Sabtu, 18 Agustus 2012

UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN MELALUI PROFESIONAL GURU DI KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR



Oleh :

H. M. Norsanie Darlan
Guru Besar S-1 dan S-2 PLS Universitas Palangka Raya


Pendahuluan
Makalah ini disusun setelah mendapat surat permintaan panitia Seminar di Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur, dengan nomor: 02 / Pan-Hardiknas/ SS, tertanggal 19 April 2003 dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun ini.
            Kita sama maklumi dewasa bahwa, salah satu pihak merasa selalu mempunyai ide yang benar. Di pihak yang lain dengan rasa kebenaran pada pihak tertentu itu, ternyata hanya buat sekelompok kecil masyarakat. Akibatnya bermunculan ketidak puasan dan saling menuding pada orang lain. Padahal masalah itu, tidak dapat kita jadikan sebuah wacana. Namun karena kebanyakan di mana-mana kelompok ini selalu bicara akan dapat mempengaruhi stabilitas bangsa. Padahal masalah seperti itu tidak perlu terjadi. Karena akan bermunculan ide – ide apakah itu benar ataukah salah. Namun jika orang yang melempar ide – ide tersebut disuruh mengerjakan idenya ternyata tidak seluruhnya dapat sehingga ide yang kadung terlempar ke masyarakat luas menjadi bahan perpecahan bagi nasib bangsa dimasa depan.

Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan
            Pengertian upaya menurut Poerwadarminta (1986) dan Moeliono (1989;995) adalah: “…suatu usaha, akal, ikhtiar  untuk mencapat suatu maksud dalam memecahkan suatu persoalan…”. Sehingga dalam bentuk positif para pendidik ataukah ia seorang guru, keluarga ataukah pemerintah dan tokoh masyarakat yang pikirannya selalu muncul kearah kualitas generasi baik masa sekarang maupun akan datang.
Bila kita menengok terhadap konsep secara luas apa itu pendidikan menurut, Hassan Shadely (1984; 2627) adalah sebuah proses membimbing manusia dari masa kegelapan (kebodohan) ke arah kecerahan suatu pengetahuan. Dalam arti luas, juga pendidikan baik yang bersifat formal maupun yang informal atau pendidikan luar sekolah (PLS) yang meliputi segala hal memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri, dan tentang dunia dimana mereka itu hidup. Sedangkan menurut caranya, pendidikan terbagi menjadi 3 macam: 1) dresur, yakni pendidikan yang berdasarkan paksaan; dilakukan pada anak-anak yang umurnya belum 1 tahun; 2) latihan, dimaksudkan untuk membentuk kebiasaan; dilakukan sedapat-dapatnya secara sadar oleh anak didik; 3) pendidikan, dimaksud untuk membentuk kata hati; anak didik yang diajar berbuat menurut kesanggupan sendiri, dan menentukan kelakuan sendiri atas tanggung jawab sendiri pula.
Pendidikan dilakukan sampai saat anak didik sanggup bertanggung jawab sendiri akan segala yang dilakukannya. Pada saat itulah pendidikan dianggap selesai. Hakikat dan tujuan pendidikan erat hubungannya dengan tanggapan hidup pendidik, demikian juga cara-cara mereka melakukan pendidikan dalam praktek. Tanggapan hidup pendidikan menjadi dasar bagi cara dan tujuan pendidikan yang diberikannya. Yang pertama-tama bertanggungjawab tentang pendidikan bagi seorang anak ialah orang tuanya, kemudian keluarga, masyarakat, dan akhirnya negara. Dalam hubungan ini sangat penting artinya bagi pendidikan, ialah: keterlibatan organisasi, wartawan melalui surat kabar dan media massa lainnya, buku bacaan, perpustakaan dll.
Beberapa segi yang terdapat dalam dunia pendidikan: 1) Pendidikan intelektual, meliputi pengajaran pelbagai pengetahuan dan kepandaian serta keterampilan yang perlu bagi perkembangan akal;  2) pendidikan jasmani, agar badan tumbuh secara sehat dan menjadi kuat; 3) Pendidikan kesusilaan, mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk, dan agar berbuat menurut norma-norma baik-buruk tersebut; 4) pendidikan keindahan, agar dapat menghargai nilai-nilai keindahan yang terdapat dalam dan kehidupan, khususnya kesenian; 5) pendidikan sosial, agar dapat menghargai dan menerima nilai-nilai hidup bersama orang lain. Dalam prakteknya pendidikan, segi-segi tersebut tidak dapat dipisahkan yang satu dari yang lain, sehingga dengan demikian jiwa anak didik berkembang dalam keselarasan. Pendidikan dapat diwujudkan dalam berbagai cara; yang bersifat positif antara lain: 
a)     Memberi teladan baik,
b)     Latihan untuk membentuk kebiasaan,
c)      Memberi perintah,
d)     Memberi pujian dan hadiah,
e)     Menyalurkan hasrat berbuat sehingga menjadi kreativitas.
Sedangkan dalam cara-cara negatif antara lain:
a)     Mengadakan pelbagai larangan,
b)     Celaan dan teguran,
c)      Hukuman.
Dari 2 hal dalam uraian di atas, kita sama maklumi bahwa maka yang dirasa tepat, jika kita hubungkan dengan seseorang yang mendapat tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin proyek di sebuah Dinas/Badan dan Unit instansi tentu. Tinggal kita sendiri yang memilahnya. Sebab seorang pemimpin proyek tidak akan muncul begitu saja, tanpa ada orang lain yang mengusulkannya. Kemudian sebagai pemimpin proyek, sulit dibayangkan jika ia mau berlama-lama. Sebab ada aturan yang mengatur. Artinya sewaktu-waktu ia akan sadar bahwa pasti berhenti karena diikat oleh sebuah peraturan. Dipihak lain tentu membenrikan kesempatan kepada orang lain agar sama-sama merasakan bagai mana memimpin seorang proyek. Terlepas besar kecilnya anggaran yang diberikan. Baik dalam bentuk fisik maupun non fisik.

Profesional Guru
Dalam menjadikan seseorang yang disebut profesional, banyak  hal yang perlu kita pelajari.  Sebelum mengetahui apa arti profesional tentu kita harus tahun persis akar rumput  keprofesional itu sendiri. Dari berbagai pendapat penulis menguraikan arti profesional ini menurut: Poerwadarmintan (1986) dan Anton M. Moeliono (1989;702) adalah:”…seseorang yang memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankan …”. Sedangkan Hassan Shadily (1984; 2774)  adalah:”…orang yang mengerjakan sesuatu karena jabatan atau profesinya, bukan hanya untuk kesenangan saja, tetapi merupakan mata pencaharian…”.  Semi-profesional  atau part time profesional (ingg.)  pemait atau atlet yang dibolehkan mendapatkan penghasilan dari olahraga.
Dengan melihat apa yang diuraikan di atas, arti profesiolan guru, wartawan, atlet dan sebagainya adalah sebuah pekerjaan yang tidak semua orang mampu melakukannya. Sebab seperti seorang guru yang profesional ia memiliki kecakapan, dan dari kecakapannya itulah ia dapat  menjalankan tugasnya dengan baik.
Ada perbedaan yang sangat bermakna antara guru dan pendidikan. Seorang guru bekerja dalam menjalankan profesinya atas dasar surat keputusan (SK) yang ia terima. Misalnya guru bahasa, guru matematika, guru IPA. Sedangkan pendidik dapat berlaku kepada setiap orang. Umumnya ia menjalankan tugasnya sebagai pendidik dengan jalan kesadaran yang tinggi mendidik orang lain dengan tanpa mengharap balas jasa. Misal sang ayah sebagai seorang nelayan mendidik anak turun ke laut atau ke danau dengan menunjukkan cara-cara menangkap ikan dengan baik dan benar.  Orang tua sebagai petani, mendidikan anaknya agar sawah, ladang yang mereka garap tidak diserang hama tanaman dsb. Pekerjaan itu dilaksanakan dalam keadaan sadar, namun tidak nampak secara jelas saat kapan diantara ke dua belah pihak  berinteraksi saling meminta. Namun ke dua belah pihak saling membutuhkan dengan proses tranfarasi ada yang dalam kurun waktu cepat dan ada pula yang lebih lama.

Mutu Pendidikan
            Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan, maka banyak hal yang harus dibenahi. Misalnya tenaga guru, dari sebuah artikel yang ditulis Kenneth D. Benne (1985; 155).  Ia mempredeksi dalam dasawarsa yang baru lalu, pengalaman bidang pendidikan sebagai perundingan dunia kognitif yang berbeda. Sebab batas antara sekolah, perguruan tinggi atau universitas serta lembaga-lembaga bukan-sekolah dalam lingkungannya menjadi lebih dapat ditembus. Salah satu bukti dari perubahan ini adalah meningkatnya penggunaan pendidikan pengalaman lapangan mahasiswa sebagai pelengkap, tambahan atau kadang-kadang sebagai partner yang sama kedudukannya untuk pengajaran akademik. Tentu saja pengalaman lapangan merupakan bagian yang tetap dari banyak pendidikan kejuruan dan profesional selama satu generasi atau lebih dalam bidang kedokteran, perawatan, pekerjaan sosial, perekayasaan, pengajaran, dan bermacam-macam pendidikan kejuruan. Namun, dalam dasawarsa yang lalu, pengalaman lapangan telah menemukan jalan untuk memasuki program pendidikan umum dan pengetahuan budaya. Upaya untuk memasukkan pengalaman non-akademik bagi mahasiswa ke dalam kursus yang di sponsori secara akademik dan program pengajaran, barangkali paling sering terjadi pada jurusan-jurusan yang memusatkan perhatian pada studi perilaku manusia dan sistem manusia – misalnya psikologi, sosiologi, ilmu politik, dan anthropologi. Bagaimanapun juga, penggunaan pengalaman inilah yang menjadi pokok bahasan makalah ini.
            Para mahasiswa yang terlibat dalam suatu paduan pelajaran akademik dengan pengalaman lapangan dapat dilihat sebagai menyelesaikan suatu proses pemanfaatan pengetahuan. Mereka mempertahankan keanggotaan bersama dalam sebuah lembaga skolastik, yang diakui setia pada produksi dan/atau lingkungan tindakan tempat pengetahuan dan keterampilan itu digunkan untuk melaksanakan fungsi sosial atau memperbaiki kondisi manusiawi. Mahasiswa ditempatkan sebagai agen yang menghubungkan dan menjembatani dua sistem sosial yang berbeda di dalam rangkaian penggunaan pengetahuan. Kualitas pengetahuan yang dicapai mahasiswa akan tergantung pada seberapa memadai dia memahami dan mengelola keanggotaannya yang rangkap dua, seberapa baik dia menyatukan tuntutan-tuntutan yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan dari dua lingkungan sosial terhadap gagasan, tingkah laku, dan pengeluaran energi.
Pengalaman lapangan bagi mahasiswa dalam pendidikan profesional dan kejuruan sering ditandai oleh konflik antara penyelia akademik dan supervisor lapangan. Bagi penyelia akademik, mahasiswa berada di lapangan untuk menambah, memperluas dan memperdalam proses belajar pengetahuan dan keterampilannya. Bagi penyelia lapangan, proses belajar mahasiswa ditangguhkan demi pemeliharaan pelayanan kualitas bagi klien (pasien bagi perawat-mahasiswa, terapis okupasional, dan terapis fisis di rumah sakit, murid bagi guru mahasiswa di sekolah, jemaat bagi pengkhotbah di gereja, dan lain sebaginya).Mahasiswa berada antara satu titik konflik antara sasaran-sasaran prioritas pada dua lembaga tempat dia terlibat dalam pengalaman lapangannya. Misalnya, penyelia akademik menginginkan tanggungjawab yang lebih besar dalam bekerja bersama murid bagi guru-mahasiswa daripada yang dapat diizinkan menyelia lapangan, jika ditilik dari sudut resiko untuk proses belajar murid dan untuk hubungan masyarakat sekolah yang mungkin diakibatkan oleh ”kekeliruan” seseorang guru-mahasiswa, meskipun “kekeliruan” tersebut dapat menjadi kesempatan yang sangat bagus untuk proses belajar profesional. Atau, jikalau penyelia lapangan menuntun guru-mahasiswa ke dalam tugas yang “aman” dan rutin di sekolah, supervisor akademik mungkin merasa bahwa gurumahasiswa yang bersangkutan diekspolatasi karena diharuskan bekerja bagi sekolah dengan sedikit kemungkinan atau bahkan tidak ada kemungkinan untuk belajar dari pekerjaan tersebut.
Konflik-konflik tersebut memang terjadi dalam pengalaman lapangan profesional, apabila penyelia akademik dan penyelia lapangan berada dalam profesi yang sama dan apabila kedua lembaga tersebut mempunyai taruhan dalam lembaga pendidikan yang “baik”  untuk para anggota profesional yang prospektif. Kemungkinan konflik tersebut, dan juga aktualitasnya, lebih besar apabila mahasiswa menjalankan pengalamanlapangan agar belajar psikologi, sosiologi, antropologi, atau ilmu politik dengan “lebih baik”. Sebab disini ikatan profesional yang yang lazim antara penyelia akademik dan penyelia lapangan, dan juga mahasiswa, hilang. Lagipula diskrepansi anatara norma-norma dua sistem sosial, misalnya sebuah, sebuah jurusan universitas dan kesatuan polisi perkotaan, sehubungan dengan kebiasaan berpikir dan kebiasaan berperilaku bagi “anggota-anggotanya” jauh lebih luas.
Ada kebiasaan, di dalam lingkungan akademik, untuk mengaitkan konflik yang dijumpai mahasiswa dalam pengalaman lapangan dengan perbedaan diantara norma dan sikap yang beroperasi dalam lingkungan praktek dan lingkungan lapangan serta norma dan sikap yang merupakan karakteristik dari lingkungan akademik, dengan akibat harapan yang bertentangan sehubungan dengan bagaimana mahasiswa harus menginvestasi waktu dan tenaganya dalam bekerja dan belajar. Fakta bahwa konflik benar-benar terjadi bagi mahasiswa pada pengalaman lapangan profesional dan kejuruannya, sebagaimana disinggung diatas, menunjukkan bahwa penjelasan mengenai konflik seperti itu sebagian betul. Sebab dalam hal ini, penyelia akademik maupun penyelia lapangan, dan mahasiswa juga, pada umumnya mempunyai pandangan yang lazim tentang pengetahuan dan keterampilan yang harus diperoleh oleh calon untuk status profesional. Konflik tersebut dapat dijelaskan sebagian besar oleh faktor-faktor nonkognitif yang beroperasi di dalam dan diantara sistem-sistem akademik dan non-akademik yang terlibat.
Sungguhpun demikian, menurut: Bennis, Benne dan Chin (1990;157) adalah dalam pengalaman lapangan yang dugunakan untuk maksud pendidikan umum mahsiswa ilmu-ilmu pengetahuan behavioral, kita harus memperbaiki dimensi penting lainnya dalam konflik tersebut. Konflik ini berpusat pada bidang kognitif itu sendiri. Mahasiswa mengahadapi gagasan berbeda sehubungan dengan sifat pengetahuan dan cara-cara pengethuan itu diklaim akan diuji dan diabsahkan. Konflik yang dijumpai mahasiswa berurat-akar pada perbedaan epistemologis, normatif, dan sikap yang ada dalam sistem-sistem sosial yang diharapkan mahasiswa akan menjembatani dan menghubungkannya.

Mutu Guru
            Sebagai titik awal keberhasilan dalam dunia pendidikan tentu tidak terlepas dengan mutu guru. Walau istilah itu tidak seluruhnya sebenar. Komponen yang tak dapat dipisahkan adalah peran orang tua masyarakat sangat turut mewarnai keberhasilan setiap sekolah untuk mengantar siswanya dalam meraih keberhasilan. Sebab ada kalanya seorang tempat anak itu belajar biasa-biasa saja. Tapi orang tua anak sangat tinggi mendorong untuk belajar disertai warga masyarakat sehingga anak tadi jadi berhasil dengan baik. Dipihak lain anak yang motivasi tinggi, walau sekolah sebagai institusi hanya dengan pas-pasan juga diiringi oleh nasib si anak memang garis tangan yang baik sehingga pendidikan dan kedudukan anak di starata tertentu menjol, orang selalu mengatakan itu adalah hasil produk di sekolah tertentu. Walau tidak seluruhnya hal itu benar.
            Tulisan ini menampilkan mutu guru lebih cenderung adanya dorongan yang seimbang antara motivasi guru, orang tua, masyarakat dan anak itu sendiri sangat memberikan kemudahan dalam mencapai suatu keberhasilan.
            Sebenarnya mutu guru didasari atas beberapa hal seperti: (1) pendidikan formal guru itu sendiri,  (2) masa kerja yang cukup, (3) kemampuan guru dalam menjadi agen pendidikan serta (4) menegerial  yang handal.
            Jika ke empat hal di atas, telah dipenuhi maka mutu yang diharapkan akan mendekati kenyataan. Hal ini kenyataan di lapangan yang banyak kita hadapi sekarang adalah pekerjaan guru sebagai “Oemar Bakri” ini, masih sebagai pilihan paling akhir, kita sulit mencapai apa yang kita inginkan. Sebab guru selama sebagai pilihan terakhir ini merupakan pilihan dari sekian alternatif dan yang paling rendah ternyata menjadi lapangan kerja. Sehingga tentu saja pekerjaan guru ini menjadi sebuah pekerjaan yang kurang diminati oleh si guru itu sendiri, tentunya.

 Mutu pendidikan di Malaysia
Mungkin sebagian besar masih belum hilang dari ingatan kita, bahwa negeri jiran kita Malaysia sejak tahun 60-an mengekspor tenaga guru dari Indonesia. Tahun 80-an seangkatan penulis di IKIP Malang saudara kita bernama: Nursamid dan sering tertukar bila dosen mencari nama diantara kami berdua. Artinya orsang Malaysia tahun 1982 ada yang input Sarjana Muda kuliah di Malang. Tahun 1986-1988 penulis di Fakultas Kedokteran Gadjah Maha sempat memberikan kuliah diantaranya ada mahasiswa Malaysia.
Pertengan tahun 90-an Malaysia sudah menawarkan Program Tertinggi seperti Magister (MA) dan Ph.D untuk pemuda/pemudi Indonesia untuk belajar di negeri jiran ini. Jadi mereka tidak tanggung-tanggung tahun 1997 mahasiswa tugas belajar di Malaya University setiap bulan mendapatkan imbalan 1200 ringgit. Dirupiahkan saat itu Rp 1.200.000,- Sehingga banyak pemuda kita yang pergi belajar ke Malaysia untuk meraih berbagai gelar.
Untuk diketahui juga dalam jurnal yang resmi dari kedutaan mereka biaya pendidikan tahun anggaran 2003 ini sebesar 37 % dari dana anggaran negaranya. Sementara di negeri kita tercinta ini pernah terjadi anggaran pendidikan hanya 4 % dari anggaran pembangunan. Kenapa demikian, karena pihak pengambil kebijakan kita kurang memberikan perhatian terhadap dunia pendidikan ini. Sehingga iklim pendidikan jadi terpuruk hingga tingkat yang paling rendah di tanah air kita.
Penulis saat itu sebagai mahasiswa program Doktor di Indonesia merasa berkewajiban membuat konsep didahului oleh sebuah seminar nasional mahasiswa program doktor yang ada di Indonesia. Hasil seminar diserahkan kepada Bapak Mendiknas RI saat itu Prof. Dr. Yahya Muhaimin  di ruang kerja beliau yang disampingi oleh Dirjen Pendidikan Tinggi. Dan Komisi VI DPR-RI serta pengurus besar PGRI.  Salah satu konsep yang cukup dikenang oleh para mahasiswa program Doktor dalam sidang Umum MPR ternyata menerima konsep kita minimal 17% dari anggaran negara untuk pendidikan. Sekarang dalan tahun anggaran 2003 kita menikmati 20 % anggran negara untuk pendidikan. Mudah-mudahan konsep itu dapat berjalan dengan baik, agar istilah guru sebagai  “Oemar Bakri”  lambat laun menjadi impian bagi setiap orang.

Menilik Peran PLS
Jepang sebuah negara maju yang runtuh berantakan dipertengahan abad silam karena ingin menggapai cita-cita untuk menaklukkan berbagai negara termasuk Indonesia. Negara yang berlokasi di Asia Timur Raya ini akhirnya menghentikan cita-cita menjadi negara besar di Asia ini, akibat jatuhnya bom atom di Hirosima dan Nagasaki. Rakyatnya jadi  menderita selama puluhan tahun. Namun siraja akal ini merubah strategi perang menjadi “industri pendidikan”. Ternyata setiap bangsa Jepang yang berangkat ke luar negeri ia harus membawa sesuatu yang tidak ada di negerinya  untuk dimodifikasi dan diproduksi secara besar kemudian dijual kenegara lain. Misalnya: gasing dari Indonesia, Jam tangan dari erofa dll.
Namun hal itu satu konsep baru dalam negeri Sakura ini yang belum kita pikirkan. Misalnya seorang sarjana baru lulus sarjana. Katakan sarjana electronica. Ia diterima bekerja pada “pabrik radio” umpamanya. Walau sebagai sarjana teknik electro dan mengerti betul tentang teori arus pendek listrik. Namun negara besar bidang industri itu, tidak membolehkan sarjana baru masuk kerja ini langsung bekerja di pabrik. Ia harus diantar ke pelayanan pendidikan luar sekolah (PLS) untuk mengikuti kursus tertentu agar tidak terjadi kecelakaan kerja.
Hal seperti di atas, juga di negara-negara maju yang lain seperti Jerman, Polandia, Belanda dan berapa negara di erofa menerapkan cara Jepang. Termasuk Kanada dan Amerika.
Bagaimana di Indonesia, penulis mengambil pegawai negeri yang mudah kita pelajari. Seorang calon pegawai negeri sipil bekerja di kantor Bupati. Ia sarjana pemerintahan, pada tanggal diumumkan masuk kerja. Ia langsung disuruh mengerjakan tugas barunya. Tanpa ada kursus-kursus (pelayanan Pendidikan Luar Sekolah) pada bidang kerja bagi pegawai baru ini. Setelah ia ingin menjadi calon pegawai negeri, maka diserahkan ke Diklat untuk mengikuti kursus Pra Jabatan. Sebagai salah satu syarat penghapusan calon pegawainya. Pertanyaan penulis apakah hal itu benar demikian?
           
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Moral
Dewasa ini sedang berkembang suatu pemikiran baru diantaranya para ilmuan sendiri, yaitu kebudayaan ketiga (the Third culture) bahkan mungkin kebudayaan keempat (the fourth culture). Kini mungkin umat manusia mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam memikirkan eksistensinya. Sesudah dunia memasuki era perdamaian menurut: H.A.R. Tilaar  (1997;109) pasca prang dingin, mungkin umat manusia mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam memikirkan eksistensinya. Sesudah dunia memasuki era perdamaian pascaperang dingin, mungkin umat manusia akan datang pada suatu renungan kembali bahwa kemajuan iptek adalah segala-galanya. Iptek akan berkembang pesat dan pasti akan mengubah kehidupan manusia ke arah kebaikan, namun iptek tidak dapat memberikan penjelasan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan. Diantara optimisme ilmu pengetahuan dan teknologi, ditengah-tengah kekayaan rohaniah manusia yang diekspresikan ke dalam kesusastraan dan falsafah, manusia menyadari bahwa ilmu pengetahuan akan membawa manusia ke segala arah, ke arah yang baik juga ke arah yang buruk. Disinilah letaknya peranan moral dan agama yang akan mengerahkan ilmu pengetahuan dan teknologi ke arah yang benar. Iptek dan moral bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi saling mengisi satu dengan yang lain. Ilmu pengetahuan perlu untuk mencerahkan akal manusia mencari dan menggali berbagai kemungkinan yang dianugerahkan oleh sang Pencipta kepada umat manusia dia atas bumi. Dengan akalnya manusia dapat mengeksplorasi berbagai kemungkinan yang tersembunyi. Eksplorasi dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hanya memberikan kehidupan yang lebih baik, tetapi juga mendekatkan manusia itu kepada sang Pencipta akan kebesaran Khalik langit dan bumi.
Di tengah-tengah arus modernisasi, globalisasi, dan kemajuan iptek ada kecenderungan untuk menjauhi moral dan etika. Di dalam suatu seminar nasional “Iptek Berwawasan Moral” yang diadakan dalam bulan Agustus 19996, Prof. Quraish Shihab mengemukakan pendapatnya mengenai model pemikiran: Pertama, model dan pemikiran yang bersifat dogmatis atau apologetik yang menutup segala pemikiran rasional terhadap moral. Bagi model ini satu-satunya akar moral adalah agama dan menutup berbagai penafsiran yang rasional. Di dalam model ini tampak adanya suatu penolakan terhadap refleksi dan ketidakberdayaan intelektual yang memahami iptek secara kritisdan rasional.  Model pemikiran yang kedua beranggapan bahwa yang merupakan sumber satu-satunya nilai adalah agama. Model ini bersifat pre-problematik dan deterministik. Model yang ketiga bertolak dari watak iptek itu sendiri yang sifatnya menerjang sukar dibendung, sedangkan kewajiban moral dan etika adalah untuk meletakkan rambu-rambu agar terjangan iptek dapat terkendali dan tidak melenceng sehingga menjadi alat penghancur kehidupan manusia. Lihat saja misalnya yang terjadi di dalam era perlombaan persenjataan pada waktu pascaperang dunia kedua, yaitu pada masa perang dingin. Sejumlah besar dana milyaran bahkan triliun dolar dihambur-hamburkan untuk perlombaan persenjataan, sedangkan di banyak penjuru dunia kemiskinan sangat merajalela. Model pemikiran yang ketiga ini merupakan model yang berpeluang untuk mengapresiasi watak ilmiah dari iptek tanpa kehilangan arah ke mana seharusnya iptek itu dikembangkan. Dengan demikian iptek tidak perlu mempunyai posisi yang antagonis terhadap nilai-nilai moral, etika, dan agama. Keduanya saling berdialog yang pada akhirnya memperkokoh penghayatan manusia baik terhadap iptek sebagai sarana bagi perbaikan peningkatan taraf hidup manusia maupun agama sebagai sumber-sumber nilai moral dan etika. Inilah yang disebut model yang hidup di dalam Kebudayaan Keempat (The Fourth Culture) dimana hidup dan berkembang suatu tanggungjawab moral pada intelektual, yaitu manusia yang menguasai iptek dan yang juga yang taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan manusia dalam milenium III adalah kehidupan di masa Kebudayaan Keempat karena nilai-nilai ilmu pengetahuan, teknologi, moral, dan agama seluruhnya merupakan kekayaan umat manusia dalam rangka menciptakan suatu dunia yang lebih baik, aman, dan lebih sejahtera. Di dalam upaya kita untuk lebih memacu pembangunan nasional di tengah era globalisasi, Bur Rasuanto dan Gatra (1996; 111) mengingatkan lagi perlu adanya “gerakan moral” dengan mengatakan: “…Sasaran perjuangan moral adalah kesadaran moral itu sendiri.  Kekuatan bersenjata mampu merebut wilayah, kekuatan politik mampu merebut penduduk, kekuatan ekonomi mampu menguasai tentara dan politik; tapi hanya kekuatan moral yang mampu merebut hati nurani….”.

Moral Dalam Dunia Abad XXI
Tilaar (1997) dalam bukunya Pengembangan SDM dalam era Globalisasi yang sangat menantang Bold New World. Dan William Knoke juga menggambarkan perkembangan kebudayaan manusiayang disebutnya dalam empat dimensi, yaitu The First Dimention Society yang terjadi selama sekitar lima ribu tahun telah melahirkan umat manusia sejak dia hidup di gua-gua  sampai manusia merintis perdagangan dunia seperti usaha manusia Barat untuk mencari kepulauan rempah-rempah di Indonesia, perdagangan sutera dan pedalaman Cina mencapai Eropa, dan sebagainya.
The Second Dimenton Society, yaitu selama kurun waktu selama lima ratus tahun dengan minculnya kerajaan-kerajaan besar yang pada akhirnya telah menciptakan daerah-daerah koloni (zaman imperialismedan kekuasaan yang besar). Pada masa itu pula telah lahir kembali ilmu pengetahuan yang telah mendorong suatu bentuk masyarakat baru, yaitu masyarakat industri.
The Third Dimention Society  yang terjadi hanya sekitar lima puluh tahun terutama ditandai oleh komersialisasi penerbangan, lahirnya multinasional korporasi, dan manufaktur barang-barang perdagangan di seluruh dunia yang ditopang oleh aplikasi teknologi telah melahirkan berbagai barang dalam menyenangkan kehidupan manusia.
The Fourth Dimention Society adalah kehidupan manusia abad XXI yang masih merupakan suatu tanda tanya, dimana teknologi beserta hasil-hasilnya akan memberikan wajah baru di dalam struktur kehidupan manusia dan segala bentuk tata cara hidup umat manusia.
Di dalam The Fourth Dimention ini muncul masalah-masalah pengaturan kehidupan umat manusia yang menurut William Knoke akan berubah dan berlainan sama sekali dengan yang dikenal oleh manusia abad XX. Sebagai ilustrasi apakah pada abad XX akan muncul suatu global governance? Hal ini tidak mudah untuk dilkasanakan karena kenyataan menunjukkan adanya bermacam-macam negara-bangsa, berjenis-jenis kebudayaan, dan berjenis-jenis keyakinan. Menurut Knoke masalah ini mungkin dapat saja diatsi oleh PBB dalam bentuknya yang sekarang. Namun demikian, suatu tata cara kehidupan baru jelas diperlukan umat manusia di dalam masa itu yang perlu diatur di dalam berbagai bentuk kesepakatan atau undang-undang. Sangat menarik apa yang diutarakan oleh Knoke bahwa civil law (undang-undang sipil) tidak dapat mengatur kehidupan manusia global atau yang beraneka ragam tersebut. Civil law tersebut sifatnya sangat mekanikal, birokratik, dan harus dapat dibuktikan, namun kadang-kadang sifatnya tidak adil. Oleh karena itu, manusia pada abad XXI masih tetap memerlukan apa yang disebutnya ethical dengan integralitas, reputasi, dan tugas manusia yang kadang-kadang sulit untuk dapat dibuktikan seperti adanya civil law. Dengan kata lain ethnical law tidak dapat digantikan oleh civil law. William Knoke menyatakan di dalam bukunya tersebut tentang lahirnya suatu masyarakat baru yang disebutnya placeless society atau masyarakat-tanpa-ruang. Maksudnya ada;lah suatu masyarakat tanpa di dominasi oleh komunikasi super modern seakan-akan manusia ada di mana-mana, dapat berhubungan dengan siapa saja. Di dalam masyarakat yang tampaknya sangat unik tersebut William Knoke menjadi seorang pesimis yang melihat bahwa the fourth dimention society mungkin merupakan akhir sejarah dari umat manusia. Akan tetapi, apakah mengakhiri keberadaannya sendiri karena dia tidak mempunyai pegangan yang pasti? Seperti yang telah diuraikan penulis sebelumnya, kehidupan umat manusia di bumi inj kiranya masih mempunyai kehidupan masa depan apabila manusia itu menyadari bahwa manusia merupakan makhluk Tuhan yang tertinggi yang diberikan suatu tanggungjawab untuk memelihara bumi ini. Dalam keadaan yang pesimistik mengenai The Fourth Dimention Society, William Knoke dengan indahnya menyampaikan kepada kita suatu ungkapan yang sangat mendalam, “The Fourth Dimention has transformed us back to where we started: a single dot in space.”



Titik Perhatian
Kondisi pendidikan di Kalimantan Tengah dari hasil penelitian di 9 Propinsi tahun-tahun dsebelumnya, ternyata Kalimantan Tengah masih jauh dibanding propinsi-propinsi lain di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai aspek seperti tenaga guru, fasilitas belajar dan lokasi sekolah. Untuk tenaga guru ada kalanya satu sekolah jumlahnya menumpuk tenaga guru tapi ini di perkotaan. Sementara di pedesaan dirasakan kurang. Hal ini merupakan hasil masuk sebagai calon guru adalah sebagai sarana memenuhi lapangan kerja jadi guru sebagai bagian prioritas paling akhir. Tidak berdasarkan motivasi dari dalam oleh sebagian orang. Itulah sebabnya jadi guru asal jadi. Lihat calon-calon peserta seleksi PGSD. Dicari 100 mendaftar 1000 peserta. Tidak menutup mata jika berdatangan pula yang mengaku anaknya, adiknya dsb untuk tujuan minta di luluskan. Sehingga produk  yang dihasilkan sudah sejak dari mulai terkontimanasi oleh hal-hal yang motivasinya external. Walau penulis sadari hal ini tidak seluruhnya demikian H. M. Norsanie Darlan (2002).
Bila berbicara fasilitas belajar, maka bahan acuan kita gedung, media pendidikan dan materi belajar yang dinantikan oleh murid terkadang masih terjadi berbagai hal.  Kendalanya jarak sekolah dengan tempat tinggal anak terkadang cukup jauh, media dan materi kurang dimanfaatkan secara maksimal. Sementara tuntutan pendidikan itu sama antara di kota dengan di pedesaan. Yang menjadi permasalahan nanti kalau AFTA bidang pendidikan suatu saat tiba, lapangan kerja harus di test dengan standar tertentu, maka yang dapat lulus dalam mencari kerja adalah mereka yang tingkat pendidikan yang sama namun pemanfaatan fasilitas belajar mereka lebih unggul, maka yang pasti lulus adalah mereka yang betul-betul memanfaatkan materi belajar yang penuh, ditambah pengayaan yang banyak  akan memonopoli lapangan kerja. Kita tidak perlu mengeluh karena hal itu kelemahan tenaga pendidik kita sendiri yang kurang memberikan fasilitas bahan belajar terhadap muridnya. Sementara di pihak lain jarak sekolah disertai alat transportasi yang belum memadai menyita waktu belajar anak. Apa lagi setelah mereka datang ke sekolah gurunya tidak ada di tempat.
Keluhan – keluhan di atas, merupakan suatu masalah klasik. Namun memerlukan pemikiran kita bersama. Sebab ocehan seperti ini tidak akan habis bila kita tidak ada upaya merubahnya. Artinya

Salah  Jub
Negara sedang berkembang seperti Indonesia yang walau berusia setengah abad. Sebetulnya tidak waktunya lagi salah jub para sarjana telah banyak dari berbagai bidang di tanah air ini. Namun ada istilah ganti pimpinan ganti pula staf dan para ahlinya.
Pergantian seperti ini, cenderung membuat organisasi yang dipimpinnya goyang. Sebab ia dapat merubah situasi dan kondisi pemerintahan. Termasuk kebijakan. Apa lagi kebijakan yang diambil dilarbelakangi oleh ketidak cocokan latar belakang staf dan ahlinya. Maka organisasi ini akan kacau dan akan terjadi goncangan hebat  sehingga pemerintahan yang dipmpinnya tidak akan menemukan tujuan yang jelas.
Secara realita seorang  guru sarjana matematika umpamanya, ditugaskan di sekolah untuk mengajar bahasa Indonesia. Atau sarjana Fisipol mengajar IPA. Walau ia dapat mengurai dengan baik tentang IPA . Tapi bagaimana membuat SAP bagi sarjana alumnus Fisipol tentu kesulitan. Demikisn juga media pengajaran, metoda belajar mengajar. Karena yang bersangkutan belum pernah kuliah di FKIP. Contoh lain pada Dikluspora kasi PLS.

Kredit Guru
Istilah kredit guru dalam sub judul di atas, bukanlah yang disebut dengan kredit Bank. Tapi bagaimana seorang guru yang upaya kenaikan pangkatnya dengan angka kredit. Penulis sejak agustus 2002 di pesan oleh Depdagri Jakarta untuk menulis buku sebanyak 10 judul tentang angka kredit pengembangan profesional guru. Sampai saat buku-buku yang telah diselesaikan:
1.      Penyusunan karya tulis Ilmiah
2.      Menulis buku ajar dalam bidang pendidikan
3.      Penulisan karya ilmiah sbg salah satu cara pengembangan profesi bagi jabatan fungsional
4.      Menyusun karya tulis dalam jurnal
5.      Membuat karya tulis dalam bentuk artikel di koran
6.      Karya tulis dalam bentuk makalah
7.      Karya tulis yang dapat dinilai dengan angka kredit
8.      Menulis karya penelitian
9.      Menulis
10. Pedoman pelaksanaan

Diharapkan jika 10 buku ini rampung, akan dapat  membantu para tenaga yang menduduki jabatan fungsional. Apakah ia guru, penyuluh, pengawas,  widyaiswara, dan berbagai jabatan fungsional lainnya sekarang mereka banyak terhambat upaya naik pangkat. Walau dalam juklak tenaga fungsional dapat naik pangkat lebih cepat dibanding tenaga struktural, namun ternyata tidak seluruhnya berjalan mulus. Sebab seperti guru dari golongan IV/a ke IV/b ia harus menulis karya ilmiah sesuai dengan peraturan yang telah di tetapkan.
Diharapkan pula dengan terbitnya buku ini nanti saya sebagai penulis meminta kepada semua kalangan agar dapat menjaga etika tulisan ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA
Bennis, Warren G., Benne Kennth D., dan Chin, Robert , 1990. Perencanaan & Perubahan, Intermedia, Jakarta.
Benner, Kennet D.  Perencanaan & Perubahan, Intermedia, Jakarta.
Darlan, H. M. Norsanie 2002. Analisis Lingkungan Mahasiswa dan Alternatif Sumber Belajar Masyarakat, Senat Mahasiswa Unpar, Palangka Raya.
Hassan Shadely , 1980. Ensiklopedi Indonesia, Ictiar Baru, Jakarta.
Lauer, Robert H. 1993. perspektif perubahan sosial. PT. Reneka Cipta, Jakarta.
Moliono, Anton M. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia¸Depdiknas RI, Jakarta.
Poerwadarminta, WJS. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Rasuanto, Bur dan Gatra, 1996. Dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Glonalisasi, Vini, Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Rasindo Gramedia, Jakarta.
Soedomo 1982. Mencari Sumber Belajar Tertulis, dalam pengembangan masyarakat di pedesaan, IKIP Malang.
Shadily, Hassan 1984. Ensiklopedia Indonesia, Ictiar Baru, Jakarta.
Tilaar, H.A.R, 1997.  Pengembangan SDM Dalam Era Globalisasi, PT. Dramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar