Kamis, 22 Agustus 2013

Harian Kompas Jakarta


Falsafah "Huma Betang" Perlu Dilestarikan

  • Selasa, 6 Agustus 2013 | 20:38 WIB
Oleh Saidulkarnain Ishak
Budaya kehidupan suatu masyarakat berbeda-beda dan masing-masing memiliki nilai tambah, seperti falsafah "huma betang" (rumah besar) dalam kehidupan masyarakat suku Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah, perlu dilestarikan.
"Huma betang" merupakan salah satu falsafah yang dimiliki masyarakat Dayak Kalteng dengan konsep bebas terpimpin. Budaya huma betang diimplementasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk keluarga dekatnya.
Falsafah ini lahir untuk menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernilai kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang¿, kata Guru Besar Universitas Palangka Raya (Unpar) Prof Dr H Norsanie Darlan, MS PH.
Masyarakat suku Dayak yang memiliki budaya menyatukan konsep bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat juga punya kearifan lokal yang lebih dikenal dengan sebutan ¿huma betang (rumah besar)¿, katanya.
"Dari keturunan leluhur kita, masyarakat Dayak yang punya konsep bebas terpimpin ini, menyatukan konsep di rumah betang untuk tidak ada terjadi perselisihan yang berarti," guru besar pendidikan luar sekolah (PLS) Unpar tersebut.
Norsanie Darlan mengatakan, ada ruang bebas yang merupakan sarana dalam mewujudkan pembangunan masyarakat merujuk pada budaya suku Dayak. Kearifan lokal seperti ini perlu mendapat perhatian bagi kelestariannya di masa mendatang.
"Dalam ruang publik yang bebas dan panjang itulah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi, wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran," ujarnya.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, justru ruang publik yang bebas tersebut diharapkan menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan.
Norsanie mengatakan, dengan menafsirkan ruang publik yang bebas dalam tatanan pembangunan masyarakat tersebut akan terjadi kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum.

Kebebasan yang kompak
"Bahkan, tingginya kekerabatan karena adanya rasa persaudaraan yang tinggi, tidak saling menyalahkan satu sama yang lain. Namun adanya kekompakan yang sulit diikuti oleh masyarakat lain terhadap budaya huma betang ini," tambahnya.
Masyarakat madani menurut Norsanie Darlan ditandai dengan berkembangnya suasana demokrasi yang bebas berpendapat dan bertindak, baik secara individual maupun kolektif diringi tanggung jawab.
Tanggung jawab dalam bertindak itu diperlukan, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial serta penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis, katanya.
"Masyarakat yang demokratis inilah yang harus ditiru oleh generasi penerus kita. Apakah dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi  saling tumpang tindih. Muncul pula budaya mereka yang saling menghormati sesama," katanya.
Dia menyatakan tidak pernah ada larangan untuk datang pada komunitas Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal sebelumnya. Jika komunitas luar yang ikut serta dalam upaya bercocok tanam, berladang, berkebun selalu dipersilakan selama tidak menyalahi tata aturan, tatanan budaya masyarakat setempat.
Guru besar yang sering tampil di seminar regional dan nasional itu mengatakan, toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di ¿huma Betang¿ ini, seperti perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik atau terhadap mereka yang ada di sekitar.
"Budaya yang sudah turun temurun yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan lain, dipersiapkan bahan berupa beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain," katanya.
Para penganut kepercayaan yang berbeda ini turut merasakan pula segala suka cita mereka dalam kebersamaan. Namun cara memasak dipersilakan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka.

Falsafah "huma betang"
Norsanie mengatakan, umumnya masyarakat Dayak yang penuh toleransi ini terjadi pergeseran dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir. Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi.
Sebagai contoh 20 tahun lalu, anak yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya sulit mencari rumah kost, yang banyak adalah anak dititip pada keluarga yang tinggal di Palangka Raya.
Apakah ia keluarga satu keturunan darah, ataukah hanya kenalan tetangga desa. Di sini toleransi yang sangat tinggi. Karena anak yang ikut tinggal di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa. Karena saling toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.
"Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. Di sinilah salah satu toleransi filosafi Huma Betang  kita," ujarnya.
Rumah kost mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain ke luar provinsi Kalteng, saat mereka melanjutkan pendidikan terutama kuliah. Mereka mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4-5 tahun ke depan.
Pada saat itulah masyarakat Kota Palangka Raya mulai mendirikan rumah kost untuk kaum pendatang sebagai salah satu wujud dari falsafah huma betang yang diimplementasikan dalam budaya masyarakat daerah tersebut.
Masyarakat Dayak sungguh memberikan kearifan yang sangat tinggi harganya. Tidak pernah ada perselisihan, yang berarti dalam kehidupan Huma Betang. Saling menghargai, menghormati dan saling tolong menolong tercipta sejak beberapa abad silam dan masih bisa dilihat hingga sekarang.
Falsafah huma betang dalam kehidupan masyarakat Kalteng betul-betul hidup bersama dalam suatu suasana harmonis manakala pendatang berpegang menganut budaya "di mana bumi di injak, di situ langit dijunjung".
Mencermati kehidupan yang konsisten pada kearifan lokal huma betang itu, agaknya tidak keliru manakala budaya yang berkembang dalam masyarakat di seluruh Provinsi di Indonesia, termasuk di Kalteng dipertahankan bagi kelanjutan pembangunan di masa mendatang.
Sumber : ANT
Editor : Jodhi Yudono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar