Jumat, 03 Agustus 2012

Filosofi "Rumah Betang"


Arti Huma Betang
      "Huma Betang" adalah dalam bahasa Indonesia disebut "rumah yang Besar". rumah ini di tempati secara turun temurun, dipelihara dan tercipta iklim yang sejuk dalam kehidupan keluarga besar masyarakat Dayak yang hidup di Kalimantan Tengah.
       "Huma Betang" saat ini, tidak lain adalah wilayah daerah kalimantan Tengah yang bisa hidup apakah penduduk asli ataupun pendatang. dengan kerukunan yang kuat dan kekeluargaan.
 
Karakteristik
Bertolak dari beberapa pengertian masyarakat madani yang telah disampaikan di atas, maka karakteristik yang menonjol pada masyarakat madani menurut: Iyane Bone (2012) adalah:”...masyarakat madani merupakan istilah yang dipakai untuk mengkonseptualisasikan sebuah masyarakat ideal yang dicita-citakan. Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab “Mujtama’ madani” yang diperkenalkan kali pertama oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban yang juga filosof kontemporer dari Malaysia tentang Masyarakat Madani…”.
Tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat madani” menurut: Hidayat, (2008) adalah:”... di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur yang berazaskan moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat...”. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang bertentangan dengan masyarakat, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas, kemiskinan, ketidak adilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual, dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi masyarakat yang kritis. Walaupun ide-ide pembangunan masyarakat bertolak dari konsep civil society, namun ide-ide itu juga terdapat dalam konsep  budaya tinggi melayu yang juga terdapat dalam sejarah Asia Tenggara di kalangan Melayu Indonesia.
Menurut Nurcholish Madjid (2000;80) dalam (Hidayat, 2008) bahwa:”...masyarakat madani merupakan masyarakat yang sopan, beradab, dan teratur dalam bentuk warga negara yang baik...”. Menurutnya masyarakat madani dalam semangat modern tidak lain dari civil society, karena kata “madani” menunjuk pada makna peradaban atau kebudayaan...”. Oleh karena ide-ide dasar masyarakat madani dan substansi civil society yang berkembang di dunia Eropa sama, maka Dawam Raharjo berpendapat bahwa substansi masyarakat madani dalam dunia Islam dan civil society di dunia Barat adalah satu. Teori civil society dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah masyarakat madani yang digali dari khazanah sejarah. Senada dengan hal ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara pemangunan masyarakat yang lahir dari khazanah sejarah dan peradaban dengan civil society yang lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat. 

Demokratis
Masyarakat madani ditandai oleh berkembangnya iklim demokrasi berupa kebebasan berpendapat dan bertindak baik secara individual maupun kolektif yang bertanggung jawab, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial, serta penyelengaraan pemerintahan secara demokratis.
Masyarakat yang demokratis inilah yang harus ditiru oleh generasi penerus kita. Apakah dalam menggarap ladang tidak pernah terjadi  saling tumpang tindih. Dan muncul pula budaya mereka yang saling menghormati sesama. Tidak pernah ada larangan untuk datang pada komunitas Dayak, walau mereka tidak pernah dikenal sebelumnya. Jika seseorang atau sekelompok masyarakat komunitas luar yang ikut serta dalam upaya bercocok tanam, berladang, berkebun selalu dipersilahkan. Selama tidak menyalahi tata aturan, tatanan budaya masyarakat setempat.

Penuh Toleran
Toleran merupakan sikap budaya yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Toleransi muncul di kalangan masyarakat Dayak yang juga disebut dengan kearifan lokal di ”huma Betang” ini, seperti: perbedaan kepercayaan antara anak dengan orang tua, kakak dan adik atau terhadap mereka yang ada di sekitar. Budaya yang sudah turun temurun, yaitu jika sekelompok warga mau melaksanakan upacara ritual keagamaan. Bagi penganut agama/kepercayaan lain, dipersiapkan bahan berupa: beras, ayam, minyak goreng, garam dan lain-lain. Agar para penganut kepercayaan beda turut merasakan segala suka cita mereka dalam kebersamaan. Namun cara memasak dipersilahkan untuk dimasak oleh kelompok itu sendiri. Terlebih hal ini terhadap para tamu yang datang ke desa mereka.
Umumnya masyarakat Dayak penuh toleransi ini, terjadi pergeseran dalam 10-15 tahun terakhir. Pergeseran budaya ini dipengaruhi oleh kemajuan kota dan modernisasi. Sebagai contoh 20 tahun lebih ke masa lampau anak yang mau sekolah ke kota khususnya di Palangka Raya. Sulit mencari rumah kost, yang banyak adalah anak dititip pada keluarga yang tinggal di Palangka Raya. Apakah ia keluarga satu keturunan darah, ataukah hanya kenalan tetangga desa. Disini toleransi yang sangat tinggi. Karena anak yang ikut tinggal, di rumah tersebut tidak pernah membayar sewa. Karena saling toleransi se daerah, kecamatan atau kabupaten.
Toleransi di sini juga tidak memandang beda kepercayaan yang dianut oleh warga yang tinggal dalam satu rumah, dengan penuh tenggang rasa dan tolong menolong. Dan disinilah salah satu toleransi filosafi ”Huma Betang ” kita.
Rumah kost mulai berdiri karena banyaknya anak yang datang dari kota lain di luar provinsi Kalimantan Tengah, di saat mereka mau melanjutkan pendidikan terutama kuliah. Sehingga mereka pendatang usia muda dari luar ini, mau tidak mau harus mencari tempat tinggal antara 4 – 5 tahun ke depan. Akhirnya berdirilah rumah-rumah kost untuk kaum pendatang.

Pluralisme dan Multikulturalisme
Pluralisme menunjuk pada keragaman/kemajemukan yang ada di masyarakat, menurut: Blum, (2001: 19) dan  Ahimsa-Putra, (2009:2) yakni:”... kondisi dalam suatu masyarakat yang secara faktual berbeda-beda. Sementara itu multi kultralisme lebih mengacu pada sikap warga masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan baik yang ada dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan maupun  dalam masyarakat lain...”. Sikap itu, dibentuk dengan melibatkan seperangkat nilai yang didasarkan pada minat untuk mempelajari dan memahami (understanding) dan pada penghormatan (respect) serta penghargaaan (valuation) kepada kebudayaan masyarakat lain. Walaupun tidak selalu diikuti dengan kesetujuan dan kesepakatan terhadap apa yang ada dalam kebudayaan lain, tetapi yang ditekankan dalam multikulturalisme adalah pemahaman, penghormatan, dan penghargaan yang tinggi.
Selain hal di atas pruralisme menurut Norsanie Darlan (2004) adalah:”...di masyarakat Dayak sungguh memberikan kearifan yang sangat tinggi harganya. Karena sejak masa lampau, tidak pernah ada perselisihan yang berarti dalam kehidupan ”Huma Betang” walau sudah menelan waktu yang panjang. Kehidupan saling menghargai, saling menghormati dan saling tolong menolong yang tercipta sejak beberapa abad silam, membuat suatu cerminan budaya  yang sangat tinggi dan dihormati...”.
Perselisihan bisa terjadi karena dengan etnis lain dapat dilihat kejadian yang juga terjadi hal sama seperti: dengan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Lampung dan di DKI pada etnis yang sama. Hal itu adalah sebuah peristiwa pada titik puncak sama dengan daerah lain, bahwa etnis yang pernah ada di Kalimantan Tengah ini, betul-betul tidak bisa hidup bersama dalam ”Huma Betang”. Karena mereka tidak punya filsafat: “...di mana bumi di injak, di situ langit di junjung....”. Sementara etnis lain tak ternah terjadi dalam hal yang sama, karena adanya saling pengertian.





2 komentar:

  1. Lu nulis apaan si? Ga nyambung dan ga membantu penulis ga bisa nulis adeh

    BalasHapus
  2. MAntappp Prof, saya suka dengan tulisan anda..

    BalasHapus