (1998) bahwa pendidikan menerapkan 2 jalur saja, yakni pendidikan formal dan pendidikan luar sekolah.
Dari uraian di atas, kalau pendidikan formal berada di bangku sekolah sejak dari sekolah dasar sampai pendidikan tertinggi, maka hampir semua orang mencari kerja sudah menggunakan hal itu. Namun bila setiap instansi pemerintah maupun swasta yang ingin meningkatkan kualitas tenaga kerjanya dalam waktu relatif singkat, maka pendidikan luar sekolahlah jalur yang tepat. Dengan berpatokan undang-undang yang ada dan ingin meningkatkan keprofesionalan, maka tenaga kependidikan luar sekolah harus diberikan tempat untuk turut membenahi kelemahan kita bersama.
Salah satu contoh bila di dinas dan jawatan terdapat Diklat atau Balai Latihan Kerja, maka menilik UUPN no 2 tahun 1989 sebaiknya harus ada tenaga PLS yang turut menanganinya. Demikian juga pada penyuluhan, karena sedikit banyak telah ditanamkan dari berbagai teori andragogy selama di bangku kuliah. Di lembaga swasta sangat banyak corak dan ragamnya seperti kursus komputer, merias, menjahit dan bordir, berbagai keterampilan, serta kursus-kursus lainnya.
Dalam aspek sosial budaya masyarakat desa tertinggal masyarakat memiliki konsep budaya yang masih tinggi dan sebetulnya hanya sebagian kecil yang memiliki budaya tertutup. Konsep pembangunan yang ditawarkan termasuk pendidikan sudah mereka sadari dewasa ini. Pendidikan punya andil besar terhadap masa depan. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan, yakni faktor kesulitan biaya, jauhnya lokasi rumah, dan terbatasnya fasilitas belajar, serta belum banyak pendidikan yang ditawarkan memberikan motivasi mereka belajar. Salah satu strategi dan upaya penuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak usia sekolah, yang lokasi rumahnya jauh dari SLTP disediakan asrama siswa. Dalam penanganan pendidikan di Indonesia menurut Satrio Sumantri (2000) adalah sangat diperlukan adanya keterlibatan masyarakat dalam masalah pendidikan. Hal ini sesuai pula dengan GBHN di negeri kita tercinta ini.
Walau di berbagai daerah kondisi alam sangat menjanjikan terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat sekitarnya, namun mereka belum dapat menyelesaikan pendidikan formal sementara usia kerja sudah sampai. Untuk mengantisipasi itu, PLS Universitas Palangka Raya juga harus tanggap terhadap tantangan ini, agar warga masyarakat dapat diberikan bekal dalam menghadapi pasar kerja.
4. Simpulan
1. Dikmas Depdiknas baik di tingkat kecamatan, kabupaten maupun propinsi harus menyediakan lebih banyak tenaga-tenaga profesional dibidangnya seperti sarjana PLS dan Diploma. Sehingga salah satu upaya menuntaskan wajar Dikdas 9 tahun segera terwujud.
2. Dalam mendirikan SLTP-Terbuka, sebaiknya tidak satu tempat dengan lokasi paket B, karena programnya menjadi tumpang tindih. Kalaupun harus satu lokasi, perlu pemisahan yang jelas untuk SLTP-Terbuka bagi anak usia sekolah, dan bagi peserta paket B yang berusia 14 - 45 tahun. Dan bagi mereka yang belum tamat SD sebaiknya mengikuti program paket A fungsional. Atau pendidikan yang mampu mengantarkan kesejahteraan dia dan keluarganya.
3. Kelemahan kita selama ini yang sangat dirasakan pada ujung tombak Dikmas adalah tak mampu berperan banyak. Sebab dalam penempatan tenaga, cenderung merekrut para guru atau tenaga lain yang telah bertugas bertahan-tahun. Mereka di tempatkan untuk mendidik masyarakat pada bidang PLS. Padahal ia telah terbiasa (berpengalaman) melakukan pendidikan formal. Sehingga berhadapan dengan masyarakat, bukanlah teori andragogy yang ia berikan, melainkan cenderung paedagogy.
4. Salah satu strategi dan upaya penuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak usia sekolah, yang lokasi rumahnya jauh dari SLTP di sediakan Asrama Siswa.

Harian Kompas Jakarta


Falsafah "Huma Betang" Perlu Dilestarikan

  • Selasa, 6 Agustus 2013 | 20:38 WIB
Oleh Saidulkarnain Ishak
Budaya kehidupan suatu masyarakat berbeda-beda dan masing-masing memiliki nilai tambah, seperti falsafah "huma betang" (rumah besar) dalam kehidupan masyarakat suku Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah, perlu dilestarikan.
"Huma betang" merupakan salah satu falsafah yang dimiliki masyarakat Dayak Kalteng dengan konsep bebas terpimpin. Budaya huma betang diimplementasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk keluarga dekatnya.
Falsafah ini lahir untuk menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernilai kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang¿, kata Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Dr H Norsanie Darlan, MS PH.
Masyarakat suku Dayak yang memiliki budaya menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat juga punya kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang (rumah besar)¿, katanya.
"Dari keturunan leluhur kita, masyarakat Dayak yang punya konsep bebas terpimpin ini, menyatukan konsep di rumah betang untuk tidak ada terjadi perselisihan yang berarti," guru besar pendidikan luar sekolah (PLS) Unpar tersebut.
Norsanie Darlan mengatakan, ada ruang bebas yang merupakan sarana dalam mewujudkan pembangunan masyarakat merujuk pada budaya suku Dayak. Kearifan lokal seperti ini perlu mendapat perhatian bagi kelestariannya di masa mendatang.
"Dalam ruang publik yang bebas dan panjang itulah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi, wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran," ujarnya.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, justru ruang publik yang bebas tersebut diharapkan menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan.
Norsanie mengatakan, dengan menafsirkan ruang publik yang bebas dalam tatanan pembangunan masyarakat tersebut akan terjadi kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum.

Kebebasan yang kompak
"Bahkan, tingginya kekerabatan karena adanya rasa persaudaraan yang tinggi, tidak saling menyalahkan satu sama yang lain. Namun adanya kekompakan yang sulit diikuti oleh masyarakat lain terhadap budaya huma betang ini," tambahnya.
Masyarakat madani menurut Norsanie Darlan ditandai dengan berkembangnya suasana demokrasi yang bebas berpendapat dan bertindak, baik secara individual maupun kolektif diringi tanggung jawab.
Tanggung jawab dalam bertindak itu diperlukan, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial serta penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis, katanya.
"Masyarakat yang demokratis inilah yang harus ditiru oleh generasi penerus kita. Apakah dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi  saling tumpang tindih. Muncul pula budaya mereka yang saling menghormati sesama," katanya.
Dia menyatakan tidak pernah ada larangan untuk datang pada komunitas Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal sebelumnya. Jika komunitas luar yang ikut serta dalam upaya bercocok tanam, berladang, berkebun selalu dipersilakan selama tidak menyalahi tata aturan, tatanan budaya masyarakat setempat.
Guru besar yang sering tampil di seminar regional dan nasional itu mengatakan, toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di ¿huma Betang¿ ini, seperti perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik atau terhadap mereka yang ada di sekitar.
"Budaya yang sudah turun temurun yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan lain, dipersiapkan bahan berupa beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain," katanya.
Para penganut kepercayaan yang berbeda ini turut merasakan pula segala suka cita mereka dalam kebersamaan. Namun cara memasak dipersilakan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka.

Falsafah "huma betang"
Norsanie mengatakan, umumnya masyarakat Dayak yang penuh toleransi ini terjadi pergeseran dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir. Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi.
Sebagai contoh 20 tahun lalu, anak yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya sulit mencari rumah kost, yang banyak adalah anak dititip pada keluarga yang tinggal di Palangka Raya.
Apakah ia keluarga satu keturunan darah, ataukah hanya kenalan tetangga desa. Di sini toleransi yang sangat tinggi. Karena anak yang ikut tinggal di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa. Karena saling toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.
"Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. Di sinilah salah satu toleransi filosafi Huma Betang  kita," ujarnya.
Rumah kost mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain ke luar provinsi Kalteng, saat mereka melanjutkan pendidikan terutama kuliah. Mereka mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4-5 tahun ke depan.
Pada saat itulah masyarakat Kota Palangka Raya mulai mendirikan rumah kost untuk kaum pendatang sebagai salah satu wujud dari falsafah huma betang yang diimplementasikan dalam budaya masyarakat daerah tersebut.
Masyarakat Dayak sungguh memberikan kearifan yang sangat tinggi harganya. Tidak pernah ada perselisihan, yang berarti dalam kehidupan Huma Betang. Saling menghargai, menghormati dan saling tolong menolong tercipta sejak beberapa abad silam dan masih bisa dilihat hingga sekarang.
Falsafah huma betang dalam kehidupan masyarakat Kalteng betul-betul hidup bersama dalam suatu suasana harmonis manakala pendatang berpegang menganut budaya "di mana bumi di injak, di situ langit dijunjung".
Mencermati kehidupan yang konsisten pada kearifan lokal huma betang itu, agaknya tidak keliru manakala budaya yang berkembang dalam masyarakat di seluruh Provinsi di Indonesia, termasuk di Kalteng dipertahankan bagi kelanjutan pembangunan di masa mendatang.
Sumber : ANT
Editor : Jodhi Yudono

Koran Solo Post


BANJARMASIN– Wacana pemindahan ibu kota Republik Indonesia dari Daerah Khusus Istimewa (DKI) Jakarta mendapat perhatian dan tanggapan beragam dengan tinjauan dari berbagai aspek.
“Perhatian itu sebuah kewajaran. Karena wacana tersebut, bukan rahasia umum lagi,” ujar Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) H Riswandi di Banjarmasin, Rabu (23/7/2013).
“Apalagi kota metropolitan tersebut belakangan seakan sudah menjadi langganan banjir. Sementara pemerintah tampaknya masih kesulitan mencari solusi agar persoalan itu tidak lagi menghambat jalan roda pemerintahan,” katanya.
Menurut anggota DPRD Kalsel dua periode dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, pemindahan ibu kota RI bukan semudah membalik telapak tangan, namun bisa terwujud asalkan ada kesepahaman dan kajian lebih mendalam.
“Karena pemindahan ibu kota RI tidak hanya memerlukan pemikiran, melainkan dari segi biaya juga harus menunjang serta berbagai pertimbangan lain,” kata mantan pegawai Departemen Keuangan itu.
Menurut dia, memang sudah selayaknya ibu kota negara dipindah dari DKI. Kalimantan sangat siap dan merupakan kawasan strategis untuk menjadi tempat ibu kota RI.
“Pulau Kalimantan yang dianggap strategis untuk pemindahan ibu kota RI tersebut. Karena Pulau Borneo bila dilihat dari sisi bencana sangat kecil, seperti gempa dan banjir,” kata politisi PKS tersebut.
“Layak atau tidak layak, Kalimantan merupakan daerah yang sangat strategis. siap atau tidak siap, Kalimantan masih sangat luas untuk membangun pemerintahan RI,” demikian Riswandi.
Sementara itu, guru besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Dr HM Norsanie Darlan mengungkit kembali keinginan Presiden RI Soekarno yang mau menjadikan ibu kota Kalimantan Tengah sebagai ibu kota negara.
Presiden RI pertama melontarkan keinginannya itu pada tahun 1950-an saat peresmian kota Pahandut sebagai ibu kota Kalteng, yang belakangan ibu kota provinsi tersebut bernama Palangka Raya.
“Saya kira pemikiran Bung Karno itu cukup beralasan dan visioner, bukan cuma untuk sesaat atau jangka pendek, tapi jauh ke depan,” kata putra Indonesia kelahiran “Bumi Isen Mulang” Kalteng tersebut.
“Oleh karenanya pemikiran proklamator RI tersebut perlu menjadi perhatian bersama, guna masa depan bangsa dan negara yang sama-sama kita cintai,” demikian Norsanie Darlan.

Seminar Pendidikan:

Program Sertifikasi Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Profesionalisme Guru

Indonesia Bicara-Palangka Raya, 04 Juli 2012. Bertempat di Aula Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Palangka Raya berlangsung Seminar Pendidikan dengan tema “Program Sertifikasi Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Profesionalisme Guru”. Acara yang diselenggarakan oleh Nasyiatul Aisyiyah Wilayah Kalimantan Tengah menghadirkan 3 narasumber yaitu, Guru Besar Universitas Palangka Raya, Prof. Dr. H. M. Norsanie Darlan, MS PH , Anggota Komisi C DPRD Kalimantan Tengah, Ir. Arif Budyatmo, dan Pengurus Pusat Nasyiatul Aisyiyah, Siti Nazmiah Amal .
Dalam presentasi di depan sekitar 200 orang peserta seminar Norsanie Darlan mengatakan pembinaan profesionalisme guru memerlukan waktu yang sangat lama dan biaya yang mahal. Akan tetapi menurutnya semua guru tidak wajib sarjana, untuk tingkat Sekolah Dasar cukup tingkat diploma saja. Pendidikan di Indonesia harus maju dan konsep anggaran pendidikan sebesar 20 persen diharapkan berjalan lebih baik lagi.
Sementara Arif Budyatmo mengatakan sekolah gratis banyak disalahartikan oleh masyarakat. Tetap saja ada biaya yang harus dibayarkan oleh orang tua murid, sebab yang dibebaskan hanyalah uang sekolah. Untuk itu semua pihak yang peduli dengan kemajuan sekolah diminta ambil bagian. Dirinya mengakui peduli dengan nasib para guru dan akan selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan mendorong pembuatan peraturan
sesuai dengan keadaan di lapangan.
Selanjutnya Siti Nazmiah Amal mengapresiasi anggota Nasyiatul Aisyiyah yang mayoritas berprofesi sebagai guru dan dosen. Para guru diminta untuk meningkatkan kemampuan mereka dan sertifikasi profesi guru adalah cara untuk meningkatkan kemampuan tersebut. Akan tetapi, para guru jangan sampai berkurang semangat setelah mandapatkan sertifikasi profesi guru. Sebab banyak guru yang mengejar sertifikasi hanya untuk memperoleh tunjangan.
Acara seminar diakhiri dengan tanya jawab dari peserta untuk para narasumber tentang kualitas pendidikan sertifikasi guru, usulan jangka waktu pemakaian buku pelajaran lebih dari 1 tahun, tuntutan kepada para guru untuk bersikap profesional, dan etika para murid kepada guru.(FA)

Rabu, 21 Agustus 2013

Dosen PLS dari 35 Perguruan Tinggi Bertemu




08 Des 2012 08:50:30| Nasional | Penulis : Supervisor
Banjarmasin - Para dosen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) seluruh Indonesia melakukan pertemuan di Kota Malang, Jawa Timur, 7-9 Desember 2012, guna membahas berbagai hal pendidikan.
Seorang peserta yang juga Guru Besar PLS Universitas Palangkaraya (Unpar) Kalimantan Tengah, Prof Norsanie Darlan, menjelaskan hal tersebut melalui emailnya kepada ANTARA Banjarmasin, Sabtu.
Pertemuan ini bertujuan menyetarakan antara bidang pendidikan dan pelatihan serta pengalaman kerja, di berbagai sektor, ujarnya.
Pertemuan itu juga untuk membahas profesi Pendidikan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal (PTK-PNF) di tanah air.
Para dosen dan Guru Besar PLS yang tergabung pada jurusan/program studi PLS dari di kota Malang bertujuan untuk membahas atau mencari kesepakatan kerangka kualifikasi nasional Indonesia.
Turut hadir empat orang utusan dosen dari PLS Universitas Palangka Raya dipimpin oleh dirinya Prof Dr HM Norsanie Darlan, MS PH, yang sekaligus memaparkan makalah tentang "Peran Pendidikan Profesi Pendidik Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal di Indonesia."
Penyelenggara kegiatan ini adalah Universitas Negeri Malang yang akan bertemu dosen 18 perguruan tinggi negeri dan 17 perguruan tinggi swasta yang ada jurusan/program studi PLS.
Dan empat program magister PLS, tiga di Jawa dan satu di Universitas Palangka Raya.(*)

Antara News

Kalimantan Siap Jadi Ibu Kota RI



July, 24, 2013   
koranindonesia.com, BANJARMASIN — Peneliti dari Universitas Palangka Raya (Unpar)
Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH bersama tim menemukan keberadaan organisasi
kemasyarakatan Muhammadiyah di Provinsi Kalimantan Tengah sejak tahun 1937.
 Kamis (24/01) | 00:16 WIB

Banjarmasin, Wartakotalive.com
Wacana pemindahan ibu kota Republik Indonesia dari Daerah Khusus Istimewa (DKI) Jakarta mendapat perhatian dan tanggapan beragam dengan tinjauan dari berbagai aspek.
"Perhatian itu sebuah kewajaran. Karena wacana tersebut, bukan rahasia umum lagi," ujar Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) H Riswandi di Banjarmasin, sebagaimana dilansir Antara, Rabu.
"Apalagi `kota metropolitan` tersebut belakangan seakan sudah menjadi langganan banjir. Sementara pemerintah tampaknya masih kesulitan mencari solusi agar persoalan itu tidak lagi menghambat jalan roda pemerintahan," katanya.
Menurut anggota DPRD Kalsel dua periode dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, pemindahan ibu kota RI bukan semudah membalik telapak tangan, namun bisa terwujud asalkan ada kesepahaman dan kajian lebih mendalam lagi.
"Karena pemindahan ibu kota RI tidak hanya memerlukan pemikiran, melainkan dari segi biaya juga harus menunjang serta berbagai pertimbangan lain," kata mantan pegawai Departemen Keuangan itu.
Menurut dia, memang sudah selayaknya ibu kota negara dipindah dari DKI. Kalimantan sangat siap dan merupakan kawasan strategis untuk menjadi tempat ibu kota RI.
"Pulau Kalimantan yang dianggap strategis untuk pemindahan ibu kota RI tersebut. Karena Pulau Borneo bila dilihat dari sisi bencana sangat kecil, seperti gempa dan banjir," kata politisi PKS tersebut.
"Layak atau tidak layak, Kalimantan merupakan daerah yang sangat strategis. siap atau tidak siap, Kalimantan masih sangat luas untuk membangun pemerintahan RI," demikian Riswandi.
Sementara itu, guru besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Dr HM Norsanie Darlan mengungkit kembali keinginan Presiden RI Soekarno yang mau menjadikan ibu kota Kalimantan Tengah sebagai ibu kota negara.
Presiden RI pertama melontarkan keinginannya itu pada tahun 1950-an saat peresmian kota Pahandut sebagai ibu kota Kalteng, yang belakangan ibu kota provinsi tersebut bernama Palangka Raya.
"Saya kira pemikiran Bung Karno itu cukup beralasan dan visioner, bukan cuma untuk sesaat atau jangka pendek, tapi jauh ke depan," kata putra Indonesia kelahiran "Bumi Isen Mulang" Kalteng tersebut.
"Oleh karenanya pemikiran proklamator RI tersebut perlu menjadi perhatian bersama, guna masa depan bangsa dan negara yang sama-sama kita cintai," demikian Norsanie Darlan.

Pemerhati Pendidikan



Pemerintah Musti Perhatikan Rumah Guru SD

Tuesday, November 27, 2012 - 08:37
Wartawan: 
Aryeen
@IRNewscom | Banjarmasin: SEORANG pemerhati pendidikan, Prof Norsanie Darlan menilai sudah seharusnya pemerintah memberi perhatian terhadap para guru sekolah dasar di berbagai daerah terpencil dengan merehabilitasi rumah dinas mereka.
"Sejak tahun 70-an pemerintah membangunkan rumah dinas guru SD di pelbagai desa, tetapi kondisinya sekarang sangat memprihatinkan, maka sudah sewajarnya kalau direhabilitasi," kata Norsanie Darlan di Banjarmasin, Selasa (27/11).
Menurut guru besar pendidikan luar sekolah Universitas Palangkaraya (Unpar) tersebut perbaikan rumah guru untuk meningkatkan wibawa para guru itu sendiri khususnya para anak didik. Masalahnya, apabila para guru tersebut tinggal di rumah yang seperti gubuk, maka biasanya keberadaan para guru bisa dipandang 'sebelah mata' oleh penduduk setempat, sehingga wibawa para guru menjadi berkurang.
Padahal sosok guru sangat diperlukan oleh penduduk setempat, khususnya anak didik, agar anak didik bisa meniru dan patuh terhadap para guru tersebut.
Sebenarnya tingkat kesejahteraan guru di pedesaan, jauh lebih baik dari kebanyakan penduduk, hanya saja karena menempati rumah guru yang di bawah sederhana ini, membuat kaum guru dianggap rendah oleh masyarakat termasuk muridnya.
Karena guru mau menempati rumah dibawah sederhana itu, membuat murid yang taat dengan guru hanya di ruang belajar saja, karena mereka melihat rumah tinggal guru yang lebih baik rumah tinggal orang tua murid, membuat mereka melihat guru tidak punya kekayaan seperti orang tuanya.
"Walau jika kita pelajari penghasil guru lebih dari cukup, jika dibanding keadaan penduduk," katanya.
Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan sebenarnya guru yang masa kerjanya di atas 10 tahun, memiliki tingkat kesejahteraan jauh lebih tinggi dibanding rata-rata tingkat penghasilan penduduk se tempat.
Apa lagi dewasa ini dengan sertifikasi dan tunjangan daerah, membuat kaum guru punya penghasilan yang lebih.
Tetapi karena perumahan yang dibangun tidak banyak mendapat perbaikan, maka wibawa guru Jadi menurun.
"Pada tahun 1998 saat penelitian mengenai krisis moneter negeri inia, saya turun ke pesisir melihat apakah ada hubungan kerisis moneter berpengaruh terhadap kelangsungan pendidikan anak nelayan, ternyata dengan harga ikan naik, anak mereka dapat terus belajar," jelas Norsanie.
Sementara ditemukan seorang guru sudah 17 tahun bekerja di kawasan desa pantai, tidak pernah sebatang pohon kelapapun ia tanam, sebab ia berpikiran mungkin bulan depan pindah atau tahun depan pindah, sehingga tinggal di rumah guru selama itu atap rumah yang bocor saja tidak diperbaiki. [ant]

Naskah UN SD Diserahkan Provinsi



  • Selasa, 30 April 2013 01:33
  • Written by  Redaksi
Muhamad Nuh mengungkapkan Naskah UN diserahkan ke masing-masing Provinsi. (Foto: Rozali)

Redaksi

JAKARTA,Lampung.Terkini.co.id-Setelah pelajar SMA dan SMP melaksanakan Ujian Nasional (UN), kini giliran siswa Sekolah Dasar (SD) yang akan melaksanakan UN yang digelar pada 6-8 Mei 2013. Untuk UN ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh menjamin bisa dilaksanakan dengan lancar karena pengadaan soal ujian diserahkan pada masing-masing provinsi.
“Cek terakhir, sekarang sudah mulai bergerak distribusi ke kabupaten/kota. Pengadaan ada di provinsi masing-masing. Setiap provinsi buat tender sendiri. Moga-moga lancar,” ujar Nuh, Senin (29/4). Nuh mengatakan, berbeda dengan soal UN untuk SMA dan SMP yang memiliki 20 jenis soal yang berbeda, untuk siswa SD akan diberikan soal yang serupa dan sejenis.

Menurut Nuh, pengerjaan percetakan soal UN SD di provinsi dilakukan bukan hanya pada 2013 ini saja. “Mengawasi 30-an provinsi itu sulit.
Kita centralize. Bukan tahun ini saja, tapi tahun lalu juga. Hasilnya juga enggak apa-apa. Tahun lalu engak ada apa-apa,” terang Nuh. Untuk substansi soal UN SD dibuat oleh Pemerintah Pusat sebanyak 25 persen dan Pemerintah Daerah 75 persen.

Terpisah, Pengamat Sosial Kemasyarakatan dari Universitas Palangka Raya (Unpar), HM Norsanie Darlan berpendapat, Ujian Nasional (UN) tahun 2013 membuat siswa peserta UN stres. “Pasalnya UN terkesan menakutkan bagi siswa dan orang tuanya, sehingga perlu pemikiran mencari pemecahan yang dapat menguntungkan dan rasa toleransi terhadap anak didik tersebut,” kata Norsanie Darlan.

Selain itu, beberapa tempat di tanah air ujian tertunda sampai jam 14 pada hari yang sama. Bukankah hal ini tidak merugikan siswa, lanjut mantan aktivis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) tersebut. “Mengapa merugikan siswa, karena anak-anak dari rumah turun lebih awal, untuk mengikuti ujian yang direncanakan pukul 08-00 pagi. Jika ditunda hingga pukul 14.00, bagaimana makan siang mereka,” ujarnya.

Guru Besar pada perguruan tinggi negeri tertua dan terbesar di Kalteng itu meminta, jangan masalah ujian nasional dijadikan semakin tahun semakin diperberat, sehingga terkesan menakutkan, terlebih dengan pengawalan aparat kepolisian.

(Ant/Rozali)

Minggu, 18 Agustus 2013

berbagai komentar dari Prof. Norsanie Darlan


Sabtu, 26 Januari 2013 13:16:06 WIB
Pro dan kontra wacana pemindahan Ibu Kota Pemerintahan masih terus berlanjut. Bahkan makin santer terdengar manakala Jakarta dilanda banjir besar, baru-baru ini. Belum lagi persoalan lain yang sangat rumit, seperti macet dan masalah urbanisasi yang tak ada habisnya. Lantas apa keunggulan dari Kota Palangka Raya, sehingga ditimang-timang menjadi calon yang pantas untuk Ibu Kota? Berikut tulisannya yang disajikan secara bersambung. ---- PALANGKA RAYA berada pada pulau terbesar di tanah air. Posisi kota berada di tengah-tengah pulau, maka sudah pasti aman dari potensi tsunami. Apalagi selama berabad-abad, belum pernah ada gempa. Dalam sudut pandang ilmu pengetahuan, Kalimantan juga tidak mudah terkena gempa, kata pengamat sosial Prof HM Norsanie Darlan yang juga guru besar dari Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Universitas Palangka Raya (Unpar). Apalagi selama ini, Kota Palangka Raya relatif terbebas dari banjir, tidak seperti kejadian di ibu kota Jakarta yang terjadi belakangan. Jika jadi ibu kota negara RI di Palangka Raya tentu harus ditata dengan baik. Untuk penataannya akan mudah, karena lahan yang luas dan penduduk yang belum terlalu banyak, lanjutnya. Jika Kota Jakarta atau kota-kota lainnya dilakukan penataan, maka diyakini Norsanie pasti akan mengalami banyak kesulitan. Misalnya untuk pembebasan lahan, pasti dengan biaya dan resiko yang terlalu besar. Sedangkan di Palangka Raya tentu tidak akan menggusur penduduk seperti di kota lain. Apalagi jika pemerintah pusat memaksimalkan instansi terkait untuk mengembangkan infrastruktur, maka komunikasi dan transportasi dari kawasan barat ke timur akan mudah dijangkau. Karena kota ini ada di tengah-tengah negeri kita. Apalagi jika melirik sejarah di tahun 1957, Bung Karno (Presiden RI pertama) sudah bermimpi bahwa Palangka Raya mau dijadikan ibu kota negeri ini. Pada saat itu penataan kota telah mendatangkan tenaga ahli-ahli baik dari Universitas Gajah Mada (UGM) maupun Universitas Indonesia, sebutnya. Bahkan, sampai saat ini dikatakannya, setiap tamu yang datang telah memuji lebar jalanan yang telah direncanakan dan sebagian masih ada. Mungkin rasa bermimpi. Padahal tidak. Buktinya hanya ada dua ibu kota provinsi yang diberi nama Raya, yaitu Jakarta Raya, dan Palangka Raya. Tidak ada nama ibu kota provinsi yang ada mencantumkan Raya, kecuali kedua kota ini, katanya menegaskan. Pemisahan atau pemindahan ibu kota pemerintahan dengan ibu kota negara merupakan hal yang lazim. Sudah ada beberapa negara di dunia yang memisahkannya untuk memaksimal masing-masing fungsinya. Semula hanya satu kota, sekarang banyak dipisahkan yang dipisah menjadi dua. Saya melihat lebih banyak manfaat dari mudharatnya, ungkapnya. Yang tidak kalah penting, katanya, Ibu kota Jakarta sudah terlalu banyak penduduk, sehingga dengan adanya kepindahan Ibu Kota pemerintahan ke Palangka Raya, diharapkan secara perlahan-lahan para penduduk Jakarta dan Jawa umumnya akan bertransmigrasi juga ke Kalimantan, sehingga penduduk yang terlalu banyak di Pulau Jawa bisa dikurangi. Norsanie Darlan mengaku senang dan mendukung wacana yang berkembang terkiat pemindahan ibu kota pemerintahan. Meski diakuinya sebagian masyarakat ada yang merasa takut mendengarnya. Ketakutan itu adalah cukup beralasan. Karena di Jakarta mereka sudah memiliki rumah. Sedangkan ke Palangka Raya masih belum. Kalau pindah berarti harus mencari lagi, tentunya, lanjutnya dalam rilis kepada Kalteng Pos. Bahkan, ada beberapa pemikiran dari sejumlah kalangan yang masih kontra dengan wacana ini. Ada juga yang beranggapan bahwa kota Palangka Raya itu masih hutan. Seperti adanya sanggahan dari daerah tetangga (Pak Ali Banjarmasin) di TV-one 24 Januari 2013 jam 21.00, yang beranggapan bahwa Palangka Raya masih dalam banyak hutan. Padahal Palangka Raya sejak awal tahun 80-an hutan sudah dibabat habis oleh pengusaha perkayuan saat itu. Kalau kita berpikir dengan hati yang dingin dan jernih, ada beberapa hal yang sangat menguntungkan bagi kita semua, jika Palangka Raya dijadikan ibu kota pemerintahan negara RI, tukasnya. (nik)

Naskah UN SD Diserahkan Provinsi

Naskah UN SD Diserahkan Provinsi

  • Selasa, 30 April 2013 01:33
  • Written by  Redaksi
Muhamad Nuh mengungkapkan Naskah UN diserahkan ke masing-masing Provinsi. (Foto: Rozali)

Redaksi

JAKARTA,Lampung.Terkini.co.id-Setelah pelajar SMA dan SMP melaksanakan Ujian Nasional (UN), kini giliran siswa Sekolah Dasar (SD) yang akan melaksanakan UN yang digelar pada 6-8 Mei 2013. Untuk UN ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh menjamin bisa dilaksanakan dengan lancar karena pengadaan soal ujian diserahkan pada masing-masing provinsi.
“Cek terakhir, sekarang sudah mulai bergerak distribusi ke kabupaten/kota. Pengadaan ada di provinsi masing-masing. Setiap provinsi buat tender sendiri. Moga-moga lancar,” ujar Nuh, Senin (29/4). Nuh mengatakan, berbeda dengan soal UN untuk SMA dan SMP yang memiliki 20 jenis soal yang berbeda, untuk siswa SD akan diberikan soal yang serupa dan sejenis.

Menurut Nuh, pengerjaan percetakan soal UN SD di provinsi dilakukan bukan hanya pada 2013 ini saja. “Mengawasi 30-an provinsi itu sulit.
Kita centralize. Bukan tahun ini saja, tapi tahun lalu juga. Hasilnya juga enggak apa-apa. Tahun lalu engak ada apa-apa,” terang Nuh. Untuk substansi soal UN SD dibuat oleh Pemerintah Pusat sebanyak 25 persen dan Pemerintah Daerah 75 persen.

Terpisah, Pengamat Sosial Kemasyarakatan dari Universitas Palangka Raya (Unpar), HM Norsanie Darlan berpendapat, Ujian Nasional (UN) tahun 2013 membuat siswa peserta UN stres. “Pasalnya UN terkesan menakutkan bagi siswa dan orang tuanya, sehingga perlu pemikiran mencari pemecahan yang dapat menguntungkan dan rasa toleransi terhadap anak didik tersebut,” kata Norsanie Darlan.

Selain itu, beberapa tempat di tanah air ujian tertunda sampai jam 14 pada hari yang sama. Bukankah hal ini tidak merugikan siswa, lanjut mantan aktivis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) tersebut. “Mengapa merugikan siswa, karena anak-anak dari rumah turun lebih awal, untuk mengikuti ujian yang direncanakan pukul 08-00 pagi. Jika ditunda hingga pukul 14.00, bagaimana makan siang mereka,” ujarnya.

Guru Besar pada perguruan tinggi negeri tertua dan terbesar di Kalteng itu meminta, jangan masalah ujian nasional dijadikan semakin tahun semakin diperberat, sehingga terkesan menakutkan, terlebih dengan pengawalan aparat kepolisian.

(Ant/Rozali)

Pemerhati Pendidikan: Pemerintah Musti Perhatikan Rumah Guru SD

Tuesday, November 27, 2012 - 08:37
Wartawan: 
Aryeen
 
@IRNewscom | Banjarmasin: SEORANG pemerhati pendidikan, Prof Norsanie Darlan menilai sudah seharusnya pemerintah memberi perhatian terhadap para guru sekolah dasar di berbagai daerah terpencil dengan merehabilitasi rumah dinas mereka.
"Sejak tahun 70-an pemerintah membangunkan rumah dinas guru SD di pelbagai desa, tetapi kondisinya sekarang sangat memprihatinkan, maka sudah sewajarnya kalau direhabilitasi," kata Norsanie Darlan di Banjarmasin, Selasa (27/11).
Menurut guru besar pendidikan luar sekolah Universitas Palangkaraya (Unpar) tersebut perbaikan rumah guru untuk meningkatkan wibawa para guru itu sendiri khususnya para anak didik. Masalahnya, apabila para guru tersebut tinggal di rumah yang seperti gubuk, maka biasanya keberadaan para guru bisa dipandang 'sebelah mata' oleh penduduk setempat, sehingga wibawa para guru menjadi berkurang.
Padahal sosok guru sangat diperlukan oleh penduduk setempat, khususnya anak didik, agar anak didik bisa meniru dan patuh terhadap para guru tersebut.
Sebenarnya tingkat kesejahteraan guru di pedesaan, jauh lebih baik dari kebanyakan penduduk, hanya saja karena menempati rumah guru yang di bawah sederhana ini, membuat kaum guru dianggap rendah oleh masyarakat termasuk muridnya.
Karena guru mau menempati rumah dibawah sederhana itu, membuat murid yang taat dengan guru hanya di ruang belajar saja, karena mereka melihat rumah tinggal guru yang lebih baik rumah tinggal orang tua murid, membuat mereka melihat guru tidak punya kekayaan seperti orang tuanya.
"Walau jika kita pelajari penghasil guru lebih dari cukup, jika dibanding keadaan penduduk," katanya.
Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan sebenarnya guru yang masa kerjanya di atas 10 tahun, memiliki tingkat kesejahteraan jauh lebih tinggi dibanding rata-rata tingkat penghasilan penduduk se tempat.
Apa lagi dewasa ini dengan sertifikasi dan tunjangan daerah, membuat kaum guru punya penghasilan yang lebih.
Tetapi karena perumahan yang dibangun tidak banyak mendapat perbaikan, maka wibawa guru Jadi menurun.
"Pada tahun 1998 saat penelitian mengenai krisis moneter negeri inia, saya turun ke pesisir melihat apakah ada hubungan kerisis moneter berpengaruh terhadap kelangsungan pendidikan anak nelayan, ternyata dengan harga ikan naik, anak mereka dapat terus belajar," jelas Norsanie.
Sementara ditemukan seorang guru sudah 17 tahun bekerja di kawasan desa pantai, tidak pernah sebatang pohon kelapapun ia tanam, sebab ia berpikiran mungkin bulan depan pindah atau tahun depan pindah, sehingga tinggal di rumah guru selama itu atap rumah yang bocor saja tidak diperbaiki. [ant]

Koran Indonesia

Wednesday, July 24, 2013 Last Update: 11:30 PM WIB

Peneliti Temukan Keberadaan Muhammadiyah di Kalimantan Tengah Sejak 1937

Muhamad Nuh mengungkapkan Naskah UN diserahkan ke masing-masing Provinsi. (Foto: Rozali)July, 24, 2013   
koranindonesia.com, BANJARMASIN — Peneliti dari Universitas Palangka Raya (Unpar)
Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH bersama tim menemukan keberadaan organisasi
kemasyarakatan Muhammadiyah di Provinsi Kalimantan Tengah sejak tahun 1937.


Kalimantan Siap Jadi Ibu Kota RI?
Kamis (24/01) | 00:16 WIB
Banjarmasin, Wartakotalive.com
Wacana pemindahan ibu kota Republik Indonesia dari Daerah Khusus Istimewa (DKI) Jakarta mendapat perhatian dan tanggapan beragam dengan tinjauan dari berbagai aspek.
"Perhatian itu sebuah kewajaran. Karena wacana tersebut, bukan rahasia umum lagi," ujar Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) H Riswandi di Banjarmasin, sebagaimana dilansir Antara, Rabu.
"Apalagi `kota metropolitan` tersebut belakangan seakan sudah menjadi langganan banjir. Sementara pemerintah tampaknya masih kesulitan mencari solusi agar persoalan itu tidak lagi menghambat jalan roda pemerintahan," katanya.
Menurut anggota DPRD Kalsel dua periode dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, pemindahan ibu kota RI bukan semudah membalik telapak tangan, namun bisa terwujud asalkan ada kesepahaman dan kajian lebih mendalam lagi.
"Karena pemindahan ibu kota RI tidak hanya memerlukan pemikiran, melainkan dari segi biaya juga harus menunjang serta berbagai pertimbangan lain," kata mantan pegawai Departemen Keuangan itu.
Menurut dia, memang sudah selayaknya ibu kota negara dipindah dari DKI. Kalimantan sangat siap dan merupakan kawasan strategis untuk menjadi tempat ibu kota RI.
"Pulau Kalimantan yang dianggap strategis untuk pemindahan ibu kota RI tersebut. Karena Pulau Borneo bila dilihat dari sisi bencana sangat kecil, seperti gempa dan banjir," kata politisi PKS tersebut.
"Layak atau tidak layak, Kalimantan merupakan daerah yang sangat strategis. siap atau tidak siap, Kalimantan masih sangat luas untuk membangun pemerintahan RI," demikian Riswandi.
Sementara itu, guru besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Dr HM Norsanie Darlan mengungkit kembali keinginan Presiden RI Soekarno yang mau menjadikan ibu kota Kalimantan Tengah sebagai ibu kota negara.
Presiden RI pertama melontarkan keinginannya itu pada tahun 1950-an saat peresmian kota Pahandut sebagai ibu kota Kalteng, yang belakangan ibu kota provinsi tersebut bernama Palangka Raya.
"Saya kira pemikiran Bung Karno itu cukup beralasan dan visioner, bukan cuma untuk sesaat atau jangka pendek, tapi jauh ke depan," kata putra Indonesia kelahiran "Bumi Isen Mulang" Kalteng tersebut.
"Oleh karenanya pemikiran proklamator RI tersebut perlu menjadi perhatian bersama, guna masa depan bangsa dan negara yang sama-sama kita cintai," demikian Norsanie Darlan.