Minggu, 28 Mei 2017

UPAYA MEMASYARAKATKAN BUDAYA BACA DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Oleh : H.M.Norsanie Darlan Palangka Raya, Juli 2016 Pendahuluan Buku mecil berjudul Upaya Pemasyarakatan Perpustakaan dan Minat Baca Masyarakat ini, merupakan sebuah tulisan sederhana, yang dituangkan di atas kertas untuk tujun agar menjadi bahan bacaan masyarakat luas, berbagai bahan bacaan telah warga dituangkan baik dalam sebuah buku, majalah, koran, spanduk, poster dan berbagai media lainnya. Hal itu tidak lain adalah sebagai bagian untuk mensejahterakan setiap pembaca dalam upaya menuntasan buta aksara di negeri tercinta ini. Namun dalam dunia pendidikan luar sekolah/pendidikan non formal yang penulis tekuni, sebenarnya belajar membaca itu, tidak seluruhnya dalam bentuk tulisan seperti: buku, majalah, koran, tabloit dan sebagainya. Tapi kita bisa belajar pada lingkungan alam sekitar. Dan jika lingkungan sekitar itu, bisa kita tulis dan dituangkan dalam sebuah buku, alangkah indahnya karya kita itu. Dan dapat disumbangkan bagi generasi penerus bangsa. Walau masa sudah berlalu, tapi ide yang kita tulis selama masih belum hilang buku yang kita tulis itu, walau seabad atau lebih berlalu, ia tersimpan di perpustakaan dengan rapi, maka generasi penerus bangsa dapat membacanya apa dan bagainya peristiwa masa lampau. Hal ini terbukti seperti: teori Fransys Bacon, David Jones: Adult Education And Cultural Development, Alan Rogers, Ivan Elich, Paulo Freire, John Loce. Jhon Dewey, dll (mohon ma’af kalau keliru menulis namanya). Buku ini mengurai berbagai masalah tentang pemanfaatan perpustakaan dan motivasi budaya membaca yang dewasa ini siapapun yang kurang membaca, ia akan ketinggalan. Untuk lebih jelaskan isi buku ini, penulis akan mengurai secara sederhana hal-hal yang berkaitan dengan tersebut akan di urai di bagian lain: Arti Upaya Apa pengertian dari kata "upaya"? Yaitu: upaya adalah usaha yang dilakukan untuk tujuan tertentu ( dalam arti sebuah proses yang ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu) usaha; ikhtiar untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, dsb. Arti Memasyarakatkan Berbicara apa sebenarnya memasyarakatkan adalah: 1 berupaya menjadikan seseorang sebagai anggota di masyarakat yang gemar membaca; 2 menjadikan sesuatu program agar mudah dikenal oleh masyarakat. Apakah dalam budaya baca ataupun yang lainnya : usaha - gerakan budaya membaca itu sudah menunjukkan hasil. Rendahnya Budaya Baca Bila kita berbicara tentang rendahnya budaya baca, di berbagai kalangan memang tidak semua perpustakaan dapat dikunjungi masyarakat. Karena budaya membaca tentu sebaiknya tertanam sejak dari anak-anak. Karena kalau sudah dewasa baru muncul minat baca adalah sebagai kesadaran yang hampir terlambat. Kita sama maklumi setiap tanggal 17 Mei di peringati sebagai Hari Buku Nasional. Memang, pamor momentum tersebut, kalah jika dibandingkan dengan momentum lainnya, seperti Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) atau Hari Kebangkitan Nasional (21 Mei). Itu disebabkan banyak faktor, salah satunya ialah karena buku dan aktivitas yang terkait dengannya, seperti membaca dan menulis, tidak begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia. Benarkah demikian? Tentu tergantung pada kemajuan daerahnya. Menurut Admin, (2008) adalah: “...Semasa ia duduk di bangku sekolah, ada satu ungkapan menarik yang sering diungkapkan oleh guru-gurunya. Yaitu, ungkapan “membaca adalah kunci ilmu, sedangkan gudangnya ilmu adalah buku.” Sepintas ungkapan itu sederhana, namun di dalamnya terkandung makna penting...”. Bahwa membaca (iqra) ternyata merupakan perintah Allah SWT kepada seluruh umat manusia, sebagaimana tertuang dalam QS Al-Alaq [96] ayat 1-5. Selain itu artinya membaca menurut Admin, (2008) dan Norsanie Darlan (2014): “...Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya....” Dengan demikian, berkat membaca kelak kita bisa lebih mengenal apa yang ada di sekitar kita. Tak hanya itu, kita juga bisa mengenal alam semesta beserta ininya dan diri kia sendiri. Sedangkan menurut: writingsdy, (2007) bahwa:”...bagaimana kondisi minat baca di Indonesia?...”. sebuah pertanyaan di atas dengan berat hati kita katakan, minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Itu terlihat dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2006. Bahwa:”... masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton TV (85,9%) dan/atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%)...”. Data lainnya, misalnya International Association for Evaluation of Educational (IEA). Tahun 1992, IAE melakukan riset tentang kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar (SD) kelas IV 30 negara di dunia. Kesimpulan dari riset tersebut menyebutkan bahwa Indonesia menempatkan urutan ke-29. Angka-angka itu menggambarkan betapa rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak SD. Data di atas, sungguh mencengangkan dengan kita semua. Padahal, jika dikaitkan dengan perintah Yang Maha kuasa di atas, seharusnya bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam mampu melakukan aktivitas membaca. Apa pasal? Sebab, aktivitas membaca merupakan suatu perintah dari Allah SWT melalui Al-quran. Jadi, aktivitas membaca bisa dianggap sebuah kewajiban bagi setiap manusia. Hanya saja, dalam realitasnya aktivitas tersebut tidak gampang diwujudkan. Banyak faktor yang menyebabkan kemampuan membaca anak-anak Indonesia tergolong rendah, adalah sebagai berikut: Pertama: ketiadaan sarana dan prasarana, khususnya perpustakaan dengan buku-buku yang bermutu dan memadai. Bisa dibayangkan, bagaimana aktivitas membaca anak-anak kita tanpa adanya buku-buku bermutu. Untuk itulah, ketiadaan sarana dan prasarana, khususnya perpustakaan dengan buku-buku bermutu menjadi suatu motivasi tinggi bagi kita. Kalimat di atas dengan kata lain, ketersediaan bahan bacaan memungkinkan tiap orang dan/atau anak-anak untuk memilih apa yang sesuai dengan minat dan kepentingannya. Dari situlah, tumbuh harapan bahwa masyarakat kita akan semakin mencintai bahan bacaan. Implikasinya, taraf kecerdasan masyarakat akan kian meningkat; dan oleh karena itu, isyarat baik bagi sebuah kerja perbaikan mutu perikehidupan suatu masyarakat dengan motivasi membaca. Kedua: banyaknya keluarga di Indonesia yang belum mentradisikan/membudayakan kegiatan membaca. Padahal, jika ingin menciptakan anak-anak yang memiliki pikiran luas dan baik akhlaknya, mau tidak mau kegiatan membaca perlu ditanamkan sejak dini. Bahkan, Fauzil Adhim, (2007) dalam bukunya Membuat Anak Gila Membaca mengatakan, bahwa semestinya memperkenalkan membaca kepada anak-anak sejak usia 0-2 tahun. Dan sebenarnya pada usia ini bukan dalam arti membacara tulisan, melainkan mereka membaca gambar-gambar yang disediakan oleh orang tua. Sebab, pada masa 0-2 tahun perkembangan otak anak amat pesat (80% kapasitas otak manusia dibentuk pada periode dua tahun pertama) dan amat reseptif (gampang menyerap apa saja dengan memori yang kuat). Bila sejak usia 0-2 tahun sudah dikenalkan dengan membaca, kelak mereka akan memiliki minat baca yang tinggi. Dalam menyerap informasi baru, mereka akan lebih enjoy membaca buku ketimbang menonton TV atau mendengarkan radio. Namun, apa sajakah usaha-usaha yang perlu dilakukan guna menumbuhkan minat baca anak-anak sejak dini? Dalam buku Make Everything Well, khusus bab “Menciptakan Keluarga Sukses buah karya Mustofa W Hasyim ” (2005), menganjurkan :”...agar tiap keluarga memiliki perpustakaan keluarga...”. Sehingga perpustakaan bisa dijadikan sebagai tempat yang menyenangkan ketika ngumpul bersama istri dan anak-anak. Di samping itu, orangtua juga perlu menetapkan jam wajib baca. Tiap anggota keluarga, baik orangtua maupun anak-anak diminta untuk mematuhinya. Di tengah kesibukan di luar rumah, semestinya orangtua menyisihkan waktunya untuk membaca buku, atau sekadar menemani anak-anaknya membaca buku. Dengan begitu, anak-anak akan mendapatkan contoh teladan dari kedua orang tuanya secara langsung. Penulis setiap bepergian ke luar kota, apakah ke Banjarmasin, Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan selalu membeli buku bacaan. Alangkah indahnya buku bacaan yang dibeli selain untuk keperluan orang tua, juga buka bacaan untuk anak-anak di rumah. Sehingga anak lebih banyak di rumah untuk membaca dari pada pergi ke luar rumah untuk bermain ke tempat teman-temannya. Sedangkan di tingkat sekolah, rendahnya minat baca anak-anak bisa diatasi dengan perbaikan perpustakaan sekolah. Seharusnya, pihak sekolah, khususnya Kepala Sekolah bisa lebih bertanggung jawab atas kondisi perpustakaan yang selama ini cenderung memprihatinkan. Padahal, perpustakaan sekolah merupakan sumber belajar yang sangat penting bagi siswanya. Dengan begitu, masalah rendahnya minat baca akan teratasi. Padahal perpustakaan adalah “...jantung sekolah...”. artinya perpustakaan yang di dalamnya tersedia buku bacaan. Dan penulis pernah menyebutkan di berbagai tempat bahwa:”...buku adalah guru ke dua dari orang sukses...”. Selanjutnya, pemerintah daerah dan pusat bisa juga menggalakkan program perpustakaan keliling atau perpustakaan menetap di daerah-daerah. Sementara soal penempatannya, pemerintah bisa berkoordinasi dengan pengelola RT/RW atau pusat-pusat kegiatan masyarakat desa (PKMD). Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar, semakin besar pula stimulasi membaca sesama warga masyarakat. Selain hal-hal di atas, rendahnya budaya membaca menurut pustawan Indonesia H.Athaillah Baderi (2005) adalah:”...Kemampuan membaca (Reading Literacy) anak-anak Indonesia sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, bahkan dalam kawasan ASEAN sekali pun. International Association for Evaluation of Educational (IEA) pada tahun 1992 dalam sebuah studi kemampuan membaca murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV pada 30 negara di dunia, menyimpulkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 29 setingkat di atas Venezuela yang menempati peringkat terakhir pada urutan ke 30....”. Data di atas relevan dengan hasil studi dari Vincent Greannary yang dikutip oleh Worl Bank dalam sebuah Laporan Pendidikan “Education in Indonesia From Cricis to Recovery“ tahun 1998. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan membaca anak-anak kelas VI Sekolah Dasar kita hanya mampu meraih kedudukan paling akhir dengan nilai 51,7 setelah Filipina yang memperoleh nilai 52,6 dan Thailand dengan nilai 65,1 serta Singapura dengan nilai 74,0 dan Hongkong yang memperoleh nilai 75.5 Buruknya kemampuan membaca anak-anak kita sebagaimana data di atas berdampak pada kekurangmampuan mereka dalam penguasan bidang ilmu pengetahuan dan matematika. Hasil tes yang dilakukan oleh Trends in International Mathematies and Science Study (TIMSS) dalam tahun 2003 pada 50 negara di dunia terhadap para siswa kelas II SLTP, menunjukkan prestasi siswa-siswa Indonesia hanya mampu meraih peringkat ke 34 dalam kemampuan bidang matematika dengan nilai 411 di bawah nilai rata-rata internasional yang 467. Sedangkan hasil tes bidang ilmu pengetahuan mereka hanya mampu menduduki peringkat ke 36 dengan nilai 420 di bawah nilai rata-rata internasioal 474. Dibandingkan dengan anak-anak Malaysia mereka telah berhasil menduduki peringkat ke 10 dalam kemampuan bidang matematika yang memperoleh nilai 508 di atas nilai rata-rata internasional. Dan dalam bidang ilmu pengetahuan mereka menduduki peringkat ke 20 dengan nilai 510 di atas nilai rata-rata internasional. Dengan demikian tampak jelas bahwa kecerdasan bangsa kita sangat jauh ketinggalan di bawah negara-negara berkembang lainnya. Data dalam berita TVRI Palangka Raya, tanggal 9 Desember 2011. jam 18.30 mnyebutkan bahwa ada 200 desa telah memiliki perpustakaan masing-masing desa 1000 eks buku. Tidak jelas apakah hal ini Taman Bacaan Masyarakat (TBM) ataukah Perpustakaan Desa. Penyediaan buku ini harus diikuti dengan serkuliasi. Kalau buku yang tersedia tidak terjadi perubahan, minat baca mereka tentu akan turun. Rendahnya tingkat Pendidikan Masyarakat Menurut H. Athaillah Baderi (2005) adalah: ”...United Nations Development Programme (UNDP) menjadikan angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) sebagai suatu barometer dalam mengukur kualitas suatu bangsa...”. Tinggi rendahnya angka buta huruf akan menentukan pula tinggi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index – HDI) bangsa itu. Berdasarkan laporan UNDP tahun 2003 dalam “Human Development Report 2003” bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks – HDI) berdasarkan angka buta huruf menunjukkan bahwa “pembangunan manusia di Indonesia“ menempati urutan yang ke 112 dari 174 negara di dunia yang dievaluasi. Sedangkan Vietnam menempati urutan ke 109, padahal negara itu baru saja keluar dari konflik politik yang cukup besar. Namun negara mereka lebih yakin bahwa dengan “membangun manusianya“ sebagai prioritas terdepan, akan mampu mengejar ketinggalan yang selama ini mereka alami. Melihat beberapa hasil studi di atas dan laporan United Nations Development Programme (UNDP) maka dapat diambil kesimpulan (hipotesis) bahwa “ kekurangmampuan anak-anak kita dalam bidang matematika dan bidang ilmu pengetahuan, serta tingginya angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia adalah akibat membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya bangsa. Oleh sebab itu membaca harus dijadikan kebutuhan hidup dan budaya bangsa kita. Mengingat membaca merupakan suatu bentuk kegiatan budaya menurut H.A.R Tilaar (1999; 381) maka untuk mengubah perilaku masyarakat gemar membaca membutuhkan suatu perubahan budaya atau perubahan tingkah laku dari anggota masyarakat kita. Mengadakan perubahan budaya masyarakat memerlukan suatu proses dan waktu panjang sekitar satu atau dua generasi, tergantung dari “politicaal will pemerintah dan masyarakat“ Ada pun ukuran waktu sebuah generasi adalah berkisar sekitar 15 – 25 tahun. Merperhatikan Minat Baca Dalam mencari Cara Meningkatkan Minat Baca Siswa di Sekolah menurut Ari Es (2011) adalah:”...Masyarakat di Indonesia memiliki karakter yang berbeda-beda di setiap daerah begitu juga dengan karakter pelajar di sekolah. Dalam bidang budaya membaca seringkali media dalam mempublikasikan selalu di dominasi dengan pemberitaan yang menyatakan bahwa minat baca pelajar di Indonesia Rendah. Padahal secara fakta pasti ada (mungkin banyak) sekolah yang pelajarnya banyak yang suka membaca tapi hampir tidak pernah (sangat jarang) di publikasikan…”. Berdasarkan pengalaman penulis yang sering berkunjung di beberapa sekolah dan mendengarkan “…curhat-an dari pengelola perpustakaan sekolah…” melalui jejaring social menyatakan, jika sebenarnya minat baca pelajar tinggi. Melalui tulisan ini penulis ingin berbagi tips bagaimana supaya minat baca siswa di sekolah, tinggi. Untuk lebih jelasnya ada 3 hal dalam uraian sebagai berikut: 1. Tersedianya Perpustakaan yang Dikelola dengan Baik Bicara terkait dengan budaya baca tidak lepas dengan adanya peran penting sebuah perpustakaan terlebih di lingkungan sekolah. Sebuah perpustakaan harus memberikan pelayanan dan manajemen yang baik, dalam memberikan kebutuhan referensi siswa di sekolah. Jika perpustakaan adalah sebuah produk maka dia harus menjamin kwalitasnya dengan baik dan disukai oleh konsumen dalam hal ini oleh pelajar. Pustakawan juga harus cerdas dalam menganalisa koleksi buku apa yang diinginkan dan disukai oleh pelajar, jika perlu dilakukan penelitian atau request. 2. Promosi Gerakan Gemar Membaca di Lingkungan Sekolah Jika belajar dari perusahaan produk-produk yang mendunia, akan tahu betapa faktor penentu laku tidaknya sebuah produk adalah ditentukan faktor promosi (iklan), Tentunya poin pertama diatas (kwalitas) harus diutamakan. Jika poin pertama (Tersedianya Perpustakaan yang Dikelola dengan Baik) sudah terpenuhi, maka promosi wajib gencar dilakukan. Cara untuk melakukan promosi ini bisa bekerjasama dengan pihak kepala sekolah bersama jajaranya. Akan lebih baik lagi jika Kepala Sekolah, Guru, dan staff sekolah menjadi orang pertama yang mengawali gerakan gemar membaca di sekolahnya. Bisa juga membuat baliho atau spanduk di sekitar sekolah yang berisi seruan rajin membaca misalnya “Kami Ingin Pintar makanya Kami Suka Membaca”, Ingin jadi Juara dan Berprestasi ? Rajinlah Membaca” begitu dan sejenisnya. Cara lain bisa juga dengan cara kebijakan sekolah yang mewajibkan semua siswa pada seminggu sekali atau dua kali diwajibkan membaca sebuah buku diperpustakaan yang kemudian disuruh merangkum buku yang dipinjam serta menjelaskan apa point penting dari buku yang sudah mereka baca. Selanjutnya jangan terlalu sering menyalahkan para siswa ”malas membaca” jika para guru di sekolah sendiri tidak pernah memberikan contoh bahwa para guru juga gemar membaca. Pemasyarakatan Adapun apa maksud pemasyarakatan ini tidak lain adalah sosialisasi perpustakaan agar menjadi sumber belajar masyarakat di mana saja. Termasuk di Perpustakaan Daerah Kalimantan Tengah. Sedangkan arti secara harpiah dari pemasyarakatan menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani (2007) adalah:”... sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan...”. Sedangkan arti pemasyarakatan adalah keselompok manusia yang terpelajar dalam budaya membaca, untuk masa depan yang lebih baik dari masa sebelumnya. Menurut: Darlan (2011) adalah Masyarakat. Jika kita mengkaji konsep lama tentang masyarakat adalah sekelompok manusia yang menempati di suatu wilayah. Penulis mengambil pendapat salah seorang tokoh senior PLS kita: Sanapiah Faisal (1981) bahwa: “… masyarakat dibagi dalam 3 kelompok besar, masing-masing; Pertama: masyarakat perkotaan; Kedua: masyarakat pinggiran kota; dan Ketiga: masyarakat desa pedesaan...”. Dengan demikian dalam hal minat membaca bagi masyarakat ini, apakah di perkotaan, pinggiran kota, apa lagi desa pedesaan masih sulit kita wujudkan. Kecuali ada jamping yang sungguh dapat menjadikan masyarakat berdaya. Arti Budaya Membaca Budaya merupakan pikiran, akal budi, adat istiadat, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah (KBBI,2007: 169). Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa sanskerta buddhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal. Ahmadi membedakan pengertian budaya dan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut (Ahmadi,2007: 58). Menurut tokoh Antropolog Indonesia Koentjraningrat dalam Setiadi (2008: 26), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar. Menurut Selo soemardjan dan soelaiman soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.Sedangkan menurut Tylor dalam Setiadi (2008: 27), budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut dapat diperoleh pengertian mengenai budaya, yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia menjadi suatu kebiasaan yang diperoleh melalui belajar. Sedangkan kebudayaan merupakan hasil dari karya, rasa, dan cipta yang di dapat oleh manusia sebagai masyarakat. Membaca adalah melihat serta memahami isi dari apa yang ditulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati), mengeja atau melafalkan apa yang tertulis, mengucapkan, mengetahui, meramalkan, memperhitungkan, dan memahami (KBBI,2007: 83). Menurut Bond dan Wagner dalam Bafadal, (2008: 192 – 193) mendefinisikan membaca sebagai suatu proses menangkap atau memperoleh konsep – konsep yang dimaksud oleh pengarangnya, menginterpretasi, mengevaluasi konsep – konsep pengarang, dan merefleksikan atau bertindak sebagaimana yang dimaksud dari konsep tersebut. Menurut Soedarso dalam Abdurrahman (2003: 200), mengemukakan bahwa membaca merupakan aktivitas kompleks yang memerlukan sejumlah besar tindakan terpisah pisah, mencakup penggunaan pengertian, khayalan, pengamatan dan ingatan. Berdasarkan uraian tersebut, budaya membaca adalah suatu kebiasan yang didalamnya terjadi proses berfikir yang kompleks, terdiri dari sejumlah kegiatan seperti keterampilan menangkap atau memahami kata – kata atau kalimat yang tertulis, menginterpretasikan, dan merefleksikan. Dalam kegiatan membaca juga perlu memiliki kondisi fisik yang baik sehinnga konsentrasi tercurahkan sepenuhnya kepada teks atau tulisan yang sedang dibaca. Selanjutnya Sutarno (2006: 27), mengemukakan bahwa budaya baca adalah suatu sikap dan tindakan atau perbuatan untuk membaca yang dilakukan secara teratur dan berkelanjutan. Seorang yang mempunyai budaya baca adalah bahwa orang tersebut telah terbiasa dan berproses dalam waktu yang lama di dalam hidupnya selalu menggunakan sebagian waktunya untuk membaca. Budaya membaca adalah keterampilan seseorang yang diperoleh setelah seseorang dilahirkan, bukan keterampilan bawaan. Oleh karena itu budaya baca dapat dipupuk, dibina dan dikembangkan. Untuk tujuan akademik membaca adalah untuk memenuhi tuntutan kurikulum. Buku sebagai media transformasi dan penyebarluasan ilmu dapat menembus batas – batas geografis suatu negara, karena itulah buku disebut jendela dunia (Wikipedia,2011) Agar siswa dapat membaca dengan efesien perlulah memiliki kebiasaan – kebiasaan yang baik. Kebiasaan – kebiasaan membaca yang baik itu menurut Gie dalam Slameto, (2003: 84) adalah sebagai berikut: memperhatikan kesehatan membaca, ada jadwal, membuat tanda – tanda/ catatan – catatan, memanfaatkan perpustakaan, membaca sungguh – sungguh semua buku yang perlu untuk setiap mata pelajaran sampai menguasai isinya, dan membaca dengan konsentrasi penuh. Menurut Rozin (2008) Budaya membaca adalah kegiatan positif rutin yang baik dilakukan untuk melatih otak untuk menyerap apa – apa saja informasi yang terbaik diterima seseorang dalam kondisi dan waktu tertentu. Sumber bacaan bisa diperoleh dari buku, surat kabar, tabloid, internet, dan sebagainya. Dianjurkan untuk membaca berbagai hal yang positif. Informasi yang baik akan membuat hasil yang baik pula bagi anda. Salah satu sarana yang sangat menunjang tercapainya tujuan pendidikan adalah budaya membaca. Melalui perpustakaan siswa / mahasiswa dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang dimiliki, sehingga dapat menunjang proses belajar mengajar. Salah satu unsur penunjang yang paling penting dalam dunia pendidikan adalah keberadaan sebuah perpustakaan. Adanya sebuah perpustakaan sebagai penyedia fasilitas yang dibutuhkan terutama untuk memenuhi kebutuhan belajar akan sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekolah itu sendiri. Pada dasarnya Perpustakaan Perguruan Tinggi merupakan sebuah pusat pelayanan dan informasi. Untuk itu setiap pengunjung terutama civitas akademik, berhak mengetahui palayanan dan informasi apa saja yang dapat diperoleh di Perpustakaan Perguruan Tinggi Tersebut. Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah/PP No.5 tahun 1980 tentang pokok-pokok organisasi universitas atau institute, bahwa Perpustakaan Perguruan Tinggi termasuk kedalam Unit Pelayanan Teknis (UPT), yaitu sarana penunjang teknis yang merupakan perangkat kelengkapan universitas atau institute dibidang pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat (Fahmi, 2008). Menurut Bafadal (2008: 8) fungsi perpustakaan adalah sebagai berikut: 1. Fungsi edukatif Adanya perpustakaan sekolah dapat meningkatkan kemampuan membaca siswa, guru, dan karyawan. Selain itu, perpustakaan sekolah tersedia buku – buku yang sebagian besar pengadaannya disesuaikan dengan kurikulum sekolah sehingga dapat menunjang penyelenggaraan pendidikan di sekolah. 2. Fungsi informasi Bahan – bahan perpustakaan yang disediakan oleh perpustakaan sekolah baik buku – buku maupun non – buku seperti majalah, koran peta dan sebagainya, semua ini akan memberikan informasi atau keterangan yang diperlukan siswa, guru dan karyawan. 3. Fungsi riset Adanya bahan pustaka yang lengkap, siswa dan guru dapat melakukan riset yaitu mengumpulkan data atau keterangan – keterangan yang diperlukan. Tersedianya sarana dan prasarana perpustakaan yang ada diharapkan dapat menumbuhkan budaya membaca oleh seluruh warga sekolah / perguruan tinggi. Perpustakaan menjadi salah satu faktor penunjang dalam melestarikan budaya membaca. Selain itu, yang menjadi pendorong atas bangkitnya minat baca ialah ketertarikan, kegemaran dan hobi membaca. Sedangkan pendorong tumbuhnya kebiasaan membaca adalah kemauan dan kemampuan membaca. Kebiasaan membaca terpelihara dengan tersedianya bahan bacaan yang baik, menarik, memadai baik jenis, jumlah maupun mutunya. Oleh karena itu, kebiasaan membaca dapat menjadi landasan bagi berkembangnya budaya membaca. Sehubungan dengan minat, kebiasaan dan budaya membaca tersebut Sutarno (2006: 28 - 29) mengemukakan paling tidak ada 3 tahapan yang harus dilalui, yaitu: 1.Dimulai dengan adanya kegemaran karena tertarik bahwa buku – buku tersebut dikemas dengan menarik, baik desain, gambar, bentuk dan ukurannya. 2.Setelah kegemaran tersebut dipenuhi dengan ketersediaan bahan dan sumber bacaan yang sesuai dengan selera, ialah terwujudnya kebiasaan membaca. Kebiasaan itu dapat terwujud manakala sering dilakukan, baik atas bimbingan orang tua, guru atau lingkungan di sekitarnya yang kondusif, maupun atas keinginan anak tersebut. 3.Jika kebiasaan membaca itu dapat terus dipelihara, tanpa “gangguan” media elektronik, yang bersifat “entertainment”, dan tanpa membutuhkan keaktifan mental. Oleh karena seorang pembaca terlibat secara konstruktif dalam menyerap dan memahami bacaan, maka tahap selanjutnya ialah bahwa membaca menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi. Menanamkan Minat Baca Dan Budaya Baca Minat seseorang terhadap sesuatu adalah kecendrungan hati yang tinggi, gairah atau keinginan seseorang tersebut terhadap sesuatu. Minat baca seseorang dapat dartikan sebagai kecendrungan hati yang tinggi orang tersebut kepada suatu sumber bacaan tertentu. Sedangkan budaya adalah pikiran atau akal budi yang tercermin di dalam hidupnya. Budaya diawali dari sesuatu yang sering atau biasa dilakukan sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan atau budaya. Menurut Sutarno NS, (2001) Budaya baca seseorang adalah suatu sikap dan tindakan atau perbuatan untuk membaca yang dilakukan secara teratur dan berkelanjutan. Seorang yang mempunyai budaya baca adalah bahwa orang tersebut telah terbiasa dalam waktu yang lama di dalam hidupnya selalu menggunakan sebagian waktunya untuk membaca. Pendorong bagi bangkitnya minat baca ialah kemampuan membaca, dan pendorong bagi berseminya budaya baca adalah kebiasaan membaca, sedangkan kebiasaan membaca terpelihara dengan tersedianya bahan bacaan yang baik, menarik, memadai, baik jenis, jumlah, maupun mutunya. Inilah formula secara ringkas untuk pengembangan minat baca dan budaya baca. Dari rumus tersebut tersirat tentang pentingnya minat baca itu dikembangkan sejak dini, dimulai dengan perkenalan bentuk-bentuk huruf dan angka pada masa prasekolah hingga mantap penguasaan baca-tulis-hitung pada awal pendidikan di Sekolah Dasar. Perlu dicatat bahwa dalam dunia belajar modern setiap anak mulai berkenalan dengan bentuk-bentuk huruf dan tanda-tanda yang mempunyai arti tertentu. Menurut Fuad Hasan, (2001) akan lebih baik lagi kalau anak tersebut mulai menyadari bahwa rangkaian huruf-huruf itu mempunyai suatu cerita yang menarik, maka tentu mendorongnya untuk berkenalan dengan kata-kata dan selanjutnya berniat untuk dapat membaca. Demikianlah perkembangan anak sejak usia dini sudah mengenal berbagai bentuk huruf dan tanda yang kemudian diketahuinya memiliki makna. Oleh karenanya sangat diperlukan untuk membangkitkan rasa ingin tahu (curlousity) yang kuat pada diri seorang anak. Dengan begitu sejak usia dini pula perlu sudah tersedia bahan bacaan yang menarik, baik untuk dibacakan kepada anak atau dibaca sendiri olehnya sebagai titik awak membangkitkan minat baca. Bangkitnya minat baca juga terdorong sejauh mana perkenalan anak dengan bacaan dalam bentuk buku. Minat baca yang dikembangkan pada usia dini selanjutnya dapat dijadikan landasan bagi berkembangnya budaya baca. Subur dan terpupuknya perkembangan budaya baca tentu sangat bergantung pada tersedianya bahan bacaan yang memadai. Kita baru bisa bicara tentang budaya baca apabila membaca sudah terasa sebagai kebutuhan dan menjadi kebiasaan untuk dilakukan secara berkelanjutan. Jadi, tanpa tersedianya bahan bacaan kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi atau dipuaskan, dan mungkin saja kebiasaan tersebut akan menyusut. Apalagi kalau kebiasaan membaca tersebut mudah dipengaruhi oleh kebiasaan menonton melalui media elektronik yang sajiannya bersifat audio visual dan tidak dapat di pungkiri di zaman modern seperti ini kehadirannya semakin canggih dan suguhannya juga bervariasi dan sangat menarik perhatian. Sehubungan dengan minat dan budaya baca tersebut paling tidak ada tiga tahapan yang harus dilalui, yaitu : pertama, dimulai adanya kegemaran karena tertarik bahwa di dalam bacaan tertentu terdapat sesuatu yang menyenangkan diri pembacanya. Kedua, setelah kegemaran tersebut terpenuhi dengan ketersediaan bahan dan sumber bacaan yang sesuai dengan selera, maka terwujudlah kebiasaan membaca. Kebiasaan tersebut dapat terwujud manakala sering dilakukan, baik atas bimbingan orang tua, guru atau lingkungan disekitarnya yang kondusif, maupun atas keinginan anak itu sendiri. Ketiga, jika kebiasaan membaca itu dapat terpelihara tanpa gangguan media elektronik yang bersifat entertainment, dan tanpa membutuhkan keaktifan fungsi mental, karena seorang pembaca terlibat secara konstruktif dalam menyerap dan memahami bacaan, maka tahap selanjutnya ialah bahwa membaca menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi. Setelah tahap-tahap tersebut dapat dilalui dengan baik, maka pada diri seseorang tersebut mulai terbentuk adanya suatu budaya baca. Idealnya minat baca ditanamkan sejak dini dalam asuhan orang tua ketika mereka belum memasuki bangku sekolah. Kemudian minat ini ditumbuhkan mengikuti perkembangan dan pendidikan anak selanjutnya. Memang agak susah dalam meningkatkan minat baca pada anak kalau orang tua tidak memulai dari dirinya sendiri. Peran keluarga sangat dominan dalam perkembangan literasi anak. Hasil riset menunjukkan bahwa anak pada umumnya mulai belajar membaca dan menulis dari orang tua di rumah. Mereka akan gemar membaca jika melihat orang tua atau anggota keluarga lain di rumah sering membaca buku, koran, atau majalah. Anak sebenarnya sudah bisa dirangsang untuk gemar membaca bahkan ketika masih dalam kandungan ibunya. Bahkan Glenn Doman dalam bukunya “Mengajar Bayi Anda Membaca” menyebutkan bahwa anak usia 18 bulan hingga empat tahun memiliki “rasa ingin tahu” yang amat besar. Keingintahuan tersebut tidak hanya muncul ketika melihat simbol yang tertera dalam buku. Maka saat seperti itulah orang tua bisa memulai perannya untuk mengarahkan anak kepada bahan bacaan dalam upaya meningkatkan minat baca dan membudayakan membaca pada anak. Banyak orang sejak masa kanak-kanaknya sama sekali tidak pernah berkenalan dengan minat baca. Dengan demikian, usaha membudayakan minta baca (kegemaran dan kecintaan akan membaca) bukanlah usaha yang mudah dan dapat ditangani dalam waktu sesaat saja. Bagi orang tua, ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan minat baca anak. Pertama, Sediakanlah waktu luang untuk membacakan buku untuk anak setiap hari. Dengan membacakan menggunakan sara lantang pada anak secara rutin kepada anak akan menghasilkan perkembangan yang signifikan pada pemahaman membaca, kosakata, dan pemenggalan kata. Baik anak dalam usia belum sekolah maupun yang sudah, hal itu akan membuat mereka berkeinginan untuk membaca dengan sendirinya. Kedua, Kelilingi anak-anak dengan berbagai buku bacaan. Bujuklah anak untuk membaca dengan mengoleksi buku-buku bacaan yang menarik dan majalah yang sesuai dengan umur mereka. Letakkan buku bacaan di mobil, tempat tidur, ruang keluarga, dan bahkan di ruang TV. Ketiga, Buatlah waktu membaca bersama keluarga. Sediakan waktu setiap untuk seluruh anggota keluarga membaca bersama-sama dengan tenang. Dengan melihat anda membaca akan membuat anak anda ikut membaca. Ke-empat, Berikan dukungan pada berbagai aktivitas membaca mereka. Jadikan membaca sebagai bagian dari kehidupan anak. Biarkan mereka membaca menu, rambu jalanan, petunjuk pada mainan, ramalan cuaca, acara TV, dan semua informasi praktis harian. Dan juga, pastikan mereka selalu memiliki bacaan untuk waktu luang mereka. Kelima, Biasakan pergi ke perpustakaan. Ajak anak agar lebih banyak membaca dengan membawa mereka pergi ke perpustakaan setiap beberapa minggu untuk mendapatkan buku bacaan yang baru. Ke-enam, Ikuti terus perkembangan membaca anak. Cari tahu kemampuan membaca yang bagaimana untuk setiap level kelas. Kurikulum sekolah akan memberikan informasi tentang ini. Ikuti terus perkembangan mereka mendapatkan kemampuan dasar membaca melalui raport mereka. Hal ini juga dapat dilakukan dengan meluangkan waktu untuk mendengarkan mereka membaca. Ketujuh, Perlu diperhatikan oleh orang tua, apakah mereka ada kesulitan dalam membaca buku bacaannya. Cari tahu apakah anak dapat melafalkan kata-kata, mengetahui kata-kata yang dilihatnya, menggunakan susunan kalimat untuk mengidentifikasi kata-kata yang tidak diketahui, dan mengetahui sepenuhnya apa yang mereka baca. Jika terdapat masalah pada anak dalam membaca, maka orang tua dapat mengarahkan anak mengikuti bimbingan belajar untuk membaca. Masalah dalam membaca tidak dapat hilang begitu saja seiring berlalunya waktu jika dibiarkan saja. Kedelapan, Pakailah cara yang bervariasi untuk membantu anak. Untuk membantu anak dalam mengembangkan kemampuan membaca mereka, gunakan berbagai buku pedoman, program komputer, tape, dan materi-materi lain yang tersedia di toko. Menggunaka permainan merupakan pilihan yang baik, karena cara ini akan dapat membantu anak-anak mengembangkan kemampuan mereka sambil bergembira. Perlihatkan pula antusias anda saat anak membaca buku bacaannya. Reaksi anda memiliki pengaruh yang besar pada seberapa tinggi motivasi mereka untuk berusaha menjadi pembaca yang baik. Pastikan anda memberikan pujian yang tulus atas usaha keras mereka. Apabila perlu beri incentive kepada mereka sebagai hadiah dan pendorong atas aktivitas mereka dalam membaca. Sehingga upaya ini akan memberikan dorongan bagi anak untuk lebih gemar membaca dan mencintai buku-buku. Tidak ada yang lebih penting untuk kesuksesan akademik seseorang, selain menjadi pembaca yang baik. Orang tua mengenal anak-anak mereka dengan baik dan dapat menyediakan waktu dan perhatian yang akan membimbing mereka berhasil dalam membaca. Kemudian menurut Oleh : Siti Sarina, (2014) meningkatkan minat membaca dan menulis merupakan sebuah investasi jangka panjang. Layaknya sebuah investasi, yang hasilnya mungkin baru bisa dirasakan lima, sepuluh atau duapuluh tahun kedepan, dengan jaminan akan generasi yang tanggap, cerdas dan cekatan. Aspek Budaya Iman Sukwana (2014) tentang Aspek budaya baca menyebutkan: “…Sebenarnya apabila dikatakan budaya baca masyarakat Indonesia rendah bisa jadi merupakan kesimpulan yang tergesa-gesa. Dalam kehidupan sehari-hari masih dapat kita jumpai pengemudi becak, supir angkot atau profesi lain yang tidak termasuk kumunitas masyarakat intelektual begitu bernafsu terhadap bahan bacaan….” Sering kita jumpai pengemudi becak yang menemukan sobekan koran tidak serta merta mereka membuangnya tetapi akan dinikmatinya terlebih dahulu. Tidak sedikit pula dari kalangan ini yang membeli koran untuk mengisi waktu luang mereka sembari menunggu penumpang. Apabila indikator budaya membaca adalah minat membaca koran, maka tidak dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia tidak memiliki budaya membaca. Permasalahannya barangkali tidak dapat digambarkan sesederhana itu. Akan tetapi sejauh mana kemauan membaca tersebut mampu mendorong terwujudnya kualitas sumber daya manusia. Bagaimanakah golongan terpelajar sebagai kalangan yang diidam-idamkan sebagai agen perubahan memiliki kebiasaan membaca. Kebiasaan bukan sesuatu yang datang dengan tiba-tiba, demikian pula dengan membaca. Membaca bukan suatu yang menyangkut aspek vokasi sementara. Kebiasaan membaca juga tidak bisa ditumbuhkan secara instan, karema kebiasaan membaca menyangkut perilaku seseorang. Dalam teori prilaku, kebiasaan dapat ditumbuhkan kalau dilakukan secara terus menerus tetapi juga diperlukan pemaksaan, dalam artian hal ini diperlukan penekanan pada seseorang agar melakukan kegiatan membaca, sehingga terbentuk kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca tidak bisa dilepaskan dari budaya masyarakatnya. Artinya, untuk menumbuhkan budaya membaca juga tidak lepas dari aspek yang menyangkut budaya. seperti telah kita ketahui bersama bahwa masyarakat Indonesia cenderung memiliki budaya lisan dibanding dengan budaya menulis, banyaknya seni pertunjukan rakyat yang diwariskan secara lisan adalah contoh kuatnya budaya lisan, demikian juga budaya yang berkembang di masyarakat sehari-hari. Masyarakat pedesaan dengan kultur petani tradisional memiliki kebiasaan sanja atau ngerumpi sambil mencari kutu bagi sebagaian kaum perempuan untuk mengisi waktu luang mereka. Atau tradisi orang tua dulu yang mempunyai kebiasaan mendongeng sebelum tidur, walaupun cerita yang disampaikan hanya berkisar pengulangan belaka. Lonjakan perubahan budaya masyarakat yang seharusnya dari lisan kemudian ke tulisan lalu membaca, diperparah dengan keadaan perkembangan teknologi komunikasi yang dahsyat. Masyarakat cenderung mengambil alih teknologi terlebih dahulu ketimbang membaca. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan minat membaca apalagi menumbuhkan budaya membaca, selain membutuhkan waktu yang panjang juga dibutuhkan sentuhan yang bernuansa budaya dalam artian yang lebih luas. Secara teoritis, merubah perilaku bukan persoalan mudah, apalagi yang menyangkut persoalan sistem nilai. Budaya membaca lebih terkait pada pembiasaan. Merubah perilaku yang tidak terkait dengan nilai, memiliki kemungkinan untuk diubah dibanding dengan budaya yang menyangkut nilai. Untuk menumbuhkan budaya membaca perlu merubah pola pikir masyarakat. Artinya masyarakat perlu ditanamkan secara terus menerus arti penting dan keuntungan membaca. Dapat ditarik suatu pengertian bahwa secara kultural bangsa Indonesia adalah masyarakat yang lebih cenderung memiliki budaya melihat dan bicara dibanding budaya atau kebiasaan membaca. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki minat yang tinggi untuk melihat sesuatu. Keterbatasan Fasilitas Barangkali keterbatasan fasilitas merupakan permasalahan klasik. Akan tetapi hal tersebut merupakan fakta yang tak terbantahkan. Kondisi ini tidak lepas dari kebijakan makro dalam pelaksanaan pembangunan. Konsep pertumbuhan ekonomi yang sejak masa orde baru menjadi tema besar pembangunan nasional sehingga membawa konsekuensi yang bersifat ekonomis juga. Dalam artian ini dapat dikatakan juga bahwa faktor material menjadi ukuran dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Akibatnya, sesuatu yang tidak memberikan keuntungan ekonomis secara langsung cenderung tidak terprioritaskan. Dalam proses pembangunan harus diakui kemajuan fisik melesat secara spektakuler. Program pembangunan yang bernuansa ekonomis memperoleh porsi yang cukup menguntungkan. Sementara sektor yang tidak memberi keuntungan secara langsung cenderung kurang diperhatikan. Bidang perpustakaan, sekalipun diakui sebagai kunci dalam proses pembentukan dan pengembangan SDM tetapi tidak memperoleh porsi sebanding dengan sektor ekonomis. Akibatnya pemenuhan kebutuhan kepustakawanan relatif banyak menemui hambatan. Bahan pustaka, ruang baca, dan fasilitas lainnya jauh dari memadai. Kemauan masyarakat untuk membaca buku barangkali tidak diimbangi dengan kemampuan untuk membeli buku. Sisi lain lembaga publik di bidang perpustakaan pun belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Perkembangan Teknologi Informasi Masyarakat moderen sebagai produk globalisasi dan revolusi teknologi informasi memunculkan berbagai masalah sosial. Pengaruh kehidupan moderen, arus informasi maupun semakin membudayanya nilai sosial mempengaruhi tingkat perkembangan, perilaku, dan permasalahan yang dihadapi anak. Media masa, khususnya televisi merupakan biang keladi yang paling handal untuk mempengaruhi perilaku anak. Fenomena tersebut merupakan trend yang tidak dapat dihindari. Perkembangan teknologi informasi juga berdampak pada sikap dan perilaku siswa SD. Tidak sedikit dari mereka yang sudah menggunakan teknologi informasi baik berupa handphone, facebook, twiter maupun internet. Tidak jarang kondisi ini menimbulkan efek negatif bagi mereka. Kehadiran teknologi informasi semestinya disikapi secara proporsional. Sikap gagap teknologi adalah suatu yang tidak boleh terjadi, tetapi sikap kaget akan memalukan dan merugikan. Kecenderungan yang terjadi pada generasi muda pada umumnya saat ini adalah hanya mampu menggunakan teknologi komunikasi bukan memanfaatkannya. Istilah menggunakan lebih memberikan kesan netral yang belum tentu memiliki nilai positif, tetapi istilah memanfaatkan lebih memiliki nuansa positif. Selamat Membaca DAFTAR PUSTAKA Bafadal, 2008. definisi membaca sebagai suatu proses Belajar, Artikel, Jakarta Darlan, H.M. Norsanie, 2011. Upaya Pemasyarakatab Perpustakaan Dan Minat Baca Masyarakat, makalah, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah, Kalteng, Palangka Raya Hasan, Fuad, 2001. Akan lebih baik lagi kalau anak tersebut mulai menyadari bahwa rangkaian huruf-huruf, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. Rozin, 2008, Budaya membaca adalah kegiatan positif dan rutin, Yogyakarta Sukwana, Iman, 2014, Peran Budaya Baca di masyarakat umum, Perpustakaan Daerah, Banten, Serang. Sutarno 2006, mengemukakan bahwa budaya baca adalah suatu sikap dan tindakan atau perbuatan, Jakarta. Slameto, 2003, memperhatikan kesehatan membaca, Artikel, Jakarta. Ahmadi,2007, Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa, Jakarta. Fahmi, 2008. pengabdian pada masyarakat, Artikel, Yogyakarta. Sutarno NS, 2001. Budaya baca seseorang adalah suatu sikap dan tindakan atau perbuatan untuk membaca, Artikel, Jakarta. Sutarno, 2006. mengemukakan paling tidak ada 3 tahapan yang harus dilalui, Artikel, Jakarta. Siti Sarina, 2014. meningkatkan minat membaca dan menulis merupakan sebuah investasi jangka panjang, Artikel, Jakarta. Sukwana, Iman, 2011. tentang Aspek budaya baca, Makalan, Jurnal Pendidikan, Jakarta. Penulis: H.M.Norsanie Darlan, Prof. Dr. MS PH. Guru Besar S-1 dan S-2 PLS/PNF Universitas Palangka Raya, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar