Jumat, 17 Agustus 2012

PKBM DAN PENGEMBANGAN KEMITRAAN



Oleh : H.M.Norsanie Darlan
Guru Besar S-1 dan S-2 PLS Universitas Palangka Raya

Pendahuluan
 Dalam  dunia pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan bagian dari pekerjaan para pejuang pendidikan yang terkadang tidak mendapatkan honorpun mereka bekerjan siang maupun malam, tugasnya sangat berat. Menuntaskan wajib belajar di tanah air kita yang sudah 60 tahun lbih merdeka, kok belum tuntas-tuntas. Karena ahlinya bidang pendidikan nonformal ini, masih sangat terbatas. Dan tidak semua perguruan tinggi memiliki jurusan/program studi PLS. Dipihak lain ada Dinas Pendidikan yang kurang bersahabat  dalam bidang ilmu ini. Sehingga banyak ahli PLS atau pendidikan nonformal, kok tidak ditempatkan pada forsinya. Sehingga negeri kita yang berpenduduk 200 juta lebih ini, tetap saja ada yang tuna aksara. Karena sipengelola bidang pendidikan nonformal ini, masih ada yang menempatkan tenaga kerjanya yang bukan sarjana PLS.
Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa di negeri tercinta ini, guna mengantisipasi tantangan dunia pendidikan yang semakin hari ternyata semakin sulit. Terlebih dalam jalur pendidikan luar sekolah. Dipihak lain, angka tuna aksara tak kunjung henti dalam arti Kuantitas, bahkan ada kalanya jumlahnya semakin meningkat. Apakah betul jumlahnya semakin bertambah, ataukah cara pengelolaannya yang kurang relevan. Karena tugas-tugas PLS lebih banyak dikerjakan oleh orang-orang bukan PLS. Sebetulnya hal itu warga PLS sangat bersyukur, asal harapan yang kita inginkan dalam upaya mencerdaskan keghidupan bangsa dapat terwujud. Selain itu tokoh PLS di sektor formal yang menangani Pendidikan Luar Sekolah dengan melihat jumlah angka tuna aksarana yang semakin membengkak menyatakan bahwa hal ini adalah kegagalan pendidikan formal. Sehingga setelah mereka putus sekolah, maka kasus ini menjadi pekerjaan bagi mereka yang peduli pada pekerja PLS.
PKBM dalam memberikan sumbangannya pada negara di negeri tercinta ini cukup besar bagi kita yang menilik hal itu dari sudut pandang luar sekolah. Namun dipihak lain mereka melihat dalam sudut pandang pendidikan formal, apalah artinya PKBM itu. Bahkan mereka menganggap PKBM hanya sekedar pekerjaan orang-orang PLS yang akal-akalan untuk menambah penghasilan.
Bicara tentang kualitasnya? Dan mana hasilnya mereka pasti belum seluruhnya tahu. Walaupun dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003, secara jelas dalam pasal 13 butir (1) menurut Hamid, (2003) bahwa :”...jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan meperkaya...”. Dalam sudut lain, dalam pasal 28 bahwa pendidikan nonformal berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Hal inilah yang perlu kita bicarakan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa di negeri tercinta ini.

Berbagai pendapat Ahli
Dalam bagian ini, penulis menguraikan secara sederhana minimal 4 hal dalam pengertian istilah PKBM secara rinci dan sederhana masing-masing sebagai berikut:
1.      Optimal  menurut Echols dan Shadily (1982; 407) adalah:”...suatu pekerjaan ataupun perbuatan yang paling bagus...”. Sehinga menghasilkan sesuai dengan yang diharapkan;
2.      Adapun fungsi menurut Poerwadarminta (1986) yaitu: ”...kegunaan sesuatu lembaga....”. Termasuk lembaga PKBM dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, yang semakin hari semakin bertambah. Namun beragam pula klasifikasinya;
3.      Peran menurut Moeliono (1989; 667) adalah: ”...seperangkat peralatan yang diharapkan dimiliki oleh suatu lembaga atau orang tertentu yang berkedudukan di masyarakat...”. Peran di sini tidak laih sebuah usaha individu ataupun sekelompok orang yang berperan pada PKBM dalam jalur pendidikan luar sekolah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa;
4.      Pusat adalah menurut ahli bahasa Moeliono (1989; 712) dan Poerwadarminta (1986) adalah :...suatu pokok pangkal berbagai-bagai urusan...”. Sehingga dapat membantu seseorang atau sekelompok orang dalam proses belajar membelajarkan dalam jalur pendidikan nonformal untuk menyelesaikan studinya yang karena faktor usia,  ia harus turut serta belajar pada PKBM;
5.      Kegiatan menurut Poerwadarminta (1986; 322) adalah: ”...suatu kekuatan dan ketangkasan dalam berusaha dengan penuh kearifan pada program tertentu...”.   Termasuk dalam kegiatan proses belajar pendidikan luar sekolah;
6.      Belajar menurut Moeliono (1989; 13) yaitu:”...berusaha untuk memperoleh kepandaian atau suatu ilmu tertentu....”. Ahli lain, seperti Shadily (1980; 434) adalah:”...seseorang dapat mempelajari sesuatu, sehingga ia dapat memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang baru yang memungkinkan yang bersangkutan untuk berprestasi...”.  Sehingga di tempat ini seperti PKBM akan dapat membantu kepada mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak sempat mengikuti pendidikan formal. Dengan adanya PKBM ini, warga masyarakat dapat belajar dalam menuntaskan wajar 9 tahun untuk mempu calistung seperti kebanyakan orang;
7.      Masyarakat menurut Poerwadarminta (1986; 636) adalah:”...sekumpulan orang yang hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan dengan ikatan-ikatan aturan tertentu. Sedangkan moeliono (1989; 564) adalah: ”...sejumlah manusia diartikan seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama...”. Dan mereka ini, berminat  dalam jalur pendidikan luar sekolah;
8.      Pengembangan menurut Moeliono (1989; 414) dan Poerwadarminta (1986) adalah:”...suatu proses, cara, perbuatan mengembangkan secara bertahap...”. Termasuk dalam dunia pendidikan luar sekolah tidak serta merta mendaftarkan diri ia dapat ijazah. Tapi mereka harus belajar dalam kurun waktu tertentu. Dan hal seperti ini harus dipertahankan.
9.      Sumberdaya lebih cenderung pada manusia, menurut Zein (1982; 4) menegaskan adalah :’’...tidak sekedar terbatas pada barang (termasuk manusia) atau substansi yang digunakan dalam upaya untuk mencapai sesuatu tujuan, tetapi yang terpenting adalah peran benda atau substansi tersebut dalam proses atau operasi, yakni fungsinya secara operasional di dalam proses tercapainya tujuan...”.

Pola
Adapun istilah pola menurut Moeliono (1989; 692) adalah: “… suatu gambaran yang dipakai untuk contoh batik; Corak batik atau tenun; Potongan kertas yang dipakai sebagai contoh dalam membuat baju dan sebagainya…”. Pola dalam kegiatan kita sekarang ini, tidak lain adalah menentukan sebuah bentuk pelatihan yang dapat memberikan satu konsep baru untuk proses pembelajaran pendidikan luar sekolah atau istilah sekarang disebut dengan pendidikan nonformal.

Pengembangan
Pengembangan menurut Poerwadarmintan (1986) Moeliono (1989) adalah “…sutu proses cara perbuatan mengembangkan: pemerintah selalu berusaha dalam pembangunan secara bertahap dan teratur yang menjurus kesasaran yang dikehendaki…”.  Pengembangan masyarakat adalah proses kegiatan bersama  yang dilakukan oleh penghuni suatu daerah untuk memenuhi kebutuhannya. 
Sedangkan pengembangan menurut Shadily (1984; 2636) adalah: “…pengembangan daerah pengaliran. Penyusunan, perencanaan, dan pelaksanaan sumber-sumber tanah dan air suatu daerah pengaliran, secara teratur untuk tujuan serba guna bagi peningkatan kemakmuran masyarakat...”. Pengembangan dapat meliputi sebuah program atau keseluruhan. Hal ini merupakan usaha kegiatan yang menyeluruh termasuk dalam kegiatan kita sekarang ini.

Kemitraan
Bila kita berbicara tentang asal kata kemitraan adalah: mitra yang diberi awalan ke dan akhiran an maka menjadi kemitraan. Mitra secara sederhana menurut: Moeliono (1989; 588) adalah suatu: “… teman sahabat kawan kerja, pasangan kerja, rekan…”;  Kata lain adalah kemitraan adalah perihal hubungan   (jalinan kerjasama dan sebagainya) sebagai mitra yang dapat saling menguntungkan.
Sedangkan menurut Shadily (1983; 2264) secara histiros tentang Mitra adalah:”…sebuah sebutan dalam bahasa Sanskerta, sama dengsn Mithtras  dalam bahasa Yunani dan Latin, Mithra dalam persia kuno (= teman). Dewa pujaan konu India dan Iran. Dalam agama Zoroaster mula-mula sebagai dewa bawahan terhadap Ahura Mazda, terang dan kebahagiaan. Dalam abad ke 5 ia menjadi dewa utama Persia…”.
Dengan demikian kemitraan yang kita bicarakan di sini tidak lain adalah suatu hubungan kerja dalam upaya meningkatkan kerjasama kepada berbagai pihak untuk mencari bentuk kesepakatan yang dapat menghasilkan suatu tujuan yang sama dalam proses dunia pendidikan luar sekolah.      

PKBM
Untuk mempelajari apa itu PKBM, menurut Darlan (2006) adalah: ”...Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat. PKBM ini hingga tulisan ini diturunkan masih dikelola oleh masyarakat, untuk masyarakat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa...”.
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat merupakan salah satu upaya masyarakat dalam menghadapi tantangan yang selama ini, dirasakan bahwa jalur pendidikan luar sekolah (non formal) pincang, tidak seimbang dengan jalur pendidikan persekolah (formal).   Namun tidak seluruh masyarakat yang acuh terhadap jalur ini. Di berbagai daerah ada tokoh-tokoh PLS murni yang menyediakan sebagian dari tempat tinggalkan sebagai tempat pendidikan/sarana PLS. Mereka ini tidak menuntut ibalan jasa atau sewa. Namun diketahui bersama keberadaan pejuang PLS seperti disebutkan di atas, tidak banyak. Oleh sebab itu PKBM tidak merata seperti pendidikan formal.
Sejarah PKBM di Indonesia tidak terlepas dengan adanya  hasil perjuangan pendidik tanpa balas jasa. Mereka ini, mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dengan harapan bahwa warga masyarakat di sekitar lingkungannya dapat membaca, menulis dan berhitung demi masa depan bangsa. Namun kalau kita memperhatikan hingga dewasa ini. PKBM sudah mulai mendapat perhatian pemerintah. PKBM baru disadari punya andil besar dalam membangun bangsa di bidang pendidikan luar sekolah. Tidak sedikit pula lulusan paket C di PKBM mampu bekerja di pemerintahan, anggota DPRD dan bangkan yang sangat berkesan bagi penulis, dalam salah Kabupaten  Indonesia ada yang bupatinya mengaku pada media masa bahwa tanpa ikut paket C di salah satu PKBM ia pasti tidak dapat jadi Bupati. Inilah hasil perjuangan pendidik luar sekolah yang tidak mengharap balas jasa. Dan di Kalimantan Tengah ditemukan juga anggota DPRD kita yang menyandang ijazah dari alumnus paket C entah di PKBM mana. 

Fungsi PKBM
Adapun fungsi sebetulnya tidak sekedar memanfaatkan kegunaan sesuatu lembaga saja. Tapi juga termasuk lembaga PKBM ini, dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya. Namun beragam pula klasifikasinya. Dengan demikian fungsi PKBM dimasa datang setelah dialkukan sertifikasi dan akreditasi akan terlihat mana yang benar-benar menjalankan tugas PLS dan mana yang tidak.
Dalam rangka sosialisasi Forum Komunikasi Pendidikan Keaksaraan (FKPK) di tanah air.  Terdapat keluhan tokoh formal Ichwanuddin (2006) bahwa:”... pernah menyulitkan pihak Diknas (Dikjar) bila bakal terjadi Pemilu dan Pilkada, ada orang-orang tertentu, yang mendesak agar ikut serta dalam program paket C. Tidak itu saja, kepala Dikjar (Dinas pendidikan dan pengajaran) agar diikutsertakan ujian paket C.  Hal tersebuat ia pernah juga diperiksa oleh pihak kejaksaan, karena ada indikasi bahwa lulusan paket C diperoleh tanpa melalui kegiatan pendidikan luar sekolah yang wajar...”. Hal seperti ini, fungsi PKBM perlu dijaga, bukan hanya sekedar kasihan. Tapi dengan terbitnya Undang-Undang nomor: 20/2003 dalam Bab XX ada pula sanksinya.
Kebanggaan kita semua memang lulusan paket C sudah ada yang jadi Bupati. Tidak terhitung yang menjadi anggota DPR. Dalam kegagalan pendidikan formal tahun 2006 lalu, bisa kita ingat 15-20 tahun mendatang, lulusan paket C akan bermunculan menjadi pejabat di negeri ini. Dengan demikian fungsi PKBM setara juga dengan pendidikan formal. Hanya yang kita jaga kualitasnya.

Peran PKBM
Berbicara tentang peran PKBM dalam upaya mencerdasken kehidupan bangsa di tanah air tercinta ini, masih belum maksimal. Ketidak maksimalan ini didasari oleh :
1.      Kesiapan tenaga terdidik;
2.      Fasilitas yang memadai;
3.      Keragaman program;
4.      Uluran tangan pemerintah.
Kesiapan tenaga terdidik, masih kurang, dari hasil observasi dan evaluasi selama beberapa tahun terakhir, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) ini baik di dalam maupun di luar daerah  Kalimantan Tengah tenaga yang mengelola mayoritas mereka yang bukan berpendidikan luar sekolah. Sehingga pengelola pemula tentu akan mendapat kesulitan dalam hal-hal tertentu. Sementara tenaga berpendidikan PLS yang mendapatkan pekerjaan sebagai PNS diterima pada jalur pendidikan formal, sehingga kurang memperhatikan ciri kesarjanaannya.
 Bila kita mempelajari teori PLS tentu saja sangat sederhana, sebab fasilitas untuk belajar membelajarkan ini, dapat di rumah penduduk, balai desa, atau di mana saja. Yang proses belajar membelajarkan ini sebelumnya terjadi kesepakatan antara warga belajar dengan tutor. Sehingga fasilitas yang ada dewasa ini, masih belum seluruhnya memadai sebagai tempat (ruang) belajar mengajar. Akibatnya kurang menciptakan kenyamanan dan sudut pandang orang luar PLS menjadi kurang tertarik untuk memilih jalur PLS.
Dalam hal keragaman program, sebaiknya PKBM mengembangkan berbagai hal selain sesuai dengan upaya wajar 9 tahun, juga ada PAUD, Paket C bahkan berbagai hal sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat sekitar. Masalnya dengan mengangkat sumber daya alam yang ada di sekitar dan dapat pula dipasarkan ke daerah lain. Sehingga materi life skills ini, akan dapat membantu masyarakat banyak.
Dan PKBM jadi dikenal oleh masyarakat banyak. Seperti di kota Solo, PKBM banyak berperan. Termasuk merias pengantin.
Uluran tangan pemerintah yang mulai terlihat setelah angka buta aksara latin dan angka ternyata tak kunjung hilang. Walau kita merdeka sudah setengah abad lebih. Karena si warga tuna aksara ada perasaan segan untuk ikut belajar di tempat tersebut. Mengapa? karena tempatnya terkadang sungguh menyedihkan. Sehingga walau ada kesadaran mereka bahwa belajar itu penting bagi dirinya. Tapi kalau buku bacaan, tempat belajar, tenaga tutor belum memadai dan tidak mendapatkan uluran tangan pemerintah, baik berupa perbaikan fasilitas belajar, maupun keperluan tenaga tutor belum memadai. Membuat para peminat untuk bergabung pada jalur PLS ini,  menjadi rendah. Oleh sebab itu, perlu perhatian kita semua. Terlebih bagi mereka yang bertugas dan berkecimpung sehari-hari di Dirjen, Dinas, Subdin PLS, Kasi PLS menjadi kurang perhatian. Kurangnya perhatian di atas, menurut hasil pengamatan sementara ini, ada hubungannya dengan tenaga kerja yang ditempatkan menangani PLS tidak seluruhnya berlatar belakang pendidikan luar serkolah. Namun Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesataraan, serta pendidikan lain yang ditunjuk untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.  Dengan demikian PKBM akan dapat memilah mana yang dapat kita lakukan.

Kibijakan Strategis Pemerataan dan Perluasan
Dalam upaya menetapkan kebijakan strategi pemerataan dan perluasan, mutu dan relevasi serta governance dan akuntabelitas menurut Ace Suryadi (2005) adalah sebagai berikut:
a. Penanganan program pemberantasan buta akasara di prioritaskan pada kantong-kantong daerah pemukiman penduduk yang jumlah buta aksaranya tinggi.
b. Berusaha mengerahkan dan bekerja sama dengan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga pendidikan formal pada semua tingkatan.

Mutu dan Relevansi
         Untuk melihat bagai mana muti dan relevansi menurut pejabat formal di atas adalah:
a.  Melakukan hasil pengujian terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan standar yang telah dibakukan sehingga program pembelajaran yang telah dilaksanakan selama ini dapat diketahui sejauh mana tingkat penguasaan peserta didik.
b. Berusaha melakukan peningkatan pelayanan pendidikan keaksaraan melalui kegiatan pembelajaran yang berkelanjutan dan relevan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya melalui program life skills.

Governance dan Akuntabilitas
Berusaha mewujudkan pengelolaan pendidikan keaksaraan secara intensif melalui sistem pengendalian mutu secara internal baik dari masyarakat maupun pemerintah secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Ada Kesepakatan
Untuk kalangan tenaga pendidikan khususnya alumnus PLS yang berkiprah pada pendidikan tinggi, sebaiknya ada kesepakatan dalam mempersiapkan untuk melatih mahasiswa agar tidak terlalu berharap dalam pekerjaan dunia formal. Mereka sejak awal kita untuk turun ke masyarakat dalam menekuni jalur pendidikan luar sekolah. Sehingga sekembalinya mereka di masyarakat alumnus kita tidak terlalu kaget dalam berhadapan dengan PKBM, Kursus-kursus dan sebagainya.
 

Penyebab Terjadinya BUTA AKSARA INDONESIA

 Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya buta aksara di Indonesia adalah :
1.     Putus Sekolah Dasar (SD)
Masih banyak anak Indonesia, yang belum memiliki kesempatan untuk masuk sekolah dikarenakan berbagai hal.
Pertama: karena orang tua atau keluarganya tidak mampu. Kondisi ini memaksa orang tua untuk mempekerjakan anak-anak mereka, terutama dimusim pertanian yaitu waktu mengolah sawah, menanam, mengetam dan lain lain.
Kedua: kondisi daerah yang terisolasi atau daerah transmigrasi yang jauh dari sekolah, daerah yang terkena bencana alam atau konflik, seperti Aceh, Nabire, Poso, Atambua, dan sebagainya.
Kedua penyebab ini,  tidak menutup kemungkinan akan menambah  buta aksara jumlah buta aksara di Indonesia.
Salah satu faktor lagi, yang kurang diperhatikan penyebab buta aksara di Indonesia adalah DO program-program pendidikan luar sekolah (PLS) baik yang dilakukan melalui pendidikan keaksaraan maupun kesetaraan. Angka putus belajar, terutama dalam program pemberantasan buta aksara, cukup tinggi karena kurangnya motivasi dan warga belajar tidak merasakan manfaat yang segera dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk juga seperti dalam uraian peran PKBM terdahulu, bahwa  pendidikan keterampilanpun tidak akan menarik minat masyarakat buta aksara. Apabila mereka tidak merasakan akibat langsung untuk meningkatkan pendapatan, memperoleh lapangan kerja, dan memperbaiki status sosial-ekonomi mereka. Hal ini menjadi tantangan bagi kita dalam pengelolan PKBM yang dapat dimaksimalkan.
Berdasarkan pengamatan UNESCO kompetensi keaksaraan lulusan pendidikan dasar masih belum memadai. Padahal menurut Direktur Jendral UNESCO Koichi Matsura pendidikan keaksaraan merupakan sarana pembangunan berkelanjutan. Kemampuan keaksaraan begitu penting bagi setiap orang, kelompok dan masyarakat. Kemampuan keaksaraan memiliki kontribusi terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan (Suryadi, 2005).

Perbedaan dengan pendidikan orang dewasa
Istilah pendidikan seumur hidup itu sendiri sudah jelas tentang pengertiannya. Walaupun demikian penting juga un­tuk membedakannya dengan, umpamanya proses yang lebih tradi­sional pendidikan orang dewasa. Pengertian pendidikan seumur hi­dup Lebih luas daripada perluasan pendidikan orang dewasa untuk audience yang lebih luas, atau alat untuk lebih meningkatkan kelas pekerja yang terhalang untuk meningkatkan lebih jauh pekerjaan mereka karena tidak memiliki keterampilan yang memadai.
Eksistensi perbaikan semata-mata untuk meningkatkan fasi­litas pendidikan orang dewasa tidak berarti bahwa pendidikan se­umur hidup sudah tercapai (Farmer, 1974). Contoh, terdapat satu problem bahwa pendidikan orang dewasa sangat selektif, pada umumnya sebagai hasil "second creaming" (Bengtsson, 1975) dan Sarjan Kadir (1989). Mereka sudah mendapatkan pendidikan sebelumnya dan ber­maksud untuk memperoleh pendidikan orang dewasa, dan bukan orang yang diduga betul-betul membutuhkannya. Lebih jauh lagi, organisasi pendidikan orang dewasa seringkali tidak berintegrasi dan berkoordinasi dengan pendidikan sebelumnya. Pada waktu sekarang pendidikan orang dewasa masih dikonsepsikan sebagai re­kreasi atau bentuk lainnya yang harus dilakukan oleh mereka yang membutuhkan kompensasi keterbatasan pendidikan sebelumnya.
Justru itu, pendidikan orang dewasa dinodai dengan menjadi­kannya sebagai sesuatu yang luks atau usaha perbaikan, bukan menjadikannya sebagai bagian proses pendidikan yang berlangsung sepanjang kehidupan. Contoh, alasan bahwa orang pergi sekolah pada umumnya untuk menyiapkan diri mereka memasuki pendi­dikan orang dewasa nantinya, tampaknya barangkali tidak masuk akal, bahkan tampaknya tidak masuk akal sebagian besar pendidik orang dewasa. Pernyataan ini tidak dimaksudkan menghina pendidikan orang dewasa yang ada sekarang atau tidak pula untuk mengartikan bahwa sistem pendidikan Yang diorganisir sepanjang garis pendidikan seumur hidup akan diperlengkapi dengan tenaga yang tidak "qualified."
Bagaimanapun juga, tujuan pendidikan seumur hidup dapat dipandang lebih luas daripada upgrading kejuruan atau meningkat­kan produktivitas pekerja seperti yang ditekankan pada pendidik­an orang dewasa. Sistem yang berorientasi pada pendidikan se­umur hidup dalam kenyataannya akan memasukkan pendidikan orang dewasa seperti yang ada sekarang. Dan secara serentak mem­bagi antara pendidikan orang dewasa dengan jenis pendidikan lain­nya. Masalah ini akan lebih luas dalam pembahasan bab berikut­nya.
Belajar Dari Sebuah Pengalaman
Dalam mengakhiri tahun 2006, ada sebuah pekerjaan yang ditugasi oleh LPPM Universitas Palangka Raya untuk asistensi Wajib bejalar 9 tahun di Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, mendampingi para Camat, Diknas Kecamatan, Depag Kecamatan dan Kepala Desa serta tokoh masyarakat dalam membicarakan  SD/SMP satu atap.
Sebuah desa di tepi Laut Jawa tepatnya Desa Satiruk, kecamatan Pulau Hanaut ada 3 gedung sekolah dasar yang berdekatan setiap tahun meluluskan antara 18-20 orang/sekolah. Namun tidak ada SMP/MTs baik negeri maupun swasta. sehingga kepala desanya berinisiatif membentuk kelompok belajar paket B. Namun dalam segi usia 12-14 tahun. Sementara yang berusia 18 – 40 tahun tak pernah dapat sentuhan pendidikan baik formal SMP/MTs maupun nonformal paket B. Padahal negara kita sedang gigihnya menuntaskan wajar 9 tahun. Termasuk merealisasikan Instruksi Presiden nomor: 5 tahun 2006 tertenggal 9 Juni 2006. Tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajar pendidikan dasar 9 tahun  dan pemberantasan buta aksara.
Pengalaman lain tahun 1992 penulis penelitian di kawasan pantai, menemui sebuah bangunan beratapkan daun nipah, dinding daun nipah ukuran 6 x 4 m dengan 10 orang muris 4 duduk di kelas 2.
Saat bertemu dengan penulis penduduk di kecamatan Kumai Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah ini, diajak membaca huruf latin dan angka belum sempurna. Tapi dituliskan huruf Arab mereka lancar membaca. Berarti penduduk pesisir tidak seluruhnya buta aksara, kecuali latin. Sedangkan huruf Arab mereka sudah bisa, karena setiap orang tua melatih anaknya untuk membaca Al-Qur’an. Kasus ini berada di kawasan selatan Kalimantan Tengah. Tepatnya di utara Laut Jawa.
Perlu Perubahan
Perlu merubah konsep yang selama ini, ternyata terjadi kesalahan dalam dunia pendidikan luar sekolah. Memang selama ini, pendidikan luar sekolah terlupakan. Bahkan jika pendidikan luar sekolah bagi pekerjanya seperti tutor misalnya mendapat imbalan lebih banyak dengan ucapan terima kasih. Sementara jika tersedia dana, untuk tenaga tutor hanya dengan imbalan yang jauh dari cukup. Padahal, petugas PLS jauh lebih sulit dibanding mereka yang bekerja di jalur pendidikan formal. Misal dalam pendidikan formal gedung sekolah, guru dan murid serta buku bacaan tersedia, semuanya serba ada. Sementara dalam jalur pendidikan luar sekolah terjadi sebaliknya. Ruang belajar terkadang di rumah penduduk, di balai desa dll. Murid dirayu agar mau belajar. Karena mereka dalam kondisi belajar tidak penting baginya. Hal itu perlu diberikan penyadaran diri individu yang masih belum tuntas wajar 9 tahun. Materinya elastisitas yang diberikan berdasarkan kesepakatan bersama.
Dengan melihat hal di atas, saran dari penulis agar mulai sekarang kita adakan perubahan. Artinya dalam hal pendanaan, tidak selalu pada pendidikan formal yang besar. Tapi bagaimana jika kalau PKBM, yang tak punya gedung yang memadai. Pihak Diknas turut membantu mereka yang mendirikan pusat kegiatan belajar masyarakat ini, pada gedung mereka, buku bacaan dan honor tutor yang cukup.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Moral
Dewasa ini sedang berkembang suatu pemikiran baru diantaranya para ilmuan sendiri, yaitu kebudayaan ketiga (the Third culture) bahkan mungkin kebudayaan keempat (the fourth culture). Kini mungkin umat manusia mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam memikirkan eksistensinya. Sesudah dunia memasuki era perdamaian menurut: H.A.R. Tilaar  (1997;109) pasca prang dingin, mungkin umat manusia mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam memikirkan eksistensinya. Sesudah dunia memasuki era perdamaian pascaperang dingin, mungkin umat manusia akan datang pada suatu renungan kembali bahwa kemajuan iptek adalah segala-galanya. Iptek akan berkembang pesat dan pasti akan mengubah kehidupan manusia ke arah kebaikan, namun iptek tidak dapat memberikan penjelasan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan. Diantara optimisme ilmu pengetahuan dan teknologi, ditengah-tengah kekayaan rohaniah manusia yang diekspresikan ke dalam kesusastraan dan falsafah, manusia menyadari bahwa ilmu pengetahuan akan membawa manusia ke segala arah, ke arah yang baik juga ke arah yang buruk. Disinilah letaknya peranan moral dan agama yang akan mengerahkan ilmu pengetahuan dan teknologi ke arah yang benar. Iptek dan moral bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi saling mengisi satu dengan yang lain. Ilmu pengetahuan perlu untuk mencerahkan akal manusia mencari dan menggali berbagai kemungkinan yang dianugerahkan oleh sang Pencipta kepada umat manusia dia atas bumi. Dengan akalnya manusia dapat mengeksplorasi berbagai kemungkinan yang tersembunyi. Eksplorasi dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hanya memberikan kehidupan yang lebih baik, tetapi juga mendekatkan manusia itu kepada sang Pencipta akan kebesaran Khalik langit dan bumi.
Di tengah-tengah arus modernisasi, globalisasi, dan kemajuan iptek ada kecenderungan untuk menjauhi moral dan etika. Di dalam suatu seminar nasional “Iptek Berwawasan Moral” yang diadakan dalam bulan Agustus 19996, Prof. Quraish Shihab mengemukakan pendapatnya mengenai model pemikiran: Pertama, model dan pemikiran yang bersifat dogmatis atau apologetik yang menutup segala pemikiran rasional terhadap moral. Bagi model ini satu-satunya akar moral adalah agama dan menutup berbagai penafsiran yang rasional. Di dalam model ini tampak adanya suatu penolakan terhadap refleksi dan ketidakberdayaan intelektual yang memahami iptek secara kritisdan rasional.  Model pemikiran yang kedua beranggapan bahwa yang merupakan sumber satu-satunya nilai adalah agama. Model ini bersifat pre-problematik dan deterministik. Model yang ketiga bertolak dari watak iptek itu sendiri yang sifatnya menerjang sukar dibendung, sedangkan kewajiban moral dan etika adalah untuk meletakkan rambu-rambu agar terjangan iptek dapat terkendali dan tidak melenceng sehingga menjadi alat penghancur kehidupan manusia. Lihat saja misalnya yang terjadi di dalam era perlombaan persenjataan pada waktu pascaperang dunia kedua, yaitu pada masa perang dingin. Sejumlah besar dana milyaran bahkan triliun dolar dihambur-hamburkan untuk perlombaan persenjataan, sedangkan di banyak penjuru dunia kemiskinan sangat merajalela. Model pemikiran yang ketiga ini merupakan model yang berpeluang untuk mengapresiasi watak ilmiah dari iptek tanpa kehilangan arah ke mana seharusnya iptek itu dikembangkan. Dengan demikian iptek tidak perlu mempunyai posisi yang antagonis terhadap nilai-nilai moral, etika, dan agama. Keduanya saling berdialog yang pada akhirnya memperkokoh penghayatan manusia baik terhadap iptek sebagai sarana bagi perbaikan peningkatan taraf hidup manusia maupun agama sebagai sumber-sumber nilai moral dan etika. Inilah yang disebut model yang hidup di dalam Kebudayaan Keempat (The Fourth Culture) dimana hidup dan berkembang suatu tanggungjawab moral pada intelektual, yaitu manusia yang menguasai iptek dan yang juga yang taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan manusia dalam milenium III adalah kehidupan di masa Kebudayaan Keempat karena nilai-nilai ilmu pengetahuan, teknologi, moral, dan agama seluruhnya merupakan kekayaan umat manusia dalam rangka menciptakan suatu dunia yang lebih baik, aman, dan lebih sejahtera. Di dalam upaya kita untuk lebih memacu pembangunan nasional di tengah era globalisasi, Bur Rasuanto dan Gatra (1996; 111) mengingatkan lagi perlu adanya “gerakan moral” dengan mengatakan: “…Sasaran perjuangan moral adalah kesadaran moral itu sendiri.  Kekuatan bersenjata mampu merebut wilayah, kekuatan politik mampu merebut penduduk, kekuatan ekonomi mampu menguasai tentara dan politik; tapi hanya kekuatan moral yang mampu merebut hati nurani….”.
Mutu pendidikan di Malaysia
Mungkin sebagian besar masih belum hilang dari ingatan kita, bahwa negeri jiran kita Malaysia sejak tahun 60-an mengekspor tenaga guru dari Indonesia. Tahun 80-an seangkatan penulis di IKIP Malang saudara kita bernama: Nursamid dan sering tertukar bila dosen mencari nama diantara kami berdua. Artinya orsang Malaysia tahun 1982 ada yang input Sarjana Muda kuliah di Malang. Tahun 1986-1988 penulis di Fakultas Kedokteran Gadjah Maha sempat memberikan kuliah diantaranya ada mahasiswa Malaysia.
Pertengan tahun 90-an Malaysia sudah menawarkan Program Tertinggi seperti Magister (MA) dan Ph.D untuk pemuda/pemudi Indonesia untuk belajar di negeri jiran ini. Jadi mereka tidak tanggung-tanggung tahun 1997 mahasiswa tugas belajar di Malaya University setiap bulan mendapatkan imbalan 1200 ringgit. Dirupiahkan saat itu Rp 1.200.000,- Sehingga banyak pemuda kita yang pergi belajar ke Malaysia untuk meraih berbagai gelar.
Untuk diketahui juga dalam jurnal yang resmi dari kedutaan mereka biaya pendidikan tahun anggaran 2003 ini sebesar 37 % dari dana anggaran negaranya. Sementara di negeri kita tercinta ini pernah terjadi anggaran pendidikan hanya 4 % dari anggaran pembangunan. Kenapa demikian, karena pihak pengambil kebijakan kita kurang memberikan perhatian terhadap dunia pendidikan ini. Sehingga iklim pendidikan jadi terpuruk hingga tingkat yang paling rendah di tanah air kita.
Penulis saat itu sebagai mahasiswa program Doktor di Indonesia merasa berkewajiban membuat konsep didahului oleh sebuah seminar nasional mahasiswa program doktor yang ada di Indonesia. Hasil seminar diserahkan kepada Bapak Mendiknas RI saat itu Prof. Dr. Yahya Muhaimin  di ruang kerja beliau yang disampingi oleh Dirjen Pendidikan Tinggi. Dan Komisi VI DPR-RI serta pengurus besar PGRI.  Salah satu konsep yang cukup dikenang oleh para mahasiswa program Doktor dalam sidang Umum MPR ternyata menerima konsep kita minimal 17% dari anggaran negara untuk pendidikan. Sekarang dalan tahun anggaran 2003 kita menikmati 20 % anggran negara untuk pendidikan. Mudah-mudahan konsep itu dapat berjalan dengan baik, agar istilah guru sebagai  “Oemar Bakri”  lambat laun menjadi impian bagi setiap orang.
PKBM Paling Megah
Sudah ratusan PKBM yang penulis kunjungi di di berbagai sudut di tanah air, hanya di Kota Malang Jatim, PKBM yang punya kelebihan dari berbagai PKBM yang ada di masyarakat tanah air.
Menurut Norsanie Darlan (2009) PKBM ”Zamzami” ini dikelola oleh 2 orang alumnus PLS awal tahun 70-an. Yang satu memilih jadi dosen dan istrinya memilih berprofesi guru. Setelah ke 2 putra bangsa ini pada menikmati masa pensiunnya. Maka pekerjaan PLS-nya tambah meningkat.sebab di PKBM Zamzam ini, tersedia untuk mahasiswa PLS UNM Malang untuk berpraktek. Cita-cita suami isteri yang sama-sama memiliki keahlian PLS ini, ternyata mematahkan teori yang mengatakan bahwa:”...dosen-dosen PLS tidak ada waktu membuka PKBM, padahal semua dosen PLS tahu persis onderdil PKBM itu...”. teori ini dipatahkan oleh H. Abdillah Hanafi dan Isteri mendirikan PKBM di kota Malang yang bagunan itu berlantai 2 lengkap dengan perhotelannya.
Dalam PKBM ini, ada PAUD, ada berbagai kursus, ada Paket A,B dan C tidak ketinggalan. Ada pula pertungan kayu dan Las.
Sehingga di PKBM ini, banyak juga dimanfaatkan berbagai dinas dan instansi untuk berbagai pelatihan. Karena peserta hnya 40 orang dapat ditampung di kamar-kamar yang disediakan memang untuk peserta dan panitia pelatihan. Serta ada aula yang layak untuk berbagai pelatihan di sana, disediakan pula masjid.


DAFTAR PUSTAKA
Darlan, H. M. Norsanie 2002. Analisis Lingkungan Mahasiswa dan Alternatif Sumber Belajar Masyarakat, Senat Mahasiswa Unpar, Palangka Raya.
------------, 2005, Upaya Mengoptimalkan Fungsi dan Peran PKBM Sebagai  Lembaga Pngenbangan Sumber Daya  Manusia, Guru Besar PLS FKIP Universitas Palangka Raya.
-----------, 2006. Sulitnya Pemerataan Wajar Sembilan Tahun di Kalimantan Tengah, Universitas Mulawarman, Samarinda.
------------, 2006. Pendidikan Luar Sekolah di Kalimantan Tengah,  Makalah, Palangka Raya.
------------, 2007. Metoda belajar dan mengajar orang dewasa, Paparkan Pada Orientasi Pembimbing Calon Haji Provinsi Kalimantan Tengah Rabu 11 Juli 2007.
-----------, 2009. Pola pengembangan Kemitraan pkbm, BPKB, Palangka Raya.
Echols, Jonh M  dan Shadily Hassan, 1982. Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesian Dictionary), PT. Gramaedia Pustaka Utama, Jakarta.
Faisal, Sanapiah, 1981. Pendidikan Luar Sekolah, Di Dalam Sistem Pendidikan dan Pembangunan Nasional, Usana, Surabaya.
Hamid, H. Dedi, 2003. Uuno 20 Tahun  2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Asokadikta, Jakarta.
Ichwanuddin, 2006. Keberatan Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah, Pangkalan Bun.
Kadir, M. Sarjan, 1989. Pendidikan Seumur Hidup, Suatu Tinjauan Analisis Psikologi, Usaha Nasional (Usaha), Surabaya.
Lengrand,  Paul, 1984. Pengantar Pendidikan Sepanjang Hayat, Gunung Agung, Jakarta.
Moeliono, Anthon, 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Kebudayaan RI, Jakarta.
Suryadi, Ace, 2005. Kebijakan dan Strategi Gerakan Pemberantasan Buta Aksara Intensif, Hotel Sahid Raya Solo.
Soetrisno, 1986. Pendidikan Seumur Hidup, Universitas Terbuka, Karunika, Jakarta.
Srinivasan , Lyra, 1981. Pendidikan Non Formal di Asia Tenggara, BPKB, Jaya Giri, Bandung.
Tilaar, H.A.R, 1997.  Pengembangan SDM Dalam Era Globalisasi, PT. Dramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Poerwadarminta, WJS, 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Shadily, Hasan, 1982. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, jilid 3, Jakarta.
------------, 1980. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, jilid 2, Jakarta.
------------, 1983. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, jilid 4, Jakarta.
------------, 1984. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, jilid 6, Jakarta.
Joesoef, Soelaiman dan Santoso, Slamet, 1979. Pendidikan Luar Sekolah, Usaha Nasional, Surabaya.
Zein, MT, 1982. Sumber daya konsep yang berubah sepanjang sejarah, Prisma Volume 11, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar