Jumat, 23 Mei 2014

APA PLS ITU



Fokus Pendidikan Non-Formal

Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan pendidikan non formal, karena jenis pendidikan ini merupakan tuntutan lapangan pekerjaan, ujarnya di Palangkaraya, Selasa (27/10). Selama ini pembinaan terhadap pendidikan nonformal seakan kurang dipedulikan, terbukti hampir tak ada anggaran yang disediakan untuk pendidikan nonformal tersebut, tambah Guru Besar Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Universitas Palangkaraya ini.
Padahal, lanjut Prof. Norsanie pendidikan nonformal belakangan sangat dibutuhkan masyarakat. Banyak lapangan pekerjaan, lanjut dia, yang mensyaratkan seorang pencari kerja mengantongi ijazah pendidikan nonformal.
Selain itu, pendidikan jenis ini pun biasanya lebih mengarah ke bidang keterampilan khusus sesuai kebutuhan lapangan pekerjaan, sehingga lulusannya banyak dicari ketimbang hanya memiliki ijazah pendidikan formal. Adapun jenis pendidikan nonformal yang dimaksudkannya itu misalnya Pendidikan dan Latihan (Diklat), lembaga-lembaga kursus, atau Balai Latihan Kerja (BLK), dan jenis lembaga pendidikan lainnya, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta.

Selasa, 20 Mei 2014

APA PAMOMG BELAJAR DALAM PLS

SIAPA PAMONG BELAJAR DAN APA TUPOKSINYA 

DI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

Oleh :
H.M.Norsanie Darlan
Pendahuluan
Kiprah pamong belajar dalam menjalankan tupoksinya pada Pendidikan Luar Sekolah ini, mengurai berbagai hal yang berkenaan dengan masalah pamong belajar baik di Kalimantan Tengah maupun di tanah air ini. Adalah sebuah hasil penelitian. Walau dalam segala keterbatasan yang ada. Dari hasil yang diperoleh, ada anggapan bahwa pamong belajar terlihat lebih santai dibanding tenaga guru. Padahal sama-sama tugas mengajar. Namun jika kita cermati ada beda yang sangat bermakna terhadap sasaran didiknya. Untuk guru di sekolah formal, mereka menerapkan teori-beori yang berkenaan dengan paedagogik. Sebaliknya para pamong belajar sulit kalau menerapkan teori itu, karena mereka adalah orang dewasa, tentu lebih mengutamakan teori andragogik. Atau dalam materi kuliah di PLS pendidikan orang dewasa (POD).
Pamong belajar di BP2NFI sangat terkait dengan tugas lebih dibanding mereka yang juga pamong belajar, tapi di sanggar kegiatan belajar (SKB). Karena pamong belajar di provinsi dan regional, harus berada setingkat lebih tinggi, karena harus ada upaya-upaya pengembangan bahan belajar. Pengembagan bahan belajar yang harusnya diterapkan, tentu melakukan berbagai eksperimen. Hasil eksperimen itu dapat dikembangkan di BP2PNFI dan di SKB.

Arti Kiprah
Mengenali terhadap arti dari kiprah PLS  sebenarnya “kiprah” menurut Norsanie Darlan (2010) adalah: “...suatu perbuatan baik secara perseorangan ataukah sekelompok orang dalam melakukan sebuah gerakan khususnya berupa pendidikan luar sekolah, baik dalam cara spontan dengan proses yang cepat  maupun secara perlahan...”. Namun kiprah dalam proses pendidikan luar sekolah ini, suatu kegiatan yang secara sadar berencana baik akan, sedang maupun telah dilakukan dalam proses pendidikan luar sekolah.

Arti Pamong Belajar
Arti pamong menurut Moeliono (1989; 640) adalah:”...ia sebagai pengasuh. Pamong juga sebagai pendidik (guru)...”. Pamong belajar menurut Norsanie Darlan (2008), Sadid, dkk (2008; 120), dan Filed,Under, (2010) adalah:”...tugas dan fungsinya melaksanakan kegiatan pembelajaran, pembinaan, bimbingan, pemantauan dan penilaian dalam rangka perbikan mutu...”. Dengan demikian pamong belajar merupakan guru nonformal  (tutor) bila di PKBM, yang bertugas pada bidang pendidikan non formal atau istilah lama pendidikan luar sekolah. Pamong belajar tempat ia menjalankan tugasnya pada lembaga penyelenggaran pendidikan non formal seperti pada: SKB, BPPNFI baik ditingkat Provinsi mapun di tingkat regional.

Arti Tupoksi
Memang ada yang mempertanyakan kepada penulis, apa itu tupoksi dalam judul buku ini. Penulis dalam mengartikan ”tupoksi” sebenarnya adalah: kepanjangan dari ”tugas  pokok” dari pamong belajar, yang tentu saja mereka bekerja sehari-hari dalam kegiatan pada tugas-tugas kepamongan-nya.

Jabatan Fungsional
Jika kita memperhatikan terhadap apa jabatan Fungsional Pamong Belajar dalam Peraturan Menpan RI (2010), ia termasuk dalam rumpun pendidikan lainnya. Maka secara jelas terurai dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan pamong Belajar berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang  belajar mengajar, pengkajian program, pengembangan model PNFI dan; (2) Pamong Belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jabatan karier yang hanya dapat diduduki oleh seseorang yang telah berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Tugas Pamong Belajar
Memperhatikan terhadap kegiatan pamong belajar di SKB menurut: Hapsari, (2008; 177) adalah:”...dituntut untuk bisa menyelenggarakan program  Pendidikan Non Formal secara kualitas secara panutan bagi lembaga penyelenggara pendidikan non formal dan informal...”.  Walau untuk diketahui bersama bahwa pamong belajar ada juga yang bertugas di BPKB atau BPPNFI di tingkat provinsi maupun  tingkat regional. Pamong Belajar di  SKB pada umumnya lebih mengedepankan tugas pokok dan fungsi lembaganya. Disisi lain menurut Moeliono, (1989; 964) adalah:”...sesuatu kewajiban yang harus dikerjakan...”. Apalagi pamong belajar sebagai pegawai negeri sipil yang menjalankan tugas pokoknya sebagai tenaga fungsional di SKB tentu saja ia harus menjalankan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya sebagai pamong belajar.

Tugas dan Fungsi
Bila memperhatikan terhadap SK mendiknas RI nomor 23/0/1997 bahwa tugas lembaga penyelenggaran pendidikan non formal SKB ini,  sebagai lembaga penyelenggara PLS atau PNFI ini,  adalah melakukan pembuatan percontohan dan pengendalian mutu program pendidikan non formal dan Informal. Sedangkan fungsi SKB ada 9 fungsi yang harus kita perhatikan adalah: (1) pembangkitan dan penumbuhan kemauan belajar masyarakat dalam rangka terciptanya masyarakat gemar belajar; (2) pemberian motivasi dan pembinaan masyarakat agar mau dan mampu menjadi pendidik dalam melakukan azas saling membelajarkan; (3) pemberian pelayanan informal kegiatan pendidikan non formal dan informal; (4) pembuatan percontohan berbagai program dan pengendalian mutu pelaksanaan program pendidikan non formal dan informal; (5) penyusunan dan pengadaan muatan lokal; (6) penyediaan sarana dan fasilitas belajar belajar; (7) pengintegrasian dan pengsingkronisasian kegiatan sektoral dalam bidang pendidikan non formal dan informal; (8) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga pelaksana pendidikan non formal dan informal; dan (9) pengelolaan urusan tata usaha sanggar.

Melirik Tugas Pokok
Bila memperhatikan terhadap tugas pokok pamong belajar, maka tidak akan lepas pada pasal 4 butir 1 dan 2 sebagai berikut:
(1) Tugas pokok Pamong Belajar adalah melaksanakan kegiatan belajar mengajar, mengkaji program, dan mengembangkan model di bidang PNFI/PLS.
(2)  Beban kerja Pamong Belajar untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar, mengkaji program, dan mengembangkan model di bidang PNFI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam dalam 1 (satu) minggu.

Mutu Pamong Belajar
Dalam upaya peningkatan mutu tenaga pamong belajar, secara jelas tertuang dalam Peraturan Menpan nomor 15 tahun 2010 pasal 14. Pengembangan model adalah upaya penemuan sesuatu yang baru (adaptif dan inovatif) menurut kaidah dan metode ilmiah tertentu sehingga melahirkan formulasi yang dikehendaki.
Pada pasal 15 Pengembangan profesi adalah kegiatan pamong belajar dalam rangka pengamalan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan untuk peningkatan mutu pendidikan pada umumnya dan mutu pembelajaran /pelatihan/ pembimbingan pada khususnya serta pengembangan profesionalitas pamong belajar.
Pasal 16 Angka kredit adalah satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan/atau akumulasinilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh Pamong Belajar dalam rangka pembinaan karier kepangkatan dan jabatannya. 
Pasal 17 Tim Penilai Angka Kredit adalah tim penilai yang dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan bertugas menilai prestasi kerja Pamong Belajar.
Selain hal-hal di atas, juga tugas pamong belajar seperti:  Pengkajian program di BP2PNFI adalah proses kegiatan pengumpulan dan penelaahan data yang berkaitan dengan pelaksanaan program PNFI yang dilakukan secara berencana dan sistematis dengan mengunakan alat dan metode ilmiah tertentu untuk menilai tingkat keberhasilan atau pencapaian tujuan program.

Jabatan, Kedudukan, dan Tugas Pokok
Untuk mengkaji terhadap jabatan pamong belajar terurai dalam pasal 2, Jabatan Fungsional Pamong Belajar termasuk dalam rumpun pendidikan lainnya. Kemudian dalam pasal 3 yaitu:
(1) Pamong Belajar berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang belajar  mengajar, pengkajian program, pengembangan model PNFI.
(2) Pamong Belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jabatan karier yang hanya dapat diduduki oleh seseorang yang telah berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Formasi Pamong Belajar
Dalam formasil pamong belajar secara jelas terurai dalam Pasal 26 dengan rincian sebagai berikut:  (2) Formasi jabatan Pamong Belajar sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. Formasi jabatan Pamong Belajar pada UPTD/SKB atau sebutan lain yang
    sejenis paling banyak 35 orang;
b. Formasi jabatan Pamong Belajar pada UPTD/BPKB atau sebutan lain
    yang sejenis paling banyak 50 orang;
c. Formasi jabatan Pamong Belajar pada UPT/BPPNFI paling banyak 70 org;
d. Formasi jabatan Pamong Belajar pada UPT/P2PNFI paling banyak 100 org.

Sejarah Pendidikan Nonformal di Indonesia
Melirik sejarah pendidikan bahwa pendidikan nonformal ini lebih muda dari pendidikan informal, tapi lebih tua dari pendidikan formal.  dizaman penjajahan Belanda, pendidikan nonformal ini, dilakukan karena pihak pemerintah Belanda membutuhkan tenaga kerja untuk pembangunan gedung perkantoran, rumah-rumah pejabat Belanda dan pembangunan gereja. Mulai saat itulah kursus-kursus pertukangan dilaksanakan oleh pemerintah Belanda kepada masyarakat pribumi. Dan saat itu pula, lahirnya pendidikan nonformal di tanah air.
Dipihak lain pendidikan nonformal juga muncul juga di pesantren-pesantren, yang lebih tua/lebih dahulu dari kursus pertukangan di atas. Karena para santri belajar membaca dan menulis baik huruf arab  maupun latin.

Awalnya Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal yang kongkretnya, diawali sejak pemerintah penjajah Belanda berkeinginan melakukan sesuatu pembangunan. Maka para pemuda terampil mereka di daftar untuk mengikuti kursus tertentu ke tempat yang ditentukan. Misal pihak pemerintah Belanda berkeinginan mendirikan Gedung Pemerintahan di kota-kota besar di Indonesia. Maka mereka kursus para pemuda dalam dunia pertukangan dalam kurun waktu tertentu. Tapi kalau kursus baca tulis lebih dahulu di adakan oleh persantren. Setelah anggaran dari negeri Belanda datang, maka tenaga kerja yang telah selesai dilatih tersebut mengerjakan Bangunan Gedung Kantor Pemerintah Belanda. Sehingga bila kita masih ingat di awal tahun 60-an masih berdiri gedung-gedung pemerintah Belanda baik di Provinsi maupun Kabupaten, bahkan sampai tahun-tahun pertengan 70-an. Hanya saja typenya yang berbeda. Makin besar jumlah penduduk maka makin besar pula gedung yang didirikan.
Contoh lain yang masih sebagian ada menjadi munomen seperti: Gereja, di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Makassar dan kota-kota lainnya. Bentuknya hampir sama, Cuma besarnya yang berbeda.
Dalam masa kemerdekaan sekarang ini, penulis mencoba memberikan contoh masa orde baru. Yakni Masjid dari: Yayasan Amal Bakti Muslim Indonesia. Hampir di semua kota Kabupaten ada, tinggal typenya yang berbeda. Penulis saat menulis edisi ini, dalam masa reformasi belum melihat secara jelas apa peninggalan untuk masa depan kita di negeri tercinta ini. Walau dalam masa reformasi banyak protes karena kebebasan yang sudah memuncak, belum banyak hasil-hasil yang diprotes menemukan titik yang dinantikan oleh banyak orang. PLS bicara dalam hal Fasilitas belajar, tenaga pengajar (tutor), Warga Belajar (WB) masih belum selengkap mereka yang berada dalam pendidikan formal.  Sedangkan   yang memonitor segala kegiatan berdasarkan walayah kerjanya adalah: penilik (pengawas pada pendidikan formal).     

Ciri PNF atau PLS
Banyak pendapat yang beragam tentang ciri pendidikan nonformal atau PLS penulis menetapkan yang paling sederhana, ada 4 macam ciri yang mudah dipahami, masing-masing:
(1)    waktunya pendek;
(2)    jenis pendidikannya beragam;
(3)    usia pesertanya tidak harus sama;
(4)    waktunya penyesuaikan.

Pendidikan NonFormal
Sebetulnya Jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor: 20 tahun 2003 disebutkan secara jelas diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Selain itu, pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Dalam pendidikan nonformal ini, peran pamong belajar sangat dinantikan. Bagi pamong yang kreativitasnya tinggi dan dapat memanfaatkan hal itu, menjadi sumber belajar masyarakat.
Dalam Peraturan MENPAN RI Nomor: 15 Tahun 2010 secara jelas tertuang dalam pasal 3. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran/pelatihan /pembimbingan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sedangkan dalam pasal 4 Pendidikan nonformal (PNF) adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal (PLS) yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

2 macam Pendidikan nonformal atau PLS
Berdasarkan perkembangan zaman, ada 2 pendidikan nonformal yang harus dicermati. Ke 2 hal tersebut adalah: (1) Pendidikan nonformal atau PLS yang formal ini, ada di perguruan tinggi. Karena waktu pendidikannya antara 3,5 – 5 tahun dengan gelar (S-1). Ada pula Program Magister (S-2) dan Doktor  S-3); dan (2) Ada pula pendidikan nonformal dan lembaga pelatihan serta kursus-kursus yang jangka waktunya, pendek dan non gelar. Seperti dalam uraian di atas. Khusus untuk PLS formal mahasiswa dididik dalam pendidikan secara formal, namun kacamatanya ke luar sekolah. Artinya mahasiswa PLS. Dididik  selama perkuliahan untuk mahasiswa bisa dan punya keahlian dalam pendidikan luar sekolah. Walau sesederhana mungkin.

Memperhatikan Peraturan Pemerintah
Dalam Peraturan Pemernitah (PP) yang dikeluarkan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Berokrasi No 15 Tahun 2010 Tentang Jabatan Fungsional Pamong Relajar dan Angka Kreditnya. Secara jelas terurai pada:
Pasal 1 Jabatan Fungsional Pamong Belajar adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melakukan kegiatan belajar mengajar, pengkajian program, dan pengembangan model Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) pada Unit Pelaksana Teknis (UPT)/Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dan satuan PNFI sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 2 Pamong Belajar adalah pendidik dengan tugas utama melakukan kegiatan belajar mengajar, pengkajian program, dan pengembangan model Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) pada Unit Pelaksana Teknis (UPT)/Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dan satuan PNFI. 

Implementasi Pendidikan Nonformal
Bila memperhatikan Implementasi Pendidikan Nonformal sebenarnya pelaksanaannya jauh lebih rumit dari pendidikan formal. Karena tutor (dalam pendidikan formal guru), harus mencari sendiri warga belajarnya atau WB (dalam pendidikan formal murid) di nonformal, tempat belajarnya karena tidak tersedia seperti di pendidikan formal “gedung  sekolah”, maka di pendidikan nonformal harus bisa memanfaatkan, seperti: balai desa, rumah penduduk atau di mana saja, berdasarkan kesepakatan bersama antara tutor dengan wb. Masih bagus nasibnya mereka masa sekarang. Dewasa ini ada pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), lembaga-lembaga kursus sudah banyak memiliki gedung / tempat belajarnya. Demikian juga tentang waktu, harus berdasarkan kesepakatan. Apakah sore hari, malam hari atau hari-hari yang ditentukan. Namun tujuannya materi belajar harus tercapai.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya materi belajar yang diberikan, tidak mesti ada di toko buku. Beda dengan guru di sekolah formal, buku materi belajar telah tersedia di toko buku. Oleh sebab itu, tutor harus bisa merancang bangun dan rekayasa materi belajar WB-nya.    Keterampilan ini, sangat dinantikan oleh seorang tutor.

Sasaran Awal PNF atau PLS
Sasaran awal dari pendidikan nonformal atau PLS ini, semula hanya sekedar upaya kemanusiaan, merasa masih banyak warga negara kita, yang belum tuntas wajib belajar mereka. Bahkan di sana-sini ditemukan warga masyarakat yang buta huruf murni. Sehingga warga negara kita yang sadar, terhadap nasib bangsanya bagaimana mereka yang masih tuna aksara dan belum tertangani oleh pemerintah. Padahal dalam pembukaan UUD’45 secara jelas tercantum upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.  Maka  dibentuklah kelompok belajar (kejar) apakah untuk pemberantasan buta huruf (paket A) setingkat sekolah dasar. Agar mereka yang tuna aksara di mana-mana itu, bisa belajar membaca, menulis dan berhitung (calistung) agar tidak mudah diperdayakan orang. Masa lalu muncul buku yang dicetak pemerintah berupa paket A-1 sampai dengan A-100  tempoe doeloe.
Setelah paket A setara sekolah dasar berhasil tidak hanya sekedar warga belajar(wb-nya) sudah dapat membaca menulis dan berhitung (calistung), maka pemerintah meningkatkan pada Paket B setara SLTP, dan juga Paket C setara dengan SLTA.
Sejarah hidup sejumlah orang yang ikut paket C setara SLTA ini, ternyata banyak alumnusnya yang jadi anggota DPR/DPRD. Karena syarat pendidikan terendah adalah SLTA. Bagi karyawan yang bekerja hanya memiliki ijazah SLTP dan ikut paket C bisa menyesuaikan ijazahnya dari golongan I menjadi golongan II. Peristiwa lain, sudah ada beberapa orang yang mencalonkan diri jadi bupati, dengan menggunakan ijazah paket C bisa menjadi bupati di daerahnya.
Selama ini sudah banyak lulusan kejar paket C yang dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, terlebih bagi perguruan tinggi yang memiliki jurusan/program studi PLS. Dengan demikian apa yang diisyaratkan oleh Undang-Undang di atas bahwa: Pendidikan nonformal adalah pendidikan diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat sudah terjawab.

Realita Pendidikan Norformal atau PLS
Dalam kenyataan yang ada sekarang ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah atau sekarang atau beralih nama dengan dengan Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Informal (PAUDNI) maka secara realita pendidikan infomral sampai saat ia masuk pada Dirjen PLS. Sehingga pendidikan informal menggabung pada pendidikan nonformal. Secara konkrit diantaranya pendidikan informal masuk ke Dirjen PLS ini, adalah pendidikan anak usia dini. Namun kritik tajam dari para tokoh PLS di perguruan tinggi, masuknya PAUD meraja lela. Sepertinya menghapus kehidupan PLS sejak lahirnya Dirjen ini, kok dengan mudah dihapus begitu saja. Padahal perubahan ini tidak ada sebutan dalam Undang-Undang.
 Dalam Pasal 6 Peraturan Menpan nomor: 15/2010. ada 6  Unsur dan sub unsur kegiatan Pamong Belajar yang dapat dinilai angka kreditnya,  terdiri dari:
a. Pendidikan, meliputi:
1. Pendidikan sekolah dan memperoleh ijazah/gelar;
2.Pendidikan dan pelatihan (diklat) kedinasan, kursus dengan memperoleh sertifikat atau Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Latihan (STTPL) atau sertifikat; dan
3. Diklat prajabatan dan memperoleh STTPL atau sertifikat.

b. Kegiatan belajar mengajar, meliputi:
1. Perencanaan pembelajaran/pelatihan/pembimbingan;
2. Pelaksanaan pembelajaran/pelatihan/pembimbingan; dan
3. Penilaian hasil pembelajaran/pelatihan/ pembimbingan.

c. Kegiatan pengkajian program PNFI, meliputi:
1. Persiapan pengkajian program; dan
2. Pelaksanaan pengkajian program.

d. Kegiatan pengembangan model PNFI, meliputi:
1. Penyusunan rancangan pengembangan; dan
2. Pelaksanaan pengembangan.

e. Pengembangan profesi Pamong Belajar, meliputi :
1. Pembuatan karya tulis/ilmiah di bidang PNFI;
2. Pengembangan sarana pendidikan nonformal dan informal;
3. Pengembangan karya teknologi tepat guna, seni, dan olahraga yang
    bermanfaat di bidang PNF; dan
4. Penyusunan standar/pedoman/soal dan sejenisnya.

f. Penunjang tugas Pamong Belajar, meliputi:
1. Pengabdian pada masyarakat/kegiatan sosial kemasyarakatan;  
2. Peran serta dalam seminar/lokakarya di bidang pendidikan;
3. Berprestasi dalam bidang pendidikan;
4. Perolehan penghargaan/tanda jasa/tanda kehormatan/satya
    Lancana karya satya;
5. Perolehan ijazah/gelar kesarjanaan lainnya; dan
6. Berperan aktif dalam penerbitan jurnal/majalah di bidang pendidikan
    formal dan informal.

       Mengembangkan Materi Belajar
Pamong belajar yang kreatif, setiap tahun ia harus punya materi unggulan dalam pengembangan yang dijadikan eksperimennya. Dalam melakukan eksperimental tersebut, sebaiknya disediakan anggaran untuk pengembangan. Hal ini suatu kelebihan dibanding dengan pamong belajar yang bertugas di SKB.
Materi-materi yang perl dikembangkan sebaiknya sebelumnya menyusun proposal yang diseminarkan untuk mendapatkan masukan dalam ujicoba pengembangan itu. Setelah dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dilakukan maka dilakukan lagi seminar ke 2 tentang hasil pengembangan. Sehingga out camenya dapat atau tidak di terapkan di kabupaten/kota atau di BP2PNFI itu sendiri.
Secara sederhana sebuah eksperimen yang dilakukan dalam program pengembangan tertentu sebagai berikut:
Dari konsep di atas, berupa input seperti nomor urut Pertama: merupakan rencana tujuan yang bakal dicapai dalam sebuah program pengembangan pendidikan luar sekolah. Sehingga rencana di tujuan ini, harus dapat dibuktikan hasilnya.
Konsep nomor urut Ke duapelaksanaan / implementasi atau istilah lain proses program pengembangan pendidikan luar sekolah. Apakah program ini dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana harus sesuai tujuan. Perlu pula dikaji terhadap dorongan dan kendala yang timbul selama proses pelaksanaan ini berjalan.
Konsep nomor urut Ke tiga: di atas, hasil yang telah dicapai. Adapun hasil yang telah dicapai apakah terjadi kecocokan dengan  rencana di tujuan bakal dicapai dalam proposal sebuah program pengembangan pendidikan luar sekolah, kalau dicapai bagaimana kalau tidak juga bagaimana disertai dengan faktor pendukung dan hambatan, yang ditemui selama dalam proses. Biasanya dalam hasil yang diperoleh tidak sampai di situ. Tapi perlu dilanjutkan dengan cara apakah dikembangkan dalam hal yang sama ataukah ke tempat lain.
Sedangkan nomor urut Ke empat: adalah out came. Dari hasil yang diperoleh dapat dikembangkan di mana-mana. Dan disini biasa sering terjadi beda konsep antara kelompok teknokrat dengan berokrat, dalam hal anggaran. Dalam out come ini, bisa berkembang ke mana-mana sesuai hasil uji coba yang dilakukan, seperti pada urut ke tiga. Namun kalau hanya dibatasi anggaran sampai pada hasil, pihak teknokrat tidak dapat mencobakan ekperimentkannya. Biasanya di sini terdapat kendala untuk pengembangan program. Sehingga hasil yang dilaporkan belum kuat dijadikan jaminan dalam menentukan kebijakan ilmiah. Tapi bagi berokrat, dengan berbagai alasan hal itu sampai tahap ke tiga sudahlah. Karena mereka cukup eralasan, anggaran pemerintah hanya 1 tahun anggaran. Ini sebaiknya pihak tertentu harus dapat memfasilitasinya.

       Keluhan seorang Pamong
Memang tidak semua pamong belajar yang bekerja di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), puas di tempat kerjanya. Dalam perjalanan keliling yang terkadang hanya spontasitas penulis dari SKB ke SKB dari PKBM ke PKBM dan dari Kelompok Belajar ke Kelompok Belajar. Sungguh memilukan, seorang pamong belajar yang ternyata mutasi dari sekolah formal dengan tugas guru, tertarik melihat kehidupan pamong belajar sepertinya santai. Tapi ternyata ada yang harus dipacu. Kalau tidak dengan disadarinya pekerjaan sebagai pamong belajar harus mengetahui persis bagai mana pendidikan orang dewasa (POD).
Penulis mengamati secara retrospektif apa sebab ia mutasi ke pamong belajar. Dan setelah menjadi pamong balajar apa yang ia lakukan. Ternyata pekerjaan pamong belajar itu sebetulnya tidaklah mudah. Sebab proses belajar mengajar dalam PLS itu, jauh lebih berat dibading bekerja sebagai guru formal. Sebab penulis memberikan sejumlah perbeda dan kesamaan. Misalnya sebagai guru, mengajar sudah ada muridnya, materi belajar sudah disiapkan di sekolah, atau di toko buku. Sebagai guru sudah di gaji tetap dalam setiap bulan. Ruang belajar tersedia, demikian juga meja kursi dengan fasilitas sekolah. Sekarang bagaimana sebagai seorang pamong belajar, mengajar muridnya di cari oleh pamong belajar atau tutor, materi belajar harus disiapkan oleh pamong belajar atau tutor, atau bahan belajar, belum tentu tersedia di toko buku. Sebagai pamong belajar ataupun juga tutor tidak digaji secara jelas (pamong PNS). Ruang belajar belum tersedia sehingga mencari tempat bersama warga belajar. Apakah di balai desa, rumah penduduk, demikian juga meja kursi tidak tersedia.
Dengan demikian, pamong belajar ternyata mengeluh, dalam mencari warga belajar sulit. Sementara tempat belajar yang direncanakan belum tentu sepakat dengan warga belajarnya. Apa lagi upaya untuk naik pangkat. Karena dengan proses belajar yang tidak dapat dilaksanakan seperti halnya di sekolah formal. Akibatnya kenaikan pangkat yang bersangkutan tertunda-tunda.
Sebagai pamong belajar yang bertugas di BP2PNFI baik di provinsi maupun regional. Tentu harus bisa merancang bangun dan rekaraya bahan belajar belajarnya. Setelah eksperiment selesai, pamong belajar menerapkan di SBK-SKB tertentu, agar kulialitas pamong belajar dapat menjadi cerminan di daerah itu.
Dengan memperhatikan seperti apa yang telah diuraikan di atas, maka upaya peningkatan mutu tenaga pamong belajar, secara jelas tertuang dalam Peraturan Menpan nomor 15 tahun 2010 pasal 14. tentang Pengembangan model adalah upaya penemuan sesuatu yang baru (adaptif dan inovatif) menurut kaidah dan metode ilmiah tertentu sehingga melahirkan formulasi yang dikehendaki.

PLS Ditinggalkan
Sungguh menyedihkan, dan dirasa perlu perhatian ke masa depan. Kalau Bidang Pendidikan Nonformal dan Informal, baik tingkat  provinsi maupun kabupaten/kota menjauhi terhadap jurusan/program studi PLS apakah  pada S1 ataupun Program Magister (S-2) PLS di Pascasarjana Universitas  Palangka Raya, tentu akan menjadikan ketidak harmonisan. Karena program dari pusat yakni: Dirjen PAUDNI Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, berkali-kali berubah. Sepertinya tidak ada pendirian.
Ada cemoohan mahasiswa-mahasiswa kami, kenapa bidang PLS tidak diduki oleh orang yang betul-betul sarjana PLS. Anggapan mereka jika orang-orang yang bekerja dibidang PAUDNI ditempatkan mereka yang cocok kesarjaannya (PLS), dan bukan asal pasang kesarjanaan itu, maka perkembangan PAUDNI di Provinsi dan Kabupaten/Kota tentu jauh lebih baik dari masa sekarang. PAUDNI sebenarnya adalah pekerjaan teknis, dan beda sekali dengan bidang lain. Bidang PAUDNI ini,  tidak semua orang tahu apa underdil PLS itu secara mudah. Jika di tempatkan orang-orang yang bukan ahlinya betul-betul PLS, dan tidak semata-mata mencari jabatan belaka, maka tunggu kehancurannya.
Perubahan nama sekarang sudah pertanda PLS bakal ditinggalkan. Karena kelompok yang kurang setuju dengan PLS lebih mudah melepas profesi PLS dari Dirjen ini. Ini sebuah wahana buruk bagi masa depan PLS. Sebab yang jelas-jelas nama Jurusan/Prodi PLS sudah tidak mereka kenal di mana saja ada PLS itu. Apa lagi kalau Dirjen PLS diberi nama Dirjen PAUDNI. Secara jelas tidak ada hubungan antara Jurusan/Prodi PLS dengan PAUDNI. Penulis mengusulkan agar kembalilah nama PLS tercantum pada Dirjen ini. Karena nama baru ini mengaburkan PLS. Kalau tidak, PLS  harus berputar haluan. Selain nama Dirjen istilah bahasa asing dalam UUSPN nomor 20/2003  tidak perlu lagi dipakai seperti sekarang PNFI. Kayanya hebat benar bahasa asing. Padahal Dirjen lain tidak, dan bahasa Indonesia sudah ada. Tentang arti pendidikan nonformal itu.
Memurut Darlan (2010) bahwa:”...Kalau kita mengkaji secara cermat, berubahnya Dirjen PLS menjadi Dirjen PAUDNI ini, ada yang perlu dipertanyakan...”. Kenapa perubahan nama Dirjen ini sepertinya secepat kilat demikian, menjadi Dirjen PAUDNI. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 20/2003 tidak disebut Dirjen PAUDNI. Sehingga bisa menimbulkan masalah baru dalam Dirjen pendidikan luar sekolah yang selalu berubah-ubah itu, mau diapakan.

Daftar Pustaka

Darlan, H.M.Norsanie, 2008. Pamong Belajar Sebagai Salah Satu Upaya Meningkatkan Kualitas Pendidikan NonFormal di SKB Kuala Kapuas, Palangka Raya.
------------, 2010, Membangun Sinergi  Lintas Sektoral Menciptakan  Masyarakat
               Gemar Belajar, Makalah Seminar Temu Alumnus PLS Universitas
               Negeri Malang (UNM) Jawa Timur, 14 Juni 2010, Malang.
------------,2011. Evaluasi  Program Paud  BPPNFI  Regional VI  Kalimantan, Banjarmasin.
Hapsari, 2008. menyelenggarakan program  Pendidikan Non Formal dan informal, Jakarta.
------------, 2010. Kiplarah PLS Dalam Pemberdayaan 
Masyarakat Kawasan Desa Tertinggal (Antara Harapan dan Kenyataan), Sekolah Pascasarjana UPI, Bandung.
PP nomor 15. 2010.  Kementrian Negara  Pendayagunaan  Aparatur Negara dan Reformasi Berokrasi, tentang: Jaabatan Fungsional  Pamong Relajar Dan Angka  Kredinya, Jakarta.
Tim Akar Media 2003. Desa adalah sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan kampung di luar kota, dusun, Jakarta.
Under, Filed, 2010. Revisi Jabatan Fungsional dan Angka Kreditnya, PTK-PNF, Jakarta.
 

Senin, 19 Mei 2014

Siapa sebetulnya GURU nonformal




PERAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN (Tutor)



PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MENUNTASKAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN BAGI MASYARAKAT 

DESA TERTINGGAL




Oleh:
H.M.Norsanie Darlan
A. PENDAHULUAN
Dalam pembangunan sekarang, masih ditemukan berbagai kesenjangan di masyarakat. Yang antara lain disebabkan oleh faktor kondisi geografis ataupun sosial budaya, sehingga dapat menyebabkan ketertinggalan dalam berbagai hal. Salah satu di antaranya yang kita bahas sekarang ialah ketertinggalan masalah pendidikan jalur luar sekolah yang bila tidak segera diatasi, ketertinggalan di bidang pendidikan tetap selalu muncul. Namun, dalam postulat yang ada bagi masyarakat desa tertinggal selama ini, belum dirasakan rendahnya pendidikan dapat berakibat suramnya masa depan mereka. Dengan demikian, tanpa peningkatan pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah maka kualitas SDM kita tidak akan meningkat.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (1) dan (2) serta Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, secara tegas telah diatur oleh pemerintah tentang jenis dan jalur pendidikan. Lebih lanjut dalam pasal 10 ayat (3) Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah, melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. Dengan demikian, kita semua perlu dan terpanggil untuk turut melaksanakan amanat tersebut. Strategi menuntaskan wajib belajar 9 tahun bagi masyarakat desa tertinggal, perlu kita kaji permasalahannya dan dicari berbagai jalan penuntasannya.
Konsep pembangunan di bidang pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan bangsa dan kualitas sumber daya manusia (SDM), mengembangkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, budi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keahlian dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, serta kepribadian yang mantap dan mandiri. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan, wawasan keunggulan, kesetia-kawanan sosial, dan kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berorientasi masa depan. Pendidikan nasional perlu ditata, dikembangkan, dan dimantapkan secara terpadu dan serasi, baik antarjalur, jenis, dan jenjang pendidikan maupun antarsektor pendidikan yang makin berkembang, efektif dan efisien, serta meningkatkan, mengutamakan pemerataan, dan peningkatan kualitas pendidikan dasar, perluasan dan peningkatan kualitas pendidikan kejuruan, pendidikan profesional serta pendidikan keterampilan, dan meningkatkan pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun. Masyarakat sebagai mitra pemerintah harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan kebutuhan, serta perkembangan pembangunan bangsa sekarang dan masa datang. Namun bila kesadaran mereka belum tumbuh, maka pemerintah harus berperan aktif dalam menuntaskannya.

B. KAJIAN TEORI
Untuk menghindari kesalahpahaman pengertian di atas, maka akan diuraikan beberapa pengertian atau peristilahan, sebagai berikut :
  1. Strategi pembangunan menurut Hasan Shadily (1984) bahwa tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh penduduk dalam kurun waktu satu generasi, yaitu menjelang tahun 2000. Untuk mencapai tujuan ini, rangkaian sasaran menyangkut jasa-jasa umum, termasuk penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Strategi pembangunan yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh penduduk yang memerlukan perubahan sosial dan struktur yang mendalam untuk mencapai sasaran yang diinginkan.
Apa sebenarnya pengertian strategi pendidikan luar sekolah. Menurut Prof. Harsono (1997) dalam makalahnya di seminar nasional PLS dan Konferensi ISPPSI di Surabaya, bahwa ada hubungan erat antara peningkatan mutu sumber daya manusia dengan pembangunan telah dimengerti, dipahami, dan diterima oleh banyak pihak. Namun, dalam menentukan prioritas pelaksanaannya, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, salah satunya ialah faktor lingkungan strategis termasuk potensi tantangan dan peluang yang ada di dalamnya. Memasuki abad XXI bangsa Indonesia dihadapkan pada fenomena lingkungan internasional, regional, dan nasional.
Sedangkan menurut Prof. Djudju Sudjana (1997) dalam seminar nasional PLS di Surabaya menguraikan agar dalam strategi meningkatkan peran PLS, SDM Indonesia siap menjadi pelaku yang memiliki daya saing komparatif, perlu memiliki sasaran yang jitu bagi para perencana pendidikan.
Adapun pengertian strategi PLS menurut H.M.Norsanie Darlan (1996) suatu rencana yang cermat mengenai kegiatan pendidikan untuk mencapai sasaran. Sedangkan menurut Prof. Santoso S. Hamidjojo (1998) strategi PLS adalah untuk meletakkan sistem yang tangguh untuk menangani pendidikan sepanjang hidup, dengan jalur insidental, informal, nonformal dan formal bagi semua warga negara untuk menggalang masyarakat gemar belajar yang beradab dan demokratis (madani).
  1. Menuntaskan, diambil dari istilah bahasa dengan asal kata tuntas (Moeliono, 1989). Yakni suatu kegiatan pendidikan bagi seseorang untuk menuntaskan atau menghabiskan (mencurahkan semua) masa pendidikan di sekolah atau pun di luar sekolah sehingga kualitas SDM semakin tahun semakin meningkat.
Kendala dalam penuntasan wajib belajar 9 tahun erat hubungannya dengan faktor sosial ekonomi dan budaya. Sebagian besar orang tidak mampu menyekolahkan anaknya karena ekonominya lemah (miskin). Apalagi sejak terjadinya krisis moneter dan krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Hal ini menyebabkan semakin banyak penduduk menjadi miskin, jumlah orang miskin bertambah dari 20 juta sebelum krisis dan sekarang mencapai hampir 80 juta orang. Menurut Sanapiah Faisal (1998) hal tersebut berakibat banyak tenaga kerja yang di PHK, sehingga berdampak negatif pula terhadap penuntasan wajib belajar 9 tahun khususnya anak usia pendidikan dasar.
  1. Wajib Belajar adalah suatu tuntutan zaman yang harus dilaksanakan kepada seluruh bangsa Indonesia baik laki-laki maupun perempuan; usia sekolah 7 - 15 tahun mapun bagi mereka yang karena sesuatu hal sehingga tidak ada kesempatan mengikuti pendidikan formal. Oleh karena itu, mereka harus di tolong dengan pendidikan luar sekolah.
  1. Harsono (1997) mengartikan masyarakat dari 2 bahasa asing yakni (1) Dalam bahasa Arab yaitu Syrk yang artinya sekelompok manusia saling bergaul di suatu tempat dengan berbagai kesamaan. Kedua, bahasa Inggris Society yang artinya sekumpulan manusia saling berinteraksi dalam suatu wilayah tertentu dengan berbagai kesamaan satu sama lainnya.
Pendapat tokoh lain seperti Poerwadarminto (1986) dan Moeliono (1989) mengartikan masyarakat adalah sekumpulan orang dalam arti seluas-luasnya terikat dalam kebudayaan yang dianggap sama. Misalnya terpelajar, cendekiawan, pedagang, pegawai, pengusaha, petani, nelayan dll. Dalam penjelasan lain masyarakat ada yang tinggal di kota dan di desa. Masing-masing istilah ini memiliki kekhassan tersendiri satu sama lainnya.

C. MASYARAKAT DESA TERTINGGAL
  1. Arti masyarakat desa adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Sedangkan arti tertinggal/terpencil adalah terpisah dengan yang lain (Poerwadarminta, 1986 dan Anton M. Moeliono, dkk, 1989). Dengan demikian yang dimaksud masyarakat desa tertinggal adalah mereka berada jauh dari pembangunan kota, karena ketertinggalan tersebut sehingga sulit mengikuti perkembangan pembangunan, termasuk ketertinggalan dalam dunia pendidikan.
  1. Pada dasarnya rata-rata pendidikan dan pengetahuan masyarakat desa tertinggal relatif rendah. Demikian juga jiwa/semangat kewiraswastaan ini sudah jarang dijumpai (A.J. Nihin, 1990). Karena itu, kepada mereka perlu diperkenalkan pertimbangan-pertimbangan antara faktor out-put dan input dalam setiap usaha produksi, namun dalam bentuk yang sederhana dan terjangkau oleh pikiran masyarakat. Hal ini perlu dengan contoh, bukti, atau semacamnya.
Untuk lebih mendalami arti pendidikan luar sekolah (Non Formal Education) menurut Prof. H.M. Sudomo (1974) adalah setiap kegiatan pendidikan yang diorganisir di luar sistem pendidikan formal, baik dilakukan sebagai kegiatan yang lebih luas untuk memenuhi kebutuhan pelajar (Clientele) dalam mencapai tujuan belajar.
Pengertian pendidikan nonformal menurut Depdiknas adalah usaha sadar yang dilakukan untuk membentuk perkembangan kepribadian serta kemampuan anak luar sekolah atau tepatnya di luar sistem persekolahan sebagaimana yang kita kenal sekarang.
PLS menurut Prof. Dr.H. Sutaryat Trisnamansyah (1997) adalah konsep pendidikan sepanjang hayat yang mengandung karakteristik, bahwa pendidikan tidak berakhir pada saat pendidikan sekolah selesai ditempuh oleh seorang individu, melainkan suatu proses sepanjang hayat, mencakup keseluruhan kurun waktu hidup seorang individu sejak lahir sampai mati. Pendidikan sepanjang hayat bukan hanya pendidikan orang dewasa, yang dimulai manakala seorang individu telah menyelesaikan pendidikan sekolah hingga berusia dewasa.
Pengertian pendidikan secara umum menurut Prof. H. Fuad Ihsan (1996) bahwa pedagogy atau ilmu pendidikan ialah penyelidikan, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik.
Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan mustahil suatu kelompok manusia dapat maju berkembang sejalan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso (1981) menguraikan PLS sebagai upaya menolong masyarakat untuk mencapai kemajuan sosial ekonomi, agar mereka dapat menduduki tempat yang layak dalam dunia modern. Pendidikan ini jelas ditujukan kepada masyarakat dan daerah yang terbelakang agar masyarakat dan daerah ini dapat menyamai daerah lain yang tidak terbelakang.

D. KEADAAN DI LAPANGAN
Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan peran serta masyarakat, termasuk pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat terus dikembangkan secara merata di seluruh tanah air dengan memberikan perhatian khusus kepada keluarga yang kurang mampu, penyandang cacat, dan yang bertempat tinggal di daerah terpencil/tertinggal di Nusa Tenggara Timur, sehingga makin meningkatkan kualitas serta jangkauannya. Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa mendapat perhatian dan pelayanan lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya tanpa mengabaikan potensi peserta didik lainnya.
Pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, PLS, dan pendidikan kejuruan harus terus ditingkatkan pemerataan, kualitas, dan pengembangannya untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional serta kemampuan kepemimpinan yang tanggap terhadap kebutuhan pembangunan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), berjiwa penuh pengabdian dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan bangsa dan negara. Kehidupan kampus dikembangkan sebagai lingkungan ilmiah yang dinamis sesuai dengan disiplin ilmu dan profesional, yang berwawasan budaya bangsa, bermoral Pancasila, dan berkepribadian Indonesia. Perguruan tinggi terus diusahakan untuk lebih mampu menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengkajian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memberikan pengabdian kepada masyarakat yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan sejalan dengan iklim yang makin demokratis yang mendukung kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi perguruan tinggi.
Pidato tertulis Mendikbud RI dalam rangka hari pendidikan nasional patut pula kita mengungkapkan rasa syukur yang mendalam bahwa ternyata hasil-hasil pembangunan yang telah kita capai selama ini, sangat menggembirakan. Kemajuan pendidikan di tanah air kita, menunjukkan peningkatan yang sangat pesat. Terutama dilihat dari kesempatan pendidikan yang semakin meluas pada semua jenis dan jenjang serta jalur pendidikan. Lebih-lebih kita telah berhasil meningkatkan program nasional wajib belajar pendidikan dasar dari 6 tahun menjadi 9 tahun sejak tahun 1994. Dengan tantangan globalisasi, kita harus menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Pada akhir tahun 2005 diharapkan anak usia 15 tahun telah bersekolah pada jenjang SLTP. Pembangunan di negeri kita dirasakan sangat banyak kendala dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam kaitan ini, kita hendaknya terus berusaha untuk melakukan upaya-upaya terobosan guna meningkatkan jumlah tempat-tempat belajar baru, agar seluruh kelompok umur 7-15 tahun dapat tertampung.
Di antara terobosan yang telah dikembangkan selama ini untuk menuntaskan program wajib belajar adalah :
(a) belajar melalui SLTP terbuka,
(b) penyelenggaraan pendidikan luar sekolah melalui kejar paket A setara sekolah dasar (SD) dan kejar paket B setara SLTP, serta
(c) upaya memanfaatkan teknik-teknik pendidikan jarak jauh, melalui media cetak maupun elektronik. Bahkan sudah ada juga Paket C setara SMA, namun kebutuhan itu harus mampu merealisasi pada lapisan yang lebih bawah.
Perencanaan pengadaan alat fasilitas/sarana penunjang berupa tenaga, sarana dan prasarana. Perencanaan sarana penunjang baru dapat dilakukan setelah pola perintisan dengan menggunakan perangkat lunak seperti kurikulum, buku paket, modul, kaset, video, radio dll (Winarno Hani Seno 1990).
Guna mendukung keberhasilan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan, jalinan kerjasama antara tokoh-tokoh masyarakat (toma) tokoh-tokoh agama (toga) dan orang tua dengan pemerintah, hendaknya juga terus ditingkatkan. Hal ini penting karena tugas pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang tua siswa. Tanpa keterlibatan semua pihak, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa niscaya tidak akan berhasil dengan baik. Hal ini menurut Wardiman (1997) sangat pentingnya peran pemerintah daerah untuk menyukseskan program pendidikan nasional. Menurut Prof. Dr. H. Abdul Azis Wahab, MA (2000) ada kekeliruan strategi pembangunan dewasa ini.
Strategi yang dijalankan pada pelita-pelita lalu lebih mengutamakan sektor ekonomi di garis depan. Sementara menurut ahli perbandingan pendidikan pemerintah Malaysia dan Jepang mengutamakan sektor pendidikan di garis depan. Sebagai bukti dapat kita lihat bahwa 2 atau 3 pelita silam warga Malaysia belajar di Indonesia dalam ilmu pendidikan, kedokteran, dan bahkan mereka berani mendatangkan tenaga-tenaga dosen bidang MIPA. Dalam tahun-tahun belakangan ini, ternyata negeri mereka jauh lebih maju dibanding pembangunan kita. Tidak sedikit pemuda kita yang belajar ke Malaysia di berbagai Universitas dan akademi.
Di pihak lain sambutan Mendikbud RI, mengetuk hati kita bersama yang sekarang sedang membangun dengan melaksanakan program-program perluasan pendidikan. Keberhasilan ini serta laju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang cenderung makin cepat mendorong kita untuk mencanangkan Gerakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 tahun pada tahun 1984. Selanjutnya, kita melangkah lebih maju lagi dengan melaksanakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Mudah-mudahan krisis moneter yang melanda negeri kita tercinta, tidak berpengaruh besar dalam pembangunan bidang pendidikan.
Di Indonesia pendidikan nonformal/pendidikan luar sekolah dikonsepkan bahwa setiap kesempatan di mana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah, di mana seseorang memperoleh informasi pengetahuan, latihan ataupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta aktif yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaanya bahkan lingkungan masyarakat negaranya (Sudomo, 1974, Sanapiah Faisal 1981). Sedangkan penulis mengambil pengertian tentang pendidikan luar sekolah yaitu suatu pendidikan tak terpisahkan dengan pendidikan formal, namun pelaksanaannya dilakukan di luar sistem persekolahan di antaranya berbagai kegiatan penyuluhan guna menunjang di berbagai bidang pembangunan bangsa (M.Norsanie Darlan, 1983).
Dengan demikian PLS mempunyai tugas berat dalam memberdayakan masyarakat mulai usia 14 - 45 tahun di luar sekolah yang menjadi sasaran didiknya. Sehingga pendidikan harus memberikan berbagai kebutuhan masyarakat setempat. Menurut: H. Djudju Sudjana (2000) bahwa PLS sangat berkembang bagi masyarakat industri. Bila kita berpikir secara prospektif, maka dari sekarang kita mulai bergerak agar tidak tertinggal dari negara lain.
Dalam kesempatan ini, kita menilik terhadap kehidupan masyarakat dengan pola perladangan/pertanian yang dilakukan masyarakat desa tertinggal. Kegiatan yang mereka lakukan dalam berladang dimulai dari menebas, menebang hutan, dan kemudian membakar. Namun, perlu digarisbawahi bahwa membakar hutan (hasil penelitian tahun 1997 sampai awal 1998), ternyata di musim kemarau panjang, belum ditemukan petani membakar hutan untuk perladangan mereka. Pembakaran terjadi oleh mereka, setelah hujan turun beberapa kali, mereka sudah menguasai ilmu falak, dengan melihat posisi bintang. Oleh para tokoh masyarakat (tomas) setempat dengan melihat keadaan bintanglah baru menentukan pembakaran ladang yang akan digarap. Dan cara membakar lokasi sudah mereka persiapan dengan membersihkan di sekelilingnya. Sehingga pembakaran hutan dan asap tebal di musim kemarau dari hasil penelitian penulis tidak seluruhnya benar oleh masyarakat peladang berpindah. Mereka sudah mengerti dampak/akibat dari pembakaran tersebut bagi habitat lingkungan di sekeliling mereka (H.M.Norsanie Darlan, 2000).
Mereka yang dimaksud masyarakat desa tertinggal adalah bermukim di bukit-bukit, tepian sungai, di lembah, danau, kawasan pantai, dan sebagainya. Semuanya mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan. Dalam strategi PLS untuk menuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun, SKB bersama Pamong Belajar sebagai ujung tombak. Bila penempatan tenaga PLS tidak pada bidangnya, maka upaya pemerintah tidak akan segera terwujud.
Sedangkan ciri Pendidikan Luar Sekolah secara spesifik menurut Saleh Marzuki (1981) adalah :
1. progam jangka pendek;
2. tidak dibatasi oleh jenjang-jenjang;
3. Usia didiknya tidak perlu sama/homogen;
4. sasaran didiknya beriorientasi jangka pendek dan praktis;
5. Diadakan sebagai respon kebutuhan yang mendesak;
6. Ijazah biasanya kurang memegang peran penting;
7. dapat diselenggarakan pemerintah dan swasta;
8. dapat diselenggarakan di dalam dan di luar kelas.
Dalam hal ini, mungkin timbul bertanyaan mengapa di perguruan tinggi ada jurusan atau program studi PLS? Padahal di lain pihak pendidikan tersebut diselenggarakan di luar sistem persekolahan. Sebagian perguruan tinggi sejak lama telah menyelenggarakan PLS. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli pembangunan bidang PLS. Mahasiswa yang dididik pada jurusan atau program studi PLS adalah dididik dalam jalur pendidikan formal. Namun, sistem berfikir mahasiswa di luar sistem persekolahan. Seperti mengenal tuna aksara latin dan angka, ini konsep "tempoe doeloe". Sekarang mahasiswa lebih dititikberatkan pada masalah yang lain yaitu bagaimana agar warga masyarakat mampu menghadapi tantangan lebih jauh ke depan pada era globalisasi untuk berwiraswasta, mengenal berbagai kursus keterampilan, dan berbagai bentuk pendidikan di luar sistem persekolahan. Misalnya Bordir, Mejahit, Tata Rias, Pertanian, Elektronika, Jurnalistik, Komputer, pendidikan dan latihan berbagai cabang olahraga, penyuluhan kesehatan, KB, pertanian, sampai kursus berbagai bahasa dll (Oong Komar, 2000).
Harapan masyarakat menurut Yus Darusman (2000) adalah aktivitas PLS melalui peran kelompok belajar masyarakat sebagai kelompok pengubah dan kelompok penyebar. Dampak perilaku moral ekonomi masyarakat tampil sebagai masyarakat yang maju, padat keterampilan, padat karya, padat usaha, padat kesejahteraan. Hal ini di selenggarakan oleh masyarakat, LSM, Dinas, dan instansi pemerintah. Karena tidak tuntas akibat dari ledakan penduduk berdampak menimbulkan kemiskinan dalam dunia pendidikan. Salah satu diantaranya ditutupnya kran-kran PLS di berbagai tempat dengan alasan yang tidak jelas di zaman orde baru. Sehingga di sana-sini munculnya anak jalanan, para galandangan, dan berbagai masalah sosial yang membuat pusing bagi pihak si penutup kran itu sendiri, dan siapa pembinannya? Penulis berasumsi bahwa sebagai dampak ditutupnya kran PLS sejak tahun akademi 1987/88, terjadinya kendala dalam penuntasan wajib belajar yang cukup berarti. Yang paling menyedihkan bagi lembaga yang ditugasi menuntaskan wajib belajar itu adalah menerima tenaga-tenaga di luar profesinya. Sehingga bukan teori andragogy yang diterapkan pada warga masyarakat, melainkan sebaliknya. Jadi keterampilan dalam berkomunikasi sebagai ahli PLS kepada warga masyarakat tidak bisa hanya belajar dalam 2, 3 bulan. Melainkan memerlukan cukup waktu, cukup SKS dan cukup praktik lapangannya. Sebab di masyarakat mereka tidak perlu banyak komentar, melainkan melihat bukti dan kenyataan.
Sekarang sarjana PLS sebelum diyudisium harus memiliki keterampilan (Skill) tertentu yang diharapkan bisa menciptakan lapangan kerja sendiri di masyarakat. PLS adalah satu dari dua jalur pendidikan di Indonesia yang memiliki peran besar di masa depan. Sehingga sangat aneh, bila melihat calon mahasiswa S-2 dan S-3 PLS berdatangan dari bidang-bidang ilmu lain tidak terbatas dalam jurusan pendidikan semata, melainkan ilmu-ilmu nonkependidikan karena mereka tahu cerahnya masa depan PLS. Diharapkan pada penerimaan mahasiswa baru, Universitas Palangka Raya tidak menerima lewat undangan saja, namun harus juga lewat UMPTN. Kepada para rekan sejawat (dosen-dosen PLS) harus mampu mengubah sistem perkuliahan dengan mengutamakan teori-teori andragogy. Karena pasar kerja kita sudah jauh berbeda dari masa pendidikan masa 15 - 20 tahun silam. Pada waktunya nanti PLS sudah turut memikirkan pula terhadap mereka yang menghadapi pasca kerja di hari pensiun. Sebab Post Power Sindrom menunjukkan tanda-tanda kenaikan yang sangat bermakna dalam masa belakangan ini.
Dalam hal PLS guna mewujudkan manusia Indonesia memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa agar memiliki kemampuan baca tulis. Direktorat Pendidikan Masyarakat (Dikmas), Depdiknas perlu mengadakan pembenahan-pembenahan, sebab kalau masih berjalan seperti selama ini, maka PLS yang dititipkan oleh pemerintah tak akan mampu diwujudkan.
1. Gerakan Nasional Orang Tua Asuh agar diusahakan dapat sampai ke wilayah pedesaan, sehingga upaya menolong kaum lemah segera terwujud.
2. Memperbaiki kelemahan yang selama ini dirasakan misalnya penempatan tenaga, cenderung merekrut para guru atau tenaga yang telah bertugas bertahun-tahun. Mereka di tempatkan untuk mendidik masyarakat pada bidang PLS. Padahal ia telah terbiasa (berpengalaman) melakukan pengajaran pada pendidikan formal. Terhadap tugas yang berhubungan dengan masyarakat, bukan teori andragogy yang ia berikan, melainkan cenderung paedagogy. Sehingga berapapun anggaran yang disediakan secara objektif cenderung kurang memberi manfaat. Mahasiswa PLS telah dipersiapkan, namun tenaga mereka juga diserap oleh Dinas Instansi lain, terutama bagi yang memiliki Diklat Balai Latihan dan penyuluhan.
3. Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) perlu pembenahan, sebab kalau hanya sebagai tempat penampungan cenderung akan timbul keterlambatan untuk berpacu dan upayanya dalam pengentasan kemiskinan. Menurut U. Sihombing (2000) SKB hanya memiliki sejumlah papan nama kelompok belajar. Sehingga bila dicek di lapangan, ternyata kelompok belajar tersebut cenderung sudah bubar. Di sini ada dugaan ketidakmampuan para tenaga kita dalam menerapkan teori andragogy yang berbasis pada pendidikan orang dewasa, yang tidak dimiliki jurusan-jurusan lain.
Mengupas manajemen dan kebijakan dalam otonomi pendidikan untuk pemberdayaan masyarakat menurut Saiful Sagala (2000) ada dua saingan utama profesi kependidikan. Salah satu diantaranya orang luar (external) pendidikan yang menyatakan bahwa semua orang bisa mengajar (guru/pendidik) dan menduduki jabatan pendidikan, tetapi bagaimana menjadi guru yang baik dan memahami aspirasi pendidikan dalam jabatan, maka sampai saat ini belum ada yang menyatakan pendidikan berkualitas di Indonesia. Hal ini disebabkan latahnya dalam penempatan tenaga kerja kita, termasuk dalam menangani PLS yang belum efektif.
Bila kita menilik terhadap keterlibatan PLS dalam berbagai dinas/instansi di tanah air, maka hampir di seluruh instansi pemerintah maupun swasta pasti merasa memiliki ilmu ke-PLS-an ini. Sebab kalau kita mengkaji secara mendalam menurut Sarjan Kadir (1982) bahwa ada di beberapa negara termasuk Philipina menerapkan 4 jalur pendidikan, yakni Nonformal Education, Formal Education, Family Education dan Basic Education. Di Indonesia, dengan berlakunya Undang-Undang Pendidikan Nasional dewasa ini, menurut H. M. Norsanie Darlan (1998) bahwa pendidikan menerapkan 2 jalur saja, yakni pendidikan formal dan pendidikan luar sekolah.
Dari uraian di atas, kalau pendidikan formal berada di bangku sekolah sejak dari sekolah dasar sampai pendidikan tertinggi, maka hampir semua orang mencari kerja sudah menggunakan hal itu. Namun bila setiap instansi pemerintah maupun swasta yang ingin meningkatkan kualitas tenaga kerjanya dalam waktu relatif singkat, maka pendidikan luar sekolahlah jalur yang tepat. Dengan berpatokan undang-undang yang ada dan ingin meningkatkan keprofesionalan, maka tenaga kependidikan luar sekolah harus diberikan tempat untuk turut membenahi kelemahan kita bersama.
Salah satu contoh bila di dinas dan jawatan terdapat Diklat atau Balai Latihan Kerja, maka menilik UUPN no 2 tahun 1989 sebaiknya harus ada tenaga PLS yang turut menanganinya. Demikian juga pada penyuluhan, karena sedikit banyak telah ditanamkan dari berbagai teori andragogy selama di bangku kuliah. Di lembaga swasta sangat banyak corak dan ragamnya seperti kursus komputer, merias, menjahit dan bordir, berbagai keterampilan, serta kursus-kursus lainnya.
Dalam aspek sosial budaya masyarakat desa tertinggal masyarakat memiliki konsep budaya yang masih tinggi dan sebetulnya hanya sebagian kecil yang memiliki budaya tertutup. Konsep pembangunan yang ditawarkan termasuk pendidikan sudah mereka sadari dewasa ini. Pendidikan punya andil besar terhadap masa depan. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan, yakni faktor kesulitan biaya, jauhnya lokasi rumah, dan terbatasnya fasilitas belajar, serta belum banyak pendidikan yang ditawarkan memberikan motivasi mereka belajar. Salah satu strategi dan upaya penuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak usia sekolah, yang lokasi rumahnya jauh dari SLTP disediakan asrama siswa. Dalam penanganan pendidikan di Indonesia menurut Satrio Sumantri (2000) adalah sangat diperlukan adanya keterlibatan masyarakat dalam masalah pendidikan. Hal ini sesuai pula dengan GBHN di negeri kita tercinta ini.
Walau di berbagai daerah kondisi alam sangat menjanjikan terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat sekitarnya, namun mereka belum dapat menyelesaikan pendidikan formal sementara usia kerja sudah sampai. Untuk mengantisipasi itu, PLS Universitas Palangka Raya juga harus tanggap terhadap tantangan ini, agar warga masyarakat dapat diberikan bekal dalam menghadapi pasar kerja.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Dikmas Depdiknas baik di tingkat kecamatan, kabupaten maupun propinsi harus menyediakan lebih banyak tenaga-tenaga profesional dibidangnya seperti sarjana PLS dan Diploma. Sehingga salah satu upaya menuntaskan wajar Dikdas 9 tahun segera terwujud.
b. Dalam mendirikan SLTP-Terbuka, sebaiknya tidak satu tempat dengan lokasi paket B, karena programnya menjadi tumpang tindih. Kalaupun harus satu lokasi, perlu pemisahan yang jelas untuk SLTP-Terbuka bagi anak usia sekolah, dan bagi peserta paket B yang berusia 14 - 45 tahun. Dan bagi mereka yang belum tamat SD sebaiknya mengikuti program paket A fungsional. Atau pendidikan yang mampu mengantarkan kesejahteraan dia dan keluarganya.
c. Kelemahan kita selama ini yang sangat dirasakan pada ujung tombak Dikmas adalah tak mampu berperan banyak. Sebab dalam penempatan tenaga, cenderung merekrut para guru atau tenaga lain yang telah bertugas bertahan-tahun. Mereka di tempatkan untuk mendidik masyarakat pada bidang PLS. Padahal ia telah terbiasa (berpengalaman) melakukan pendidikan formal. Sehingga berhadapan dengan masyarakat, bukanlah teori andragogy yang ia berikan, melainkan cenderung paedagogy.
d. Salah satu strategi dan upaya penuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak usia sekolah, yang lokasi rumahnya jauh dari SLTP di sediakan Asrama Siswa.
2. Saran-saran
Indonesia sudah memiliki program PLS Kepelatihan baik jenjang S1 dan S2, mereka dibiayai oleh Proyek PMPTK. Sayangnya dalam pertemuan para mahasiswa-mahasiswa PLS ini tak seorangpun ada utusan dari Nusa Tenggara Timur. Padahal mereka ini dipersiapkan untuk mengembangkan pendidikan luar sekolah didaerah. Ketertinggalan kita hanya 2 kemungkinan, apakah kalah bersaing dalam seleksi masuk calon S-1 dan S-2 yang lemah, ataukah memang kesempatan bagi kita tidak dimanfaatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Darusman, Yus, 2000. Model Transformasi Moral Ekonomi Pengrajin Melalui Pendidikan Luar Sekolah, PPS UPI, Disertasi, Bandung.
Darlan, M. Norsanie, 1983. Dasar-dasar Pendidikan Luar Sekolah di Berbagai Negara, Unpar, Palangka Raya.
------------, 2000. Strategi Menuntaskan Wajib Belajar Dikdas 9 tahun bagi masyarakat Desa Tertinggal, Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar, Universitas Palangka Raya.
Djojonegoro, Wardiman, 1998. Tantangan Pembinaan Ketenaga Kerjaan Dalam Menghadapi Era, globalisasi, Seminar Nas. dan Temu PLS IKIP Malang.
Hamidjojo, Santoso, S. , 1998. Tantangan PLS dalam Era Reformasi dan Globalisasi, Seminar Nasional dan Temu Alumnus, IKIP Malang.
Koentjaraningrat, 1981. Pengantar Antropologi, UI Press, Jakarta.
Komar, H. Oong, 2000. Spektrum Tenaga Kependidikan Pada Satuan Pendidikan Luar Sekolah Kursus, PPS UPI, Disertasi, Bandung.
Manan, 1997. Keadaan Penduduk Buta Huruf dan Putus Sekolah, Kandep Kecamatan Kapuas Barat, Mandomai.
Nihin, A.Dj. 1990. Pokok-pokok Pikiran Stategi Pembangunan Pedesaan, Muara Teweh.
Sihombing, U. 2000. Kuliah Umum Perkembangan Dikmas Di Indonesia, UPI, Bandung.
Sudjana, H.Djudju, 1997. Peranan PLS Dlm Pengembangan SDM Berkualitas, Makalah Seminar Nasional PSL dan Konperensi ISPPSI, Surabaya.
Sumantri, Satrio, 2000. Rembuk Pendidikan Nasional, Temu Pemikiran Untuk Menyelamatkan Masa Depan Pendidikan Nasional, Makalah, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Tim Wajar, 1991. Keputusan Menko Kesra tentang Wajar Pendidikan Dasar, Kantor Menko Kesra RI, Jakarta.
Yusuf, Sulaiman, 1981. Pendidikan Sosial, Usaha Nasional, Surabaya