Rabu, 15 Agustus 2012

UPAYA MENGOPTIMALKAN FUNGSI DAN PERAN PKBM SEBAGAI LEMBAGA PENGEMBANG SUMBERDAYA MASYARAKAT



 oleh :
                                                                  H.M. Norsanie Darlan
                                              Guru Besar S-1 dan S-2 PLS FKIP Universitas Palangka Raya

Pendahuluan
Dalam  upaya mencerdaskan kehidupan bangsa di negeri tercinta ini, guna mengantisipasi tantangan dunia pendidikan yang semakin hari ternyata semakin sulit. Terlebih dalam jalur pendidikan luar sekolah. Dipihak lain, angka tuna aksara tak kunjung henti dalam arti Kuantitas, bahkan ada kalanya jumlahnya semakin meningkat. Apakah betul jumlahnya semakin bertambah, ataukah cara pengelolaannya yang kurang relevan. Karena tugas-tugas PLS lebih banyak dikerjakan oleh orang-orang bukan PLS. Sebetulnya hal itu warga PLS sangat bersyukur, asal harapan yang kita inginkan dalam upaya mencerdaskan keghidupan bangsa dapat terwujud. Selain itu tokoh PLS di sektor formal yang menangani Pendidikan Luar Sekolah dengan melihat jumlah angka tuna aksarana yang semakin membengkak menyatakan bahwa hal ini adalah kegagalan pendidikan formal. Sehingga setelah mereka putus sekolah, maka kasus ini menjadi pekerjaan bagi mereka yang peduli pada pekerja PLS.
PKBM dalam memberikan sumbangannya pada negara di negeri tercinta ini cukup besar bagi kita yang menilik hal itu dari sudut pandang luar sekolah. Namun dipihak lain mereka melihat dalam sudut pandang pendidikan formal, apalah artinya PKBM itu. Bahkan mereka menganggap PKBM hanya sekedar pekerjaan orang-orang PLS yang akal-akalan untuk menambah penghasilan. Bicara tentang kualitasnya? Dan mana hasilnya mereka pasti belum seluruhnya tahu. Walaupun dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003, secara jelas dalam pasal 13 butir (1) menurut Hamid, (2003) bahwa :”...jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan meperkaya...”. Dalam sudut lain, dalam pasal 28 bahwa pendidikan nonformal berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Hal inilah yang perlu kita bicarakan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa di negeri tercinta ini.

Beberapa Pengertian
Dalam bagian ini, penulis menguraikan secara sederhana minimal 4 hal dalam pengertian istilah PKBM secara rinci dan sederhana masing-masing sebagai berikut:
1.       Optimal  menurut Echols dan Shadily (1982; 407) adalah:”...suatu pekerjaan ataupun perbuatan yang paling bagus...”. Sehinga menghasilkan sesuai dengan yang diharapkan;
2.      Adapun fungsi menurut Poerwadarminta (1986) yaitu: ”...kegunaan sesuatu lembaga....”. Termasuk lembaga PKBM dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, yang semakin hari semakin bertambah. Namun beragam pula klasifikasinya;
3.      Peran menurut Moeliono (1989; 667) adalah: ”...seperangkat peralatan yang diharapkan dimiliki oleh suatu lembaga atau orang tertentu yang berkedudukan di masyarakat.... Peran di sini tidak laih sebuah usaha individu ataupun sekelompok orang yang berperan pada PKBM dalam jalur pendidikan luar sekolah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa;
4.      Pusat adalah menurut ahli bahasa Moeliono (1989; 712) dan Poerwadarminta (1986) adalah :...suatu pokok pangkal berbagai-bagai urusan...”. Sehingga dapat membantu seseorang atau sekelompok orang dalam proses belajar membelajarkan dalam jalur pendidikan nonformal untuk menyelesaikan studinya yang karena faktor usia,  ia harus turut serta belajar pada PKBM;
5.      Kegiatan menurut Poerwadarminta (1986; 322) adalah: ”...suatu kekuatan dan ketangkasan dalam berusaha dengan penuh kearifan pada program tertentu...”.   Termasuk dalam kegiatan proses belajar pendidikan luar sekolah;
6.      Belajar menurut Moeliono (1989; 13) yaitu:”...berusaha untuk memperoleh kepandaian atau suatu ilmu tertentu....”. Ahli lain, seperti Shadily (1980; 434) adalah:”...seseorang dapat mempelajari sesuatu, sehingga ia dapat memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang baru yang memungkinkan yang bersangkutan untuk berprestasi...”.  Sehingga di tempat ini seperti PKBM akan dapat membantu kepada mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak sempat mengikuti pendidikan formal. Dengan adanya PKBM ini, warga masyarakat dapat belajar dalam menuntaskan wajar 9 tahun untuk mempu calistung seperti kebanyakan orang;
7.      Masyarakat menurut Poerwadarminta (1986; 636) adalah:”...sekumpulan orang yang hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan dengan ikatan-ikatan aturan tertentu. Sedangkan moeliono (1989; 564) adalah: ”...sejumlah manusia diartikan seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama...”. Dan mereka ini, berminat  dalam jalur pendidikan luar sekolah;
8.      Pengembangan menurut Moeliono (1989; 414) dan Poerwadarminta (1986) adalah:”...suatu proses, cara, perbuatan mengembangkan secara bertahap...”. Termasuk dalam dunia pendidikan luar sekolah tidak serta merta mendaftarkan diri ia dapat ijazah. Tapi mereka harus belajar dalam kurun waktu tertentu. Dan hal seperti ini harus dipertahankan.
9.      Sumberdaya lebih cenderung pada manusia, menurut Zein (1982; 4) menegaskan adalah :’’...tidak sekedar terbatas pada barang (termasuk manusia) atau substansi yang digunakan dalam upaya untuk mencapai sesuatu tujuan, tetapi yang terpenting adalah peran benda atau substansi tersebut dalam proses atau operasi, yakni fungsinya secara operasional di dalam proses tercapainya tujuan...”.

Fungsi PKBM
Adapun fungsi sebetulnya tidak sekedar memanfaatkan kegunaan sesuatu lembaga saja. Tapi juga termasuk lembaga PKBM ini, dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya. Namun beragam pula klasifikasinya. Dengan demikian fungsi PKBM dimasa datang setelah dialkukan sertifikasi dan akreditasi akan terlihat mana yang benar-benar menjalankan tugas PLS dan mana yang tidak.
Dalam rangka sosialisasi Forum Komunikasi Pendidikan Keaksaraan (FKPK) di tanah air.  Terdapat keluhan tokoh formal Ichwanuddin (2006) bahwa:”... pernah menyulitkan pihak Diknas (Dikjar) bila bakal terjadi Pemilu dan Pilkada, ada orang-orang tertentu, yang mendesak agar ikut serta dalam program paket C. Tidak itu saja, kepala Dikjar (Dinas pendidikan dan pengajaran) agar diikutsertakan ujian paket C.  Hal tersebuat ia pernah juga diperiksa oleh pihak kejaksaan, karena ada indikasi bahwa lulusan paket C diperoleh tanpa melalui kegiatan pendidikan luar sekolah yang wajar...”. Hal seperti ini, fungsi PKBM perlu dijaga, bukan hanya sekedar kasihan. Tapi dengan terbitnya Undang-Undang nomor: 20/2003 dalam Bab XX ada pula sanksinya.
Kebanggaan kita semua memang lulusan paket C sudah ada yang jadi Bupati. Tidak terhitung yang menjadi anggota DPR. Dalam kegagalan pendidikan formal tahun 2006 lalu, bisa kita ingat 15-20 tahun mendatang, lulusan paket C akan bermunculan menjadi pejabat di negeri ini. Dengan demikian fungsi PKBM setara juga dengan pendidikan formal. Hanya yang kita jaga kualitasnya.

Peran PKBM
Berbicara tentang peran PKBM dalam upaya mencerdasken kehidupan bangsa di tanah air tercinta ini, masih belum maksimal. Ketidak maksimalan ini didasari oleh :
1.       Kesiapan tenaga terdidik;
2.      Fasilitas yang memadai;
3.      Keragaman program;
4.      Uluran tangan pemerintah.
Kesiapan tenaga terdidik, masih kurang, dari hasil observasi dan evaluasi selama beberapa tahun terakhir, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) ini baik di dalam maupun di luar daerah  Kalimantan Tengah tenaga yang mengelola mayoritas mereka yang bukan berpendidikan luar sekolah. Sehingga pengelola pemula tentu akan mendapat kesulitan dalam hal-hal tertentu. Sementara tenaga berpendidikan PLS yang mendapatkan pekerjaan sebagai PNS diterima pada jalur pendidikan formal, sehingga kurang memperhatikan ciri kesarjanaannya.

Bila kita mempelajari teori PLS tentu saja sangat sederhana, sebab fasilitas untuk belajar membelajarkan ini, dapat di rumah penduduk, balai desa, atau di mana saja. Yang proses belajar membelajarkan ini sebelumnya terjadi kesepakatan antara warga belajar dengan tutor. Sehingga fasilitas yang ada dewasa ini, masih belum seluruhnya memadai sebagai tempat (ruang) belajar mengajar. Akibatnya kurang menciptakan kenyamanan dan sudut pandang orang luar PLS menjadi kurang tertarik untuk memilih jalur PLS.

PAUD PKBM Tilung Raya
Palangka Raya

 
Dalam hal keragaman program, sebaiknya PKBM mengembangkan berbagai hal selain sesuai dengan upaya wajar 9 tahun, juga ada PAUD, Paket C bahkan berbagai hal sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat sekitar. Masalnya dengan mengangkat sumber daya alam yang ada di sekitar dan dapat pula dipasarkan ke daerah lain. Sehingga materi life skills ini, akan dapat membantu masyarakat banyak.
Dan PKBM jadi dikenal oleh masyarakat banyak. Seperti di kota Solo, PKBM banyak berperan. Termasuk merias pengantin.

PKBM Mendawai Palangka Raya

Uluran tangan pemerintah yang mulai terlihat setelah angka buta aksara latin dan angka ternyata tak kunjung hilang. Walau kita merdeka sudah setengah abad lebih. Karena si warga tuna aksara ada perasaan segan untuk ikut belajar di tempat tersebut. Mengapa? karena tempatnya terkadang sungguh menyedihkan. Sehingga walau ada kesadaran mereka bahwa belajar itu penting bagi dirinya. Tapi kalau buku bacaan, tempat belajar, tenaga tutor belum memadai dan tidak mendapatkan uluran tangan pemerintah, baik berupa perbaikan fasilitas belajar, maupun keperluan tenaga tutor belum memadai. Membuat para peminat untuk bergabung pada jalur PLS ini,  menjadi rendah. Oleh sebab itu, perlu perhatian kita semua. Terlebih bagi mereka yang bertugas dan berkecimpung sehari-hari di Dirjen, Dinas, Subdin PLS, Kasi PLS menjadi kurang perhatian. Kurangnya perhatian di atas, menurut hasil pengamatan sementara ini, ada hubungannya dengan tenaga kerja yang ditempatkan menangani PLS tidak seluruhnya berlatar belakang pendidikan luar serkolah. Namun Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesataraan, serta pendidikan lain yang ditunjuk untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.  Dengan demikian PKBM akan dapat memilah mana yang dapat kita lakukan.
Taman Bermain Shalahuddin Palangka Raya

 
Dari 4 hal dalam upaya mengoptimalkan PKBM merupakan ssesuatu yang tidak dapat ditunda-tunda. Karena negeri kita yang sejak lama masih saja bergelut dalam dunia keaksaraan ini, akan tertinggal jauh di belakangan oleh negara-negara lain, kini mereka telah maju jamping ke depan seperti negeri tetangga kita Malaysia.



Kibijakan Strategis
Pemerataan dan Perluasan
Dalam upaya menetapkan kebijakan strategi pemerataan dan perluasan, mutu dan relevasi serta governance dan akuntabelitas menurut Ace Suryadi (2005) adalah sebagai berikut:
a. Penanganan program pemberantasan buta akasara di prioritaskan pada kantong-kantong daerah pemukiman penduduk yang jumlah buta aksaranya tinggi.
b. Berusaha mengerahkan dan bekerja sama dengan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga pendidikan formal pada semua tingkatan.

Mutu dan Relevansi
         Untuk melihat bagai mana muti dan relevansi menurut pejabat formal di atas adalah:
a.  Melakukan hasil pengujian terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan standar yang telah dibakukan sehingga program pembelajaran yang telah dilaksanakan selama ini dapat diketahui sejauh mana tingkat penguasaan peserta didik.
b.  Berusaha melakukan peningkatan pelayanan pendidikan keaksaraan melalui kegiatan pembelajaran yang berkelanjutan dan relevan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya melalui program life skills.

Governance dan Akuntabilitas
Berusaha mewujudkan pengelolaan pendidikan keaksaraan secara intensif melalui sistem pengendalian mutu secara internal baik dari masyarakat maupun pemerintah secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Ada Kesepakatan
Untuk kalangan tenaga pendidikan khususnya alumnus PLS yang berkiprah pada pendidikan tinggi, sebaiknya ada kesepakatan dalam mempersiapkan untuk melatih mahasiswa agar tidak terlalu berharap dalam pekerjaan dunia formal. Mereka sejak awal kita untuk turun ke masyarakat dalam menekuni jalur pendidikan luar sekolah. Sehingga sekembalinya mereka di masyarakat alumnus kita tidak terlalu kaget dalam berhadapan dengan PKBM, Kursus-kursus dan sebagainya.

Data Peringkat
Dari data lain yang disajikan pada Sosialisasi Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Aksara Intensif menurut: Ace Suryadi, (2005) di Hotel Sahid Raya Solo Tanggal 18 Desember  2005 itu, dengan mengutip dari laporan UNDP tahun 2004, peringkat HDI Indonesia berada pada posisi 111 dari 177 negara. Sementara peringkat HDI Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia pada tahun-tahun sebelumnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel

Perbandingan HDI Indonesia dengan Negara lain

Negara

Tahun

1995
2000
2002
2003
2004
Thailand
58
76
70
74
76
Malaysia
59
61
59
58
59
Philipina
100
77
77
85
83
Indonesia
104
109
110
112
111
China
111
99
96
104
94
Vietnam
120
108
109
109
112
Sumber: UNDP HDI Rank (1995, 2000, 2002, 2003, dan 2004)

Dari tabel di atas, dapat terlihat betapa posisi Indonesia tidak jauh berubah sejak tahun 1995, bahkan antara tahun 2003 dan 2004 tidak mengalami perubahan peringkat, bila dilihat dari jumlah negara yang di survei. Indonesia berada diperingkat 112 dari 175 negara (2003) dan 111 dari 177 negara (2004).
Berdasarkan data BPS tahun 2005 posisi kebutaaksaraan penduduk Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:
 1. Untuk kelompok usia 10 tahun ke atas masih 15.04 juta orang;
 2. Usia 15-44 tahun sebesar 3.519.970 orang; dan
 3. Usia 45 tahun ke atas 11.075.118 juta.
Sedangkan kemampuan pemerintah melalui APBN setiap tahun hanya mampu membelajarkan sekitar 150.000 orang dan diperkirakan untuk tahun 2006 sekitar 420.000 orang. Dengan demikian bila hanya mengandalkan pada kemampuan pemerintah, target penyelesaian  rencana pembangunan jangka menengah sebanyak 1.500.000 orang pertahun pesimis bisa tercapai.
Rendahnya penurunan angka di atas, menurut penulis diantaranya adalah karena besarnya jumlah penduduk, luasnya wilayah negeri ini, tenaga pengelolanya yang sangat beragam.

 Penyebab Terjadinya BUTA AKSARA INDONESIA

 Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya buta aksara di Indonesia adalah :
1.    Putus Sekolah Dasar (SD)
Masih banyak anak Indonesia, yang belum memiliki kesempatan untuk masuk sekolah dikarenakan berbagai hal.
Pertama: karena orang tua atau keluarganya tidak mampu. Kondisi ini memaksa orang tua untuk mempekerjakan anak-anak mereka, terutama dimusim pertanian yaitu waktu mengolah sawah, menanam, mengetam dan lain lain.
Kedua: kondisi daerah yang terisolasi atau daerah transmigrasi yang jauh dari sekolah, daerah yang terkena bencana alam atau konflik, seperti Aceh, Nabire, Poso, Atambua, dan sebagainya.
Kedua penyebab ini,  tidak menutup kemungkinan akan menambah  buta aksara jumlah buta aksara di Indonesia.

Salah satu faktor lagi, yang kurang diperhatikan penyebab buta aksara di Indonesia adalah DO program-program pendidikan luar sekolah (PLS) baik yang dilakukan melalui pendidikan keaksaraan maupun kesetaraan. Angka putus belajar, terutama dalam program pemberantasan buta aksara, cukup tinggi karena kurangnya motivasi dan warga belajar tidak merasakan manfaat yang segera dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk juga seperti dalam uraian peran PKBM terdahulu, bahwa  pendidikan keterampilanpun tidak akan menarik minat masyarakat buta aksara. Apabila mereka tidak merasakan akibat langsung untuk meningkatkan pendapatan, memperoleh lapangan kerja, dan memperbaiki status sosial-ekonomi mereka. Hal ini menjadi tantangan bagi kita dalam pengelolan PKBM yang dapat dimaksimalkan.
Berdasarkan pengamatan UNESCO kompetensi keaksaraan lulusan pendidikan dasar masih belum memadai. Padahal menurut Direktur Jendral UNESCO Koichi Matsura pendidikan keaksaraan merupakan sarana pembangunan berkelanjutan. Kemampuan keaksaraan begitu penting bagi setiap orang, kelompok dan masyarakat. Kemampuan keaksaraan memiliki kontribusi terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan (Suryadi, 2005).
2.Demografis dan Geografis
Dilihat dari segi demografi dan geografis bagian terbesar dari jumlah penduduk tinggal di pedesaan, sekitar 70-80% penduduk dunia terutama di negara-negara miskin dan yang sedang berkembang termasuk Indonesia bermukim di pedesaan. Tenaga terdidik masih sangat kurang karena sebagian penduduk menempati kawasan pedesaan dengan tingkat pendidikan relatif rendah.
 Data yang dapat dipercaya bahwa 1/5 atau 20% dari penduduk dunia, masih buta aksara dan sebagian besar mereka tinggal di daerah pedesaan. Begitupun yang terjadi di Indonesia yang berpenduduk 206 juta yang sebagian besar tinggal di pedesaan di hampir 17.000 pulau yang semua itu perlu ditangani. Diproyeksikan pada tahun 2004, angka penyerapan murni SD hanya sekitar 94,13% dari populasi anak SD yang masuk sekolah. Hal ini berarti masih ada sekitar 5,87% anak-anak yang perlu dicarikan alternatif pendidikannya agar dapat memperoleh pendidikan minimal setingkat SD. Sebagaimana kita tahu daya tampung SD tidak dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia, untuk itu perlu dicarikan alternatif untuk menangani mereka. Jika hal ini tidak tertangani tidak menutup kemungkinan mereka akan menjadi buta aksara dikemudian hari.
 Masalah geografi dan demografi ini merupakan masalah krusial dan perlu segera diatasi. Berdasarkan data BP3 (2003) penyebaran buta aksara berdasarkan geografi dapat dilihat pada gambar berikut:
 3.Aspek Sosiologis
Ditinjau dari segi sosiologis, sebagian besar masyarakat kita beranggapan bahwa harkat dan martabat seseorang akan meningkat apabila memiliki “Ijazah” yang diperoleh melalui jalur persekolahan, dengan orientasi ingin menjadi pegawai negeri atau bekerja di perusahaan-perusahaan atau bekerja pada sektor-sektor formal. Pada sisi lain, program pemberantasan buta aksara yang meskipun diintegrasikan dengan berbagai pendidikan keterampilan tidak memberikan “Ijazah” sebagai jawaban atas anggapan tersebut di atas. Sehingga program pemberantasan buta aksara kurang diminati oleh masyarakat yang tergolong miskin, dalam arti tidak mampu menyekolahkan anak pada jalur pendidikan persekolahan. Hasil penelitian juga memberi petunjuk bahwa sebagian besar masyarakat kita lebih menginginkan pendidikan sekolah bagi anak-anaknya, karena program pemberantasan buta aksara sendiri tidak memberikan ijazah yang diperlukan oleh mereka untuk meningkatkan status sosial ekonominya.
Selain itu yang menjadi penyebab warga masyarakat buta aksara dari aspek sosiologis, adalah karena mereka hidup dalam keluarga yang berpendidikan rendah dan miskin, sehingga tidak mampu untuk membiayai pendidikanya. Sementara pada sisi lain, tidak ada kepedulian orang-orang terdidik disekitarnya untuk mendidik mereka. Begitu pula banyak perusahaan-perusahaan swasta yang tidak mensyaratkan latar belakang pendidikan bagi pekerjanya dengan alasan bahwa mereka membutuhkan pekerja-pekerja yang ber-upah rendah.
Peranan keaksaraan dalam pengembangan sosiologis suatu masyarakat sebenarnya telah diakui oleh banyak pihak. Diakui pula, meskipun keaksaraan bukanlah satu-satunya program yang disiapkan untuk pengembangan sosial masyarakat, namun banyak keuntungan yang akan diperoleh apabila suatu masyarakat memiliki tingkat keaksaraan yang memadai. Keterampilan-keterampilan keaksaraan merupakan kondisi yang diperlukan sebagai alat yang efektif dalam pendekatan-pendekatan yang berurusan dengan kemiskinan. Hasil penelitian UNESCO juga menyatakan bahwa program Keaksaraan ternyata mempunyai implikasi langsung terhadap:
(1) peningkatan pendapatan masyarakat;
(2) peningkatan partisipasi masyarakat terhadap program pembangunan;
(3) peningkatan gizi masyarakat;
(4)peningkatan kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya;
(5) penurunan angka kematian bayi dan ibu melahirkan;
(6) keberhasilan pelaksanaan program keluarga berencana;
(7) peningkatan usia harapan hidup masyarakat; dan
(8) menjadikan masyarakat semakin demokratis. 
4. Issue Gender
Mengamati kenyataan dalam masyarakat, bahwa peranan antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang kegiatan, terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan yang cenderung merugikan dan atau membatasi ruang gerak kaum perempuan. Sebagai contoh, misalnya ketimpangan dalam hal mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan turut menentukan keputusan dalam rumah tangga, dan dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan kemajuan masyarakat, termasuk pendidikan yang diperlukan oleh dirinya. Banyak dari anak-anak perempuan yang kurang memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Ada anggapan di masyarakat, bahwa sepandai-pandainya perempuan kembalinya ke dapur juga. Anggapan lain berdasarkan issue gender ini misalnya, bahwa perempuan itu tidak perlu sekolah yang penting bisa mengurus suami dan keluarga. Anggapan-anggapan yang tidak membangun seperti ini, yang menyebabkan kaum perempuan tertinggal dibanding laki-laki.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sasaran program keaksaraan fungsional (KF) adalah perempuan (67,74%). Hal ini apabila program KF akan disosialisasikan dan diimplementasikan maka perlu memperhatikan isu gender ini, baik dalam strategi maupun pendekatannya. Rumusan yang biasa dipakai dalam analisis situasi kondisi jender dalam program keaksaraan fungsional adalah Index Paritas atau keseimbangan (Parity Index) angka buta aksara (IPBA) yaitu rasio angka buta aksara perempuan terhadap buta aksara laki-laki. Rendahnya tingkat keaksaraan perempuan semakin memarginalkan kedudukan mereka yang sebelumnya telah dipandang  berbeda dan merupakan subordinasi  dari laki-laki.
Selain penyebab-penyebab tersebut di atas, kita juga harus memahami penyebab struktural mengapa di Indonesia lebih banyak perempuan buta aksara dibanding laki-laki. Hal ini dapat dijelaskan dari dua dimensi:

Skala Makro: secara struktural pengambilan kebijakan diberbagai level dan bidang, termasuk bidang pendidikan didominasi oleh laki-laki dibanding perempuan, sehingga keputusan yang dihasilkanpun adalah berdasarkan kacamata (kepentingan) laki-laki. 
Skala Mikro: dalam skala keluarga misalnya, hampir semua keputusan yang berkaitan dengan keuangan, akan didominasi oleh figur laki-laki (Ayah), termasuk keputusan pembiayaan pendidikan bagi anak-anaknya. Dalam satu keluarga miskin, yang tidak semua anak tercukupi biaya sekolahnya, orang tua harus memilih (menentukan prioritas) yang mana diantara anak-anaknya yang akan di sekolahkan ke jenjang lebih tinggi. Dalam kaitan ini, biasanya pilihan jatuh pada anak laki-laki. Kenapa jatuh pada anak laki-laki? Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor budaya atau pandangan stereotip, bahwa:
(a) anak laki-laki adalah penerus keturunan;
(b) laki-laki adalah calon kepala rumah tangga yang akan bertanggung jawab terhadap keluarga, khususnya berkaitan dengan persoalan pengambilan keputusan, sehingga laki-laki yang harus pintar dan harus memperoleh pendidikan lebih baik dibanding  perempuan.
Di samping itu, mengapa lebih banyak orang miskin yang buta aksara daripada orang kaya?.  Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) orang kaya lebih mudah memperoleh akses untuk belajar diberbagai lembaga yang tersedia;
(2) lebih mampu membeli bahan belajar yang diperlukan untuk menunjang pendidikan;
(3) lebih mudah mendapatkan fasilitas belajar yang dibutuhkan;
(4) lebih mudah mendapatkan informasi-informasi yang diperlukan, karena tersedianya berbagai fasilitas di rumahnya, dan sebagainya. Sementara untuk masyarakat miskin, hal-hal yang disebutkan di atas, akan terjadi sebaliknya.
 Kegagalan Sekolah Formal
Berbicara tentang kegagalan sekolah formal selama ini, menurut Kepala Sub Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional RI,  Ella Yulaelawati (2006) bahwa :“…perlu dilakukan pengkajian yang sangat mendasar tentang kegagalan sekolah formal yang selama ini…”. Karena sekolah formal sebagai jalur pertama ternyata tidak seluruhnya menemukan cara efektif dalam penyelenggaraan pendidikan formalnya. Padahal pendidikan formal ini telah disiapkan  dengan segala fasiltas, guru dan materi belajar yang cukup. Tapi kenapa setelah diserahkan tugas lewat pendidikan formal selalu kandas dalam penuntasan pendidikan dasar 9 tahun.
Sementara kegagalan dalam menekan angka tuna aksara ini menurut: Singarasa (2006) adalah: ”…masa lalu, pihak pemerintah betul-betul membina masyarakat yang diikuti dengan kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap program yang dilancarkan pemerintah. Dan turut mendukung upaya menurunkan angka tuna aksara. Namun sekarang kita sadari bersama dengan kurangnya partisipasi masyarakat akan turut meninggikan angka buta huruf….”.
Menurut Darlan, 2006. Bahwa:”... dalam wajar 9 tahun, bangsa kita di era pembangunan sekarang terjadi peningkatan angka tuna aksara selalu tinggi. Walau pemerintah sudah secara gencar melakukannya. Namun angka tuna aksara makin tahun masih bertambah. Hal ini perlu kita cari sebab akibatnya...”.
Seorang dosen pendidikan luar sekolah (PLS) Universitas Palangka Raya:  Ringkin (2006) bahwa ia: “…mengkritisi rumusan hasil pertemuan sarjana di Palangka Raya beberapa waktu lalu bahwa kalangan pendidikan sendiri yang duduk dalam komisinya masih terlupakan tentang pendidikan luar sekolah. Padahal jika menguasai terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor: 20/2003 secara jelas ada 3 jalur pendidikan yakni: (a) Pendidikan Formal, (b) Pendidikan non formal dan (c) Pendidikan informal…”. PLS berada pada pendidikan non formal. Sementara dalam butir  2 Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesataraan, serta pendidikan lain yang ditunjuk untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Ini juga memasuki pada jalur pendidikan informal kita.
Kegagalan yang dikritik dosen senior PLS FKIP Unpar itu, tidak lain karena ketidak mengertian banyak orang tentang jalur pendidikan kita, baik dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 maupun Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku dan ada di negeri kita cintai ini.
Angka Tuna Aksara
Membubungnya Angka Tuna Aksara memang terjadi di mana-mana. Apakah di perkotaan ataukah di pedesaan. Hal ini sebagai salah satu sebab tertutupnya kran PLS yang selama ini. Kita ketahui bersama para sarjana PLS hanya tersalurkan lewat Kran pendidikan formal. Artinya banyak sarjana PLS yang diluluskan oleh IKIP/FKIP selama ini, namun Kran untuk masuk diknas baik di kecamatan, Kabupaten/Kota dan Provinsi sepertinya masih terabaikan.  Karena mereka tidak mendapat tempat untuk masuk ke Dikmas, Subdin PLS maka Kran yang ada hanya lewat pendidikan formal. Alias jadi guru. Sehingga kerja pekerjaan yang ia rencanakan selama 4 – 5 tahun di bangku kuliah, untuk membantu pemerintah supaya dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan berbagai teori pendidikan orang dewasa yang mereka pelajari. Setelah masuk kerja menjadi guru formal maka teori yang ia bangun bertahun-tahun terpaksa harus sirna atau patah, karena lapangan kerja yang mereka geluti dalam penerapan pendidikan biasa. Sementara pendidikan non formal digeluti bagi mereka yang tidak mendapatkan kesempatan pada bidang keahliannya. Apa boleh buat, dengan ilmu seadanya. Sehingga kegagalan pendidikan nonformal-pun mulai dirasakan, dengan membubungnya angka tuna aksara di mana-mana.
Mewujudkan Wajar 9 Tahun
Mewujudkan Wajar 9 Tahun memang tidak semudah membalik telapak tangan. Secara teori memang mengajak mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak sempat menikmati pendidikan formal atau istilah lama belajar pada sistem persekolahan. Sementara mereka usianya tidak lagi pada usia sekolah. Namun tuntutan pasal 31 UUD’45 harus diwujudkan, untuk itu  setiap warga menagar harus kita ajak agar mereka mau belajar Baca Tulis dan Berhitung (Balistung) seperti kebanyakan orang. Supaya mereka tidak bergulat dengan kebodohan. Namun Dipihak lain, terjadi pula suatu upaya sadar para ibu dan bapak-bapak yang telah berusia, meminta agar mereka diberikan pendidikan di luar sekolah (pendidikan nonformal) kepada para mahasiswa PLS agar mereka dapat Balistung sebagaimana kebanyakan orang di sekitarnya. Untuk kegiatan seperti ini, adalah tugas kita semua untuk membantu mereka agar mereka tidak terjadi kesulitan dalam menghadapi masa depannya.
Kalau kita cermati nasib warga masyarakat kita baik di perkotaan maupun di pedesaan, mereka ini karena tingkat pendidikannya tertinggal, maka selalu termarginalkan sebagai akibat bagi sekelompok kecil warga masyatakat kita yang belum berkesempatan mengikuti pendidikan formal dimasa mudanya.
INSTRUKSI PRESIDEN RI
Kegiatan Dalam Bulan Oktober-Desember 2006, penulis terlibat langsung sebagai pendampingan menerealisasi Instruksi Presiden RI nomor 5 tahun 2006, Tanggal 9 Juni 2006,  tentang: Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Kondisi Penduduk Buta Aksara Terdiri dari  :
1.Buta aksara murni, yang lahir tidak pernah sekolah yang disebabkan oleh hambatan faktor geografis dan ekonomi;
2.Drop-uot Sekolah Dasar kelas 1-3 yang pertambahan setiap tahunnya mencapai 334.000 orang (Sensus 2003).
3.Buta aksara kembali yang diperkirakan mencapai 30%.  Jumlah buta aksara keseluruhan berdasarkan data BPS yaitu:
10 th ke atas  :  15.04 Juta
15 th ke atas  :  14.59 Juta
10-44 tahun   :    3.96 Juta
15-44 tahun   :     3.5 Juta
45 th ke atas :  11.07 Juta
Untuk kita ketahui bersama bahwa Departemen mana yang terlibat dalam kegiatan ini, secara rinci diuraikan berikut:
1.       Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;
a.Mengkoordinasikan pelaksanaan Gerakan Nasonal Percepatan  Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sem-bilan Tahun dan Pemberatasan Buta Aksara;
b.Membentuk Tim Koordinasi untuk pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara yang diketahui oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan ketua harian Menteri Pendidikan Nasional, serta beranggotakan pimpinan instansi lain yang terkait.
  2.    Menteri Pendidikan Nasional:
a.Menetapkan Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara;
b.Melaksanakan,mengendalikan, meman-tau dan mengevaluasi Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
  3.    Menteri Dalam Negeri:
Menfasilitasi pelaksanaan Gerakan Nasio-nal Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara;
4.   Menteri Agama:
Menfasilitasi pelaksanaan Gerakan Nasio-nal Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara di madrasah, pondok pesantren dan lemabaga keaga-maan yang menjadi binaannya.
5.      Kepala Badan Pusat Statistik:
Melakukan kerjasama dengan Menteri Pendidikan Nasional dalam pemutakhiran data nasional untuk mendukung Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
6.      Gubernur, Bupati dan Walikota:
Melaksanakan Gerakan Nasional Perce-patan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara berdasarkan pedoman pelak-sanaan Gerakan Nasional Percepatan Pe-nuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
Dengan demikian ke 6 lembaga Pemerintah di atas, merupakan suatu Instruksi yang harus dilaksanakan oleh kita semua. Dengan menggunakan 2 jalur pendidikan masing-masing pendidikan formal maupun pendidikan luar sekolah (Pendidikan Nonformal). Di Kalimantan Tengah yang berlangsung sejak bulan oktober bagian pertama kami lakukan bersama Forum yang tergabung di Subdin PLS. Apakah Forum: Keaksaraan, Fongsional, Tutur, TLD, Pengawas, PKBM, Kursus, dan Paud.
Sedangkan  kegiatan penulis sampai tanggal 7 Desember 2006 melaksanakan pemdampingan di Kabupaten Kotawaringin Timur dalam pendidikan dasar 9 tahun pada jalur pendidikan formal. Yakni mengunjungi daerah-daerah terpencil yang ternyata tidak ada fasilitas pendidikan menengah pertama. Seperti SMP, sementara murid sekolah dasar yang lulus menganggur karena faktor:
1.       Jarah rumah ke SMP jauh;
2.      Alat transfortasi belum tersedia;
3.      Orang tua murid tidak punya biaya kalau anaknya sekolah ke kota kecamatan.
Sehingga perlu diusulkan pendirian SD/SMP terpadu di daerah itu. Untuk Kalimantan Tengah baru 2 Kabupaten yang dilakukan pendataan yakni Kabupaten Kota Waringin Timur (Kotim) dan Barito Selatan (Darlan, 2006).
Ciri PLS
Bila mengkaji berbagai literatur menyebutkan bahwa Pendidikan Luar sekolah (PLS) yang berdasarkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 seperti sekarang ini, jelas bahwa PLS atau pendidikan nonformal itu tidak dijelaskan secara rinci disebutkan. Penulis mencoba mengurai tentang PLS atau pendidikan nonformal ini adalah:
(1) waktunya pendek;
(2) materinya beragam;
(3) siswanya bervariasi dan;
(4) tempatnya menyesuaikan serta
(5) dll.
Untuk lebih jelasnya yaitu: waktunya pendek, artinya pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal ini, tidak lebih dari 12 bulan. Bahkan ada yang hanya satu hari. Demikian juga jam belajarnya. Apakah pagi, sore atau malam hari. Sehingga tidak mengganggu jam kerja warga belajar.
Dalam perkembangannya, pada pendidikan dasar dan menengah dewasa ini tentu ada yang lebih dari setahun. Misalnya dalam program paket A,B dan C.  Guna meningkatkan kualitas disertai fungsi dan peran yang makin diperbaiki. Maka warga belajar paket A, B dan C tidak mungikin dalam waktu 3 – 4 bulan sudah terima ijazah. Mereka harus belajar dengan kesungguhan, disertai mengikuti ujian untuk menentukan kelulusan.
Adapun materi pembelajaran pendidikan orang dewasa ini, beragam. Artinya menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat (belajar berdasarkan bebutuhan masyarakat). Beda dengan pendidikan persekolahan atau pendidikan formal. Dalam pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal ini, materi dibuat berdasarkan kesepakatan. Para mahasiswa yang mengambil program studi / jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) tahu persis cara rancang bangun dan rekayasa dalam materi belajar yang berdasar kesepakatan itu. Kalau tidak maka kelompok belajarnya akan bubar.
Siswanya atau istilah di PLS Warga belajarnya bervariasi, dengan berdasar konsep pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal ini, kepada mereka yang karena sesuatu dan lain hal dalam pendidikan formal belum sempat menikmati dunia pendidikan. Namun telah berusia 35 tahun baru ia sadar akan pentingnya sekolah dasar. Padahal pada usia itu tidak akan ada lagi murid SD. Maka ia harus mengikuti jalur ke 2 yaitu pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal ini, dengan belajar paket A. Sehingga ia harus mengikuti paket A-1 sampai  A-100. Atau pendidikan keaksaraan lainnya. Selain itu tutor harus mengerti betul yang didik ini orang dewasa. Materi selingan perlu ada agar warga belajar tidak bosan, maka ia harus merancang bangun dan rekayasa materi belajar lain yang sesuai kebutuhan warga belajar (WB)-nya. Yang dimaksud bervariasi di atas tidak lain usia peserta beragam. Ada yang usia 25 tahun ada pula  35 tahun dan sebagainya. Bahkan pengalam penulis ada warga belajar (siswanya) lebih tua dari itu, dan motivasi ingin tahunya sangat tinggi.
Bicara tentang tempat tidak seperti dunia persekolahan atau pendidikan formal. Melainkan pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal ini, berdasarkesepakatan bersama. Terkadang di ruang kelas sekolah, di rumah ketua RT, RK/RW, di rumah warga belajar sendiri atau di balai desa. Yang penting ada kesepakatan.
Dengan demikian dalam memperhatikan pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal ini, tentang: waktu, materi, wb bervariasi dan tempat tentu beda dengan sistem persekolahan atau pendidikan formal. Dan kalau kita terpaku pada salah satu jalur saja di dunia pendidikan ini, maka kapan lagi kepincangan pendidikan itu dapat kita luruskan.
Belajar Dari Sebuah Pengalaman
Dalam mengakhiri tahun 2006, ada sebuah pekerjaan yang ditugasi oleh LPPM Universitas Palangka Raya untuk asistensi Wajib bejalar 9 tahun di Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, mendampingi para Camat, Diknas Kecamatan, Depag Kecamatan dan Kepala Desa serta tokoh masyarakat dalam membicarakan  SD/SMP satu atap.
Sebuah desa di tepi Laut Jawa tepatnya Desa Satiruk, kecamatan Pulau Hanaut ada 3 gedung sekolah dasar yang berdekatan setiap tahun meluluskan antara 18-20 orang/sekolah. Namun tidak ada SMP/MTs baik negeri maupun swasta. sehingga kepala desanya berinisiatif membentuk kelompok belajar paket B. Namun dalam segi usia 12-14 tahun. Sementara yang berusia 18 – 40 tahun tak pernah dapat sentuhan pendidikan baik formal SMP/MTs maupun nonformal paket B. Padahal negara kita sedang gigihnya menuntaskan wajar 9 tahun. Termasuk merealisasikan Instruksi Presiden nomor: 5 tahun 2006 tertenggal 9 Juni 2006. Tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajar pendidikan dasar 9 tahun  dan pemberantasan buta aksara.
Pengalaman lain tahun 1992 penulis penelitian di kawasan pantai, menemui sebuah bangunan beratapkan daun nipah, dinding daun nipah ukuran 6 x 4 m dengan 10 orang muris 4 duduk di kelas 2.
Saat bertemu dengan penulis penduduk di kecamatan Kumai Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah ini, diajak membaca huruf latin dan angka belum sempurna. Tapi dituliskan huruf Arab mereka lancar membaca. Berarti penduduk pesisir tidak seluruhnya buta aksara, kecuali latin. Sedangkan huruf Arab mereka sudah bisa, karena setiap orang tua melatih anaknya untuk membaca Al-Qur’an. Kasus ini berada di kawasan selatan Kalimantan Tengah. Tepatnya di utara Laut Jawa.
Perlu Perubahan
Perlu merubah konsep yang selama ini, ternyata terjadi kesalahan dalam dunia pendidikan luar sekolah. Memang selama ini, pendidikan luar sekolah terlupakan. Bahkan jika pendidikan luar sekolah bagi pekerjanya seperti tutor misalnya mendapat imbalan lebih banyak dengan ucapan terima kasih. Sementara jika tersedia dana, untuk tenaga tutor hanya dengan imbalan yang jauh dari cukup. Padahal, petugas PLS jauh lebih sulit dibanding mereka yang bekerja di jalur pendidikan formal. Misal dalam pendidikan formal gedung sekolah, guru dan murid serta buku bacaan tersedia, semuanya serba ada. Sementara dalam jalur pendidikan luar sekolah terjadi sebaliknya. Ruang belajar terkadang di rumah penduduk, di balai desa dll. Murid dirayu agar mau belajar. Karena mereka dalam kondisi belajar tidak penting baginya. Hal itu perlu diberikan penyadaran diri individu yang masih belum tuntas wajar 9 tahun. Materinya elastisitas yang diberikan berdasarkan kesepakatan bersama.
Dengan melihat hal di atas, saran dari penulis agar mulai sekarang kita adakan perubahan. Artinya dalam hal pendanaan, tidak selalu pada pendidikan formal yang besar. Tapi bagaimana jika kalau PKBM, yang tak punya gedung yang memadai. Pihak Diknas turut membantu mereka yang mendirikan pusat kegiatan belajar masyarakat ini, pada gedung mereka, buku bacaan dan honor tutor yang cukup.
Jika hal ini direalisasikan, Insyaa Allah kegairahan belajar mesyarakat akan meningkat. Dan angka tuna aksara akan dapat ditekan.

 
                                                             DAFTAR PUSTAKA

Darlan, H. M. Norsanie, 2006. Pendidikan Luar Sekolah di Kalimantan Tengah,  Makalah, Palangka Raya.
-----------, 2006. Sulitnya Pemerataan Wajar Sembilan Tahun di Kalimantan Tengah, Universitas Mulawarman, Samarinda.
Echols, Jonh M  dan Shadily Hassan, 1982. Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesian Dictionary), PT. Gramaedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hamid, H. Dedi, 2003. Uuno 20 Tahun  2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Asokadikta, Jakarta.
Ichwanuddin, 2006. Keberatan Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah, Pangkalan Bun.
Moliono, Anton M. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia¸ Depdiknas RI, Jakarta.
Poerwadarminta, WJS. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Ringkin, Don F, 2005. Kritik Pendidikan Luar Sekolah hanya dipandang dengan sebelah mata oleh banyak kalangan, Kal-Teng Pos Opini, Palangka Raya. 
Singarasa, Henry 2006. Diskusi Pendidikan Keaksaraan dengan Berbagai Latar Belakang Bidang Keilmuan, Rektor Universitas Palangka Raya, Palangka Raya.
Suryadi, Ace, 2005. Kebijakan dan Strategi Gerakan Pemberantasan Buta Aksara Intensif, Hotel Sahid Raya Solo.
Shadily , 1980. Ensiklopedi Indonesia, Jilid 1,  Ictiar Baru, Jakarta.
------------,  1984. Ensiklopedia Indonesia, Jilid 5, Ictiar Baru, Jakarta.
Yulaelawati, Ella, 2006. Kegagalan Sekolah Formal Dalam Melaksanakan Pendidikan, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas RI, RRI, Jayapura.
Zein, MT, 1982. Sumber daya konsep yang berubah sepanjang sejarah, Prisma Volume 11, Jakarta.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar