Rabu, 17 Agustus 2011

Pendidikan Luar Sekolah (PLS)


Oleh  :

H.M.Norsanie Darlan

Pendahuluan
Pendidikan luar sekolah (PLS) masih banyak dan belum dikenal dari berbagai lapisan masyarakat, walaupun setelah kita jelaskan hampir semua orang pernah belajar melalui jalur pendidikan luar sekolah ini. Karena segala kegiatan pendidikan di luar jalur formal, maka pendidikan itu masuk pada pendidikan luar sekolah. Misalnya seseorang ikut kursus: menjahit, membuat kue, menyulam, kursus komputer, program Paket A, B dan C,  dll. Pendidikan seperti itu, masuk dalam pendidikan luar sekolah. Atau pendidikan nonformal.

Menengok Prodi PLS Di Tanah Air
Secara realita di tanah air kita memang program studi PLS S-1 belum mencakup ke seluruh Provinsi di tanah air. Hal ini terbukti bahwa program studi PLS di Universitas negeri hanya sebanyak 18 perguruan tinggi dan di Universitas Swasta 17 yang menumpuk di Jawa Barat 6 prodi 3 di Jawa Timur, 2 Di Yograkarta. Sedangkan yang lainnya tersebar tidak merata. Kalimantan setahu penulis hanya ada di kota Palangka Raya.
Jika kita memperhatikan Program Magister S-2 PLS di tanah air masing-masing 2 di Jawa Barat di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan STKIP di Cimahi. Selain itu, di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Negeri Malang (UM) sedangkan di luar Jawa hanya ada di Universitas Palangka Raya.

Mengenali 3 Jalur Pendidikan  
Hampir semua orang menurut Norsanie Darlan (2011) ada 3 jalur pendidikan bahwa:”...berupa jalur informal, non formal dan formal...”. sekarang mari kita pelajari secara seksama satu persatu. Namun konsep ini diurut berdasar usia pendidikan itu sendiri, yang diuraikan dalam uraian berikut ini:
1.     Pendidikan informal; adalah pendidikan dalam keluarga. Tentunya sudah ada sejak zaman Adam. Kenapa penulis sebut demikian, karena pendidikan ini bergeser dari dalam keluarga, hingga ke lingkungan di sekitarnya. Seperti ayah memberikan fatuah pada anaknya. Disini telah muncul mana manfaat dan mana pula yang mudharat. Dan pendidikan ini betul-betul muncul dengan sendirinya. Namun anjuran orang lain di lingkungan itu, dapat diterima oleh yang lain sebagai bahan masa depannya kelak. Contoh secara realita bagi kita disaat pendidikan keluarga ini muncul membiasakan orang lain dan dirinya sendiri dalam berperilaku yang baik. Anak kecil dilatih untuk menggunakan tangan kanan dalam menerima ataupun menyerahkan sesuatu kepada orang lain. Terlebih kepada yang lebih tua. Sehingga anak jadi terbiasa melakukannya. Contoh lain bersikap sopan terhadap orang lain, agar ia tidak menjadi celaan sesama teman bermainnya. Munculnya sikap berperilaku agar menghormati orang yang lebih tua dan juga sesama segenerasinya dsb. Di kalangan masyarakat ada yang mempertanyakan. Kenapa beda di Departemen dengan realita di masyarakat dengan adanya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ia ada di Dirjend Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Sedangkan TK ada Subdin di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang tidak menengok ke pusat. Sehingga TK tidak berada di Subdin PLS. Pertanyaan ini sering menggelitik dan menggelikan, kalau proyeknya besar ia tidak akan diserahkan pada Sub Din PLS. Tapi kalau tidak ada yang memroyekkan maka pekerjaan TK dan Paud baru diserahkan pada SubDin PLS. Sebaik kita kaji ketingkat pusat, jika di pusat ada di Dirjend PLS, kenapa di daerah harus pada Subdin non PLS.
Tanda tanya pula bagi kalangan PLS organisasi yang mengelola hal ini (ke PLS-an) pun juga banyak ditangani oleh mereka yang non PLS. Terkadang orang-orang PLS sering tak kebagian. Permasalahan seperti ini bagi tenaga PLS berterima kasih. Namun ada kalanya pekerjaan ini, tidak kesampaian sehingga tenaga-tenaga PLS terkesan karena ada proyeknya itulah sehingga mereka terlibat. Namun sebaiknya harus juga betul-betul program kerja organisasi ini, dapat terlaksana dengan baik.

2.     Pendidikan Non Formal (Pendidikan Luar Seklolah) biasa disebut dengan PLS merupakan pendidikan masyarakat yang karena sesuatu dan lain hal, seseorang tidak dapat menyelesaikan pendidikan di pendidikan formal, maka pendidikan luar sekolah dalam kurun waktu 14 – 45 tahun bisa bergabung ke pendidikan luar sekolah ini, adalah pendidikan yang ternyata lebih tua dari pendidikan formal ini di Indonesia. Diawali sejak penjajah Belanda berkeinginan melakukan sesuatu. Maka para pemuda terampil mereka daftar untuk mengikuti kursus tertentu ke tempat yang ditentukan. Misal pihak pemerintah Belanda berkeinginan mendirikan Gedung Pemerintahan di kota-kota besar di Indonesia. Maka mereka kursus para pemuda dalam dunia pertukangan dalam kurun waktu tertentu. Setelah anggaran dari negeri Belanda datang, maka tenaga kerja yang telah selesai dilatih tersebut mengerjakan Bangunan Gedung Kantor Pemerintah Belanda. Sehingga bila kita masih ingat di awal tahun 60-an masih berdiri gedung-gedung pemerintah Belanda baik di Provinsi maupun Kabupaten, bahkan sampai tahun-tahun pertengan 70-an. Hanya saja typenya yang berbeda. Makin besar jumlah penduduk maka mikin besar pula gedung yang didirikan.
Contoh lain yang masih sebagian ada menjadi munomen seperti: Gereja, di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Makassar dan kota-kota lainnya. Bentuknya hampir sama, Cuma besarnya yang berbeda.
Dalam masa kemerdekaan sekarang ini penulis mencoba memberikan contoh masa orde baru, yakni Masjid dari: Yayasan Amal Muslim Indonesia. Hampir di semua kota Kabupaten ada, tinggal typenya yang berbeda. Penulis saat menulis edisi ini, dalam masa reformasi belum melihat secara jelas apa peninggalan untuk masa depan kita di negeri tercinta ini. Walau dalam masa reformasi banyak protes karena kebesan yang sudah memuncak, belum banyak hasil-hasil yang diprotes menemukan titik yang dinantikan oleh banyak orang. PLS bicara dalam hal Fasilitas belajar, tenaga pengajar (tutor), Warga Belajar (WB) masih belum selengkap mereka yang berada dalam pendidikan formal.             

3.     Pendidikan Formal (Pendidikan persekolahan) adalah suatu pendidikan yang diselenggarakan serba siap. Apakah fasilitas belajarnya, tenaga pengajarnya ataukan siswanya.
Fasilitas belajar dimaksud adalah: gedung sekolah, materi/buku pelajaran, kurikulum, meja dan kursi belajar, perpustkaan hingga ke media pendidikan seperti OHP atau sekarang seteraf LCD.
Tenaga pengajar seperti: guru, pengawas, penjaga sekolah bahkan pembayaran gaji mereka sudah disiapkan pemerintah.
Sedangkan siswanya sudah ada. Karena mendirikan gedung sekolah pasti ada studi kelayakan sebelumnya.  Sehingga dipersiapkan segalanya, agar pendidikan formal itu, dapat berjalan dengan baik dan lancar.



                                                                                                                           Pendidikan
                                                                   Informal                                                  Pendidikan  Non
                                                                                                                                                Formal/PLS








                           Pendidikan
                   Formal

Catatan: Untuk UU Sistem Pendidikan Nasional No 2/1989
               ada 2 jalur. Namun dalam UUSPN No 20/2003
                                  ada 3 jalur pendidikan seperti gambar di atas.

Pendidikan formal atau sistem persekolahan ini, sejak dari sekolah dasar hingga pendidikan tertinggi. Maksudnya dari Sekolah Dasar/MI, SMP/Mst, SMA/MAN, berbagai Sekolah Menengah Kejuruan, Akademi, dan Pendidikan tinggi, yang ada program pasca sarjana dan doktor.
Semua hal-hal di atas, sudah disiapakan dengan lengkap. Dan tidak ada yang selesai kurang dari setahun. Artinya dalam program persekolah atau dengan kata lain dalam pendidikan formal ini, betul-betul menggunakan waktu, punya tempat, dan tenaga pengajarnya. Namun di Indonesia pendidikan baru sejak 2 Mei 1908.
Dengan demikian, berarti urain dingkat tentang 3 konsep dasar pendidikan  yang ditampilkan di atas, menurut urut pendidikan yang kita setiap setiap umat manusia sejak awal. Sehingga uaian ini memberikan setitik pengetahuan dasar bagi para ahli dibidang pendidikan untuk berpikir dan menganalisis pada kita semua bahwa dalam SPN  kita, ternyata jalur pendidikan berubah-rubah berdasarkan kebutuhan para konseptor di negeri ini.

Apa Itu Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan luar sekolah menurut Darlan (2006) merupakan barang baru di kalangan pendidikan. Namun di jurusan Pendidikan sosial atau pendidikan masyarakat ia sudah mengetahui bahwa pendidikan luar sekolah mendidik ahli agar memiliki seperangkat keahlian dan keterampilan dalam bidang kemasyarakatan. Dalam Undang-Undang No 20/2002 diubah menjadi pendidikan nonformal. Padahal para tokoh bahasa, sudah puluhan tahun menyamakan pendapat agar ucarapan, tulisan yang berbau bahasa asing harus di Indonesiakan. Sehingga jalur pendidikan luar sekolah cenderung berubah nama dengan pendidikan nonformal.

Pendidikan luar sekolah (PLS) dimaksud, bertujuan memberikan inovasi baru pada masyarakat dengan cara belajar-membelajarkan di luar sistem perseko lahan.

Pendidikan yang disebut luar sekolah, tentu ada bedanya dengan pendidikan formal. Pendidikan formal selalu berhadapan langsung dengan warga belajar (murid) di ruang kelas. Sedangkan pendidikan luar sekolah tentu di masyarakat. Ruang lingkupnya pun lebih luas dan menyesuaikan kebutuhan warga belajarnya (W.B). Sedangkan di sekolah formal, tentu sudah punya kurikulum tertentu dan diatur menyeluruh. Bila di luar sekolah pendidikan diarahkan pada Non Formal. Sehingga ada beda yang menentukan antara pendidikan formal dengan Non formal ini.
Dengan demikian yang menjadi pendidik luar sekolah itu adakalanya secara tidak disadari bahwa ia menjadi petugas luar sekolah. Sehingga menjadi petugas pendidik luar sekolah tentu suatu usaha kemanusiaan, dan keadilan. Kemanusiaan karena ingin membantu orang lain agar terlepas dari segala masalah sosial. Dari segi keadilan bila ditinjau dari sudut Pancasila berarti tidak ingin senang sendiri. Melainkan harus adil, bila dia berhasil lingkungan sekitarnya juga demikian. Hal itu dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan.

PLS di kalangan pejabat formal
Sampai Sampai saat ini masih banyak orang tidak menyadari bahwa dirinya sebagai individu yang katanya tidak tahu bagaimana pendidikn luar sekolah. Sepertinya ia tidak pernah mengikuti PLS itu sama sekali. Tapi kalau kita tanya dalam hidupnya ternyata sederet kursus dan pelatihan yang ia ikuti. Kursus dan pelatihan itu, adalah: pendidikan luar sekolah.
Seorang pejabat formal tidak mengerti bahwa dirinya berkali-kali ikut PLS. Tapi bertanya lagi apa sebenarnya pendidikan luar sekolah itu?.  Setelah dijelaskan pendidikan luar sekolah telah ia ikuti sejak mulai masuk kerja, hingga ia menempati jabatan tertentu. Misal mulai masuk kerja dengan ikut pelatihan: Pra jabatan. Setelah akan atau telah mendudukan jabatan tertentu pada eselon tertentu, ia ikuti pula Diklat kepemimpinan seperti: untuk eselon IV ia ikut Diklat Kepemimpinan Tingkat IV dan seterusnya. Akhirnya sang pejabat ini baru sadar, jabatan yang ia duduki didahului dengan: sebuah proses pendidikan luar sekolah. Ini baru dalam aspek pebajat formal. Belum lagi di kalangan masyarakat yang mengikuti berbagai kursus dan pelatihan yang di selenggarakan oleh berbagai lembaga kursus dan pelatihan.

PLS Ditinggalkan
Sungguh menyedihkan, kalau Bidang Pendidikan Non Forma dan Informal, baik tingkat  provinsi maupun kabupaten/kota menjauhi terhadap program studi PLS apakah  pada S1 ataupun Program Magister (S-2) PLS di Pascasarjana Universitas Palangka Raya, tentu akan menjadikan ketidak harmonisan. Karena program dari pusat yakni Dirjen Paud dan PNFI Kementerian Pendidikan Nasional RI, berkali-kali menghimbau kepada para dosen dan ketua Program agar mahasiswa diarahkan supaya banyak tahu program-program  yang dilancarkan bidang PNFI kerjakan kerjakan. Namun dosen dan mahasiswa tidak akan bisa dimanipulasi tentunya, karena mereka selalu ingin tahu, atas kebijakan yang dilancarkan. Apakah betulan ataukah hanya bersimulasi belaka. Mahasiswa adalah generasi pengganti kita semua pada waktunya. Perbuatan kita sekarang menjadi batu ujian ke masa datang. Baik buruknya pekerjaan kita sekarang akan ditayangkan oleh mereka saat mereka menduduki pekerjaan/jabatan yang sama nantinya.
Ada cemoohan mahasiswa/mahasiswa kami, kenapa bidang PLS tidak diduki oleh orang yang sarjana PLS. Anggapan mereka jika orang-orang yang bekerja dibidang PNFI ditempatkan mereka yang cocok kesarjaannya, dan bukan asal pasang kesarjanaan itu, maka perkembangan PNFI di Provinsi dan Kabupaten/Kota tentu jauh lebih baik dari masa sekarang. PNFI sebenarnya adalah pekerjaan teknis, dan beda sekali dengan bidang lain. Bidang PNFI ini,  tidak semua orang tahu apa onderdil PNFI itu. Jika di tempatkan orang-orang yang bukan ahlinya, dan semata-mata mencari jabatan belaka, maka tunggu kehancurannya.

Hasil Penelitian
Bila kita menilik sebuah hasil penelitian oleh mahasiswa program magister PLS yang dilakukan oleh Kisransyah (2011) bahwa:”...penempatan tenaga pamong belajar yang tidak berlatar belakang ke-PLS-an, ternyata tugas pamong belajar di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) tidak dapat seluruhnya diselesaikan oleh pamong belajar itu sendiri. Karena tugas dan fungsi pamong belajar sangat melekat dimiliki oleh para sarjana PLS...”. Apakah mereka alumnus S1 ataukan S2. karena dalam perkuliahan yang ia ikuti di PLS, ternyata sangat menyentuh berbagai kegiatan ke-PLS-an apakah PKBM, lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan luar sekolah di tanah air.
Kisransyah baru dalam aspek SKB, masih banyak para mahasiswa S1 dan S2 PLS meneliti dalam berbagai bidang apakah Subdin PLS, SKB, PKBM, dan berbagai lembaga penelenggara pendidikan luar sekolah seperti: Kursus dan pelatihan yang diselenggarkan baik oleh pemerintah maupun swasta.
 
Mana Yang Lebih Tua
Mana lebih tua Pendidikn informal, dengan pendidikan persekolahan (pendidikan Formal) dan PLS (pendidikan Non Formal), ternyata harus kita mengkaji kebelakang pada abad silam.
Jika kita melakukan suatu perjalanan yang cukup panjang terhadap masa lalu dalam sejarah pendidikan. Masa ke tiga jalur pendidikan seperti tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003  itu, tentunya masing-masing punya sejarah sendiri-sendiri. Untuk lebih jelasnya, mari kita pelajari masing-masing uraian berikut ini:
1.  Pendidikan Formal atau persekolahan. Pendidikan ini dikenal baru muncul setelah ke 2 jalur pendidikan di atas manusia semakin tahun semakin membutuhkan pendidikan keteraturan, sistematis, terencana dan punya ijazah bahkan gelar tertentu. Maka munculah pendidikan formal.

2.  Pendidikan Nonformal adalah: pendidikan tahap berikutnya. Karena pendidikan diterima masih di luar sekolah. Artinya masih belum dijenjang  persekolahan. Seperti anak bermain di lingkungannya diwaktu kanak-kanak. Dalam masa dewasapun kita mengikuti kursus keterampilan tertentu memberikan suatu makna pendidikan luar sekolah. Pendidikan Luar Sekolah ini juga sudah berlangsung sejak zaman doeloe.

3.  Pendidikan Informal adalah: pendidikan yang tertua dari 3 jalur pendidikan di negeri kita tercinta ini. Kenapa demikian? Jawabnya sangat sederhana sekali, sebab pendidikan informal adalah pendidikan dalam keluarga. Pendidikan informal pasti diterima oleh semua orang.
Sebenarnya masih ada lagi beberapa negara di dunia, memiliki konsep yang lebih dari 3 konsep dasar atau jalur pendidikan. Seperti negeri tetangga kita Philipina, di tahun 80-an masih pada Undang-Undang Pendidikan negeri mereka yang tidak saja pada  seperti tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional kita nomor 20 tahun 2003. Tapi mereka memiliki 4 jalur pendidikan. Demikian juga masa itu di benua Amereka dan negara-negara lainnya.
Di Indonesia saja, terbitnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) kita nomor 2 tahun 1989, di Indonesia hanya 2 jalur pendidikan. Yakni pendidikan Persekolah (Pendidikan Formal) dan Pendidikan Luar Sekolah (Pendidikan Nonformal) dewasa ini. Sedangkan Pendidikan Informal secara langsung berada pada pendidikan Luar Sekolah. Untuk diketahui juga masa itu, pihak tokoh pendidikan bahasa ingin betul-betul ingin memangkas sebutan, peristilahan, kata-kata asing. Untuk tidak dipakai. Sehingga banyak yang berubah ke bahasa Indonesia. Apakah nama hotel, dan kata-kata/istilah-istilah asing di dunia pendidikan sepakat mulai tidak di pakai. Termasuk dalam sebut pendidikan Formal, Non Formal dan Informal ditinggalkan. Sehingga secara jelas jalur pendidikan di Indonesia hanya ada Jalur Pertama: Pendidikan Sekolahan dan Jalur Kedua: Pendidikan Luar Sekolah. Rupanya ada ketidak puasan kelompok tertentu yang turut terlibat dalam penyusunan konsep UUSPN nomor 20 tahun 2003 memunculkan lagi konsep-konsep peristilahan asing tampil lagi ke permukan.

Pendidikan Kewirausahaan
Pendidikan kewirausahaan sebetulnya ditanamkan sejak lama. Bukan setelah sarjana. Kenapa demikian?. Pertanyaan di atas, merupakan bahan berpikir kita semua. Penulis sangat setuju kalau di semua perguruan tinggi pendidikan kewirausahaan dijadikan materi kuliah seperti: Ilmu Alamiah Dasar di perguruan tinggi.
Alangkah indahnya mahasiswa disaat memperdalam konsep perkuliahan diantara pada semester 6 – 7 mengembangkan pendidikan kewirausahannya yang terkait dengan konsep keilmuannya. Saat itu, mahasiswa tidak lagi berpikir agar mencari kerja ke PNS tapi ia sudah berpikir usaha apa yang bakal ia jadikan sebagai lapangan  kerja untuk diri.  Kalau hal itu kita lakukan retrospektif di awal tahun 80-an bahwa agar sarjana bisa memberikan lapangan kerja bagi orang lain. Bukankah hal itu, konsep kewirausahaan. Saat itu pemerintah pernah memberikan: pinjaman berupa kredit  mahasiswa Indonesia (KMI) yang dikecurkan via bank tidak lain sebagai modal usaha untuk mahasiswa yang sudah berada pada semester-semester akhir.
Dosen pembina mata kuliahnya harus membawa ke lapangan terhadap mahasiswa yang sedang memprogramkan / merencanakan mata kuliah kewirausahaan ini. Kalau perlu dosen yang mengajar harusnya mereka pengusaha berhasil. Atau ada dosen yang punya usaha kecil-kecilan dan berhasil yang dapat diperlihatkan kepada mahasiswa.
Dengan demikian hal di atas, merupakan pendidikan kewirausahaan dalam pendidikan formal di perguruan tinggi.

Pendidikan Kewirausahaan Non Formal
Sungguh menakjubkan, menurut Soeparman (1979) bahwa:”...kalau kita mengkaji secara jeli satu persatu para usahawan kita di berbagai daerah di tanah air kita ternyata, banyak yang berhasil...”, Keberhasilan tersebut juga adalah yang diselenggarakan oleh tokoh pendidikan luar sekolah (PLS), baik dilaksanakan secara kebetulan maupun sudah direncanakan jauh sebelumnya. Menurut Norsanie Darlan (1983) bahwa:”...Para pemuda yang secara kebetulan putus sekolah, mencari tempat-tempat penyelenggara pendidikan luar sekolah seperti: kursus perkebunan, perternakan, pertukangan, perbengkelan, montir dan berbagai kursus kerajinan lainnya...”.
Di kota Yogyakarta dengan kerajinan peraknya, di wilayah sama juga desa Kasongan dikenal karena grabahnya, di Semarang pemanfaatan buang nangka djadikan kripik, sebetulnya di pesisir Kalimantan Tengah Puruk Cahu dengan dodol Duriannya, limbah sabut kelapa untuk dijadikan: Sapu, keset, dll. Di Banjarmasin pertengahan tahun 70-an dengan batik sasirangannya. Samarinda dengan Sarung Samarinda, Malang dengan Kramiknya dll. Artinya mereka yang jeli terhadap dunia usaha akan bisa memanfaatkan lingkungan untuk dijadikan sumber penghasilan.
Sebaiknya para pemuda generasi penerus bangsa, agar melirik jalur PLS untuk mengangkat sumber daya alam (SDA) di sekitar untuk dijadikan sumber penghasilan demi mencari sesuap nasi untuk keperluan dirinya sendiri, keluarga pemuda lainnya.

Sering Berubah Nama
Perubahan nama berkali-kali membuat penggemarnya jadi suram dan lucu. Itulah sebuah pemikiran penulis bahwa harus mengajak para pemerhati lapangan. Apakah nama itu baru dikenal masyarakat sudah ganti lagi dengan mana baru, ini bisa jadi tenggelam atau jadi tambah dikenal. Kita lihat nantinya. Memang kementerian pendidikan nasional seperti punya kewajiban ganti menteri, ganti pula istilahnya. Timpoe doeloe pernah disebut dengan Dirjen pendidikan masyarakat, lalu berganti berubah dengan pendidikan luar sekolah pemuda dan olahraga. Dipindah pemuda dan olahraga ke Kementrian baru disebut: Kementerian Pemuda dan Olahraga, tinggal  pendidikan luar sekolahnya. Kemudian muncul Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 jadi pendidikan non formal dan informal. Masih belum kering cat papan nana dengan istilah PNFI diubah lagi dengan nama baru, Dirjen pendidikan anak usia dini dan pendidikan nonformal informal (PAUDNI). Apa lagi konsep menteri yang akan datang?. Sepertinya mau ada lagi yang diganti. Di kalangan formal saat pergantian menteri selama masa periode mengubah mana SMA jadi SMU, yang ternyata produk isinya tidak ada berubah. Kok itu-itu saja. Harusnya ada perubahan yang siknifikan. Ini membuang energy dan biaya kepala sekolah membuat papan nama baru. Tapi mungkin dalam proyek yang menguntungkan, pihaktentu.
Melihat hal di atas, penulis hanya mengusulkan harusnya kalau tidak terjadi perubahan yang terlalu fatal, apalah artinya merubah nama dan menjadikan apa yang ada dibawahnya bisa jadi berantakan. Para pelaksana di lapangan khususnya di perguruan tinggi bidang program studi/jurusan PLS di berbagai pertemuan nasional tidak sepakat kalau program studi/jurusan itu, kurang sepakat untuk  berubah-ubah. Karena tempoe doeloe diberi nama jurusan pendidikan pendidikan sosial, pendidikan masyarakat, berubah lagi ke pendidikan luar sekolah. Sudah membengungkan konsumen tenaga kerjanya. Akhirnya lulusan /alumnusnya jadi kehilangan arah.
 Di tingkat provinsi perubahan nama dari Kantor Wilayah menjadi Dinas Pendidikan hingga saat ini, masih tidak semua orang mau menyebut kantor Dinas Pendidikan. Mereka yang generasi lama, masih menyebutkan kanwil, termasuk penulis sendiri. Walau perubahan nama ini, sudah mencapai puluhan tahun. Demikian juga dengan tingkat kabupaten/kota Kandep menjadi Dinas. Ini baru satu Kementerian. Masih banyak yang lainnya. 
Dengan demikian masyarakat akan menjadi jenuh dan kurang menarik walau tampilan banyak yang inovasi, namun mereka sudah jenuh sebelum mendapatkan berbagai pejelasan. Selain itu, penempatan tenaga sebagai akibat reformasi kita yang kebablasan. Ditambah dengan kebebasan menempatkan tenaga kerja yang tidak sesuai pada tempatnya. Membuat  masyarakat jadi kesulitan dalam mencari pelayanan. Sementara karena penempatan negara yang kurang profesional sehingga menyulitkan dalam memberikan pelayanan. Itulah Pendidikan non formal atau PLS di Indonesia.
Contoh di tanah air yang tercinta ini ada di sebuah kabupaten bupati terpilih dari pengusaha, bukan berlatar belakang PNS. Dengan pendidikan secukupnya. Ia  mau memberikan penghargaan dalam eselon kepada anakbuahnya yang rajin dan dianggap pandai mendekati Bupati itu, dari eselon IV maupun di naikkan ke eselon V. Ini ka karena ketidak tahuan. Di kabupaten lain di tanah air juga Bupati menempatkan kepala Dinas Pendidikan mutasi dari kepala Dinas Pekuburan. Bukankah hal ini, sudah kebablasan?. Masa lalu, kepala kantor wilayah  Pendidikan dan Kebudayan Mendiknas tidak akan menempatkan Ka Kanwilnya kalau ia bukan lulusan IKIP atau FKIP.  Tidak akan terjadi Ka Kanwil Agama lulusan dari Universitas kecuali yang ditempatkan mereka lulusan IAIN. Atau STAIN. Contoh lain, kepala Rumah sakit Direkturnya Ir. Kepala/kejaksaan bergelar dokter, dll. Ini akan merusak tatanan pemerintahan yang sebetulnya erat dengan pengaruh KKN, atau karena kepentingan politik. 

Lapangan Kerja PLS
Kehadiran nama yang berubah-ubah, baik di tingkat pusat maupun di daerah, disertai lajunya reformasi yang kebablasan yang terlalu deras, membuat lapangan Kerja Sarjana PLS jadi sedikit terhabat. Hal ini tidak lain, pihak pemerintah dalam perencanaan pegawainya. Tidak terlalu banyak melihat tupoksi kesarjanaan yang ingin diterima. Tapi lebih banyak mengingat keluarga dekat yang masih belum kerja sebagai PNS. Sehingga membuat lapangan kerja sarjana yang berdasarkan tupoksinya jadi tidak muncul ke permukaan.
Masa salampau sebelum era reformasi, sarjana PLS ditampung oleh: Dirjen PLS, Subdin/Kabid, BP2PNFI, SKB seluruh Indonesia. Kementrian Sosial, Dinas Provinsi, Kabupaten /kota   dan BKKBN untuk PLKB baik tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota. Sedangkan guru sarjana PLS disiapkan pengajar Sosiologi untuk jurusan IPS dan guru Antropologi untuk jurusan Bahasa.
Dipihak lain tenaga kami masa lalu, pada Kementirian/Dinas/Badan yang memiliki pendidikan dan latihan (Diklat) Balai latihan kerja (BLK). Serta PKBM ada tutor, Instruktur, Widyaiswara pada lembaga-lembaga  penyelenggara kursus dan latihan.
Dengan lajunya era reformasi dewasa ini, membuat perencanaan PNS kita sering tidak melihat tupoksi sarjana. Akibatnya sarjana yang dipekerjakan seakan-akan asal-asalan. Termasuk juga ”...mereka yang bukan didik untuk guru, bisa jadi guru...”. hasilnya lihat saja.
Dalam tulisan ini, penulis menyarankan kepada semua pihak, untuk memperhatikan tupoksi kesarjanaan. Karena ada sejumlah hasil penelitian Tesis mahasiswa program magister (S2) PLS melihat ada kurangnya tenaga PLS di berbagai dinas terkait. Sementara dalam mereka menjalankan tugasnya dirasakan kurang sesuai dengan yang mereka harapkan.

Kiprah PLS Dalam Pembangunan
Sungguh menggembirakan, jika digulirkannya konsep dari program pemberdayaan masyarakat untuk kalangan masyarakat pedesaan. Terlebih bagi mereka yang secara sengaja ataukah kebetulan terlahir  hingga dewasa di kawasan desa tertinggal. 
Pemberdayaan tentu kalau kita memperhatikan asal katanya “daya” yang ditambah awalan pember dan akhiran an. Jika diperhatikan istilah daya Tim  Akar Media (2003; 100) bahwa:”…suatu kekuatan, tenaga pengaruh akal dengan cara ihktiar…” Sementara Djudju Sudjana (2000) bahwa:”…menyejelaskan daya adalah banyak macamnya. Ada dari alam, tenaga air, angin, listrik, mata hari dsb…”.  Sehingga hal itu, akan memimbulkan sebuah daya. Namun dalam upaya pemberdayaan masyarakat ini, tentu saja sasarannya warga masyarakat. Untuk tujuan memberikan motivasi dalam proses belajar memberlajarkan mereka  dengan tujuan pendidikan non formal ataukah in formal.  
Pemberdayaan mahasiswa melalui KKN dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat terasa mengecewakan. Karena ada perguruan tinggi yang tidak memiliki jurusan/prodi PLS tentunya diberikan oleh mereka yang bukan sarjana PLS dalam pembekalan KKNnya. Akibatnya kiprah PLS sungguh belum waktunya memberikan warna di tanah air.
PKBM Zamzam di Kota Malang
produk Dosen PLS UNM
Lab PLS tentu dalam mengerahkan mahasiswa untuk praktek Ke-PLS-an masih juga belum dapat mewarna kiprahnya. Karena ada dugaan di masing-masing Lab PLS di perguruan tinggi belum banyak mengadakan pertemuan sesama pengelolanya. Untuk sementara ini, menurut dugaan penulis masih sepertinya jalan di tempat masing-masing. Sehingga kiprah mahasiswa belum banyak dikenal masyarakat. Dan masyarakat  sepertinya aneh melihat kalau ada kegiatan mahasiswa PLS di lapangan. Hal ini juga membuat kiprah kita jadi tidak banyak dikenal masyarakat.
Penulis menyadari kiprah mahasiswa dan dosen PLS bukan berarti tidak ada sama sekali. Sebenarnya sudah banyak, namun diiringi luarnya wilayah tanah air kita, disertai jumlah penduduk yang tidak merata, membuat kiprah kita belum dirasakan oleh semua orang itulah, dalam Sub topik terdahulu tentang kehadiran PLS di masyarakat, dilihat dengan sebelah mata.

Balai Peran TIK
Sungguh dinantikan kehadiran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di berbagai lapisan masyarakat. Namun dalam pembenahan ke depan Balai Pengembangan Tiknologi Komunikasi dan Informasi, sangat membantu dalam proses peningkatan SDM kita.
Pelaksanaan TIK dewasa ini, sungguh merupakan yang harus kita dukung dan kita sukseskan. Karena proses pemasyarakatan TIK tidak dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal. Kecuali melalui jalur pendidikan non formal atau PLS.
Diharapkan jika tenaga guru sudah terpenuhi, alangkah baiknya juga para Tutor, Instruktur, Widyaiswara,  Pamong Belajar, juga harus mendapatkan fasilitas dan kesempatan yang sama dalam kehadiran TIK ini. Karena para  Tutor, Instruktur, Widyaiswara,  Pamong Belajar juga memerlukan TIK ini dalam mereka merancang bangun dan rekayasa materi belajar dengan menggunakan peralatan yang memadai.

Peran PLS Masa Depan
Sungguh menakjubkan, bila memperhatikan berbagai negara maju yang ternyata hasilnya mengembangkan PLS menurut: H.Djudju Sudjana (1999) dan H. Endang Sumantri (2000) bahwa:”...makin maju suatu negara, makin berkembang pula Pendidikan Luar Sekolah...”. ke-2 tokoh di atas meneliti di berbagai negara pada tahun 80-an apakah ke Erofa ataukah A.S. yang hasilnya sungguh menakjubkan. Kenapa di Indonesia tidak begitu dikenal, karena sebaran sarjana PLS dewasa ini, disertai kurangnya lembaga/Institusi yang memproduk, membuat masyarakat sulit baik megenal ataupun untuk dikenalkan.
Selain 2 guru besar PLS, di atas masih 2 orang guru besar PLS yang lain yang juga mendapatkan kesempatan mengkaji Peran PLS ke masa depan masing-masing: Sutaryat (2001) dan Idochi Anwar (2002) bahwa:”... negara Jepang dan Jerman suatu kegara maju dengan teknologi yang serba canggih, ternyata tidak pernah meninggalkan jalur pendidikan luar sekolah. Negeri Sakura sangat maju di bidang teknologi, dalam mempekerjakan karyawan baru, walau ia (calon pekerja) itu sarjana pada bidangnya. Pemerintah mereka tidak membenarkan karyawan baru ini setelah diterima bekerja, dan langsung masuk kerja. Mereka menugaskan karyawan baru ini, ikut kursus/magang, ngernet doeloe sebelum masa kerja pada lembaga penyelenggara PLS tentang tata cara penyelamatan kerja pada bidang pekerjaan itu...”. Sehingga angka kecelakaan kerja sangat rendah. Perusahaanpun tidak akan mengeluarkan biaya mahal dalam penyediaan anggaran biaya kesakitan akibat kecelakaan kerja.
Di tanah air  hal di atas, belum memasyarakat di dunia perkantoran maupun perusahaan. Dalam dunia perkantoran, CPNS misalnya. Bekerja sudah 1 (satu) tahun baru diberikan prajabatan. Sebetulnya prajabatan ini, diberikan beberapa minggu, sebelum CPNS itu masuk kerja. Sehingga lapangan kerja baru yang ia terima secara sederhana sudah ia ketahui sebelum ia bekerja di tempat yang sebenarnya.
Kalau hal ini diterapkan, baik di dunia pemerintahan perkantoran ataupun dunia usaha, peran PLS semakin besar di tanah air. PLS bukan hanya pemberantasan Tuna Aksara, melainkan dibanyak hal.  Dan negeri ini akan masuk pada klasifikasi maju. Mudah-mudahan, Amin.
 
Daftar Pustaka

Anwar, Idochi, 2002. Pembedayaan Masyarakat dalam upaya mensejahterakan Umat, Bandung.
Darlan, M. Norsanie, 1983. Pendidikan Kewiraswastaan Bagi Mahasiswa, FKIP Unpar, Palangka Raya.
------------, 2006. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, FKIP Unpar, Palangka Raya.
------------, 2006. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, FKIP Unpar, Palangka Raya.
-----------, 2010. Kiprah PLS Dalam Pembangunan Masyarakat Kawasan  Desa Tertinggal (Antara Harapan dan Kenyataan), Kuliah Umum Pada Sekolah Pascasarjana Program S-2 dan Doktor di UPI Bandung.
------------, 2011. Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan di Kalangan Pemuda, Dinas Pemuda dan Olahraga, Provinsi Kal-Teng, Palangka Raya.
Hamid, 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Kemendiknas RI, Jakarta.
Sumahamidjaya, Soeparman, 1979. Penanaman Jiwa Kewiswastaan di Kalangan Pemuda, P-4 Pemuda Tingkat Nasional, Cibubur, Jakarta,
Sudjana,H.Djudju, 2000. Pendidikan Luar Sekolah, PT. Al-falah, Bandung.
Sumantri, H.Endang, 2000. Partisipasi Pendidikan Luar Sekolah Dalam Pembangunan, Sekolah Pascasarjana UPI, Bandung.
Prof. Dr. H.M.Norsanie Darlan, MS PH guru besar PLS Universitas Palangka Raya. Mengajar pada S-1 dan S-2 PLS.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar