Selasa, 31 Juli 2012

Pembangunan daerah berbasis kearifan lokal (Huma Betang)


Oleh:
H.M.Norsanie Darlan
Makalah ini dipaparkan pada Seminar Nasional yang disenggarakan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) bekerja sama dengan
Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMP)
 di Ballroom Aquarius Hotel, 2 Agustus 2012  

1.Pendahuluan
Bila kita mencermati pembangunan daerah bahwa sejak kejatuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998, awal terjadinya paradigma pembangunan masyarakat di negeri tercinta ini menjadi wacana yang selalu aktual untuk dibicarakan sampai sekarang. Hal ini setidaknya tercermin dari tema:”...Reformasi Model GBHN: Mewujudkan sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat...”. Dalam rangka seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMP) dalam rangka 4 (empat) pilar kehidupan bernegara yaitu: Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Eka.
Setelah lahirnya UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengganti UU 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, kembali membawa perubahan besar dalam tatanan pemerintahan daerah. Sehingga menurut: Nihin (2005;14) bahwa:”...kita dihadapkan perubahan cepat dimana belum lagi UU 22 1999 secara penuh, dilaksanakan telah diganti dengan UU 32 tahun 2004. hal ini tentu beralasan, karena terdapat ketidak jelasan pada bunyi Undang-Undannya sendiri yang menimbulkan penafsiran yang berbeda tentang pemberian otonomi daerah kepada daerah serta implementasi penyelenggaraannya...”.
Pemilihan tema seminar kita ini bukan tanpa alasan, melainkan penuh dengan pertimbangan tentang Rencana Pembangunan yang telah dicanangkan Misi dan Visi pembangunannya. Di kalangan ICMI membahas apa itu masyarakat madari. Apakah dalam aspek SDMnya ataupun terhadap masa depan bangsa.
Dengan demikian, dijadikan sebagai momentum untuk memikirkan dan mewujudkan suatu kondisi Masyarakat  madani yang dicita-citakan oleh masyarakat luas. Masyarakat yang Madani, Maju, dan Sejahtera” sebagai sebuah cita-cita pembangunan bangsa tentunya bukanlah slogan atau label yang tanpa makna. Cita-cita itu merupakan harapan masyarakat yang untuk mewujudkannya diperlukan langkah-langkah nyata; salah satu di antaranya adalah membangun masyarakat madani dengan memanfaatkan kearifan lokal.
Tulisan ini membahas permasalahan pembangunan daerah berbasis kearifan lokal (Huma Betang) ini. Sehubungan dengan, ada 2 (dua) konsep yang perlu mendapatkan pembahasan yaitu pembangunan masyarakat dan kearifan lokal, dengan rujukan pada pembangunan Kalimantan Tengah.
Menurut Budi Mulyadi, (2008) bahwa:”... Pemerintah sudah seharusnya memperhatikan aspek kearifan lokal dalam membangun daerah-daerah tertinggal...”. Aspek kearifan lokal memegang peranan penting dalam pembangunan daerah tertinggal. Setiap daerah memiliki adat dan kebudayaan masing-masing yang dipegang masyarakat setempat. Dan kehidupan mereka tidak bisa dipisahkan dari pembangunan nasional.


2.Pembangunan Masyarakat: Pengertian dan Karakteristik
2.1. Beberapa Pengertian
Arti Pembangunan menurut Hasan Alwi (2002;103) adalah:”…sebuah proses pembangunan yang dimulai dari negara maju melalui pemerintah negara berkembang…”. Sehubungan dengan pembangunan daerah berbasis kearifan lokal (Huma Betang) ini, adalah tentu sangat erat hubungannya dengan pembinaan masyarakat yang lebih maju dari masa-masa sebelumnya. Karena harapan pembangunan ini tidak sekedar di perkotaan, melainkan juga pedesaan sangat diimpikan masyarakat.
Arti Masyarakat menurut: Shadily (1980), Harsono (1997) Darlan (2002) adalah:”…sekumpulan manusia yang saling berinteraksi dalam suatu wilayah tertentu dengan berbagai kesamaan tujuan satu sama lainnya…”. Dengan demikian interaksi masyarakat dalam suatu wilayah pembangunan daerah berbasis kearifan lokal (Huma Betang) ini, adalah adanya sifat saling menghormati, saling menghargai satu sama lain. Walau masyarakat Dayak berbeda suku, agama dan keyaninan. Tapi juga saling Bantu membantu satu sama lain, bergotong royong adalah budaya masyarakat sejak nenek moyang.
Arti Kearifan asal katanya arif, menurut Hasan Alwi (2002;65) adalah:”…dalam melakukan sesuatu dengan secara bijaksana, cerdik dan pandai,    dan berilmu…”.  Atau istilah lain:”harati” Untuk membangunan tanpa ada pemihakan terhadap kelompok tertentu.
Arti Karakter, menurut: Moeliono (1989; 389) dan Poerwadarminta (1986) Norsanie Darlan, (2011) menyebutkan:"...sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain...".
Sedangkan menurut: Esau dan Yakub (2010) dalam kamus umum bahasa Indonesia, adalah:"...karakter ialah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain...". Kemudian Leonardo A. Sjamsuri (2010) dalam bukunya "'Kariama Versus Karakter" mengatakan bahwa karakter adalah:"...merupakan siapa ands sesungguhnya...". Sedangkan karakter dalam arti PLS, menurut Sutaryat (2010) bahwa:"...dalam menyusun kurikulum bersifat fleksibelitas bagi pamong belajar, tutor, instruktur dapat dilaksanakan dengan musyawarah dengan WB dan dalam penggunaan metoda pembelajaran yang bersifat partisipatif...". Hal ini menunjukkan kepada kegunaan dan keunggulan suatu produk manusia. Dengan demikian karakter yang dimaksudkan adalah sikap yang jujur, rendah hati, sabar, tutus ikhlas dan sopan dalam pergaulan. Artinya tidak berkarakter atau tabiat yang keras. Sebagai tenaga  yang dalam jabatan fungsional, tentu harapan kita semua punya karakter yang santun, murah hati, berwawasan luas dan bisa mengayomi kepada semua orang. Termasuk anak didiknya.
Tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat madani” di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur yang berazaskan moral Pancasila yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang bertentangan dengan masyarakat, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas, kemiskinan, ketidak adilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual, dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi pembangunan masyarakat yang kritis.
Walaupun ide-ide masyarakat terhadap kearifan lokal menurut: Hidayat, (2008) bertolak dari:”... konsep civil society, namun ide-ide itu juga terdapat dalam konsep yang disebut Gelner dengan, budaya tinggi yang juga terdapat dalam sejarah Asia Tenggara di kalangan Melayu Indonesia...”.
Pernyataan, Komaruddin Hidayat (1999: 267) bahwa:”... dalam wacana di Indonesia, istilah “pembangunan masyarakat” kali pertama diperkenalkan oleh Nurcholish Madjid, yang spirit serta visinya terbukukan dalam nama yayasan yang Pendidikannya...”. Secara “semantik” artinya kira-kira ialah, sebuah excellent [paramount] yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban, “Pembaharuan Pendidikan. Selanjutnya, ia mempopulerkan istilah itu dalam wacana dan ruang lingkup yang lebih luas yang kemudian diikuti oleh para pakar yang lain.
Menurut: Nurcholish Madjid (2000: 80) dalam Hidayat (2008) bahwa:”... pembangunan masyarakat merupakan masyarakat yang sopan, beradab, dan teratur dalam bentuk negara yang baik...”. Menurutnya pembangunan masyarakat dalam semangat modern tidak lain dari civil society, karena kata  ”pembangunan” menunjuk makna peradaban atau kebudayaan. Oleh karena ide-ide dasar pembangunan masyarakat dan substansi civil society yang berkembang di dunia Eropa sama, maka Dawam Raharjo (2000) dalam Hidayat (2008) berpendapat bahwa:”...substansi pembangunan masyarakat dalam istilah civil society di dunia Barat adalah suatu konsep pembangunan masyarakat...”. Teori civil society dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah pembangunan masyarakat yang digali dari khazanah sejarah bangsa. Senada dengan hal ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara pembangunan masyarakat yang lahir dari khazanah sejarah dan peradaban Islam dengan civil society yang lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat.
Sementara itu, Emil Salim dalam Hidayat (2008) adalah:”...sebagai ketua Gerakan Masyarakat Madani, pernah mengatakan bahwa masyarakat madani sebenarnya telah ada di Indonesia...”. Wujud pembangunan masyarakat ini sesungguhnya telah tertanam dalam masyarakat  paguyuban yang dominan di masa lalu, ketika kelompok masyarakat berkedudukan sama dan mengatur kehidupan bersama dengan musyawarah. Selanjutnya ia menambahkan, bahwa substansi pembangunan masyarakat telah lama ada dalam etika sosial politik masyarakat Indonesia yang berkembang dalam kultur masyarakat Indonesia.
Semangat  berbudaya, sosial politik yang mengedepankan mekanisme musyawarah dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik merupakan budaya masyarakat Indonesia yang menonjol. Dalam perspektif civil society (Barat) mekanisme musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan adalah merupakan salah satu prosedur demokrasi yang substantif bagi pembangunan bangsa di daerah.

2.2. Karakteristik
Bertolak dari beberapa pengertian masyarakat madani yang telah disampaikan di atas, maka karakteristik yang menonjol pada masyarakat madani menurut: Iyane Bone (2012) adalah:”...masyarakat madani merupakan istilah yang dipakai untuk mengkonseptualisasikan sebuah masyarakat ideal yang dicita-citakan. Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab “Mujtama’ madani” yang diperkenalkan kali pertama oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban yang juga filosof kontemporer dari Malaysia tentang Masyarakat Madani…”.
Tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat madani” menurut: Hidayat, (2008) adalah:”... di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur yang berazaskan moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat...”. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang bertentangan dengan masyarakat, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas, kemiskinan, ketidak adilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual, dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi masyarakat yang kritis. Walaupun ide-ide pembangunan masyarakat bertolak dari konsep civil society, namun ide-ide itu juga terdapat dalam konsep  budaya tinggi melayu yang juga terdapat dalam sejarah Asia Tenggara di kalangan Melayu Indonesia.
Menurut Nurcholish Madjid (2000;80) dalam (Hidayat, 2008) bahwa:”...masyarakat madani merupakan masyarakat yang sopan, beradab, dan teratur dalam bentuk warga negara yang baik...”. Menurutnya masyarakat madani dalam semangat modern tidak lain dari civil society, karena kata “madani” menunjuk pada makna peradaban atau kebudayaan...”. Oleh karena ide-ide dasar masyarakat madani dan substansi civil society yang berkembang di dunia Eropa sama, maka Dawam Raharjo berpendapat bahwa substansi masyarakat madani dalam dunia Islam dan civil society di dunia Barat adalah satu. Teori civil society dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah masyarakat madani yang digali dari khazanah sejarah. Senada dengan hal ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara pemangunan masyarakat yang lahir dari khazanah sejarah dan peradaban dengan civil society yang lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat.

2.3. Ruang Publik yang Bebas
Adanya ruang publik yang bebas merupakan sarana dalam mewujudkan pembangunan masyarakat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka ruang publik yang bebas menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Dengan menafsirkan ruang publik yang bebas dalam tatanan pembangunan masyarakat, maka akan terjadi kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum.
Dari keturunan leluhur kita, masyarakat Dayak yang punya konsep bebas terpimpin ini, menyatukan konsep di rumah betang untuk tidak ada terjadi perselisihan yang berarti. Bahkan tingginya kekerabatan karena adanya rasa persaudaraan yang tinggi, tidak saling menyalahkan satu sama yang lain. Namun adanya kekompakan yang sulit diikuti oleh masyarakat lain terhadap budaya ”huma betang” ini.

2.4. Demokratis
Masyarakat madani ditandai oleh berkembangnya iklim demokrasi berupa kebebasan berpendapat dan bertindak baik secara individual maupun kolektif yang bertanggung jawab, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial, serta penyelengaraan pemerintahan secara demokratis.
Masyarakat yang demokratis inilah yang harus ditiru oleh generasi penerus kita. Apakah dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi  saling tumpang tindih. Dan muncul pula budaya mereka yang saling menghormati sesama. Tidak pernah ada larangan untuk datang pada komunitas Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal sebelumnya. Jika seseorang atau sekelompok masyarakat komunitas luar yang ikut serta dalam upaya bercocok tanam, berladang, berkebun selalu dipersilahkan. Selama tidak menyalahi tata aturan, tatanan budaya masyarakat setempat.

2.5. Penuh Toleran
Toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di ”huma Betang” ini, seperti: perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik atau terhadap mereka yang ada di sekitar. Budaya yang sudah turun temurun, yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan lain, dipersiapkan bahan berupa: beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain. Agar para penganut kepercayaan beda turut merasakan segala suka cita mereka dalam kebersamaan. Namun cara memasak dipersilahkan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka.
Umumnya masyarakat Dayak penuh toleransi ini, terjadi pergeseran dalam 10-15 tahun terakhir. Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi. Sebagai contoh 20 tahun lebih ke masa lampau anak yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya. Sulit mencari rumah kost, yang banyak adalah anak dititip pada keluarga yang tinggal di Palangka Raya. Apakah ia keluarga satu keturunan darah, ataukah hanya kenalan tetangga desa. Disini toleransi yang sangat tinggi. Karena anak yang ikut tinggal, di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa. Karena saling toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.
Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. Dan disinilah salah satu toleransi filosafi ”Huma Betang ” kita.
Rumah kost mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain di luar provinsi Kalimantan Tengah, di saat mereka mau melanjutkan pendidikan terutama kuliah. Sehingga mereka pendatang usia muda dari luar ini, mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4 – 5 tahun ke depan. Akhirnya berdirilah rumah-rumah kost untuk kaum pendatang.

2.6. Pluralisme dan Multikulturalisme
Pluralisme menunjuk pada keragaman/kemajemukan yang ada di masyarakat, menurut: Blum, (2001: 19) dan  Ahimsa-Putra, (2009:2) yakni:”... kondisi dalam suatu masyarakat yang secara faktual berbeda-beda. Sementara itu multi kultralisme lebih mengacu pada sikap warga masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan baik yang ada dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan maupun  dalam masyarakat lain...”. Sikap itu, dibentuk dengan melibatkan seperangkat nilai yang didasarkan pada minat untuk mempelajari dan memahami (understanding) dan pada penghormatan (respect) serta penghargaaan (valuation) kepada kebudayaan masyarakat lain. Walaupun tidak selalu diikuti dengan kesetujuan dan kesepakatan terhadap apa yang ada dalam kebudayaan lain, tetapi yang ditekankan dalam multikulturalisme adalah pemahaman, penghormatan, dan penghargaan yang tinggi.
Selain hal di atas pruralisme menurut Norsanie Darlan (2004) adalah:”...di masyarakat Dayak sungguh memberikan kearifan yang sangat tinggi harganya. Karena sejak masa lampau, tidak pernah ada perselisihan yang berarti dalam kehidupan ”Huma Betang” walau sudah menelan waktu yang panjang. Kehidupan saling menghargai, saling menghormati dan saling tolong menolong yang tercipta sejak beberapa abad silam, membuat suatu cerminan budaya  yang sangat tinggi dan dihormati...”.
Perselisihan bisa terjadi karena dengan etnis lain dapat dilihat kejadian yang juga terjadi hal sama seperti: dengan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Lampung dan di DKI pada etnis yang sama. Hal itu adalah sebuah peristiwa pada titik puncak sama dengan daerah lain, bahwa etnis yang pernah ada di Kalimantan Tengah ini, betul-betul tidak bisa hidup bersama dalam ”Huma Betang”. Karena mereka tidak punya filsafat: “...di mana bumi di injak, di situ langit di junjung....”. Sementara etnis lain tak ternah terjadi dalam hal yang sama, karena adanya saling pengertian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar