Sabtu, 08 Desember 2012

KIPRAH PLS DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAWASAN DESA TERTINGGAL (Antara Harapan dan Kenyataan)




0leh:

 H.M. Norsanie Dalan
Guru Besar PLS Universitas Palangka Raya
Pendahuluan
Materi kuliah umum ini, merupakan sejarah hidup bagi penulis dalam memberikan memaparkan tentang kiprah Pendidikan Luar Dalam Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Desa Tertinggal (antara harpan dan kenyataan) suatu permintaan pihak Program Studi  ini, sebuah materi yang kurang begitu siap dalam menghadi mahasiswa sekolah pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Sebab perguruan tinggi Pembina ini, tidaklah gampang untuk dijadikan objek kuliah umum ini, namun ketua Program Studi  S-2 dan S-3 PLS sekolah Pascasarjana meminta saya, yang kebetulan ada waktu untuk menyiapkan materi yang sangat sederhana ini.
Ditinjau dari sisi sejarah, bahwa Universitas Palangka Raya di tahun 1962 lalu berdiri atas kerjasama antara: antara IKIP Bandung cabang Palangka Raya. Dan Fakultas Ekonomi. Karena di setiap Provinsi kala itu, ada wacana harus berdiri perguruan tinggi negeri. Maka bergabunglah 2 perguruan ini yaitu: IKIP Bandung Cabang Palangka Raya dengan Fakultas Ekonomi juga di Palangka Raya, menjadi Universitas Palangka Raya. Universitas ini, dengan kependekannya di sebut UNPAR.
Untuk menyingkat waktu dalam pemberian materi ini, maka dalam penyampaiannya terdapat beberapa sub bangian yaitu: berbagai pendapat ahli, Melirik Undang-Undang, Pemberdayaan Masyarakat, Masyarakat Kawasan Tertinggal, Program Mehaga lewu, Masyarakat Kawasan Tertinggal, Kiprah PLS, Kiprah Mahasiswa PLS Dalam Pemberdayaan, Peran Pendidikan Tenaga Kepdidikan, kualifikasi pendidik, Perubahan Sosial Alamiah, Harapan dan Kenyataan. Untuk lebih jelasnya hal-hal di atas, akan diurakan secara deserhana berikut ini:
Berbagai  Pendapat Ahli
Mengenali kiprah PLS  sebenarnya “kiprah” adalah: suatu perbuatan baik secara perseorangan ataukah berkelompok dalam melakukan sebuah gerakan khususnya berupa pendidikan luar sekolah, baik dalam cara spontan dengan proses yang cepat  maupun secara perlahan. Namun kiprah dalam proses pendidikan luar sekolah ini, suatu kegiatan yang secara sadar berencana baik akan, sedang maupun telah dilakukan dalam proses pendidikan luar sekolah.
 Bagaimana sebenarnya desa tertinggal, bila kita mengkaji apa itu desa tertinggal, tidak terlepas pada istilah desa: menurut: Tim Akar Media (2003; 105) menyebutkan:”…desa adalah sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan kampung di luar kota, dusun…”.  Sedangkan tertinggal tidak lain adalah kawasan itu, masih banyak ketertinggalan dari berbagai program pembangunan sejak masa lalu, hingga sekarang. Dengan demikian desa tertinggal adalah merupakah suatu desa yang berada di kawasan pedesaan ada kalanya berlokasi nan jauh di sana dan ada pula yang lokasinya masih dekat dengan perkotaan. Namun desa tertinggal tinggal ini selalu ketinggalan dari berbagai program pembangunan, termasuk dalam upaya pemberdayaannya.
 
Melirik Undang-Undang
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) nomor 20 tahun 2003 secara jelas memandu kita, pada pekerjaan sehari-hari di bidang pendidikan. Untuk itu, penulis dalam kesempatan ini, memberikan sedikit apa yang diketahui tentang peran pendidik dan tenaga kependidikan dalam masyarakat di tanah air kita tercinta ini.
Kalau kita memperhatikan dan mengenali pasal 39 dari Undang-undang di atas, (1) tentang tenaga kependidikan adalah bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang berhasilnya proses pendidikan pada satuan pendidikan. Berbicara tentang tenaga kependidikan ia bertugas menjalankan administrasi pendidikan baik dalam pengelolaan, pengawasan dengan cara dalam hal-hal menjalankan pengawasan dan pelayanan teknis di institusi atau lembaga pendidikan. Tentu saja jalur pendidikan dimaksud baik formal maupun non formal.
Di pihak lain, apa itu tugas tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan, baik ia dalam tugas di pendidikan non formal (pendidikan luar sekolah) seperti: penilik dan pamong belajar. Demikian juga dalam tugas pendidikan formal seperti: pengawas, peneliti dan pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar. Namun demikian untuk diketahui bersama bahwa pada jalur pendidikan luar sekolahpun juga, ada tenaga seperti peneliti, pengembang media belajar dan teknisi sumber belajar masyarakat.
Dipihak lain bila kita mencermati apa sebenarnya pendidik itu berdasar pasal 39 ayat (2) maka hal ini ia merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik dan perguruan tinggi.

Pemberdayaan Masyarakat
Sungguh menggembirakan, jika digulirkannya konsep dari program pemberdayaan masyarakat untuk kalangan masyarakat pedesaan. Terlebih bagi mereka yang secara sengaja ataukah kebetulan terlahir  hingga dewasa di kawasan desa tertinggal. 
Pemberdayaan tentu kalau kita memperhatikan asal katanya “daya” yang ditambah awalan pember dan akhiran an. Jika diperhatikan istilah daya Tim  Akar Media (2003; 100) bahwa:”…suatu kekuatan, tenaga pengaruh akal dengan cara ihktiar…” Sementara Djudju Sudjana (2000) bahwa:”…menyejelaskan daya adalah banyak macamnya. Ada dari alam, tenaga air, angin, listrik, mata hari dsb…”.  Sehingga hal itu, akan memimbulkan sebuah daya. Namun dalam upaya pemberdayaan masyarakat ini, tentu saja sasarannya warga masyarakat. Untuk tujuan memberikan motivasi dalam proses belajar memberlajarkan mereka  dengan tujuan pendidikan non formal ataukah in formal.  
Jika kita mengkaji konsep lama tentang pemberdayaan masyarakat di  pedesaan, tidaklah salah penulis mengambil pendapat salah seorang tokoh senior PLS kita: Sanapiah Faisal (1981) bahwa: “…yang disebut masyarakat pedesaan mereka itu, tinggal kebanyakan tidak terjangkau aliran listrik…”. Konsep di atas walau disadari dewasa ini, sudah tidak lagi seluruhnya benar (terwujud), namun tempat tinggal masyarakat kita sungguh  ciri itu, mulai dirambah oleh teknologi. Karena sekarang di berbagai pedesaan di tanah air ini, sudah sulit membedakan kalau hanya dengan alasan aliran listrik. Karena masyarakat telah banyak yang memiliki kemampuan membeli mesin listrik. Apakah mereka di pinggiran kota ataukan di pedesaan sekalipun.
Dalam sudut pandang lain, Sanapiah Faisal (1981) bahwa:”...masyarakat membagi dalam 3 kelompok besar, masing-masing; Pertama: masyarakat perkotaan; Kedua: masyarakat pinggiran kota; dan Ketiga: masyarakat desa pedesaan...”.   Dari 3 kelompok di atas, penulis dalam kesemptan ini mencoba mengurai terhadap keadaan masyarakat sekarang sebgai berikut:
Menilik masyarakat perkotaan sungguh luar biasa. Karena mereka  berada dalam wilayah perkotaan yang berhadapan dengan segala lapisan masyarakat selalu ada konpleks. Apakah mereka golongan kaya, menengah hingga miskin, selalu ada di perkotaan. Bahkan tidak menutup kemungkinan perkotaan menjadi objek masyarakat untuk mengadu nasib sehingga mereka berhadapan dengan 2 pilihan untuk datang ke kota. Masing-masing tidak lain kecuali jadi miskin atau kaya. Dan di perkotaan tidak dapat berhasil baik kecuali harus memiliki skills dan pendidikan. Kalau hanya dengan kekuatan otot lebih banyak gagal dari keberhasilannya. Mareka yang sudah menghadapi berbagai kegagalan, akhirnya memilih menempati kawasan yang agak kosong untuk  mencari kawasan yang lebih keluar kota untuk membuka usaha lain.
Dalam kawasan perkotaan, lapangan kerja sangat ditentukan dengan pendidikan. Di perkotaan juga fasilitas belajar lebih banyak dan selalu kualitasnya lebih baik. Diperkotaan memberikan harapan besar kepada mereka yang memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, di perkotaan sangat memperhatikan bedang kesehatan. Dan berbagai fasilitas lainnya selalu tersedia di kota.  
Masyarakat pinggiran kota, yang serba tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan, namun untuk menyesuaikan dengan tuntutan kehidupan, mereka ini dalam posisi yang serba tanggung. Kenapa demikian? Karena untuk ikut bertahan sebagai masyarakat pedesaan, sementara kehidupan masyarakat kota tidak bisa mereka biarkan begitu saja. Merekapun perlu untuk menyesuaikan dengan perkembangan kehidupan masyarakat kota. Namun terkendala dengan segala biaya yang serba mahal. Termasuk juga pola kehidupan perkotaan yang menuntut serba modern. Dari hal-hal di atas, tidak menutup kemungkinan mereka terbawa arus. Sehingga membuat mereka jadi serba susah dalam menghadapi segala tuntutan kehidupan. Sementara kalau mreka bertahan sebagai masyarakat pinggiran kota, membuat kehidupannya tambah melarat karena lapangan pekerjaan, persaingan berbagai macam dalam kehidupan masyarakat pinggiran kota ini sungguh menyedihkan.
Dalam sudut pandang lain, desa mereka menjadi tempat di bangunnya berbagai perusahaan, namun tuntutan keterampilan kerja membuat mereka gigit jari karena untuk bekerja dituntut persyaratan tertentu yang tidak dapat mereka penuhi. Akibatnya pekerja perusahaanpun harus didatangkan tenaga kerja dari luar. Sehingga masyarakat pinggiran kota ini hanya sekedar jadi penonton belaka. Mereka dihadapkan dalam posisi sulit untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Sekarang bagaimana mereka yang tinggal di desa pedesaan. Penulis melirik dengan berbagai hasil penelitian yang cukup panjang. Mereka yang bermukim di kawasan desa pedesaan sungguh menyedihkan, karena  tidak semua program yang dilancarkan pemerintah bertujuan memberdayakan mereka sesuai dengan kebutuhan. Kemudian program pemberdayaan itu hanya sebagian kecil yang menikmatinya. Karena area lokasi mereka yang tersebar tidak merata. Ditambah  jumlahnya tidak banyak dan tidak merata, ditambah lagi sebaran yang tidak merata, membuat program-program yang dilancarkan pemerintah kurang bisa menyentuh pada semua masyarakat desa pedesaan. Karena dana yang tersedia tidak memadai disertai perencanaan yang kurang akurat dan kurang matang.    
Selain itu, untuk mensejahterakan masyarakat kawasan ini sudah lama oleh pemerintah, diantaranya sarana pendidikan, kesehatan. Namun tenaga guru yang ditugaskan kurang memberikan curahan hati dan tenaganya untuk menjalankan tugasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Demikian juga program-program pemerintah lainnya.        
Kehidupan masyarakat yang bermukim di kawasan desa tertinggal masih belum mengetahui secara jelas apa sumber daya alam yang ada di kawasan  mereka. Mereka hanya tahu apa yang pernah mereka lakukan. Menurut Darlan (2002) bahwa:”...Akibat ketidak tahuan mereka itulah yang muncul sebagai penomena penulis juga meneliti kawasan desa tertinggal kawasan pantai yang sejak nenek moyang merekamenanam dan memelihara perkebunan kelapa. Nanum yang mereka ketahui kelapa hanya buah kelapa di kupas, dijual atau dijadikan minyak goreng dan kopra. Sementara yang lainnya belum diolah karena ketidak tahuan mereka. Padahal kalau kita mengkaji secara teliti sebatang pohon kelapa punya 48 manfaat untuk kehidupan masyarakat manusia...”.

Program Mehaga lewu
Bila berbicara tentang program mehaga lewu di Kalimantan Tengah adalah hal ini merupakan suatu konsep tersendiri bagi masyarakat pedalaman. Upaya pemberdayaannya lebih cenderung pada para tokoh masyarakat. Apakah tokoh agama (toma) ataukan tokoh masyarakat (toma), yang setiap hari dan tanggal tertentu diadakan pertemuan dengan mereka.
Arti program ”mahaga lewu” adalah diambil dari bahasa daerah, yang artinya yaitu program pemeliharaan desa. Program ini sebenarnya bagian dari pemberdayaan masyarakat, seperti yang dilaksanakan program pemberdayaan masyarakat di provinsi lain.
Kegiatan seperti ini, memang belum banyak dilaksanakan sebelumnya. Terlebih dalam peristiwa pertemuan dengan masyarakat. Sehingga sepertinya program ini kalangan politikus menyebut sebuah konsep politik untuk mencapai tujuan tertentu. Dipihak lain. Pertemuan dengan warga masyarakat bisa membuat sebelah pihak senang dan dipihak lain kurang menyenangi. Sehingga jumlah pertemuan rutin orang datang hanya sebatas itu-itu saja. Paling dikhawatirkan bagaimana bila pertemuan itu bila tanggal telah ditetapkan oleh pejabat, tidak ada kepastian yang secara tiba-tiba ada undangan pemerintah pusat secara mendadak, maka tidak  boleh diwakilkan misalnya. Sementara tanggal rutin yang ditetapkan mereka dari desa-desa nanjauh di sana sudah datang. Namun pertemuan yang mereka tentukan ternyata penguasa daerahnya tidak dapat hadir, membuat calon perserta rapat jadi kecewa.
Keharidan para tokoh masyarakat dalam hal itu, tidak sudah diketahui bahwa mereka menuntut hal-hal tertentu. Tentu saja kehadiran mereka memenuhi undangan, tentu akan ada maunya. Nah bila tidak dapat dipenuhi oleh pemimpin daerah, maka akan menjadi cemoohan masyarakat.

Masyarakat Kawasan Tertinggal
Berbicara tentang Percepatan Pembangunan Desa Tertinggal, Albertus, (2010) menyebutkan bahwa:”…Kegiatan ini diawali dengan pembentukan Desa Mandiri berjumlah 288 desa. Setiap desa mendapat dana pembangunan sebesar Rp 250 juta yang akan dimanfaatkan untuk usaha-usaha produktif seperti pembangunan peternakan sapi dan budi daya jagung. Dua jenis usaha itu merupakan bagian dari empat tekad pembangunan NTT. Dua lainnya ialah pembangunan koperasi dan penanaman pohon cendana...”. Fokus tulisan dari hasil penelitian diarahkan ke ternak dan jagung, tetapi bisa berkembang ke usaha lain sesuai karakteristik di desa tertinggal. Program ini untuk mendukung ketahanan pangan.
Menurut arti kriteria desa penerima program ditentukan sesuai jumlah penduduk miskin di daerah itu. Penduduk miskin terbanyak mendapat prioritas utama, dan masih akan bertambah untuk tahun anggaran berikutnya. Kriteria lainnya desa tersebut harus terpencil, tidak sedang menerima program pengentasan penduduk miskin dari data pemerintah, dan infrastruktur pelayanan sosial seperti air bersih, sanitasi, dan ruang layak huni masih rendah dan kurang layak.
Langkah membangun kawasan desa tertinggal ini adalah upaya strategis pemerintah mendorong percepatan pembangunan di Indonesia, khususnya yang berbasis pada desa. Menurut  H.M. Lukman Edy (2008) bahwa:”…hal ini juga didasari nilai dan komitmen pemerintah untuk membangun desa, yang tentunya bukan hanya milik pemerintah semata, tetapi juga menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa, warga masyarakat, pemerintah dan siapa saja yang mau berkiprah membangun desa. Masa lalu sentralisasi pembangunan di era Orde Baru harus mampu dijadikan motivasi untuk melakukan pembangunan secara menyeluruh, baik lintas sektoral, lintas wilayah, maupun lintas bidang...”.
Salah satu komitmen yang dilakukan pemerintah sekarang adalah mendorong percepatan pembangunan khususnya di dasa-dasa tertinggal, termasuk juga kawasan desa tertinggal. Data resmi (2008) Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal menyebutkan, terdapat 38.232 (54,14%) kategori desa maju, yang terdiri atas 36.793 (52,03) kategori maju dan 1.493 (2,11%) kategori sangat maju.
Adapun desa tertinggal berjumlah 32.379 (45,86%), terdiri atas 29.634 (41,97) kategori tertinggal dan 2.745 (3,89%) kategori sangat tertinggal. Ketimpangan inilah yang menjadi komitmen pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan desa tertinggal. Sementara itu, fakta tentang desa tertinggal menyebutkan bahwa desa yang belum dapat dilalui mobil sebanyak 9.425,desa yang belum ada sarana kesehatan sejumlah 20.435 desa, desa yang belum ada pasar permamen sebanyak 29.421, desa tertinggal yang belum dialiri listrik sebanyak 6.240 desa. Jumlah ini, cukup besar. Dan rata-rata keluarga miskin di desar tertinggal adalah 46,44% dan IPN desa tertinggal sebesar 66,46. 
Data di atas, walau antara teori yang digulirkan oleh: Sanapiah Faisal (1981) lalu masih dirasakan, seperti ciri desa di pedesaan masa lalu yaitu: desa-desa yang belum dialiri listrik. Desa miskin dan belum terjangkau listrik, menurut hasil penelitian Dr. Colly, MD (1986) bahwa: ”...di jawa tengah ia menyebutkan  daerah itu, pertumbuhan kelahiran relatif masih tinggi...” Hal ini beralasan bahwa: masyarakat desa tertinggal bila malam tiba, mereka tidak banyak pirikan seperti halnya orang kota. Mereka karena tidak memiliki kesibukan dan penerangan lampupun kecuari lampu tembok, cuma seadanya. Maka bila anak pada masuk ke tempat tidur, orang tuanya pun juga menyelesaikan hajadnya sebagai suami istri sebelum tidur. Sehingga angka kelahiranpun tidak dapat ditekan secara besar-besaran.
Peran PLS dalam upaya ini juga sangat terkendala. Karena fasiltas lampu yang tidak mendungkung dalam proses belajar membelajarkan di malam hari. Mereka hanya bertemu di kelompok belajar (kejar) di sore hari, sementara saat yang sama mereka juga terikat untuk bekerja ke sawah/ladangnya. Sehingga hingga masyarakat kawasan tertinggal ini, dalam hal ini, terkendala dalam hal proses membelajarkan masyarakat.
Masyarakat kawasan desa tertinggal, mereka ini sejak lahir hingga meninggalkan dunia fana ini, tinggal di lereng bukit, tepi danau, pesisir laut, tepi sungai. Masih banyak yang belum mengenyam dunia pendidikan formal. Seperti SDN, MI, SMP dan SMA, dan sejenisnya. Salah satunya adalah melalui pendidikan non formal. Namun bagaimana kita ketahui bersama, keterjangkawan tenaga kita masih sangat terbatas. Sementara tenaga yang pepatah menyebutkan adalah bagaikan: ”tidak ada rotan akarpun berguna”. Itulah sebabnya pekerjaan PLS berwarna warni di tanah air kita. Jika sekiranya tenaga pendidik kependidikan pendidikan non formal dan informal (TPK-PNFI) betul-betul dari mereka yang betul-betul terdidik ke arah PLS, dan mau berkiprah kepada PNFI, tentu saja hasilnya beda dengan sekarang. Kendala juga dihadapi, adalah tidak meratanya jurusan/studi PLS di provinsi di Indonesia.

Kiprah PLS
Dalam masa reformasi dewasa ini, PLS belum dapat berkiprah secara maksimal  termasuk di kawasan desa tertinggal. Hal ini disebabkan dengan beberapa alasan berikut:
1.     Kehadiran PLS masih dilihat sebelah mata;
2.     Kehadiran TLD yang menutup peluang PLS;
3.     Formasi lapangan kerja masih tertutup.
Untuk lebih jelasnya hal-hal di atas, penulis uraikan sebagai berikut:
Pertama: Tidak semua orang mengerti dan tahu tentang PLS kita ini. Misal di kalangan pejabat sturuktural yang tahu bahwa ia ikut diklat di berbagai penjenjangan, bahwa pendidikan yang ia ikuti itu adalah bagian dari pendidikan luar sekolah. Demikian juga dikalangan masyarakat luas bahwa PLS hanya sekedar untuk pemberantasan buta huruf. Padahal mereka, pernah ikut berbagai kursus. Misalnya kursus komputer, kursus bahasa, mengemudi, pertukangan, perbengkelan. Dan kursus-kursus tersebut adalah bagian pendidikan luar sekolah atau sekarang disebut dengan pendidikan non formal.
Kedua: Pemerintah ingin segera menuntaskan segala program pendidikan non formal dan informal dengan menempatkan TLD sebagai tujuan program mereka ini, dapat mempercepat lajunya pertumbuhan pembangunan. Namun dari hasil penelitian secara cermat dan hati-hati, hasilnya tidak demikian. Karena sarjana yang diangkat bukan tenaga yang terdidik ke arah itu, hasilnyapun diragukan. Mereka setelah mendapat NIP dari Kementrian Diknas, karena tidak sanggup bergulat dengan berbagai program PLS di lapangan, ternyata sudah banyak mereka yang pindah dari Subdin atau bidang  PLS (pendidikan non formal dan informal) ke instansi yang sesuai dengan bidang keilmuannya. Berarti lapangan kerja untuk TLD ini, adalah merugikan bagi sarjana PLS dan Subdin/Bidang PLS membukakan pintu PNS bagi non PLS.
Ketiga: Bila melihat lapangan kerja sepertinya tertutup. Kalau kita cermati masih ada hal-hal diperhatikan sebagai berikut: tawaran formasi kerja terhadap sarjana PLS sepertinya tidak ada, padahal kekurangan. karena masa era reformasi ini, ternyata kebebasan untuk mengusul calon tenaga kerja melalui BKD atau apa istilah lain, cukup memprihatinkan. Mereka para berokrasi mengusul ke perencanaan kepegawaian berdasar daftar keluarganya yang belum mendapatkan lapangan kerja. Tapi tidak melihat sarjana mana yang tepat dan akurat untuk menggulir pekerjaan yang sangat teknis di Subdin/Bdang PNFI dan BP2NFI atau SKB. Belum lagi instansi terkait lain seperti: Depsos unuk pekerja sosial, BKKBN untuk PLKB dll. Hasilnya dapat kita lihat sendiri sarjana yang non PLS tidak betah bekerja di tempat itu, karena bukan bidang kesarjanaannya. Akhirnya setelah diangkat beberapa waktu kemudian pikir pindah ke bidang /instasi dinas keilmuannya. Maka tenaga kita hilang, akhirnya menjadi cemoohan masyarakat bahwa ”...PLS/PNFI menerima PNS dari bidang lain, setelah mereka dapat NIP sudah memikir pindah. Sementara sarjana pada bidangnya tidak tertampung...”  karena berbagai alasan.      
Kiptah PLS di pedesaan melalui pendirian PKBM menurut: Rina (20007) adalah:”... bisa lebih total dalam mengabdikan diri untuk memberdayakan masyarakat melalui pendidikan non formal. Ada yang menjadikan rumahnya sebagai kantor sekaligus tempat pembelajaran bagi kelombok belajar PAUD. Keberadaan Kejar ini, sangat diminati oleh masyarakat di desa, karena  mereka mulai tumbuh kesadaran membelajarkan anak, terlebih kalau ada yang gratis. Ini bisa dimaklumi, mengingat kehidupan masyarakat disini masih kurang menaruh perhatian pada biaya pendidikan anak-anaknya. Mereka berpikir anak adalah aset keluarga yang harus dilibatkan membantu ekonomi orang tua, sehingga kebanyakan dari mereka setelah lulus SD, anak-anak langsung dipekerjakan orang tuanya bekerja di sektor pertanian, tambak dan bekerja sebagai buruh pabrik yang banyak berdiri di sekitar desa. Selain kejar paket yang ada di desa dan berkiprah mendirikan PKBM juga yang mempunyai binaan kejar. Program PNFI yang ditangani selain pendidikan kesetaraan adalah menyelenggarakan program Keaksaraan Fungsional dan penyelenggaraan PAUD yang diberi nama Kelompok Bermain: “CAHAYA BUNDA” serta kursus bahasa inggris untuk instruktur anak usia dini.
Kiprah untuk program keaksaraan fungsional, PKBM  membina beberapa kelompok, dimana sampai saat ini keberadaan kelompok tetap berjalan dengan kegiatan ekonomi produktif yang dapat diakses ke perkotaan berupa usaha pembuatan banding presto dan rempeyek. “Lumayan hasil penjualannya bisa untuk memperbesar kas kelompok setelah dipotong biaya operasional. Harus disadari bahwa upaya memberdayakan dan membelajarkan masyarakat melalui program pendidikan luar sekolah, harus sabar dan telaten, mengingat masyarakat yang menjadi sasaran didik kebanyakan terdiri dari golongan kurang mampu secara ekonomi, sehingga mereka masih disibukkan oleh upaya mencari nafkah ketimbang mikir peningkatan mutu hidup melalui pendidikan.”
Kiprah para pejuang pendidikan luar sekolah dan kesehatan seperti: Dian Sofianty  dan Mehdinsareza W. (2007) mereka melihat:“...Jika dibandingkan dengan awal mula ketika berdiri kelompok belajarnya, untuk sekarang respon para pedagang sudah mulai bagus dan positif...”. Sosialisasi mereka pun tidak terbatas hanya  para pedagang saja, tetapi terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar Desa Tertinggal. Kiprah mereka yang tidak mengenal waktu   berjalan itu, dari kampung ke kampung untuk sosialisasi program. Diawal awalnya hanya  memiliki satu orang murid (warga belajar) ini, kemudian berkembang terus hingga memiliki puluhan murid...”.  
Dari sudut lain bagaimanapun juga kepentingan untuk mengenyam pendidikan dan kesehatan merupakan kepentingan dasar bagi setiap orang tak terkecuali mereka yang tinggal di kawasan desa tertinggal. Biaya pendidikan terkadang menjadi momok bagi para orang tua yang akhirnya memutuskan hal tersebut. Namun kesadaran para orang tua menganggap hal tersebut sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak didik menjadi salah satu faktor yang tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan kembali. 
Melihat aktivitas berbagai instansi terkait untuk kawasan perkotaan Jawa Timur yang postif ditiru. Mereka ini tentu bukan tanpa tujuan tempat kelompok belajar tersebut dibuat di pasar. Kepala Puskesmas Jagir, sebagai Tim eHealth di kantornya, ia seorang dokter:  Sri Peni Tjahyati (2008) menjelaskan bahwa:”...awalnya tempat tersebut bukanlah semata-mata sebagai tempat Posyandu. Tempat tersebut, awalnya merupakan Tempat Penitipan Anak (TPA) bagi anak-anak pedagang, namun tercetus ide dari beberapa instansi, bahwa daripada hanya penitipkan, bagaimana kalau diadakan PAUD juga dan sekaligus Posyandu jelasnya. Maka tahun 2005, Pos tersebut di bangun berdasarkan kerjasama dari beberapa instansi yakni dari: Dinas Pendidikan, PD Pasar, PKK Kota Surabaya dan juga Dinas Kesehatan Kota yang diwakili oleh Puskesmas Jagir...”.  Dengan demikian kemajuan, kemudahan disertai fasilitas pendidikan dan kesehatan serba tersedia dalam upaya kiprah pihaknya sebagai pelaksanan di lini lapangan sangatlah mudah dalam turut serta membina kelompok belajar untuk memajukan bidang pendidikan dan kesehatan. Sebaliknya di kawasan desa tertinggal tentulah tidak semudah yang diuraikan di atas. Karena di kawasan itu, pengambil kebijakan di tingkat lini selalu ada di tempat.  Sementara di kawasan pedesaan sering terkendala karena mereka itu, sering tidak bersamaan berada di tempat tugasnya. Dan mereka petugas lini lapangan ini kurang mau berkoordinasi seperti contoh di perkotaan  Surabaya karena punya kesibukan yang berbeda.

Kiprah Mahasiswa PLS Dalam Pemberdayaan
Kiprah mahasiswa PLS dalam upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan belum nampak di tanah air. Hal ini karena perguruan tinggi yang memproduk PLS tidak di semua perguruan tinggi negeri. Kecuali di Jawa Timur seperti: Malang, Surabaya dan Jember. Sementara yang swasta banyak di Jawa Barat, 1 di DIY dan 1 Univesitas Muhammadiyah di Sulawesi Tengah.
Dengan memperhatikan sebaran yang tidak merata, juga turut mempengaruhi kiprah mahasiswa PLS dalam upaya pemberdayaan kita kemasyarakat. Sebab Universitas Negeri saja tidak di semua provinsi ada. Sementara perguruan tinggi swasta terbesar di Jawa Barat, Jakarta, DIY dan Sulawesi Tengah.
Pemberdayaan mahasiswa melalui KKN dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat terasa mengecewakan. Karena ada perguruan tinggi yang tidak memiliki jurusan/prodi PLS tentunya diberikan oleh mereka yang bukan sarjana PLS dalam pembekalan KKNnya. Akibatnya kiprah PLS sungguh belum waktunya memberikan warna di tanah air.
Lab PLS tentu dalam mengerahkan mahasiswa untuk praktek Ke-PLS-an masih juga belum dapat mewarna kiprahnya. Karena ada dugaan di masing-masing Lab PLS di perguruan tinggi belum banyak mengadakan pertemuan sesama pengelolanya. Untuk sementara ini, menurut dugaan penulis masih sepertinya jalan di tempat masing-masing. Sehingga kiprah mahasiswa belum banyak dikenal masyarakat. Dan masyarakat  sepertinya aneh melihat kalau ada kegiatan mahasiswa PLS di lapangan. Hal ini juga membuat kiprah kita jadi tidak banyak dikenal masyarakat.
Penulis menyadari kiprah mahasiswa PLS bukan berarti tidak ada sama sekali. Sebenarnya sudah banyak, namun diiringi luarnya wilayah tanah air kita, disertai jumlah penduduk yang tidak merata, membuat kiprah kita belum dirasakan oleh semua orang itulah, dalam Sub topik terdahulu tentang kehadiran PLS di masyarakat, dilihat dengan sebelah mata.

Peran Pendidikan Tenaga Kepdidikan
Bila memperhatikan tentang pendidik tenaga kependidikan (PTK) bersama Warga Belajarnya Dalam Pemberian Keterampilan
Kewajiban Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kalau kita mengkaji terhadap PTK-PNF minimal ada 3 kewajiban mereka tenaga kependidikan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Adapun ke 3 hal tersebut menurut Darlan, (2010) sebagai berikut:
1.Berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, punya keratif, dinamis dan dialogis;
2.Berkewajiban mempunyai kometmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan luar sekolah; dan
3.Berkewajiban memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Dari ke 3 hal di atas, suatu kewajiban yang harus diciptakan oleh masing-masing pendidik dan tenaga kependidikan - pendidikan non formal dan infomal (TPK-PNFI) dalam menjalankan tugasnya. Agar dalam menjalankan profesinya dapat menjadi contoh bagi orang lain, baik di perkotanaan maupun pedesaan.
Kualifikasi Pendidik
Bila kita perhatikan dalam hal kualifikasi dan jenjang pendidikan, maka perlu diperhatikan pada hal-hal sebagai berikut:
 1. Pendidik harus memiliki kualitas minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional;
  2.Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
Kualialifikasi pendidik tentu saja tidak bisa bagaikan semudah membalik telapak tangan. Karena tugas mereka yang sangat mulia ini, tidaklah mudah dengan hanya diberikan satu atau dua hari atau satu dua bulan. Tapi pendidikan luar sekolah tentu memperoleh tenaga yang berkualitas menggunakan waktu 4 – 5 tahun. Jadi atas ketidak pahaman masyarakat selama ini, tentang pekerjaan PLS hanya sebatas ”pembarantasan buta huruf”, tidaklah seluruhnya demikian. Pekerjaan PLS sungguh luas dan memerlukan keahlian tersendiri. 
Perubahan Sosial Alamiah
Belajar dari pengalaman memang sebuah peristiwa penelitian yang berbeda-beda, ternyata ada perubahan diantaranya yang jatuh pada masa sekarang dengan masa sepuluh sampai lima belas tahun silam. Ada beberapa hal yang dilihat secara alamiah desa-desa tertinggal ini, pasti ada terjadi perubahan sosial secara alamiah. Hal ini seperti:
1.Masyarakat yang angka tuna aksara semakin berkurang;
2.Walau mereka tidak banyak berkomunikasi ke luar desa, tapi mereka tahu perkembangan desa, kota lain;
3.Modernisasi desa pasti terjadi walau secara lamban.
Dari konsep kemajuan perubahan pembangunan masyarakat desa menurut Piott Sztompka (2004; 23) bahwa:”... terlihat ciri-ciri fundamental kondisi kehidupan manusia; adanya jurang abadi antara kenyataan dan harapan...”.
Dalam perubahan sosial, secara alamiah terjadi sebagai akibat mereka: melihat, mendengar,  memperhatian, terhadap desa lain. Selain itu,  pemikiran masyarakat lambat laun termotivasi baik dari dalam dirinya maupun dari luar. Ingin menjadikan desa yang lebih maju dari masa sebelumnya. Sehingga perubahan sosial secara alamiah ini tidaklah atas datagnya bantuan pembangunan dari pemerintah, tapi secara alamiah tersebut muncul dari berkembang desa itu sendiri. Sebenarnya bantuan pembangunan dari pemerintah kalau sangat tanggung/tidak memadai, justru memanjakan masyarakat. Sehingga jiwa gotong royongnya mereka jadi hilang.

Perubahan Sosial Alamiah
Belajar dari pengalaman memang sebuah peristiwa penelitian yang berbeda-beda, ternyata ada perubahan diantaranya yang jatuh pada masa sekarang dengan masa sepuluh sampai lima belas tahun silam. Ada beberapa hal yang dilihat secara alamiah desa-desa tertinggal ini, pasti ada terjadi perubahan sosial secara alamiah. Hal ini seperti:
1.Masyarakat yang angka tuna aksara semakin berkurang;
2.Walau mereka tidak banyak berkomunikasi ke luar desa, tapi mereka tahu perkembangan desa, kota lain;
3.Modernisasi desa pasti terjadi walau secara lamban.
Dari konsep kemajuan perubahan pembangunan masyarakat desa menurut Piott Sztompka (2004; 23) bahwa:”... terlihat ciri-ciri fundamental kondisi kehidupan manusia; adanya jurang abadi antara kenyataan dan harapan...”.
Dalam perubahan sosial, secara alamiah terjadi sebagai akibat mereka: melihat, mendengar,  memperhatian, terhadap desa lain. Selain itu,  pemikiran masyarakat lambat laun termotivasi baik dari dalam dirinya maupun dari luar. Ingin menjadikan desa yang lebih maju dari masa sebelumnya. Sehingga perubahan sosial secara alamiah ini tidaklah atas datagnya bantuan pembangunan dari pemerintah, tapi secara alamiah tersebut muncul dari berkembang desa itu sendiri. Sebenarnya bantuan pembangunan dari pemerintah kalau sangat tanggung/tidak memadai, justru memanjakan masyarakat. Sehingga jiwa gotong royongnya mereka jadi hilang.

Harapan dan Kenyataan
Sungguh banyak kalangan yang memusatkan pikirannya terhadap masyarakat kawasan tertinggal. Karena objeknya sungguh luas,   dengan sebaran yang tidak merata, dan anggaran yang masih terbatas, mengakibatkan program-program yang dilancarkan tidak banyak menyentuh pada masyarakat kawasan desa tertinggal.
Sejujurnya bahwa tidak ada masyarakat kawasan desa tertinggal yang ingin selalu miskin. Apakah miskin pencaharian, miskin pendidikan dsb. Namun mereka selalu berharap kapan desa mereka mendapat kecuran pemberdayaan. sehingga ada kalanya program-program yang diluncurkan tersebut ternyata tidak banyak menyentuh pada mereka dengan berbagai alasan mereka berkilah.
Dari hasil penelitian di berbagai provinsi di Indonesia, kenyataannya bahwa pemberdayaan yang sudah dan sedang bergulir memerlukan pengkajian lebih mendalam lagi. Karena dalam pemberdayaan yang digulirkan dari pihak penyedia dana kepada masyarakat, belum banyak menunjukkan hasil yang memadai. Walau hal itu, penulis maklumi dengan segala keterbatasan yang ada. Harapan masyarakat untuk pemerataan pembangunan lewat pemberdayaan ini yang betul-betul sesuai dengan kebutuhannya. Andaikata ada program inovatif, sebaiknya bermanfaat untuk semua.
Kenyataan yang ada dalam pemberdayaan yang digulirkan tidak semuanya diketahui oleh masyarakat. Harusnya mereka tahu terhadap apa saja bentuk pemberdayaan kita. Sehingga harapan masyarakat ini, betul-betul dirasakan mereka.
Proses kemajuan desa tertinggal memang sangat langka kalau terjadi semakin hari, bulan, tahun akan menurun. Menurut Christopher Dawson (dalam Lasch 1991; 43) Berdasar konsep peradaban umat manusia dalam peradaban barat selama hampir 3.000 tahun belum pernah ada pemikiran demikian...”. Sehingga setiap warga masyarakat berharap pasti di desanya  mengharap terjadi kemajuan. Walau secara lambat.

Semoga Bermanfaat Untuk Semua, Amin yarabbal’amin.





Daftar Pustaka

Albertus, 2010. Percepat Pembangunan Desa Tertinggal di NTT,  Kupang.
Colly, 1986. Angka Kelahiran Masyarakat pedesaan, dosen Fakultas Kedokteran Komunitas (FKK) UGM, Yogyakarta.  
Darlan, H.M. Norsanie, 2002. Penelitian Masyarakat Desa tertinggal Kawasan Pantai, UPI, Bandung.
------------, 2010. Peran Pendidik dan Tenaga Kependidikan, berita, Lembaga Kantor Beita Antara, Jakarta.
Edi Basuki dan Zainal 2007. Kiprah Tenaga Lapangan Dikmas melalui PKBM dalam upaya memberdayakan masyarakat, Sidoarjo.
Edy, H.M. Lukman, 2008. Membangun Bangsa, Membangun Desa, Pada  Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal meluncurkan desa model yang dicanangkan langsung oleh Presiden RI, Jakarta.
Faisal, Sanapiah, 1981. Sosiologi Masyarakat Kota Dan Desa, Usaha Nasional Surabaya.
Media, Tim Akar, 2003. Kamus Lengkap Praktis Bahasa Indonesia, Akar media, Surabaya.  
Rina, 2007. Kiprah Tenaga Lapangan Dikmas melalui PKBM dalam upaya memberdayakan masyarakat dengan ketelatenan, Sidoarjo.
Sofianty, Dian  dan W. Mehdinsareza, 2007. Pos Multifungsi di Dalam Pasar Wonokromo, Surabaya.
Sudjana, Djudju, 2000. Pendidikan Luar Sekolah, PT. Al-falah, Bandung.
Tjahyati, Sri Peni, 2008. Membangun kerjasama dari beberapa instansi yakni dari Dinas Pendidikan, PD Pasar, PKK Kota dan Dinas Kesehatan Puskesmas, Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar