Minggu, 22 Februari 2015

AKADEMISI: PENGIRIMAN TKI HARUS LEBIH SELEKTIF

D0210215000531 21-FEB-15 KSR BJM Oleh Syamsuddin Hasan Banjarmasin, 21/2 (Antara) - Akademisi Pendidikan Luar Sekolah Universitas Palagka Raya, Kalimantan Tengah Prof Dr HM Norsanie Darlan, MS PH mengusulkan agar pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri harus lebih selektif, tidak asal kirim. "Karena tidakkah merasa terhina bila kita berkunjung ke luar negeri bertemu dengan sesama warga negara ternyata pekerjaannnya hanya sebagai pembantu rumah tangga. Kenapa harus cari kerja ke negeri orang?" ujarnya kepada Antara Kalimantan Selatan, Sabtu. "Namun melihat bangsa lain yang pernah bertemu, bangga rasanya mereka itu para manajer di berbagai tempat. Sehingga kita merasa betapa bagusnya bangsa-bangsa lain dalam perencanaan mereka untuk mengirim tenaga kerja ke luar negeri," ungkapnya. Sedangkan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dikirim, mereka yang tingkat pendidikan relatif rendah diikuti dengan minimnya keterampilan, lanjut mantan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) pemerintah provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah (Kalteng) itu. Kalau pemerintah mau meningkatkan harkat dan martabat bangsa, sarannya, tentu perencanaan harus berorientasi ke depan yang lebih baik. Misalnya bila mengirim tenaga kerja harus sarjana terampil, dan menguasai bahasa dan budaya di daerah yang menjadi tujuan. "Saya pernah di suatu negara mencari teman yang tersesat. Sesaat sebelumnya kondisi badannya kurang sehat. Maka pusat pencarian harus pada tempat pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit," mantan aktivis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) tersebut. "Dari sekian rumah sakit itu, seorang warga negara berkebangsaan Filipina menjelaskan ada warga negara Indonesia yang berobat kepadanya. Setelah ditelusuri apa yang ia jelasnya ternyata benar. Ternyata warga Filipina tersebut seorang dokter di rumah sakit itu," ungkapnya. Sementara putra-putri Indonesia yang bekerja di rumah sakit yang sama hanya sebatas tukang parkir, dan pertugas kebersihan. Tidak ada yang perawat/bidan, apalagi dokter. Betapa menyedihkan. Hal ini tentu merendahkan harkat dan martabat bangsa, ujarnya. Ia menyarankan, jika pengiriman tenaga kerja ke luar negeri harus betul-betul selektif. Baik tingkat pendidikan mereka maupun keterampilannya. Keterampilan ini jika ia sudah sarjana keterampilan apa yang ia miliki sebagai nilai plusnya. Keterampilan itu termasuk juga dalam berkomunikasi (bahasa), mengerti budaya se tempat (tempat bekerja). Jangan mengirim tenaga kerja yang berpendidikan rendahan. Ini bisa merendahkan martabat bangsa. "Kita sering mendengar, bahwa tenaga kerja yang bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga. Dengan pengetahuan bahasa yang kurang, serta tidak pernah mengenal budaya masyarakat di negeri tempat mereka bekerja," tambahnya. Hal tersebut, menurut dia, tentu menyulitkan tenaga kerja Indonesia sendiri dalam menjalankan tugas sebagai pekerja di rumah tangga. Ada kalanya, karena tidak mengerti bahasa setempat, ketika mereka disuruh majikannya mencuci piring, yang dikerjakan menyapu rumah, katanya. "Kejadian itu kalau sekali, dua kali mungkin majikannya maklum. Tapi kalau setiap disuruh tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan, maka hal itu memicu pertengkaran antara majikan dengan pesuruh rumah tangga," ujarnya. "Dari pertengkaran itu, tidak menutup kemungkinan menjadi perselisihan yang tidak berkesudahan. Efek negatif yang muncul selama ini tidak lain mengirim tenaga kerja rumah tangga itu, akan membawa nama bangsa," demikian Norsanie Darlan.***4*** (T.KR-SHN/B/F. Assegaf/F. Assegaf) 21-02-2015 10:31:29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar