Jumat, 27 Oktober 2017

STRATEGI PENATAAN RENCANA PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA KE PALANGKA RAYA

Ole : H. M. Norsanie Darlan bagian ( 2 ) Publikasi Via Media Penulis Rabu, 30 Juli 2014 diwawancarai Syamsudin Hasan, SH (Wartawan LKBN Antara) Banjarmasin. Walau penulis berada di Erofa saat itu, pertanyaannya tepat saat itu, Presiden Baru Tampilkan bagaimana apakah perlu Model Baru. Penulis selaku Akademisi dari Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah Prof Dr HM Noranie Darlan MS, PH sudah berpendapat, presiden baru harus menampilkan model baru pula. "Kalau tidak, kurang indah hanya melanjutkan program lama. Harusnya menunjukkan program baru yang lebih baru pula," saat menjawab pertanyaa Antara Kalimantan Selatan, di Banjarmasin. Penulis selaku putra Kalteng dengan motto daerahnya Isen Mulang (Pantang Mundur) itu mencontohkan kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara RI yang beberapa tahun belakangan di mana-mana banjir. "Sedangkan lokasi baru di sekitarnya sulit atau tidak mungkin untuk menghindar dari banjir," "Sementara Kalteng lahan tersedia yang luas. Kenapa tidak dialihkan ke Kalteng saja Ibu Kota Negara atau Pusat Pemerintahan Indonesia," pengalihan pusat pemerintahan atau Ibu Kota Negara itu tentu ada ketertautan dengan pembangunan daerah tertinggal. "Sebenarnya masih banyak lagi program yang harus dialihkan dari Ibu Kota atau Pulau Jawa agar tidak terjadi kesenjangan sosial," tutur Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (Korwil ICMI) Kalteng itu. "Jadi kita tak perlu risih atas pemindahan Ibu Kota Negara atau pusat pemerintahan. Apalagi kita tidak ada permasalahan mendasar dalam pemindahan pusat pemerintahan tersebut," lanjutnya. Sebagai contoh dalam pemindahan kota/pusat pemerintahan negara, antara lain Malaysia, Amerika Serikat, dan Australia, mereka tak pernah rugi, bahkan tambah maju, mengingatkan wacana presiden pertama Republik Indonesia Ir Soekarno yang mau mengalihkan Ibu Kota Negara ke Pahandut, Kalteng. Pahandut asal nama desa di tepi sungai dan kota Palangka Raya, ibu kota Kalteng, yang peresmiannya oleh Presiden Soekarno pada 17 Juli 1957. Dalam perkembangan provinsi yang luasnya hampir satu setengah kali luas Pulau Jawa tersebut, kini berkembang menjadi 14 kabupaten/kota. Sebelum era otonomi daerah tahun 1999, provinsi yang kaya dengan sumber daya hutan itu hanya terbagi enam kabupaten/kota, yaitu Kota Palangka Raya, dan Kabupaten Kapuas. Selain itu, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kotawaringin Barat (Kobar), Barito Selatan (Barsel) dan Kabupaten Barito Utara (Barut). Pada era reformasi/otonomi daerah terjadi pemekaran, Kabupaten Kapuas, Kotim dan Kobar masing¬-masing dimekarkan menjadi tiga kabupaten. Sementara Barsel dan Barut masing-masing dimekarkan menjadi dua kabupaten. Pemekaran dari Kabupaten Kapuas yaitu Kabupaten Pulang Pisau dan Gunung Mas, dari Kotim tambah Kabupaten Katingan dan Seruyan, Kobar tambah Kabupaten Lamandau dan Sukamara. Untuk pemekaran Basel tambah Kabupaten Barito Timur (Bartim) dan Barut ditambah Kabupaten Murung Raya (Mura), (ant), (BAMSOETNEWS). Menyimak Masa Lampau Seorang reporter salah satu media: Adhi (2016) Senin, 07 November 2016 otonomi,co.id mengomentari tentang: Jakarta Macet, banjir, polusi udara, pemukiman padat penduduk, dan masih ada lagi segudang masalah lainnya yang mendera Ibu Kota DKI Jakarta. Parahnya, yang diawali parahnya sejak 2009 silam, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sempat menempatkan Jakarta sebagai kota terjorok ketiga di dunia setelah Meksiko dan Thailand. Menurut: Purwo Santoso, (2009) bahwa: apakah Jakarta masih ideal diagung-agungkan sebagai ibu kota negara? Ya, wacana untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke kota lain memang bukan kabar baru. Di era Orde Baru, Presiden Soeharto sempat berencana memindahkan ibu kota pemerintahan dari Jakarta ke Jonggol, Bogor, Jawa Barat. Terbaru, pemerintah di bawah arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sempat membahas ide memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Pulau Kalimantan. Apakah Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur dan Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringan Barat pun sempat mengemuka sebagai calon ibu kota baru. Namun arealnya tidak seluas wilayah di sekitar kota Palangka Raya. Sebetulnya, ide memindahkan ibu kota dari Jakarta sendiri sudah sernpat diwacanakan di era Presiden Soekarno. Memasuki tahun 1950-an, (Penulis Belum Lahir) Bung Karno sudah meramalkan Jakarta akan menjadi kota yang pertumbuhannya tak terkendali. Berdasarkan hal itu, Soekarno yang sedang melakukan safari kenegaraan ke beberapa negara pun memanfaatkan momen tersebut untuk melakukan studi banding melihat kota-kota di negara lain. Pada 1956, Soekarno akhirnya membuka kepada publik bahwa ia memiliki rencana untuk memindahkan ibu kota Indonesia dan Jakarta ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Mengapa Palangka Raya? Dikutip dari laman harian Merdeka, ada beberapa pertimbangan Ir. Soekarno. Foto Bung Karno Diabadikan di sekitar Tiang Pancang Pertama Pertama, Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia. Alasan Kedua, Soekarno ingin berusaha menghilangkan sentralisasi Jawa. Ketiga Selain ke 2 hal di atas, pembangunan Kota Jakarta dan Jawa secara umum adalah konsep peninggalan Belanda. Soekarno ingin membangun sebuah ibu kota dengan konsepnya sendiri. Bukan peninggalan penjajah, tapi sesuatu yang orisinil oleh bangsanya sendiri, "Jadikanllah Kota Palangka Raya sebagai modal dan model," ujar Ir. Soekarno saat pertama kali mendirikan tonggak pembangunan Kota Palangka Raya pada 17 Juli 1957 lalu". Di tengah hutan belantara yang masih perawan masa itu. Adinda Nurrizki, (2017). bahwa kota Palangka Raya saat ini sering disebut-sebut karena menjadi kandidat terkuat ibu kota Indonesia yang baru. Kota ini disebut sebagai kota ideal karena berada di pulau yang luas, di tengah-tengah gugusan pulau NKRI, dan minimnya potensi bencana. Jika memang ibu kota akan dipindahkan ke Palangka Raya, maka tentu ada saja tempat wisata yang indah dan bisa Anda nikmati di berbagai tempat sekarang, seperti melayari alur sungai dan menangkaran urang Hutan. Peristiwa 60 Tahun Silam Sebuah peristiwa yang sangat tidak begitu berarti jika kita melakukan retrospektif 60 tahun silam. Kenapa demikian, desa Pahandut yang terletak tidak jauh dari persimpangan sungai kahayan dengan sungai Rungan. Ada desa kecil yang berpenduduk tidak seberapa. Mengingat kota Sampit terlalu dekat dengan pesisir laut Jawa. Demikian juga Kuala Kapuas disamping dekat pesisir yang sama, juga hanya 40 Km di sebelah barat Kota Banjarmasin (Ibu kota Kalimantan Selatan). Maka diambil lokasi yang agak di tengah-tengah yaitu desa Pahandut. Yang saat itu penuh dengan hutan balantara, oleh Gubernur Kalimantan Tengah yang pertama: Cilik Riwut. Bung Karno yang melihat lokasi Pahandut menjadi kota Palangka Raya itu sangat strategis dengan berbagai pertimbangan: 1. Tidak pernah terjadi bencana Banjir, 2. Tidak ada Gunung Meletus, dan 3. Di tempat ini berada di tengah-tengah pulau terbesar di negeri kita. (saat tulisan ini Diturunkan, Kalteng provinsi terluas/terbesar ke dua setelah Papua). Perlu kita ketahui bersama konsep Bung Karno yang bisa kita ingat kota Palangka Raya bukan kota peninggalan Belanda. Jika diperhatikan dalam peta, jarak ke Aceh maupun ke Papua dan kota Palangka Raya juga hampir sama. Berarti Palangka Raya betul-betul di tengah-tengah negeri. Dan sekarang menjadi provinsi terluas ke 2 itu di tanah air, wajar Palangka Raya) dijadikan ibu kota negara. Kehadiran Bung Kamo ke Pahandut/Palangka Raya tidak hanya sekali, tapi berulang kali. Walau hanya naik kapal Sungai (Bus Air) dengan menghabiskan waktu yang panjang. Dan membawa para dosen Fakultas Teknik apakah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) maupun Universitas Indonesia (UI). Untuk merancang bangun dan rekayasa sebagai kota idaman, yang akan dijadikan ibu kota negara. buktinya sekarang jalan-jalan yang dikonsep saat itu, selalu lebar dan tertata baik. Jakarta Terendam Banjir Banyak sumber menyebutkan, bahwa ibu kota negara semakin tahun semakin menghawatirkan. Apa lagi. Kali Sunter yang melintasi Cipinang Melayu, ditambah, curah hujan yang tinggi sepanjang hari kemarin. (KOMPAS.com / GARRY Andrew Lotulung). Jakarta, KOMPAS.com — Hujan deras yang mengguyur wilayah Jabodetabek pada Selasa (21/2/2017) pagi menyebabkan sejumlah wilayah terendam banjir. Setidaknya ada 54 wilayah di lbu Kota yang terendam banjir. "Ribuan rumah dan jalan terendam banjir dengan ketinggian bervariasi, 10-150 sentimeter. Terdapat 54 titik banjir dan genangan, yaitu di Jakarta Selatan (11 titik), Jakarta Timur (29 titik), dan Jakarta Utara (14 titik)," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho (2017) dalam keterangan tertulisnya, Selasa. Sutopo (2017) menjelaskan, bahwa banjir ini disebabkan drainase yang tidak mampu menampung aliran air di permukaan. Selain itu, banjir juga disebabkan luapan dari sungai yang statusnya naik mulai dari Siaga I hingga II. "Akibatnya, aliran air permukaan dari drainase tidak dapat dialirkan ke sungai," kata Sutopo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar